Abdul Hadi W. M.
1
Khalifa Abdul Hakim misalnya menyebutkan persamaan-persamaan tersebut, bahwa pada
umumnya para mistikus mempunyai pandangan mirip dalam hal: (1) Hakikat wujud tunggal atau
satu; (2) Semua fenomena merupakan aspek dari Hakikat yang sama dan setiap fenomena menuju
pada hakikat yang sama pula; (3) Karena semua wujud fenomenal berasal dari hakikat terakhir, maka
mereka mengembalikan mereka kepada sumber asal yang sama; (4) Hakikat wujud memang dapat
diresapi dengan nalar dalam peringkat yang tinggi, membuktikan bahwa nalar bersifat komprehensif,
tidak parsial; (5) Pengetahuan tentang yang hakiki tidak dapat dicerap melalui logika, pengamatan
batinlah yang merupakan pembimbing terbaik untuk menyerapnya; (6) Tujuan utama kehidupan ialah
bagaimana seseorang dapat meresapi Hakikat pengalaman ruhani, sebab hanya dengan demikian
jiwa seseorang dapat bersatu kembali dengan Sang Hakikat; (7) Penglihatan batin disebut Cinta.
Pengetahuan tentang Hakikat melekat dalam Cinta; (8) Cinta yang demikian itulah yang merupakan
sumber utama semua bentuk moralitas keagamaan dan adab yang tinggi. Tanpa cinta , semua
agama dan moralitas akan menjadi formal dan mekanis. Tanpa Cinta pula pikiran akan tetap berada
dalam kegelapan. Lihat Khalifa Abdul Hakim Rumi, Nietzsche and Iqbal dalam Iqbal as a Thinker
by Eminent Scholar (Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1973;187-210) Tentang persamaan antara
pengalaman mistik dalam tradisi keagamaan apa pun, F. C. Happold antara lain menyebutkan: (1)
Pengalaman mistik tak terlukiskan, sukar diuraikan dengan kata-kata; (2) Walau bersifat perasaan,
namun mengandung unsur pengetahuan dan bersifat noetic, membuat orang merasakan kesadaran
mendalam tentang wujud dan memiliki keyakinan mendalam (haqq al-yaqin); (3) Walau berlangsung
singkat, namun memberikan pencerahan batin; (4) Jiwa yang menerima pengalaman ini tidak
memiliki persiapan dan pasif, seakan-akan dikuasai kekuatan di luar diri; (5) Orang yang
mengalaminya merasakan hadirnya kesadaran akan Kesatuann Wujud dari segala sesuatu yang
berbagai-bagai. Semua dalam Yang Satu, Yang Satu dalam semua; (6) Jiwa merasakan hidup di
luar waktu; (7) Diliputi perasaan kesatuan dan persatuan dengan Sang Wujud; (8) Para mistikus
2
Pengelompokan ini bersifat longgar. Lihat Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf
(Kelantan, Pustaka Aman Press Sdn. Bhd., 1977:272-294). Dengan melihat pokok yang ditekankan
oleh masing-masing Sufi, Abu Bakar Atjeh juga mengelompokkan tasawuf ke dalam tiga jenis:
Tasawuf Akidah, Tasawuf Tarekat dan Tasawuf Falsafah. Bayazid al-Bhistami, Sahl al-
Tustari,Muhasibi dan Mansur al-Hallaj dimasukkan ke dalam kelompok Sufi Akidah.
199
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
200
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
3
Sayyid Naimuddin misalnya mengatakan, Love (`ishq)...is claimed by the mystics of Islam to
provide an effective safeguard against barren intellectualism....It is the only means of becoming
aware of our inner selves and the Supreme Self (God). The intuitio of Bergson and the `ishq of Rumi
and Iqbal are all endeavours to get directly at the heart of things. The importance of love and its
superiority over reason has been the recurring
Lebih jauh theme
paraof Sufi poetry in Persian
mistikus from the bahwa
menyadari beginning to
the present day. For both (Rumi and Iqbal) religion is not mere profession of a creed; it is a way of
pengetahuan intuitif
life, as awakening of thetidak
self ordapat
spirit of dicapai
men. Lihattanpa dasar-dasar
Sayyid Naimuddin keimanan
The Concept yang
of Love in Rumi
and Iqbal. Dalam Islamic Culture
201
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
202
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
dan meliputi, dan hanya yang lebih tinggi dapat mencakup dan meliputi
(Nasr, 1983:15)
Lalu apakah mistisisme atau tasawuf secara umum? Abu Wafaal-
Taftazani (1985:6) mengemukakan, Ia adalah falsafah hidup yang
dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral
melalui latihan keruhanian tertentu, kadang-kadang untuk menyatakan
pemenuhan keadaan fana(napusnya nafs atau ego rendah) dalam Hakikat
Tertinggi, serta pengenalan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional,
yang buahnya ialah kebahagiaan ruhaniah, yang hakikatnya sukar diungkap
dengan kata-kata biasa...
