Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Berdirinya kerajaan Safawi pada tahun 905 H/1499 M oleh Syah


Ismail, mengawali warna mistis dan filosofis pada penguasa-penguasa
Persia dari golongan Syiah. Perkembangan pemikiran

pada zaman

Safawi ini mempunyai karakteristik yang khas, yang disebut sebagai


mazhab

Isfahan.

Mazhab

ini

menampung

perkembangan

Peripatetisme (Masyai), Illuminasionisme (Isyraqi), Gnosisme (Irfani)


dan Teologis (Kalam). Aliran-aliran ini berkembang pesat selama
empat abad sebelum Mulla Shadra. Adapun aliran filsafat yang
digagas oleh Mulla Shadra disebut Teosofi Transenden (al-hikmah almutaaliyah).
Pemikiran-pemikiran Islam yang berkembang tersebut tidak
lepas dari pemikiran tokoh-tokoh yunani seperti Aristoteles dan Plato.
Dalam makalah ini penulis akan mengangkat pemikiran Islam
mengenai

Hikmah

Mutaaliyyah

dan

wujud.

Filsafat

wujud

ini

sebenarnya telah dikemukakan secara eksplisit oleh berbagai tokoh


Islam seperti al-Farabi, ibnu rusyd, dan At-thusi. Akan tetapi dalam
makalah ini penulis akan lebih menengahkan dan membahas
pemikiran Mulla Shadra tentang Hikmah Mutaalliyah-nya dan Filsafat
wujudnya. Mulla Shadra adalah tokoh yang menggabungkan semua
pemikiran pendahulunya, bahkan dia terkenal di dunia barat sebagai
filosof

sintesa.

Mulla

Shadra

telah

mengembangkan

sebuah

penyatuan antara tradisi mistik sufi atau Iluminasionis dengan


pengaruh-pengaruh Neoplatonik.1
Mulla Shadra adalah filsuf muslim yang masih mempertahankan
tradisi sufisme dengan menggabungkan tradisi rasionalitas para
filosof.

Iluminasionis

para

sufi

menurut

Mulla

Shadra

harus

1 Simon Blackburn, Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), h. 530.

disandarkan pada rasionalitas dan begitupun sebaliknya. Kemudian


dia juga beranggapan bahwa wujud adalah realitas sesungguhnya
dan bukan esensi. Mulla Shadra juga telah mengungkapkan hakikat
hikmah yang baginya kita harus membedakan antara tingkatan
pemahaman dan realitas eksternal, secara rasional dan sadar. Mereka
membedakan

sejelas-jelasnya

antara

keduanya

dan

tidak

mengaburkan keduanya pula.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Transdentalisme dalam khazanah pemikiran Islam


Menurut sumber-sumber yang otoritatif, pemikiran Shadra
dipengaruhi oleh tiga mazhab besar filsafat dan teosofi yang pernah
berkembang di Islam. Mazhab-mazhab tersebut adalah masyiyah,
isyrqiyah dan wihdah al-wujud. Selain itu Shadra juga sangat
mengenal dan menguasai teologi Islam baik yang sunni maupun
syiah

dan

juga

ajaran

syariat

secara

umum.

Semua

itu

mempengaruhi mazhab pemikiran dan teosofi Mulla Shadra yang


dikenal

dengan

mazhab

Al-Hikmah

Al-Mutaliyah

(theosophy

transcendental).
1. Hikmah Mutaliyah
Hikmah Mutaliyah adalah salah satu pemikiran Mulla Shadra
yang

pertama,

dimana

dalam

pemikirannya

ini

dia

berusaha

membuat suatu kolaborasi pemikiran para pendahulunya dengan


pemikiranya sendiri. Dalam pemikiran ini Mulla Shadra memasukan
unsur-unsur doktrinal yang bersifat inspiratif dan intuitif yang
merupakan hasil iluminasi yang mentransformasikan ide-ide baru
sehingga terbentuk suatu pemahaman metafisika yang baru. Jadi
sangat jelas bahwa ada tiga pondasi berdirinya pemikiran ini
diantaranya yaitu: intuisi intelektual, penalaran dan pembuktian

rasional, dan yang ketiga adalah agama dan wahyu.2 Di dalamnya


terlihat dengan jelas keterpaduan antara irfani, filsafat, dan agama.
Irfani sebagai hasil dari iluminasi yang didapatkan dari pensucian diri
dan jiwa dan pembuktian rasional dan filsafat terkait dengan Alquran
dan Hadis Nabi serta ajaran para Imam. Mulla Shadra berasumsi
bahwa untuk mencapai pengetahuan yang tinggi maka harus ada
konsep Kasyf yang ditopang oleh wahyu dan tidak bertentangan
dengan Burhani.3
Mulla Shadra dalam sejarah kehidupannya seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa dia merasa suatu kekosongan dalam dirinya
mengenai ilmu yang sejati, sehingga perlu baginya ada suatu konsep
Zauqh,

dan

Wijdan.

