Anda di halaman 1dari 18

6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

anharnst

Just another WordPress.com site

MAY 14, 2011 BY ANHARNST

SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN


IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Anhar

I. Pendahuluan

Kajian tentang sumber ilmu dalam filsafat adalah masuk dalam rumpun epistemologi. Dalam
perjalanan sejarah pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah dilakukan sejak zaman Yunani
kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan tentang epistemologi ilmu sudah dilakukan sejak masa al-Kindi
(796-873 M). Secara agak khusus, kajian tentang epistemologi ini dilakukan dalam kajian filsafat ilmu.[1]
Dalam kajian epistemologi di Barat,[2] pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab
utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.[3] Keberatan Islam terhadap ketiga
mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu
sebagai objek ilmu pengetahuan.

Dalam Islam, kajian terhadap sumber ilmu memadukan bahan-bahan empirikal (kealaman) dan
spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep epistemologi
Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Konsep tentang sumber ilmu selanjutnya akan
berimplikasi terhadap perumusan isi kurikulum dalam pendidikan Islam.

Makalah ini akan akan mencoba menjelaskan sumber ilmu perspektif Islam dan implikasi konsep ini
terhadap isi kurikulum pendidikan Islam.

II. Teori-teori tentang Sumber Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana disinggung di atas, kajian yang pokok tentang sumber ilmu diwakili oleh tiga mazhab
utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Berikut akan dijelaskan ketiga mazhab
dimaksud, baru kemudian penulis akan menjelaskan pandangan Islam tentang sumber pengetahuan.

a. Rasionalisme

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 1/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-
1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasional.[4] Menurut teori ini ada dua sumber
bagi pengetahuan (konsepsi). Pertama, penginderaan (sensasi). Menurut teori ini, konsepsi manusia
tentang panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan terhadap hal-hal itu. Kedua, adalah fitrah,
dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak
muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk fitrah. Dalam pengertian yang terakhir ini, jiwa
menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri. Rene Descartes berpandangan konsepsi-
konsepsi fitri ini adalah ide “Tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip
dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua
pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta duabelas kategori Kant.
[5]

Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-
gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang
mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal.

Menurut Shadr, yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori rasionalis dalam menjelaskan
konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut:

Mereka tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan konsepsi dari indera, karena
memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi. Maka ia harus digali secara esensial dari lubuk jiwa. Dari
sini, jelaslah bahwa motif filosofis bagi perumusan teori rasional ini akan hilang sama sekali, jika kita
dapat menjelaskan secara meyakinkan konsepsi-konsepsi mental, tanpa perlu mengandaikan gagasan-
gagasan fitri.[6]

Menurut Descartes, untuk sampai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya mengandalkan indera.
Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, meskipun ilmu pasti
bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang
paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri menurutnya lebih umum. Segala konsepsi dan
gagasan baru bernilai benar jika secara metodologis dikembangkan dari intuisi yang murni (fitrah,-
Shadr).[7]

Sesuatu yang dipandang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly). Apa yang
jelas dan terpilah-pilah itu, tidak mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar kita. Sebagai
ilustrasi, Harun Hadiwijono menjelaskan berikut:

Coba kita memperhatikan lilin (Jawa: malam) dan sarang madu (Jawa: tala). Jikalau kita mengamati
sebuah sarang madu ada beberapa hal yang tampak pada indera kita: lidah kita merasakan madunya,
hidung kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa dan warnanya, jari kita merasa keras dan
rasa dinginnya. Akan tetapi jikalau sarang madu itu kita letakkan di atas suatu wadah yang berada di
atas api, sifat-sufatnya berubah, sekalipun lilinnya tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemah,
mudah lentur, dan lain sebagainya. Jadi yang tampak, yang dapat kita amati bukanlah lilin itu sendiri.
adanya lilin itu kita ketahui dengan rasio atau akal kita. Maka benda yang disebut lilin itu pada dirinya
tidak dapat diamati. Sebab benda itu dengan cara yang sama tercakup dalam segala penampakannya.
Pengetahuan kita tentang lilin itu bukan karena wahyu, bukan karena pengamatan atau sentuhan atau
khayalan, melainkan karena pemeriksaan rasio. (Bnd. kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita
lihat pakaiannya, dll). Apa yang kita duga kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui
semata-mata dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat di dalam rasio atau akal. Pengetahuan melalui
indera adalah kabur. Di dalam hal ini kita sama dengan binatang.[8]

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 2/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Menurut Hadiwijono, Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran filsafat pada
zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam konteks ini
hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala
sesuatu). Sifat meragukan ini bukan khayalan, melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku
berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Memang menurut Descartes, apa
saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan, aka tetapi bahwa kegiatan berpikir bukanlah
khayalan. Dalam hal ini “tiada seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berpikir, dan oleh
karena itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.”[9]

b. Empirisme

Istilah empirik berasal dari kata Yunani emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Kaum empiris
memberi tekanan kepada empirik (pengalaman), baik pengalaman lahiriah maupun batiniah sebagai
sumber pengetahuan. Dengan demikian, empirisme bertentangan dengan rasionalisme. Di antara
tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).[10]

Teori ini berpendapat bahwa penginderaanlah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan
berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal-budi adalah potensi yang tercermin
dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia mengindera sesuatu, ia akan dapat memiliki
suatu konsepsi tentangnya, yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang
gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat diciptakan oleh
jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara esensial dalam bentuk yang berdiri sendiri.
[11]

Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan inderawi. Hal itu
dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-konsepsi dan membagi-baginya. Shadr mengatakan:

Dengan begitu, ia mengonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada
potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi, misalnya dengan
memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang
tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan
dengan upaya mengkonsepsikan Zayd, dan mengurungkan setiap kekhasan yang membedakannya dari
‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu gagasan abstrak yang
berlaku, baik atas Zayd maupun ‘Umar.[12]

Thomas Hobbes, orang pertama yang mengikuti aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17 telah
membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara mekanis, yang menjadi
pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang materialis pertama dalam filsafat modern.[13]

Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang
tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang
berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi terliput di dalam gerak itu. Segala
obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri.
Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan
tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.[14]

Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia memandang manusia
tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu
yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 3/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

mekanis. Jiwa itu sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal
bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.[15]

Seperti di singgung di atas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman
adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya memiliki fungsi mekanis, karena
pengenalan dengan akal pada hakikatnya mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan.
Pengenalan dengan akal dimulai dengan pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya
mewujudkan tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa manusia dapat
memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu. Selanjutnya, hal ini akan membentuk
pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang
disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan
apa yang telah diamati pada masa lampau.[16]

b. Fenomenalisme Kant

Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan pendekatan kembali terhadap masalah hakikat
rasio dan indera sebagai sumber pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang
dilancarkan oleh David Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan rasional. Mengapa
pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme? Berikut penjelasannya.

Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami. Marilah kita memperhatikan pernyataan:
“Kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus.” Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui
keadaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat ini? Kebanyakan orang akan mengatakan, “Setelah
diselidiki para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat
kuman tersebut; dan bila kuman ini tidak terdapat di dalam diri seseorang, maka orang itu tidak
menderita deman tipus.”[17]

Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman tipus” dan “demam tipus”
mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut menyebabkan demam. Karena boleh jadi
“seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus” tapi tidak menderita demam. Bagaimanapun,
pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang
sehat atau yang sakit.

Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman yang
menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman
itulah yang menyebabkan penyakit tersebut? Ditinjau dari sudut pandangan empiris, Hume menolak
bahwa kita akan dapat mengetahui sebab-akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya.[18]

Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian kita memukulnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa
kucing itulah yang menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali. Dalam kedua
peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila melihat kuman dan
kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit?

Indera hanya dapat memberikan data indera. Data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya.
Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai
pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus
pengalaman, kata Kant. Bagaimanakah ini mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh pengetahuan kita
menembus pengalaman, maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui
pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 4/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang bersahaja” dengan “suatu bunyi
yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera yang murni tidaklah merupakan pengetahuan.
Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya “rasa menekan yang bersahaja” dengan
“bunyi yang kasar” untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya
bunyi tersebut. Hubungan ialah suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian;
hubungan itu tidak alami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.[19]

III. Sumber Ilmu Perspektif Islam

Memperhatikan kajian teoritis di atas, diskusi tentang sumber ilmu pengetahuan tampaknya dipusatkan
pada pertanyaan: Apa sebenarnya yang memberi manusia pengetahuan? Rasiokah, empirikkah, atau
fenomenologikah? Berikut penulis akan menjelaskan kajian tentang sumber ilmu menurut Islam.
Namun, sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan bagaimana pandangan
Islam tentang fakultas manusia yang memberi manusia ilmu pengetahuan.

1. Fakultas/Alat Mendapatkan Ilmu

1. Rasio (‫)اﻟﻌﻘﻞ‬

Dalam al-Qur`an dijumpai 49 kali kosa kata yang berakar kata a-q-l (‫ )ﻋﻘﻞ‬dalam berbagai bentuk.
Misalnya: 20]. ‫ ﻧﻌﻘﻞ – ﯾﻌﻘﻞ – ﯾﻌﻘﻠﻮن‬-‫ ]ﻋﻘﻠﻮا – ﺗﻌﻘﻠﻮن‬Sebarannya sebagai berikut: kata ‫‘( ﻋﻘﻠﻮه‬aqaluh) dijumpai
dalam 1 ayat, kata ‫( ﺗﻌﻘﻠﻮن‬ta’qilun) 24 ayat, ‫( ﻧﻌﻘﻞ‬na’qil) 1 ayat, ‫( ﯾﻌﻘﺘﮭﺎ‬ya’qiluha) 1 ayat, dan ‫( ﯾﻌﻘﻠﻮن‬ya’qilun) 22
ayat. Makna kosa kata itu dalam arti paham dan mengerti.[21] Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-
ayat berikut:

() ‫اﻓﺘﻄﻤﻌﻮن ان ﯾﺆﻣﻨﻮا ﻟﻜﻢ وﻗﺪ ﻛﺎن ﻓﺮﯾﻖ ﻣﻨﮭﻢ ﯾﺴﻤﻌﻮن ﻛﻼم ﷲ ﺛﻢ ﯾﺤﺮﻓﻮﻧﮫ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻋﻘﻠﻮه وھﻢ ﯾﻌﻠﻤﻮن‬

Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka
mengetahuinya? (Al-Baqarah/2: 75).[22]

()‫اﻓﻠﻢ ﯾﺴﯿﺮوا ﻓﻰ اﻻرض ﻓﺘﻜﻮن ﻟﮭﻢ ﻗﻠﻮب ﯾﻌﻘﻠﻮن ﺑﮭﺎ او اذان ﯾﺴﻤﻌﻮن ﺑﮭﺎ ﻓﺎﻧﮭﺎ ﻻ ﺗﻌﻤﻰ اﻻﺑﺼﺎر وﻟﻜﻦ ﺗﻌﻤﻰ اﻟﻘﻠﻮب اﻟﺘﻲ ﻓﻰ اﻟﺼﺪور‬

Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat
mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22:
46).[23]

() ‫كذﻟﻚ ﯾﺒﯿﻦ ﷲ ﻟﻜﻢ اﯾﺘﮫ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻌﻘﻠﻮن‬

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti. (Al-Baqarah/2: 242).[24]

() ‫وﻗﺎﻟﻮا ﻟﻮ ﻛﻨﺎ ﻧﺴﻤﻊ او ﻧﻌﻘﻞ ﻣﺎ ﻛﻨﺎ ﻓﻲ اﺻﺤﺐ اﻟﺴﻌﯿﺮ‬

Dan mereka berkata, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami
tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala. (Al-Mulk/67: 10).[25]