Dalam kaitan ini Shah Nikmatullah Wali sufi Persia abad ke-14
dan pendiri tarikat Nikmatullah mengatakan bahwa akal dan intuisi, yaitu
cinta, merupakan dua sayap dari burung jiwa yang sama dalam mencapai
kebenaran. Hanya saja peranannya berbeda:
203
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
Tuhan dimungkinkan dan yang hanya dengan cara itu manusia dapat
mencapai peringkat ahsan taqwim (keadaan terbaik), menjadi alamat Nama-
nama dan sifat-sifat Tuhan. Inilah unsur-unsur tasawuf yang langgeng
sebagaimana unsur-unsur setiap mistisisme yang sejati. Tujuan akhirnya
ialah Tuhan, awal keberangkatannya ialah manusia dalam keadaan
rendahnya dan jalan tasawuflah yang menghubungkan manusia dengan
Tuhan, yang merupakan asal-usul keruhaniannya.
Jalan keruhanian atau tasawuf yang dimaksud Nasr ialah Jalan
Cinta, sebab hanya Cinta yang dapat menghubungkan jiwa seorang pencari
(talib) dengan Yang Dicari, yang hakikatnya bersifat keruhanian.
Persamaan lain dari semua bentuk mistisisme keagamaan, selain
kecenderungan terhadap faham keesaan wujud, ialah anggapan bahwa
dalam diri manusia ada dua diri(self), yaitu diri khayali(ego rendah, nafs)
dan diri hakiki(khudi, menurut Iqbal).
Ego atau nafs bukan diri hakiki, sebab keberadaannya tergantung
pada tubuh dan obyek-obyek material. Ia merupakan sasaran perubahan,
pelapukan dan pembusukan, dan merupakan bagiandari segala sesuatu
yang akan binasa karena ia adalah selain dari wajah-Nya. Dalam
mistisisme Hindu atau Vedanta Darsana, diri hakiki disebut atman. Ia
adalah jiwa yang kekal, tidak berubah dan tidak terikat ruang dan waktu,
serta bebas dari hal-hal yang bersifat material atau maya. Karena itu dalam
Vendata, kesaksian bahwa Brahman dan Atman itu esa dipandang
sebagai bentuk pengetahuan tertinggi dan sejati.
Dalam mistisisme Kristen, diri hakikidalam bahasa Inggris disebut
dengan berbagai istilah seperti the sparks, the centre, apex of soul, the
ground of spirit. Istilah the ground of spirit dapat disamakan dengan istilah
medan yang qadimdalam tasawuf Melayu. Dalam tasawuf Melayu pula diri
hakikidisebut diri kuntu kanzan, artinya diri dari perbendaharaan atau ilmu
Tuhan yang tersembunyi, yang di dalamnya terbentang rahasia ketuhanan
(sirr Allah).
204
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
205
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
edisi C. de B. Evans yang terbit di Inggris pada tahun 1924. Karya tulisnya
dalam bahasa Jerman dijumpai antara lain dalam buku Meister Eckharts
lateinische Schriften, suntingan Denifle dan terbit pertama kali pada tahun
1816.
Eckhart juga menyampaikan ajaran mistiknya dalam berbagai
halaqah falsafah dan mistisisme di berbagai kota di Jerman. Pada mulanya
ajarannya dianggap moderat. Tetapi pada masa tuanya ajaran mistiknya
dianggap melampaui batas, sehingga mengundang amarah penguasa
Gereja Katholik. Dia dituduh murtad dan menganut faham pantheisme, yang
bertentangan dengan teologi Kristen. Tetapi pengkafiran terhadap dirinya
tidak membuat pengaruhnya surut (Underhill, 1911:463).