Mulla

Shadra

mengakui

bahwa

masalah

ketuhanan baru bisa dipahami setelah dasar-dasar pemikiran atau


konsep fundamentalnya dipahami lebih dulu, pemahaman ini bisa
dilalui dengan dua cara: Pertama melalui intuisi intelektual gerak
cepat dan yang kedua melalui pemahaman konseptual atau gerak
lambat. Para Nabi biasanya mendapatkan pengetahuan sejati melalui
proses pertama dan yang kedua biasanya dilakukan oleh para
ilmuwan, ahli pikir dan mereka yang menggunakan rasionalitas. 4
Mulla Shadra menginginkan ada penggabungan antara kedua metode
ini, agar dalam mendapatkan pengetahuan kita bisa mendapatkan
pengetahuan yang murni dan sejati.
Mulla Shadra menganggap bahwa pengetahuan yang diperoleh
melalui tingkat kewalian atau pewahyuan sekalipun tidak bisa
diterima oleh akal, namun harus diingat bahwa jika mengandalkan
akal semata maka pengetahuan semacam itu tidak bisa dijangkau.
Oleh karena itu baginya kita harus dapat membedakan sesuatu yang
2 Syaifan Nur, Filsafat wujud Mula Sadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.
122.

3 Ibid., h. 123.
4 Ibid., h. 124

tidak bisa dijangkau oleh akal dan yang mustahil bagi akal. Menurut
Shadra untuk mengukur sebuah kebenaran akal dan menghindari dari
kesalahan rasional maka kita sangat membutuhkan wahyu, oleh
sebab itu hikmah itu tidak bisa diterima jika tidak mendasarkanya
pada agama. Dan seseorang yang tidak mengetahui hakikat akan
segala sesuatu bukanlah seorang ahli hikmah bagi Mulla Shadra. 5
Bahwa

untuk

menemukan

kebenaran

kita

tidak

cukup

hanya

bersandar pada agama saja, akan tetapi kita harus melakukan


penyelidikan dan penalaran yang tinggi, sebab tidak ada tempat
kebenaran agama ataupun tempat bersandarnya kecuali hanya pada
penalaran tersebut yaitu akal.
Kemudian berbicara masalah akal maka kita juga tidak bisa
mengabaikan agama dan wahyu, sebab akal akan terbatas fungsinya
jika

tidak

dipadukan

dengan

wahyu.

Mulla

Shadra

berusaha

mengombinasikan keduanya tanpa meninggalkan salah satunya.


Inilah proses sintesa yang diberikan Mulla Shadra dalam pemikiranya,
sebab baginya agama yang benar tidak akan memberikan hukumhukum yang bertentangan dengan pengetahuan yang meyakinkan
dan pasti. Agama yang disertai dengan akal adalah cahaya di atas
cahaya.6 Dengan pemikiran semacam inilah maka Mulla Shadra
dikatakan

oleh

banyak

pemikir

Islam

sebagai

seorang

yang

mentransformasikan bentuk-bentuk pemikiran yang lama kedalam


pemikiran yang baru dan segar, bahkan pemikiran Mulla Shadra ini
banyak mendapat tanggapan positif dari berbagai filosofis muslim.
Kemudian dengan pemikiran ini maka Mulla Shadra berusaha
menjelaskan semua masalah dengan logis dan tidak bertentangan
dengan hati. Hal ini terbukti dengan rasionalitas yang ditunjukanya
demi membuktikan pengetahuan dari visi spiritualitas.

5 Ibid., h. 125
6 Ibid., h. 125

2. Prinsip Filsafat Mulla Shadra


Ada tiga prinsip filsafat Mulla Shadra, yang Pertama adalah
ketunggalan Wujud (wahdah al-wujud). Dalam membedakan antara
wujud dan realitas bahwa wujud adalah sumber yang sekaligus pusat
dari

semua

metafisika,

oleh

karena

itu

jika

seseorang

tidak

mengetahui masalah wujud maka dia pula tidak mengetahui masalah


metafisika secara keseluruhan. Dalam hal ini Mulla shadra telah
menetapkan

dua

proposisi

diantaranya

yaitu:

1.Wujud

tidak

memerlukan pembuktian, karena ia sudah terbukti dengan sendirinya.