() ‫وﺗﻠﻚ اﻻﻣﺜﺎل ﻧﻀﺮﺑﮭﺎ ﻟﻠﻨﺎس وﻣﺎ ﯾﻌﻘﻠﮭﺎ اﻻ اﻟﻌﺎﻟﻤﻮن‬

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali
mereka yang berilmu. (Al-Ankabut/29: 43).[26]

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 5/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr (menahan) dan al-āqil adalah orang yang
menahan diri (yahbis) dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa al-‘aql
mengandung arti kebijaksanaan (al-nuhā), lawan dari lemah pikiran (al-humq). Al-‘aql juga mengandung
arti al-qalb (kalbu). Lebih lanjut disebutkan bahwa kata ‘aqala mengandung arti memahami.[27]

Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala kelihatannya bermakna mengikat dan menahan. Orang yang āqil
di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan hammiyah atau darahnya panas, adalah orang yang dapat
menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi
kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.[28]

Dari keseluruhan kosa kata yang berakar pada a-q-l dapat disimpulkan bahwa al-‘aql adalah fakultas
manusia yang berfungsi untuk mengerti atau memahami sesuatu. Al-‘aql (rasio) dalam ayat-ayat di atas
tidak dibicarakan dalam konteks sumber ilmu tetapi dalam konteks alat yang darinya manusia
memperoleh ilmu. Baharuddin mengatakan bahwa dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki
akar kata a-q-l, tidak satu pun ayat yang menyebut akal sebagai kata benda, semuanya dalam bentuk
kata kerja (fi’il). Baharuddin melanjutkan:

Hal ini menunjukkan bahwa ‘aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi, melainkan
aktivitas dari suatu substansi. Jika dipahami demikian, akan mengandung suatu pertanyaan, yaitu
substansi apakah yang berakal itu? Pertanyaan itu dapat dikembalikan kepada Al-Qur`an. Dalam ayat
lain dijelaskan bahwa substansi yang mampu ber-‘aql itu adalah qalb. Firman Allah menjelaskan:

‫اﻓﻠﻢ ﯾﺴﯿﺮوا ﻓﻲ اﻻرض ﻓﺘﻜﻮن ﻟﮭﻢ ﻗﻠﻮب ﯾﻌﻘﻠﻮن ﺑﮭﺎ‬

Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi? Mereka mempunyai kalbu yang mereka ber-‘aql dengannya…[29]

2. Indera

Dalam Al-Qur`an alat-alat indera yang beraktifitas dan berfungsi bagi manusia dalam memperoleh
pengetahuan adalah al-sam’ dan al-absar. Kata al-sam’ dan berbagai kata jadiannya disebut 185 kali,
sedangkan kata al-sam’ sendiri dijumpai 12 kali dalam Al-Qur`an.[30] Kata al-absar dan berbagai kata
jadiannya disebut 148 kali. Sementara kata al-absar disebut 18 kali. Di antara ayat-ayat yang
mengandung kosa kata al-sam’ sebagai berikut:

‫قل ﻣﻦ ﯾﺮزﻗﻜﻢ ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء واﻻرض اﻣﻦ ﯾﻤﻠﻚ اﻟﺴﻤﻊ و اﻻﺑﺼﺎر وﻣﻦ ﯾﺨﺮج اﻟﺤﻲ ﻣﻦ اﻟﻤﯿﺖ و ﯾﺨﺮج اﻟﻤﯿﺖ ﻣﻦ اﻟﺤﻲ وﻣﻦ ﯾﺪﺑﺮ اﻻﻣﺮ ﻓﺴﯿﻘﻮﻟﻮن ﷲ‬
()‫ﻓﻘﻞ اﻓﻼ ﺗﺘﻘﻮن‬

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati,
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan
menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus/10: 131).[31]

()‫وﷲ اﺧﺮﺟﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﻄﻮن اﻣﮭﺘﻜﻢ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن ﺷﯿﺌﺎ وﺟﻌﻞ ﻟﻜﻢ اﻟﺴﻤﻊ واﻻﺑﺼﺎر واﻻﻓﺌﺪة ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺸﻜﺮون‬

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78).[32]

() ‫و ھﻮ اﻟﺬي اﻧﺸﺌﺎ ﻟﻜﻢ اﻟﺴﻤﻊ و اﻻﺑﺼﺎر واﻻﻓﺌﺪة ﻗﻠﯿﻼ ﻣﺎ ﺗﺸﻜﺮون‬

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 6/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, tetapi sedikit sekali kamu
bersyukur. (Al-Mu`minun/23: 78).[33]

() ‫ثم ﺳﻮه وﻧﻔﺦ ﻓﯿﮫ ﻣﻦ روﺣﮫ وﺟﻌﻞ ﻟﻜﻢ اﻟﺴﻤﻊ واﻻﺑﺼﺎر واﻻﻓﺌﺪة ﻗﻠﯿﻼ ﻣﺎ ﺗﺸﻜﺮون‬

Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan
pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur. (As-Sajdah/32: 9).[34]

Di antara ayat yang mengandung kosa kata al-absar sebagai berikut:

‫قد ﻛﺎن ﻟﻜﻢ اﯾﺔ ﻓﻲ ﻓﺌﺘﯿﻦ اﻟﺘﻘﺘﺎ ﻓﺌﺔ ﺗﻘﺎﺗﻞ ﻓﻲ ﺳﺒﯿﻞ ﷲ واﺧﺮى ﻛﺎﻓﺮة ﯾﺮوﻧﮭﻢ ﻣﺜﻠﯿﮭﻢ راءي اﻟﻌﯿﻦ وﷲ ﯾﺆﯾﺪ ﺑﻨﺼﺮه ﻣﻦ ﯾﺸﺎء ان ﻓﻲ ذﻟﻚ ﻟﻌﺒﺮة ﻻوﻟﻰ‬
() ‫اﻻﺑﺼﺎر‬

Sesungguhnya, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di
jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan muslim)
dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada
yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Ali Imran/3: 13).[35]