Rudolf Otto (1932) dan F.C. Happold (1960:43) memasukkan ajaran
Eckhart ke dalam mistisisme pengetahuan dan pemahaman. Mistisisme
pengetahuan muncul dari dorongan yang lekat pada diri manusia, yaitu
hasrat menemukan rahasia alam semesta, dan menyerapnya tidak secara
parsial melainkan secara keseluruhan. Pengelompokan ini terkait dengan
kenyataan bahwa mistisisme ditakrif sebagai hikmah dan pengetahuan
eksperimental tentang Tuhan, sebagaimana telah dikemukakan, yaitu
pengetahuan berdasarkan pengalaman langsung atau intuitif tentangnya.
Di lain hal, seperti ajaran Sankara seorang filosof-mistikus Hindu
abad ke-9 M dari aliran advaita (monisme tak bersyarat), ajaran Eckhart
juga dikelompokkan ke dalam perpaduan mistisisme-jiwa dan mistisisme-
Tuhan. Dalam mistisisme-Tuhan dan mistisisme-jiwa, yang ditekankan ialah
sifat-sifat terpendam jiwa yang mulia dan keagungannya sebagai kekal.
Eckhart, seperti Sankara, percaya bahwa bilamana watak jiwa (atman) yang
mutlak dapat dibebaskan dari segala sesuatu yang tak berjiwa, atau apabila
jiwa sanggup menjelmakan wujudnya dalam pengetahuan-diridan terbebas
dari rasa keakuan yang sempit dan dunia, maka ia akan mencapai
kekekalan dan dapat menyatu dengan Yang Satu, Yang Awal, Yang Kekal
dan Tak Terhingga (Happold
206
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
Menurut Sri Sankara, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah
Brahman. Perbedaan dan kemajemukan adalah khayalan semata. Atman
(jiwa) adalah sang diri yang nyata, merupakan dasar segala jenis
pengetahuan, dugaan dan pembuktian. Ia merupakan diri yang ada di luar, di
depan, di belakang, kanan, kiri, atas dan bawah. Brahman, yang tidak dapat
diuraikan, mengatasi segala sesuatu (adrsta). Dia meliputi segala sesuatu,
tak terhingga, ada dengan sendirinya, kesenangan itu sendiri dan hakikat
dari yang mengetahui. Ia memiliki rupanya sendiri (svarupa) (Hiriyanna,
1994:343-345).
Sankara membedakan antara Brahman, Tuhan Tertinggi, dan Isvara
, 1960:44).
sebagai Tuhan sang Pencipta. Brahman
207
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
208
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
Tuhan memiliki rupa dan dhat tersendiri; rupanya berkembang dari dhat-
Nya dan menurut gambaran rupa inilah Dia membentuk segala sesuatu
yang menjadi. Tetapi kodrat Tuhan yang sederhana ialah dapat disebut
bentuk yang tak berbentuk, atau sebutlah menjadi namun tidak menjadi.
Karena itu Dia bebas dari segala sesuatu yang menjadi dan semua hal
pada akhirnya binasa. Dia benar-benar Ahad, tak tertampung pikiran
dari segala suatu yang bersifat kuantitatif dan tidak pula dapat dibeda-
bedakan
(Ibid 15).
Karena Deitas (Tuhan sebagai Dhat Maha Tinggi) yang tak bernama dan
semua yang diberi nama asing bagi-Nya, begitu pula jiwa (al-ruh) tidak
bernama. Keadaan ruh sama dengan Tuhan.
(Ibid 15)
209
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
Tidak ada kelas substansi dapat dikenakan terhadap Deitas, tidak ada
genus commune. Ia tidak dapat dirujuk dengan kata-kata, seperti halnya
wujud dalam arti biasa menandakan sebuah katagori benda-benda.
Tidak dapat pula ia dirujuk kepada sifat, karena ia tanpa sifat: belum
diketahui oleh aktivitas, karena ia tanpa aktivitas seperti difirmankan
dalam kitab suci Tuhan bisa dirujuk melalui hubungan Dia adalah
dirinya sendiri semata. Karena itu benar bahwa ia tidak dapat ditakrifkan
dengan perkataan dan ide; Dia adalah Ahad sebagaimana kitab Injil
mengatakan.
210
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
itself its own object, and is itself ever the same, lives and is only in itself.
(Ibid).