2.Wujud tidak bisa didefinisikan. Kedua hal ini saling berkaitan satu
sama lain, sebab jika wujud tidak memerlukan pembuktian maka
wujud sangat janggal apabila didefinisikan. Bagi Mulla shadra
walaupun wujud bersifat pasti akan tetapi akal memahami konsep
wujud belum bisa secara universal.
Dalam penyelidikan Mulla Shadra, hakikat wujud menurutnya
terbagi menjadi dua pandangan: yang pertama Wujud yang lebih
abstrak dan yang kedua adalah Konseptual. Wujud dalam arti abstrak
adalah bahwa wujud itu terdapat pada semua yang maujud, sebab
wujud hanya menandakan keberadaan bagi yang maujud, apabila
wujud tidak ada dalam maujud maka kata keberadaan maujud juga
tidak

ada.

Kemudian

wujud

dalam

arti

konseptual

adalah

sebagaimana yang diakui oleh kaum parepatetisme bahwa wujud


pada hakikatnya adalah wujud dari sesuatu, dan tidak ada yang lebih
nyata selain wujud itu sendiri.7
Dalam pemahaman Mulla Shadra wujud merupakan sifat yang
umum pada seluruh yang ada, kemudian wujud yang ada itu berbedabeda. Wujud bagi Mulla Shadra tidak terdapat dalam fikiran karena
esensi wujud berada pada dunia eksternal, sebab jika wujud berada
pada fikiran maka berarti konsep ADA telah hilang, sementara

7 Ibid., h. 125

dalam pembahasan sebelumnya Mulla Shadra berasumsi bahwa


wujud menandakan tingkat keberadaan sesuatu.
Teori wahdah al-wujud mula-mula dicetuskan oleh Ibnu Arabi.
Teori yang diperkenalkan oleh Ibnu Arabi tersebut lebih bernuansa
sufistik daripada filosofis. Ibnu Arabi melihat tatanan wujud sebagai
penjelmaan (tajalliyat) dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan pada
cermin ketiadaan. Penafsiran terhadap teori ini kemudian diradikalkan
oleh Ibnu Sabin sebagai teori kesatuan wujud yang menyatakan
bahwa hanya Tuhan yang nyata dan yang selainnya hanyalah ilusi.
Mulla Shadra sendiri memahami teori ini dengan penghubungannya
antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi laiknya
cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu
sendiri. Cahaya-cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada
saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Menurut Seyyed
Hossein Nasr, wahdah al-wujud adalah batu fondasi metafisika filsafat
Shadra, tanpa fondasi itu seluruh pandangan dunianya akan rapuh.8
Permasalahannya, jika yang wujud hanyalah satu, apakah yang
terdapat pada Tuhan sama dengan apa yang ada pada manusia dan
benda/ kertas? Jika Tuhan sama dengan ada, manusia sama dengan
ada, dan kertas sama dengan ada, bisakah proposisi ini dibalik
menjadi ada sama dengan Tuhan dan seterusnya? Mulla Shadra
menyatakan bahwa ada itu adalah setara dan sama bagi semua
benda, baik yang konkrit maupun yang abstrak. Kendati demikian,
adanya Tuhan adalah murni sedangkan adanya yang lain telah
bercampur dengan esensi. Hal ini bisa dipahami karena menurut
Shadra, semakin sempurna suatu wujud, semakin sedikit esensi yang
ditunjukkannya.9
Sedangkan prinsip kedua adalah Ambiguitas Wujud (tasykik alwujud). Wujud tidak satu tetapi bersifat hierarki membentang dari
yang tertinggi kepada yang lebih rendah.
Mulla Shadra mengambil teori illuminisme tentang pembedaan
dan gradasi. Teori ini menyatakan bahwa segala sesuatu dapat
8 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, 2003), h. 916