() ‫لا ﺗﺪرﻛﮫ اﻻﺑﺼﺎر وھﻮ ﯾﺪرك اﻻﺑﺼﺎر وھﻮ اﻟﻠﻄﯿﻒ اﻟﺨﺒﯿﺮ‬

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha
Halus, Maha Teliti. (Al-An’am/6: 103).[36]

() ‫اﻓﻠﻢ ﯾﺴﯿﺮوا ﻓﻲ اﻻرض ﻓﺘﻜﻮن ﻟﮭﻢ ﻗﻠﻮب ﯾﻌﻘﻠﻮن ﺑﮭﺎ او اذان ﯾﺴﻤﻌﻮن ﺑﮭﺎ ﻓﺎﻧﮭﺎ ﻻ ﺗﻌﻤﻰ اﻻﺑﺼﺎر وﻟﻜﻦ ﺗﻌﻤﻰ اﻟﻘﻠﻮب اﻟﻠﺘﻲ ﻓﻲ اﻟﺼﺪور‬

Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat
mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22:
46)[37]

Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki kosa kata al-sam’ dan al-absar
dapat dijelaskan bahwa kemampuan mendengar karena manusia diberikan alat berupa telinga (uzun)
dan kemampuan melihat karena manusia diberikan alat berupa mata (‘ain). Mata, yang memiliki
kemampuan melihat, bisa saja tidak memberi manusia pengetahuan, oleh karena qalbu-nya tidak paham
(buta). Sesuatu yang jelas terlihat bahwa bagi Al-Qur`an, al-sam’ dan al-basr adalah aktifitas

c. Hati (Fuad)

Kata fu`ad dan yang seakar kata dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya dalam bentuk kata benda,
yakni al-fu`ad dan al-af`idah.[38] Mahmud Yunus mengartikannya sebagai hati atau akal.[39] Kedua kata
ini seakar dengan fā`idah (jamak: fawā`id) artinya faedah atau guna.[40] Makna yang dapat ditarik dari
penggunaan Al-Qur’an terhadap kata al-fu`ad dan al-af`idah adalah bahwa al-fu`ad memiliki fungsi akal
(memahami, mengerti), sama dengan al-qalb.[41] Dalam surat Yusuf/12: 120 disebutkan:

() ‫و ﻛﻼ ﻧﻘﺺ ﻋﻠﯿﻚ ﻣﻦ اﻧﺒﺎء اﻟﺮﺳﻞ ﻣﺎ ﻧﺜﺒﺖ ﺑﮫ ﻓﺆادك وﺟﺎءك ﻓﻲ ھﺬه اﻟﺤﻖ و ﻣﻮﻋﻈﺔ و ذﻛﺮى ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﯿﻦ‬

Dan semua kisah-kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan
hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang
beriman.[42]

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 7/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Secara tekstual, Allah menceritakan, yang bermakna Nabi Saw mendengarkan kisah-kisah Rasul
terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat fu`ad (hati) Nabi. Dengan al-fu’ad itu berarti Nabi
mendapatkan makna atau hikmah sejarah.

Dalam ayat lain disebutkan:

() ‫و اﺻﺒﺢ ﻓﺆاد ام ﻣﻮﺳﻰ ﻓﺮﻏﺎ ان ﻛﺎدت ﻟﺘﺒﺪي ﺑﮫ ﻟﻮﻻ ان رﺑﻄﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻠﺒﮭﺎ ﻟﺘﻜﻮن ﻣﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﯿﻦ‬

Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh hampir saja dia menyatakan (rahasia tentang Musa), seandainya
tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah).[43]

Makna al-fuad dalam ayat terakhir juga sama dengan makna al-fuad pada ayat sebelumnya. Makna yang
sama juga dinyatakan oleh Allah ketika menjelaskan bahwa hati Nabi Saw tidak mendustakan apa yang
ia lihat oleh beliau ketika Jibril mendekat kepadanya untuk menyampaikan wahyu.(An-Najm/53: 1-19).
[44]

Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-fu`ad merupakan sentral dan
pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb dalam menetapkan pengetahuan yang benar, baik dan
berguna bagi manusia.

Secara umum, bagi Al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-qalb, al-fu’ad, al-sam’, al-
absar adalah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan obyek pengetahuan adalah ayat-ayat Allah
baik yang qauliyah/tanziliyah maupun yang kauniyah. Berbeda sekali dengan perspektif Barat yang
memandang bahwa akal dan indera sebagai fakultas yang memberi manusia pengetahuan. Hemat
penulis, Barat berpandangan demikian karena hirarki pengetahuan mereka hanya berhenti pada tataran
empirikal. Asumsi-asumsi teologis-metafisik telah terputus dari epistemologi keilmuan Barat, sejalan
dengan pandangan humanis mereka yang sekular-ateistik.

2. Pendapat para Ilmuan Muslim

Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah dilakukan sejak
zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti ― kajian berlanjut di Barat hingga kini
― baru memasuki abad modern umat Islam kembali melakukan kajian.

Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science) dan ‘ilm insāniy
(human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar
pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh
dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason).[45]
Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal, ia membagi
ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah).[46] Pada buku lainnya, ia membagi ilmu kepada
fardu ‘ain dan fardu kifayah.[47] Di sisi lain, ia membagi ilmu kepada ilmu religius (syar’iyyah) dan
intelektual (‘aliyah). [48] Al-Gazali juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadirkan) dan hushuli
(yang dicapai).[49] Dari pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Gazali memandang bahwa
sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik).[50]
Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Gazali menggunakan indera, akal dan qalb.[51]

Mahdi Ghulsyani menyebutkan, secara hakiki Al-Qur`an lah sebagai sumber ilmu. Ia mengatakan:

Prinsip ilmu-ilmu ini, yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasikan, bukanlah di luar
Al-Qur`an, karena seluruh ilmu ini di raih dari salah satu lautan pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-
Nya. Telah kami sebutkan bahwa Al-Qur`an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranua
https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 8/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

lautan itu menjadi tinta (untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum
kata-kata Tuhan itu berakhir. Di antara perbuatan Allah yang (karena keluasannya dapat disebut) lautan
perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah
menceritakan ucapan Ibrahim yang mengatakan, “Ketika aku sakit Dia-lah yang menyembuhkan aku…
Perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan
sempurna, karena ilmu ini tidak berarti apa-apa selain pengetahuan tentang seluruh aspek penyakit
sekaligus gejalanya, juga pengetahuan penyembuhan dan cara-caranya. Di antara perbuatan Allah (juga)
adalah penentuan pengetahuan (manusia) tentang matahari, bulan, dan pengetahuan tentang tingkatan-
tingkatannya yang sesuai dengan waktu peredarannya, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Matahari
dan bulan itu berjalan sesuai dengan peredarannya yang pasti, dan Dia atur perjalanan bulan itu sehingga kamu
dapat belajar bagaimana cara menghitung tahun dan menentukan waktu…[52]

3. Analisis: Sumber Ilmu dan Alat Mendapatkan Ilmu

Untuk mendapatkan analisis filosofis sumber ilmu perspektif Islam, maka terlebih dahulu harus
dibahas: Apa sebenarnya tujuan berilmu? Tujuan puncak berilmu dalam Islam adalah untuk
mengetahui Allah, yakni pengetahuan yang haqq al-yaqin dan dekat kepada-Nya.[53] Sedangkan tujuan
praktis berilmu adalah membantu manusia merealisasikan amanah sebagai khalifah Allah di bumi.
Dalam kaitan ini, Allah telah membantu manusia untuk mengenalinya dengan ayat (petanda Allah).
Ayat dimaksud terbagi dua, yaitu ayat tanziliyah (naqliyah) dan ayat kauniyah (aqliyah). Ayat tanziliyah,
adalah wahyu yang diturunkan melalui malaikat Jibril, sedangkan ayat kauniyah adalah ciptaan (karya)
Allah SWT.[54]

Pada puncaknya, sebagaimana dialami oleh para ilmuan, aktifitas keilmuan yang terus-menerus akan
mengantarkan seorang ilmuan kepada ketinggian moral atau akhlak, yakni suatu kondisi yang sangat
sadar dan mengerti posisinya dalam kesemestaan ini. Dalam kondisi seperti ini, ia benar-benar paham
dan mengerti kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta ― Allah SWT. Kondisi demikianlah yang
dirasakan oleh Imam Syafii. Ia mengatakan:

‫كﻟﻤﺎ زادﻧﻲ ﻋﻠﻤﺎ زادﻧﻲ ﻓﮭﻤﺎ ﺑﺠﮭﻠﻲ‬

Setiap kali Tuhan menambah ilmuku, semakin pahamlah aku akan kejahilanku (kebodohanku).[55]

Al-Gazali juga berpandangan bahwa seorang yang benar-benar ‘alim akan menyampaikannya ke
pencapaian ilmu ladunni. Ilmu ini menurutnya diperoleh seorang ‘alim tanpa perantara, yang
menghubungkan jiwa manusia dengan Sang Pencipta. Ia semata-mata seperti pancaran cahaya dari
lampu kegaiban yang diarahkan pada qalb (hati) yang jernih, kosong dan lembut.[56]

Disebutkan bahwa Einstein, dalam suatu diskusi dengan Murphy, ia mengatakan:

Berbicara tentang spirit yang memberikan kabar investigasi saintifik modern, saya berpendapat bahwa
semua spekulasi prima yang ada dalam dunia sains bersumber dari perasaan religius yang terdalam,
dan tanpa perasaan semacam itu semua investigasi saintifik tidak akan berubah. Saya juga yakin,
perasaan religius semacam ini, yang sangat terasa pada investigasi saintifik hari ini, adalah satu-satunya
aktivitas religius yang kreatif di abad kita ini.[57]

Berangkat dari penjelasan di atas, maka Allah SWT yang ‘Alim, Basir, Sami’, Khabir, menjadi sumber dan
tujuan berilmu. Pada awalnya manusia tidak memiliki ilmu sedikitpun. Untuk mendapatkan ilmu Allah
Yang Maha Luas itu, maka manusia diberi pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Allah:

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 9/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

() ‫وﷲ اﺧﺮﺟﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﻄﻮن اﻣﮭﺎﺗﻜﻢ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن ﺷﯿﺌﺎ وﺟﻌﻞ ﻟﻜﻢ اﻟﺴﻤﻊ و اﻻﺑﺼﺎر واﻻﻓﺌﺪة ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺸﻜﺮون‬

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78).[58]

Di samping ketiga sarana itu menjadi alat untuk mendapatkan ilmu, namun Allah mengingatkan agar
senantiasa digunakan untuk mendapatkan ilmu yang benar. Sebab as-sam’, al-absar, dan al-af’idah akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak. (Al-Isra`/17: 36).[59]

Objek ilmu, sebagaimana disinggung di atas adalah pertama, wahyu, dan yang kedua adalah ciptaan
(manusia dan alam). Jalaluddin Rakhmat merincinya kepada empat sumber, pertama, Al-Qur`an dan
Sunnah, kedua, alam semesta, ketiga, diri manusia, keempat, tarikh umat manusia.[60]

Dalam kaitan ini, apa fungsi ‘aql, qalbu atau fu’ad? Dalam beberapa ayat al-Qur`an, al-‘aql, al-qalb, dan al-
fu’ad berfungsi untuk memahami, mengerti dan menyadari fungsi ilmu bagi diri manusia. Sebenarnya,
secara operasional makna ketiga kosa kata ini memiliki kesamaan. Namun, kata al-fu’ad sebagaimana
disebut pada al-Qasas/28: 10, an-Najm/53: 11, Hud/11: 120, al-Furqan/25: 32, dan al-An’am/6: 113
kelihatannya menjadi sentral bagi indera dalam.[61] Pekerjaan yang dilakukan oleh akal setelah
mendapat input dari alat indera manusia, maka fu’ad menjadi penentu akhir bagi proses keilmuan ini.
Namun di dalam itu semua, fitrah manusia sebagai hanif menjadi bingkai penentu kecenderungan bagi
pilihan-pilihan yang dilakukan oleh fu’ad manusia. Al-fuad inilah yang akan membimbing manusia
untuk sampai kepada ma’rifatullah (dalam istilah Al-Gazali) atau religiosity versi Albert Einstein.