Adapun pandangan Eckhart mengenai pengetahuan intuitif, dan
perbedaannya dengan pengetahuan rasional dapat disimak melalui
pernyataannya:
its nature is Reason. Or: The living essential absolutely real Reason, which is
211
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
212
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
dengan cara yang benar dapat membuat seseorang bahagia, bebas dari
kungkungan dunia dan memiliki pengetahuan luas tentang Tuhan dan
manusia. Tenaga tersembunyi itu disebut `isyq-i ilahi (Cinta Ilahi) (Afzal
Iqbal, 1978:111-5)
Rumi mengungkapkan gagasan tasawufnya dalam puisi, prosa puisi,
khotbah dan dialog. Karya tasawufnya sangat melimpah dan di antara yang
masyhur ialah Diwan-i Shamsi Tabriz (Sajak-sajak Pujian kepada Syamsi
Tabriz), Matsnawi-i Ma`nawi (Prosa Berirama tentang Makna-makna),
Rubaiyat (kumpulan sajak-sajak empat baris), Fihi Ma Fihi (Di Dalam Ada
Seperti Yang Di Dalam), Makatib (kumpulan surat-surat Rumi kepada para
sahabatnya) dan Majalis-i Sab`ah (himpunan khotbah Rumi di measjid-
mesjid dan halaqah keagamaan).
F. C. Happold (1960) memasukkan Rumi sebagai tokoh terkemuka
mistisisme cinta dan persatuan mistik. Mistisisme jenis ini berusaha
membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, melalui
jalan persatuan dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan
memberi kepuasan kepada jiwa. Merasa sepi, mistikus cinta berusaha
menanggalkan diri khayali atau ego rendah (nafs) dan pergi menuju Diri
yang lebih agung, Diri Sejati dan Hakiki. Menurut pandangan mistikus cinta,
manusia adalah makhluq yang paling mampu menyadari individualitasnya.
Pada saat yang sama manusia mampu berperan serta dalam segala sesuatu
melalui pikiran, perasaan dan imaginasinya. Tujuan mistisisme cinta ialah
melakukan perjalanan ruhani menuju Diri Hakiki dan kebakaan, di mana
Yang Satu bersemayam.
Rumi berpendapat bahwa seseorang yang ingin memahami
kehidupan dan asal usul ketuhanan dari dirinya, ia dapat melakukannya
melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui Jalan Pengetahuan. Cinta
adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah
keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi
mendalam
malahan dan mengamalkannya
menyamakan dalampengetahuan
cinta dengan kehidupan, intuitif.
Rumi sadar
Secarabahwa
teologis,
dalam
cintadiri manusia
diberi maknaterdapat
keimanan,tenaga tersembunyi,
yang hasilnya yang al-yaqin
ialah haqq jika digunakan
213
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
yang penuh kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan
perputaran alam semesta. Cinta sejati, kata Rumi, dapat membawa
seseorang mengenal alam hakikat yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk
lahiriah kehidupan. Karena cinta dapat membawa kita menuju kebenaran
tertinggi, Rumi berpendapat cintalah sebenarnya yang merupakan sarana
terpenting dalam menstransendensikan dirinya. Cintalah sayap yang
membuatnya dapat terbang tinggi menuju Yang Satu (Sayyid Naimuddin,
1968). Dalam Divan Syams-i Tabriz Rumi berujar antara lain:
(Nicholson, 1952:138-9)
Seperti halnya sufi yang lain, khususnya al-Nuri dan al-Hallaj, Rumi
meyakini bahwa Cinta (`isyq) merupakan rahasia ketuhanan (sirr Allah) atau
rahasia penciptaan (sirr al-khalq). Karena itu Cinta juga merupakan rahasia
makhluk-makhluk-Nya, yang dalam diri manusia merupakan potensi ruhani
yang dapat mengangkatnya naik ke hirarki tertinggi penciptaan. Mereka juga
yakin bahwa pengalaman mistik dapat membersihkan penglihatan kalbu,
sehingga kalbu dapat menyaksikan bahwa Wujud hakiki adalah satu, sedang
, keyakinan
214
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
215
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
pada mereka yang mau menerima petunjuk-Nya (Fihi Ma Fihi, 238; Sayyid
Naimuddin, 1968).