9 Fazlur Rahman, Filsafat Shadra (Bandung: Pustaka), h. 39

dibedakan melalui sesuatu yang juga menyatukan mereka. Misalkan


cahaya matahari dan cahaya lampu disatukan oleh cahaya, tetapi
satu sama lainnya dibedakan oleh intensitas yang ada dalam cahaya
masing-masing. Namun berbeda dengan illuminisme yang mengalami
graditas dalam esensi, Mulla Shadra menempatkan graditas tersebut
pada eksistensi.10
Fazlur

Rahman

menyatakan

keambiguitasan

wujud

yang

bersifat sistematis tadi berarti:


1) Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada
dasarnya sama, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan
makhluk

yang

mumkin

adalah

sama

dari

sisi

predikat

eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara


benda-benda dalam titik wujud, maka istilah wujud sama
sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak menjadi
ambigu atau analog, tetapi perbedaan yang mencolok,
2) Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaanperbedaan mendasar yang membuat setiap maujud unik,
3) Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dan
dilamapaui oleh bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah
Shadra sendiri, basitul haqiqah kullu syai (bahwa wujud yang
bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh
entitas yang disebut sesuatu.)11
Sedangkan Prinsip ketiga adalah ashalah al-wujud (keisimewaan
wujud). Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari
segala

yang

ada.

Lawan

darinya

adalah

ashalah

al-Mahiyah

(keistimewaan esensi) yang mengatakan bahwa esensilah yang


prinsip, sementara wujud sekadar asumsi akal. Perdebatan mengenai
masalah

ini

sebenarnya

mulai

merebak

semenjak

Ibnu

Sina

10 Ibid., h. 45-49
11 Fazlur Rahman, Filsafat Shadra (Bandung: Pustaka), h. 48-49. Lihat juga Jurnal alHuda Vol. III. No. 1. 2003 pada tulisan dengan judul Filsafat Wujud.

mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi


(wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua
realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud
(eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud
(eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah
(quiditas).12
Untuk memahami ashalah al-wujud ini perlu melihat kembali
kepada polemik yang berkembang dalam tradisi filsafat sejak Yunani
dan juga pada filsafat Islam secara khusus. Dalam filsafat Islam ada
perbedaan antara wujud dengan mahiyah. Segala sesuatu selalu
tersusun dari dua komponen ini yaitu wujud dan mahiyah. Wujud
sebagaimana telah disinggung adalah kategori paling umum dan
universal yaitu keberadaan sesuatu sebagai yang ada, sedangkan
mahiyah adalah bentuk yang membuat segala sesuatu berbeda
dengan sesuatu yang lain.
Pemikiran Islam terpecah menjadi dua kelompok yaitu mereka
yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang pokok, sedangkan wujud
adalah skunder dan merupakan hasil abstraksi pikiran atau konsep.
Dan

kelompok

yang

lain

mengatakan

bahwa

wujudlah

yang

fundamental secara ontologi sedangkan mahiyat adalah skunder dan


merupakan hasil konseptualiasi atau abstraksi pikiran semata.
Kelompok pertama yaitu mereka yang mengutamakan ashalah
al-mahiyah antara lain adalah guru dari Shadra sendiri yaitu Mir
Daman dan juga Syuhrawardi, sedangkan pandangan yang kedua
yaitu ashalah al-wujud diwakili oleh Ibnu Sina dan para filsuf
paripatetik

lainnya.

Adapun

Shadra

pada

awal

perjalanan

intelektualnya mengikuti pandangan yang pertama 13 dan pada akhir

12 Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003
13 Seyyed Hosen Nashr (edt), Ensiklopedi Tematik , h. 917-918

perjalanannya setelah mencapai pencerahan spiritual ia cenderung


memilih kepada pandangan mengenai ashalah al-wujud.
B. Tokoh dan Karya Monumental
1. Biografi dan Pendidikannya
Nama