IV. Implikasinya terhadap Isi Kurikulum Pendidikan Islam

Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani curir artinya pelari, atau curare artinya tempat berpacu.
Jadi istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang
mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis strat sampai garis finish.
[62] Dalam Qamus Tarbiyah, kurikulum pendidikan (manhaj al-dirasah) adalah seperangkat perencanaan
dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan
pendidikan.[63] Crow and Crow menurut Ramayulis mendefenisikan kurikulum sebagai rancangan
pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu
program untuk memperoleh sertifikat atau ijazah.[64]

Secara operasional, fungsi kurikulum dalam konteks pendidikan Islam adalah:

…sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya kea rah tujuan
tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam
hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan,
tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insane kamil) yang strateginya
telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[65]

Menurut Ramayulis, komponen kurikulum meliputi: tujuan yang ingin dicapai, isi kurikulum, media
(sarana dan prasarana), strategi, proses pembelajaran dan evaluasi.[66]

Isi kurikulum berupa materi pembelajaran yang diprogram dan disusun untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan. Materi dimaksud disusun ke dalam suatu silabus bidang studi atau mata
kuliah. Kemudian secara praktis-operasional dituangkan ke dalam satuan pembelajaran atau rencana
program pembelajaran. Perlu digarisbawahi, bahwa setiap materi pembelajaran tersebut harus jelas scope
dan squen-nya.[67]

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 10/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Jika sumber ilmu perspektif Islam terdiri dari ayat tanziliyah dan ayat kauniyah, maka bagaimana
implikasinya terhadap isi kurikulum pendidikan Islam? Implikasinya jelas bahwa isi kurikulum harus
turunan dari kedua bentuk ayat itu. Hal ini tidak dapat di tawar-tawar, karena manusia yang hendak
dibentuk oleh pendidikan Islam adalah Manusia Universal atau Sempurna ((‫ اﻻﻧﺴﺎن اﻟﻜﺎﻣﻞ‬. Dengan
demikian, maka ilmu-ilmu yang menjadi isi kurikulum harus berguna dan bertujuan dalam kerangka
membentuk al-insan al-kamil.[68]

Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua Tahun 1980 di Islamabad Pakistan merumuskan isi
kurikulum pendidikan Islam sebagai berikut:

Kelompok I: Perrennial:

1. Al-Qur`an:

a) Qira`ah, hafalan (hifz), tafsir

b) Sunnah

c) Sirah (tarikh) Nabi Saw, para sahabat, dan pengikut

d) Tauhid

e) Usul Fiqh dan Fiqh

f) Bahasa Qur`an (fonologi, sintaksis, semantik)

2. Pengetahuan Pembantu:

a) Metafisika Islam

b) Perbandingan Agama

c) Kebudayaan Islam

Kelompok II: Acquired:

1. Pengetahuan Imajinatif (arts)

a. Arsitektur Islam

2. Bahasa-bahasa

2. Pengetahuan Intelektual

a. Pengetahuan Sosial:

Kesusastraan, filsafat, pendidikan, ekonomi, pengetahuan politik (pandangan Islam tentang politik,
ekonomi, kehidupan social, perang dan damai, dan lain-lain), geografi, sosiologi, lingusitik, psikologi,
antropologi.

b. Pengetahuan Kealaman:

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 11/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Filsafat sains, matematika, statistika, fisika, kimia, life sciences, astronomi, pengetahuan tentang ruang
angkasa, dan lain-lain.

3. Applied Sciences:

Rekayasa dan teknologi, kedokteran, pertanian, dan kehutanan.

4. Pengetahuan Praktis:

Perdagangan, administrasi, perpustakaan, home sciences, komunikasi.

Semua pengetahuan jenis kedua ini (yang diperoleh) harus diajarkan dengan menggunakan perspektif
Islam. Itulah satu cara mengintegrasikan ilmu pengetahuan.[69]

Al-A as berpendapat bahwa rumusan kurikulum, tentu saja dalam hal ini isinya, harus dimulai dari
tingkat universitas. Hal ini dilakukan karena di universitaslah tempat terakhir pembentukan Manusia
Universal atau Kamil (‫)اﻻﻧﺴﺎن اﻟﻜﺎﻣﻞ‬, baru kemudian diturunkan ke tingkat di bawahnya secara hirarkis-
sistematis. Kegagalan dalam perumusan tingkat universitas, maka akan berdampak terhadap tingkat
pendidikan di bawahnya. Dengan demikian, isi kurikulum di tingkat universitas harus benar-benar
diintrodusir dari sumber ilmu yaitu ayat-ayat tanziliyah dan ayat-ayat kauniyah secara padu atau utuh.
[70]

V. Penutup

Dalam Islam, sumber ilmu sesungguhnya adalah pemilik ilmu itu sendiri, yakni Allah SWT. Ilmu yang
amat sedikit (qalil) yang diperoleh manusia melalui pengerahan indera dalam dan indera luar, adalah
ilmu yang didatangkan (yu`ta) dari dan oleh Allah.

Secara garis besar, sumber ilmu itu ada dua, yakni ayat tanziliyah dan ayat kauniyah. Ayat tanziliyah
diperoleh manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul Allah, sedangkan ayat
kauniyah diperoleh manusia melalui usahanya mempelajari ciptaan Allah SWT. Kedua sumber ilmu ini
bersifat komplementer, yakni saling melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat munculnya dualisme
keilmuan, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa depan peradaban manusia.