Melalui pernyataan Rumi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan
yang ingin dicapai para sufi melalui jalan Cinta ialah mengenal Tuhan
sebagai Wujud Hakiki yang meliputi semua wujud. Inilah yang disebut
ma`rifa (makrifat). Tetapi mengenal saja tidak cukup. Yang lebih penting lagi
ialah merasakan kehadiran-Nya dalam segala sesuatu, dalam segenap
peristiwa, dalam kehidupan pribadi, dengan maksud dapat merealisasikan
persatuan dengan-Nya dalam semua aspek kehidupan. Tujuan lain yang tak
kalah penting dari jalan Cinta ialah mengenal hakikat diriatau diri kita yang
sebenarnya.
Mengenai keadaan jiwa seorang yang sedang menempuh jalan
Cinta, Rumi mengatakan dalam Divan-i Syamsi Tabriz, lebih kurang sebagai
berikut:
Nya ingin dijelmakan agar supaya cinta dan hikmah-Nya dapat dinyatakan
216
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
217
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
(Nicholson, 1950:107)
Adapun pandangan Rumi bahwa Cinta dan persatuan mistik
berkaitan erat, dapat dibandingkan dengan pernyataan al-Hallaj. Dalam
sajaknya berikut ini secara tersirat al-Hallaj menunjukkan bahwa Cinta
memiliki kekuatan transformatif, dalam arti mampu merubah atau
membalikkan kesadaran seseorang terhadap rasa keakuannya yang picik
menjadi rasa keakuan universal. Kesadaran batin seorang sufi yang tercerap
oleh keberadaan mutlak Sang Wujud akan berubah. Dalam lubuk kesadaran
batinnya. Ia merasakan dirinya lenyap dan tempatnya dalam hati diganti oleh
Yang Satu. Al-Hallaj menulis:
Aku adalah Dia yang kucinta, dan Dia yang kucinta adalah aku
Kami dua jiwa bersemayam dalam satu badan
Kalau kau memandangku, kau memandang-Nya pula.
Kalau kau memandang-Nya, kau memandang kami pula.
218
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
yang terpendam itu ialah zikir, musik dan nyanyian. Melalui ekstase (wajd)
ditimbulkan oleh nada musik yang indah, cinta yang tidur lelap dalam hati
akan bangun kembali dan membentangkan sayapnya kembali untuk
membawa jiwa naik ke alam yang lebih tinggi. Bagi Rumi, musik keruhanian
(sama) merupakan sarana tanzih (transendensi) yang ampuh. Selain itu ia
berperan sebagai pembebasan jiwa dari sesuatu yang material melalui
sesuatu yang material itu sendiri (tajarrud).
Bunyi dan nada berasal dari dunia material, tetapi keindahan lagu
yang mengalun darinya berasal dari alam transcendental. Melalui musiklah
jiwa mengenal kembali asal-usul keruhaniannya. Rumi melukiskan dengan
indah dalam mukadimah kitabnya Mattsnawi:
219
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
(Ibid 43)
Demikianlah pencarian Rumi terhadap Hakikat Wujud. Melalui jalan
Cinta yang berliku-liku dan lama dia akhirnya mencapai makrifat atau
pengetahuan mendalam tentang wujud dan keesaan wujud. Tetapi bagi
Rumi makrifat tidaklah penting apabila dengan itu seseorang tidak mencapai
persatuan rahasia (unio-mystica) dengan Sang Wujud. Hanya apabila
persatuan rahasia atau persatuan batin dengan Sang Wujud dicapai, jiwa
seseorang dapat merasakan bahwa dirinya merupakan bagian dari
keabadian dan perputaran kehidupan yang abadi.
220
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
membawa seseorang pada rasa Cinta yang mendalam terhadap Yang Satu,
namun kurang memberi perhatian terhadap ekstase dan kemabukan mistik.
Perbedaan lainnya ialah apabila Rumi tidak didakwa sebagai pembawa
bidah oleh penguasa ortodoksi Islam pada zamannya dan sesudahnya,
Meister Eckhart justru didakwa sebagai seorang zindiq dan pembawa bidah
di lingkungan Gereja Katholik selaku penguasa ortodoksi Kristen pada abad
ke-13 M (Dawson, 1960:199-217).