lengkapnya

adalah

Muhammad

bin

Ibrahim

Yahya

Qawami Syirazi, sering dipanggil dengan julukan Shadruddin AsySyirazi atau Mulla Shadra atau Shadra. Di kalangan muridnya, dia
lebih dikenal sebagai Shadr Al-Mutaallihin. Ia dinamakan dengan
julukan itu karena ketinggian pengetahuannya tentang Hikmah. 14 Ia
dilahirkan di Syiraz yaitu sebuah kota yang paling terkenal di Iran,
dikawasan sekitar Persepolis tahun 979/980 H atau 1571/1572 M.
Ayahnya bernama Ibrahim bin Yahya, ayahnya adalah seorang
bangsawan terhormat di kota tersebut.
Sejak masih anak-anak, Mulla Shadra telah menunjukkan tandatanda kepintarannya. Hal ini cukup lumrah diterima, karena ia berasal
dari keluarga yang sangat mampu, sehingga ia memperoleh fasilitas
belajar yang cukup memadai.
Tidak lama di Syiraz ia pindah ke Isfahan, sebuah kota pusat
kebudayaan yang penting pada masa itu dan melanjutkan studinya
pada Mir Damad Mir Abul Qasim Fendereksi (w. 1640 M). Lalu
akhirnya ia kembali ke Syiraz sebagai guru pada sebuah Sekolah
Agama yang didirikan oleh Gubernur Propinsi Fars. Ia telah berziarah
tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan iapun wafat di
Basharah pada tengah perjalanannya sepulang naik haji yang ketujuh
kalinya pada tahun 1641 M.15
Aliran Hikmah Mutaaliah didirikan oleh Mulla Shadra pada era
kekuasaan dinasti safawi (1501-1736 M), sebuah dinasti berasaskan
14 Dalam Madzhab Isyraq (Shadra), ketinggian ilmu pengetahuan seseorang
tentang hikmah akan diberi gelar hakim Al-Mutaallih yang berarti seorang filsuf
atau ahli hikmah yang sudah menjadi seperti Tuhan, lihat, Syaifun Nur, Mulla
Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Mutaaliyah (Jakarta: Teraju, 2003), h. 3

15 A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 336

ajaran Syiah 12 Imam. Sebagai pendiri, adalah sangat layak


diketahui tentang kehidupan pendiri aliran ini, yaitu Mulla Shadra.16
2. Karya monumental Mulla Shadra
Karya tulis yang dibuat oleh Mulla Shadra lebih dari 20 karya,
antara lain sebagai berikut:
1) Al-Hikmah Al-Mutaaliyah fi Asfar Al-Aqliyah Al-Arbaah
Kitab ini merupakan karya monumental karena menjadi dasar
bagi

karya

pendeknya,

juga

menjadi

risalah

pemikiran

pasca

Avicennian pada umumnya. Kitab ini juga menjelaskan pengembaraan


intelektual dan spritual manusia ke hadirat Tuhan. Selain itu, kitab ini
juga memuat hampir semua persoalan yang berkaitan dengan
wacana pemikiran dalam Islam; ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat.
Penyajian

menggunakan

pendekatan

morfologis,

metafisis,

dan

historis. Hingga saat ini, kitab Asfar digunakan sebagai teks-teks


tertinggi dalam memahami hikmah.
2) Al-Hasyr (tentang kebangkitan).
Kitab ini terdiri atas delapan Bab yang menjelaskan hari
kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan, benda materi, manusia, dan
tumbuhan akan kembali kepada-Nya.
3) Al Hikmah Al Arsyiyah (hikmah yang diturunkan dari Arsy
Ilahi).
Kitab ini menjelaskan Tuhan dan kebangkitan (resurrection) dan
kehidupan manusia setelah mati.
4) Huduts Al-Alam (penciptaan alam).
Kitab ini membicarakan asal-muasal penciptaan alam dan
kejadiaanya

dalam

waktu

berlandaskan

atas

al-Harakah

al-

Jauhariyyah dan penolakan atas pemikiran Mir Damad.17


16 Djafar dan Jafar, Jejak Langkah Intelektual Islam (Medan: IAIN PRESS,
2010), h. 128
17 Mir Damad (w. 1631 M) pendiri mazhab Isfahan adalah gurunya Mulla
Shadra, yang telah mampu mengharmoniskan antara peripatetisme dan
illuminasionisme.

10

5) Kasr

Al-Ashnam

Al-Jahiliyah

fi

Dhaimni

al-Mutashawifin

(pemusnahan berhala jahiliyah dalam mendebati mereka yang


berpura-pura menjadi ahli sufi).
Mutashawifin dalam kitab ini adalah mereka yang berpura-pura
menjadi sufi dan meningkatkan syariat.
6) Kalq Al-Amal
Kitab ini membicarakan sifat kejadian perbuatan manusia,
kebebasan atau ketentuan atas tindakan manusia.
7)

Al-Lamaah

Al-Masyiriqiyyah

Fi

Al-Funun

Al-Mantiqiyah

(percikan cahaya Illuminasionis dalam seni logika).