Implikasinya dalam isi kurikulum, yakni kemestian bahwa kurikulum pendidikan Islam harus berisi
ilmu yang bersumber dari kedua ayat dimaksud. Hal ini menjadi lebih niscaya lagi, karena manusia
yang hendak dibentuk oleh pendidikan Islam adalah Manusia Universal atau Sempurna (‫)اﻻﻧﺴﺎن اﻟﻜﺎﻣﻞ‬.
Dengan demikian, aspek ruhaniah dan jasmaniah setiap peserta didik harus dididik dengan sempurna
dan integral, sehingga ia benar-benar dapat menjadi khalifah sekaligus ‘abd yang taat. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Gazali, Abu Hamid. Al-Munqiz min al-Dalal. Kairo: Silsilah Saqafat Islamiyah, h.

——-. Ihya`‘Ulum al-Din. Jilid II. Kairo: Dar al-Ma’arif, h.

——-. Ihya`‘Ulum al-Din. Jilid III. Kairo: Dar al-Ma’arif, h.

——-. Ihya` ‘Ulum al-Din. Jilid V. Kairo: Dar al-Ma’arif, h.

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 12/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

——-. Risalah al-Laduniyyah, dalam Qushur al-Awwali, dihimpun oleh Mustafa Muhammad Abu al-A’la.
Mesir: Makatabah al-Jundi, h.

‘Abd al-Baqy, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an al-Karim. Kairo: Dar al-Hadis,
1422 H/2001 M.

‘Abdulrahim, Muhammad ‘Imaduddin. “Kata Pengantar”, dalam Jalaluddin Rakhmat. Islam Alternatif.
Cet. IX. Bandung: Mizan, 1998.

Al-A as, Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat
Pendidikan Islam. Cet. 4. Bandung: Mizan, 1992.

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. Cet. III. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung: Mizan, 1993.

Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Dep. Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Al-Qur`an, h.

Ghulsyani, Mahdi. Filsafat-Sains menurut Al-Quran. Terj. Agus Effendi. Cet. IV. Bandung: Mizan, 1991.

Hamka. Tafsir al-Azhar. Juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.

Izu u, Toshihiko, Li . D. God and Man in the Quran. Tokio: Keio University, 1964.

Jammer, Max. Agama Einstein: Teologi dan Fisika. Yogyakarta: Relief-CRCS, 2004.

Ka sof, Louis O. Pengantar Filsafat, Cet. Ke-7. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.

Kuswanjono, Arqom. Integrasi Ilmu dan Agama: Perspektif Filsafat Mulla Sadra. Yogyakarta: Badan
Penerbitan Filsafat UGM, 2010.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press), 1986.

——–. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. 7. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. Ke-3. Jakarta: Kencana, 2008.

Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Cet. IX. Bandung: Mizan, 1998.

Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. Ke-2. Jakarta: Kalam Mulia, 2010.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet ke-7. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Siddik, Dja’far. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Cita Pustaka Media, 2006.

Solihin, M. Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang al-Gazali. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1411 H/ 1990 M.

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 13/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

*Disajikan pada Seminar Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam, S.3 Prodi Pendidikan Islam Program
Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, tanggal 23 Oktober 2010, di bawah asuhan Prof.Dr. H.
Ramayulis, M.A.

[1]Di Indonesia, kajian tentang filsafat ilmu misalnya dilakukan oleh Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cet. XIII (Jakarta: Sinar Harapan, 2000) The Liang Gie, Pengantar Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, 1987). Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008).

[2]Barat yang dimaksud dalam kajian ini adalah pemikiran, konsep, teori yang berasal dan atau yang
berparadigma Barat.

[3]Lihat Amsal Bakhtiar, h. 98-107. Louis O. Ka sof, Pengantar Filsafat, Cet. Ke-7 (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1996), h. 142.

[4]Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Cet. III. Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1993),
h. 28. Tokoh lain seperti Blaise Pascal (1623-1662), Baruch Spinoza (1632-1677). Lihat Harun Hadiwijono,
Sari Sejarah Filsafat Barat-2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 25 dan 27.

[5]Dua belas kategori Kant adalah: (1) kuantitas, yang di bawahnya ada (a) unitas, (b) pluralitas, dan (c)
totalitas; (2) kualitas, yang di bawahnya ada (a) realitas, (b) penafian, dan (c) limitasi; (3) hubungan, yang
di bawahnya ada (a) inherence dan substance (substansi dan aksiden), (b) kausalitas dan kebergantungan
(sebab dan akibat) dan (c) resiprositas komunitas antara agen dan pasien; (4) modalitas, yang di
bawahnya ada (a) kemungkinan-kemustahilan, (b) ada-tiada, dan (c) keniscayaan-ketakniscayaan. Ash-
Shadr, h. 29.

[6]As-Shadr, h. 29-30.

[7]Hadiwijono, h. 18-19.

[8]Ibid., h. 19-20.

[9]Ibid., h. 21.

[10]Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. Ke-3 (Jakarta: Kencana, 2008), h. 105. Hadiwijono,
h. 32 dan 36.

Para pemikir Inggris bergerak kearah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis Descartes. Mereka
lebih mengikuti jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme, yang memberi tekanan kepada empiri atau
pengalaman sebagai sumber pengenalan. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa rasionalisme sama sekali
ditolak. Dapat dikatakan, bahwa rasionalisme dipergunakan dalam rangka empirisme, atau
rasionalisme dilihat dalam rangka empirisme. Hadiwijono, h. 31-32.

[11]Shadr, h. 31-32.

[12]Ibid., h. 32.

[13]Hadiwijono, h. 32.

[14]Ibid., h. 33.

[15]Ibid.
https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 14/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

[16]Ibid., h. 33-34.

[17]Louis O. Ka sof, h. 142.

[18]Ibid.

[19]Ibid., hlm. 142-143.

[20]Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an al-Karim, (Kairo: Dar al-
Hadis, 1422 H/2001 M), h. 574-575.

[21]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press,
1986), h. 5.

[22]Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Al-Qur`an, h), h. 11.

[23]Dep. Agama RI, h. 337.

[24]Ibid., h. 39.

[25]Ibid., h. 562.

[26]Ibid., h. 401.

[27]Lisan al-‘Arab, Jilid XIII, h. 485-486.