Penerimaan Rumi di lingkungan masyarakat keagamaan Islam,
barangkali terkait dengan kenyataan bahwa pada abad ke-13 M tasawuf
telah sepenuhnya terpadukan dengan ilmu-ilmu Islam yang lain, seperti fiqih,
syariah, usuluddin dan ilmu tafsir. Semua itu terjadi berkat jasa Imam al-
Ghazali (wafat tahun 1111 M), khususnya melalui bukunya IhyaUlum al-din
(Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), yang mampu menjelaskan
perbedaan ajaran Sufi dengan ajaran kaum Bathiniah. Lagi pula, pada abad
ke-13 17 M para Sufi tampil ke depan sebagai penyebar agama yang aktif
di Afrika dan belahan timur Dunia Islam, serta memainkan peranan penting
pula dalam menghidupkan kebudayaan dan lembaga pendidikan Islam yang
terhenti kegiatannya akibat penaklukan tentara Mongol yang dipimpin Jengis
Khan dan Hulagu Khan (Afzal Iqbal, 1978:5-46).
Sebaliknya Eckhart hidup pada masa ketika otoritas Gereja Katholik
sangat besar dalam semua aspek kehidupan agama Kristen dan tidak
memberi peluang tumbuhnya faham monisme yang bila ditafsirkan secara
harfiah bertentangan dengan faham dualisme wujud antara Pencipta dan
Ciptaan-Nya. Lagi pula Eckhart menafsirkan doktrin trinitas (Tuhan Bapa,
Ruh Kudus dan Sang Putra) menggunakan metode hermeneutika dan
penafsirannya itu bertentangan dengan penafsiran penguasa agama Katholik
(Otto, 1932:43). Pada akhirnya kajian perbandingan semacam ini perlu
dikembangkan, karena memang sangat bermanfaat dan dapat memberikan
perspektif lain yang lebih segar dalam rangka dialog yang setara antar
yang
agama beserta tradisi keruhanian dan intelektualnya.
bermakna pengalaman mistik menampung rasa berahi atau kegairahan yang
meluap. Sedangkan Eckhart, sekalipun mengakui bahwa pengalaman mistik
221
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 198-223
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W.M. 1985. Rumi, Sufi dan Penyair. Bandung: Pustaka
Abdul Hadi W.M. 1986. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus
Abdul Hadi W.M 2002. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap
Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina
Abdul Hamid Irfani. 1976. The Sayings of Rumi and Iqbal. Sialkot: Bazm-E-Rumi,
Abu Bakar Atjeh. 1977. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasauf. Kelantan, Malaysia:
Pustaka Aman Sdn Bhd
Afzal Iqbal. 1976. Life and Works of Rumi. Lahore: SH Muhammad Ashraf Darr.,
Christopher Dawson. 1960. Religion and the Rise of Western Culture. New York:
Image Books
Evelyn Underhill. 1962. Mysticism: A Study in the Nature and Development of Mans
Spiritual Consciousness. New York: E. P. Dutton & Co. Inc.
Jalaluddin Rumi. 1995. Signs of the Unseen. Trans. from Fihi Ma Fihi by W. M.
Thalston Jr. Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co.
222
Abdul Hadi W.M.
Meister Eckhart dan Rumi
Khalifa Abdul Hakim. Rumi, Nietzshce and Iqbal. Dalam Iqbal as a Thinker. By
Eminent Scholars. Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1973. Hal. 187-210.
Luce Lopez Baralt. 1992. Islam in Spanish Literature: From the Middle Ages to the
Present. Translated by Andrew Hurley. Leiden, New York, Koeln: E. J.
Brill,
Meister Eckhart. 1958. Selected Treatises and Sermons. Trans. from Latin and
German with an Introduction and Notes by James. Clark and John .
Skinner. Faber and Faber, London
Mircea Eliade. 1958. Patterns in Comparative Religion. Trans. Rosemary Sheed &
Ward, New York
R. A. Nicholson. 1950. Rumi, Poets and Mystics. London: George Allen & Unwin
Ltd.
Rudolf Otto. 1932. Mysticism East and West: A Comparative Analysis of the Nature
of Mystcism -- Meister Eckhart and Shankara. London: Macmillan Co.
Sayyid Naimuddin. The Concept of Love in Rumi and Iqbal. Islamic Culture
VIII,October 1968 :186-210.
Seyyed Hossein Nasr. 1980. Living Sufism. London-Boston-Sidney: George Allen &
Unwin Ltd.
Seyyed Hossein Nasr. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Terj. Annas
Mahyudin. Bandung: Pustaka
W. T. Stace. 1960. Mysticism and Philosophy. Philadelphia and New York: J.B.
LippincottCompany, 1960.
223