Kitab ini terdiri atas sembilan Bab, dan merupakan modifikasi
dari Hikmat Al-Isyraq-nya Suhrawardi.
8) Al-Mabdawa Al-Maad (permulaan dan pengembalian).
Kitab

ini

berisikan

tentang

metafisika,

kosmologi,

dan

eskatologi.
9) Mafatih Al-Ghaib (kunci alam ghaib).
Kitab ini tersusun setelah Mulla Shadra berhasil mencapai
puncak kematangan ilmu, berisikan doktrin tentang metafisika,
kosmologi, dan eskatologi yang berlandaskan atas dalil-dalil naqli.
10)

Kitab Al-Masyair (kitab penembusan metafisika).

Kitab ini menjelaskan teori ontologi yang sangat ringkas.


11)

Al-Mizaj (tentang perilaku persaan)

Kitab ini membicarakan perilaku akibat dari bawaan, perangai,


dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa.
12)

Mutasyabihat Al-Quran (ayat-ayat mutasyabihat dalam

Al-Quran)
Kitab membicarakan ayat-ayat Quran yang sukar dipahami dan
metaforis dari sudut gnosis.
13)

Al-Qadha wa Al-Qadar fi Afali Al-Basyar (tentang masalah

Qadha dan Qadar dalam perbuatan manusia).


Kitab

ini

membahas

tentang

ketetapan,

kebebasan,

dan

bagaimana pemberian iIlahi dapat dilihat dari kacamata manusia.

11

14)

Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Sulukiyah

(penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan rohani).


Kitab ringkasan doktrin-doktrin Mulla Shadra yang paling
lengkap yang ditulis berdasarkan tinjauan gnosis. 18 Di antara karyakarya yang disebutkan ini ada yang beberapa yang berbahasa Persia
dan yang lainnya berbahasa Arab. Di samping itu masih banyak karya
yang dinisbahkan kepada beliau, akan tetapi masih dalam perdebatan
dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
orisinalitasnya.19
C. Jejak transdentalisme dalam pemikiran pendidikan Islam
Para penguasa dinasti Safawi menjadikan mazhab Syiah
Imamiyah sebagai mazhab resmi negara. Sebelum tanah Persia
dikuasai oleh dinasti Safawi, penduduk Persia menganut aliran Sunni,
bahkan ketika dinasti ini telah berkuasa, mayoritas penduduk Persia
masih menganut mazhab ini. Fakta ini membuat para penguasa
dinasti Safawi menempuh kebijakan Syiahisasi secara besar-besaran.
Untuk mendukung kebijakan ini, mereka mengundang para ulama
Syiah dari wilayah Irak, Libanon, Syiria, Arabia Utara dan Bahrain.
Para ulama tersebut diharapkan dapat mempercepat proses konversi
mazhab muslim Persia, dari Sunni ke Syiah. Mereka juga menekan
kegiatan-kegiatan mazhab-mazhab non syiah, sehingga mazhabmazhab itu semakin melemah.20
Para filsuf Muslim Syiah Imamiyah sebagaimana disebut di
atas, telah berjasa besar mengembangkan tradisi intelektual di dunia
Islam, khususnya di Persia, Iraq dan anak benua India. Pemikiran para
18 Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 93-95

19 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadar (Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2001), h.
58.

20 Djafar dan Jafar, Jejak Langkah Intelektual Islam... h. 130

12

filsuf di atas banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Mulla Shadra. Hal


ini menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Mulla Shadra memberikan
pengaruh sangat besar bagi dinamika intelektual di Persia, Iraq dan
anak benua India.21
Meskipun dinamikan tradisi intelektual Islam modern didominasi
oleh aliran filsafat Hikmah Mutaaliyah, namun aliran-aliran filsafat
Islam