[28]Nasution, h. 6-7. Prof. Izu u, mengatakan bahwa ‘aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan
memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang
yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Setiap kali ia dihadapkan kepada problema
dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini
amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah. Toshihiko Izu u, Li . D., God and Man in the Quran,
(Tokio: Keio University, 1964), h. 65.

[29]Al-Qur`an surat al-Hajj/22: 46. Lebih lanjut lihat Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 118.

[30]‘Abd al-Baqiy, h. 442.

[31]Dep. Agama RI, h. 212.

[32]Ibid., h. 275.

[33]Ibid., h. 347.

[34]Ibid., h. 415.

[35]Ibid., h. 51.

[36]Ibid., h. 141.

[37]Ibid., h. 337.

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 15/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

[38]Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, h. 621/2.

[39]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1411 H/1990 M), h. 306.

[40]Ibid.

[41]Jalaluddin Rakhmat, h. 209.

[42]Dep. Agama RI, h. 235.

[43]Ibid., h. 386.

[44]Lihat Ibid., h. 526.

[45]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,Cet. 7 (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 15.

[46]Abu Hamid al-Gazali, Mizan al-Amal, h. 36-37.

[47]Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid 2, h. 30-72.

[48] Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid 2, h. 36; Risalah al-Laduniyyah, h. 360-68.

[49]Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid III, h. 1376.

[50]Dalam Ihya` ‘Ulum al-Din, al-Gazali mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “Jika seseorang ingin memiliki
pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan Al-Qur`an.”
Kemudian ia menambahkan, “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat
Allah, dan Al-Qur`an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan
terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam Al-Qur`an terdapat indikasi pertemuannya (Al-Qur`an dan ilmu-
ilmu).” Abu Hamid al-Gazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, Jilid V (Kairo: Dar al-Ma’arif), h. 1.

[51]Perbincangan tentang kekuatan dan kelemahan indera sebagai alat untuk mendapatkan ilmu dapat
dilihat pada karya al-Gazali, Mi’yar al-‘Ilm, h. 62; Misykat al-Anwar, h. 18-19 dan Al-Munqiz min al-Dalal,
h. 9.

[52] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut Al-Quran, Terj. Agus Effendi. Cet. IV (Bandung: Mizan,
1991), h.138. Al-Qur`an, di samping mengandung petunjuk-petunjuk dan tuntutan-tuntunan yang
bersifat ‘ubudiyah dan akhlaqiyah (moral), juga mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat
dipedomani manusia untuk mengolah dan menyelidiki alam semesta, atau untuk mengerti gejala-gejala
dan hakekat hidup yang dihadapinya dari masa ke masa. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam,Cet. Ke-2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 79.

[53]Secara umum ilmu dalam Islam berfungsi 1) untuk ber’ubudiyah kepada Allah, 2) untuk dapat
membedakan yang hak dengan yang batil, 3) sebagai modal untuk mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat. Lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, h. 80.

[54]Mempelajari sains tidak lain dari pada menangkap sunnatullah di alam semesta. Bukankah ayat-ayat
Allah tampak secara tersurat sebagai ayat-ayat Qur`aniah dan tersirat sebagai ayat-ayat kauniyah? Kedua
jenis ayat ini sama pentingnya untuk dipelajari. Bagiku sains adalah metode mengamati alam secara
empiris. Sebagai jenis observasi yang obyektif, tidak ada persoalan antara sains yang Islami dengan
sains yang tidak Islami. Observasi yang obyektif jelas Islami. Bukankah Allah berkali-kali menyuruh kita
menggunakan alat-alat indera kita dan mengancam dengan neraka orang-orang yang menyia-
https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 16/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

nyiakannya? (QS. 7: 179). Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, “Kata Pengantar”, dalam Jalaluddin
Rakhmat, Islam Alternatif, Cet. IX (Bandung: Mizan, 1998), h. 19. Lihat juga Arqom Kuswanjono,
Integrasi Ilmu dan Agama: Perspektif Filsafat Mulla Sadra, (Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM,
2010), h. 74.

[55]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 110.

[56]M. Solihin, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang al-Gazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 91.

[57]Max Jammer, Agama Einstein: Teologi dan Fisika, (Yogyakarta: Relief-CRCS, 2004), h. 49.

[58]Dep. Agama RI, h. 275.

[59]Ibid., h. 285.

[60]Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Cet. IX (Bandung: Mizan, 1998), h. 203-205.

[61]Lihat

[62]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ,Cet ke-7 (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 150.

[63]Ibid.

[64]Ibid., h. 150.

[65]Ibid., h. 152.

[66]Ibid., h. 154-155.

[67]Ibid., h. 154.

[68]Syed Muhammad al-Naquib al-A as, Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat
Pendidikan Islam, Cet. 4 (Bandung: Mizan, 1992), h. 84.

[69]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992), h. 8-9.
Ramayulis, h. 165-166. Dja’far Siddik, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006), h. 125-
126.

[70]Al-A as menyatakan: “Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan Islam
adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan yang
peling tinggi dan paling sempurna ― yang dirancang untuk mencerminkan yang universal ― maka ia
mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia
Universal atau Sempurna (al-Insan al-Kamil). …Jadi, universitas Islam itu mesti mencerminkan Nabi
dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar; dan fungsinya adalah untuk menghasilkan manusia,
laki-laki dan perempuan, yang mutunya sedekat mungkin menyerupai beliau ― masing-masing sesuai
dengan kapasitas dan potensi bawaannya ― untuk menghasilkan laki-laki dan perempuan yang baik;
untuk menghasilkan laki-laki dan perempuan yang beradab sebagai tiruan dia yang bersabda: “Tuhanku
telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik.” Al-A as, h. 84-85.

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 17/18
6/12/2018 SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ISI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM – anharnst

Advertisements

REPORT THIS AD

REPORT THIS AD
This entry was posted in FILSAFAT ILMU PERSP. ISLAM. Bookmark the permalink.

Create a free website or blog at WordPress.com.

https://anharnst.wordpress.com/2011/05/14/sumber-ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-implikasinya-terhadap-isi-kurikulum-pendidikan-islam/ 18/18

Anda mungkin juga menyukai