lainnya

seperti

teologi,

paripatetisme,

gnosisme,

dan

illuminasionisme, sebenarnya masih tetap terus dikembangkan secara


signifikan. Pernyataan ini lahir didasarkan pada alasan bahwa filsafat
Hikmah Mutaaliyah lahir sebagai aliran gabungan antara berbagai
aliran filsafat di atas.22
Aliran Hikmah Mutaaliyah disebut sebagai aliran filsafat Islam
terbesar. Sebab aliran ini sukses memadukan syariat, kalam,
paripatetisme, tasawuf, dan illuminasionisme secara sistematis dan
komprehensif. Keberhasilan ini menjadikan aliran ini sangat layak
disebut sebagai aliran filsafat Islam terbesar. Bahkan filsafat Islam
belakangan berada di bawah bayang-banyang aliran ini.
Bisa disimpulkan bahwa filsafat Mulla Shadra berkembang
secara signifikan di Iran, Irak, dan anak benua India searus dengan
perkembangan aliran filsafat Islam lainnya di tiga kawasan itu. Bahwa
para pemikir syiah menjadi pelestari utama kelima aliran filsafat
islam tersebut.
Tradisi filsafat Islam bekembang di kawasan lain seperti Turki,
Mesir, Pakistan, Dunia Arab, Asia Tenggara, dan lain-lain. Namun
demikian filsafat Islam di sejumlah kawasan ini tidak sehebat
dinamika filsafat Islam di Iran, Iraq, dan anak benua India. Dalam
konteks Iran, negeri ini dikenal sebagai basis utama filsafat Islam
sepanjang sejarah intelektual Islam. Sebab itu pulalah sejarahnya
21 Jafar, Warisan Filsafat Nusantara (Banda Aceh: PeNa, 2010), h. 80
22 Ibid., h. 81

13

cenderung diabaikan. Kendati begitu, kenyataan ini menjadi kuat


bahwa filsafat Islam masih terus hidup.
Pada periode dinasti Pahlevi, kota Qom telah menjadi pusat
studi filsafat Mulla Shadra. Sejumlah filsuf madzhab Qom ini
diataranya adalah Sayyid Muhammad Husain Thabathabai (w. 1981
M), Imam Khomeini (w. 1989 M), Murtadha Muthahhari (w. 1979 M).
Pada periode Pemerintahan Republik Iran yang sejak tahun 1979
didirikan, tradisi filsafat Hikmah Mutaaliyah terus dilestarikan oleh
para filsuf Iran. Pada masa kini, kota Qom dan kota Masyhad menjadi
dua kota penting penghasil para filosof muslim kontemporer. Misalnya
Jalaluddin Asytiyani (w. 2005 M) dan lainnya hingga pada saat ini kota
Qom menjadi pusat studi syiah di seluruh dunia.23

BAB III
KESIMPULAN

23 Djafar dan Jafar Jejak, Langkah Intelektual Islam... h. 142.

14

Konsep wujud dan gerak merupakan term kunci yang menjadi


bahan

pertarungan

filosofis

sejak

zaman

Yunani

Kuno

hingga

postmodern. Dalam pergumulan filsafat Islam, kedua terma ini


menemukan

momentumnya

konsep Trancendent
sebutan Hikmah

di

tangan

Theosophy-nya

Mutaaliyah.

atau

Konsep

Mulla

Shadra

dengan

juga

dikenal

dengan

tersebut,

secara

ontologis

didasarkan atas tiga hal: prinsip wujud, gradasi wujud, dan gerak
substansial.
Dari paparan makalah

di atas dapat disimpulkan beberapa

hal. Pertama, semesta ini, menurut Shadra, bukan hanya ilusi tetapi
benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan.
Namun, ia tidak menyimpulkan sebagai wahdatul wujud, tetapi
mengajukan tasykik

al-wujud sebagai

solusinya,

yakni

bahwa

eksistensi ini mempunyai gradasi yang kontinu.


Kedua,

berbeda

dengan

para

filosof

sebelumnya

yang

menganggap spesies sebagai sesuatu yang tetap, dalam pandangan


Shadra, justru terjadi perubahan terus-menerus, sehingga sebuah
batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan
seterusnya, yang sekarang dikenal dengan teori evolusionisme.

15

DAFTAR PUSTAKA

Blackburn Simon. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


2013.
Dedi, Supriadi. Pengantar Filsafat Islam Konsep. Filosof dan
Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Djafar. Jafar. Jejak Langkah Intelektual Islam. Medan: IAIN Press.
2010.
Hossein Nasr Seyyed dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi tematis
filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003.
Jafar. Warisan Filsafat Nusantara. Banda Aceh: PeNa. 2010.
Mustafa A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1999.
Nur Saifan. Filsafat Wujud Mulla Sadra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2002.
Nur

Saifan. Mulla Shadra: Pendiri Mazhab


Mutaaliyah. Jakarta: Teraju. 2003.

Al-Hikmah

Al-

Rahman Fazlur. Filsafat Shadra. Bandung: Pustaka.


Sahab Husein. Filsafat Wujud. Jurnal al-Huda: Vol. III. No. 1. 2003.

16

Anda mungkin juga menyukai