Anda di halaman 1dari 12

Epistemologi Syed Muhammad Naquib Al-Attas

anwarSeptember 13th, 2013, 7:19 am1 comment 2746 views

★★★★★

oleh : Dinar Dewi Kania

(Peneliti INSISTS Jakarta)

Pendahuluan

al-attas istacHuman are in pursuit of Knowledge memiliki peranan yang signifikan dalam membuat
pertimbangan, keputusan dan juga tindakan pada kehidupan ilmiah. Pengkajian mendalam dan
sistematis terhadap pengetahuan, kriteria-kriteria dalam perolehannya dengan keterbatasan-
keterbatasannya serta cara menjustifikasi pengetahuan tersebut, dikenal dengan nama “Epistemologi”.
[1] Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahua (knowledge atau
science)[2] dan logos yan berarti ilmu. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas
mengenai pengetahuan sehingga epistemologi dikenal dengan nama filsafat pengetahuan atau teori
pengetahuan.

Epistemologi membahas secara mendalam segala sesuatu mengenai proses yang terlihat dalam usaha
manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui metode
keilmuwan, sehingga metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran lainnya. [3]
Menurut Richard Fumerton, pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi mencakup konsep
pengetahuan, bukti, alasan untuk mempercayai, justifikasi, probabilitas atau kemungkinan, apa yang
bisa dipercayai dan konsep-konsep lainnya yang hanya dapat dipahami melalui satu atau beberapa hal
tersebut di atas.[4] Teori pengetahuan atau epistemologi bertujuan untuk menganalisa proses
bagaimana mendapatkan pengetahuan, oleh karena itu pertama-tama harus diketahui dimana proses
tersebut mulai dan kapan harus berakhir.[5]

Epistemologi sebagaimana dijelaskan oleh Alparslan, terjadi melalui tiga kerangka pikir (mental
frameworks); pertama terbentuknya pandangan alam (worldview) dari para ilmuwan. Worldview
merupakan kerangka berpikir umum (general framework) yang merupakan lingkungan konseptual
(conceptual environment) dimana tiap-tiap aktivitas ilmiah tumbuh. Kedua adalah scientific conceptual
scheme atau disebut konteks (context) ilmu, dan yang ketiga merupakan technical vocabularies atau
perbendarahaan kata teknis dan pandangan (outlook) dari jaringan konsep-konsep dalam keilmuan
yang spesifik.[6] Lebih jauh dijelaskan bahwa ada beberapa kondisi dalam level sosial dengan segala
aspeksnya untuk kebangkitan dari pembelajaran (learning) dalam suatu lingkungan social (given society).
Karena kondisi-kondisi ini menjadi penyebab dari munculnya pembelajaran dalam lingkungan sosial
tertentu dan cultural context, atau dapat disebut contextual causes dari munculnya sains. Contextual
causes pertama membawa kepada pre-scientific tradition dan intelektual apabila lingkungan sosial
mampu menyediakan pondasi yang sesuai bagi pengembangan worldview yang berperan sebagai
pondasi konseptual bagi kemunculan sains.[7]

Epistemologi Syed Muhammad Naquib al-Attas dibangun atas tradisi intelektual Islam yang berkaitan
erat dengan psikologi jiwa manusia (the psychology of human soul) karena peroleh ilmu pengetahuan
dalam Islam merupakan konsep spiritual yang tidak terlepas dari hidayah Allah Swt. Epistemologi Islam
sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang memandang aktivitas intelektual independen dari hal-
hal yang bersifat metafisik. Sebagai contoh, epistemologi kaum empiris yang mendominasi cakrawala
manusia Barat di dunia modern telah berhasil mereduksi realitas menjadi semata-mata dunia yang
dialami oleh indera eksternal, sehingga membatasi makna realitas dan menghilangkan konsep realitas
yang mencakup Tuhan. Konsekuensi dari perubahan makna ini telah mereduksi Tuhan dan semua alam
spiritual dari ‘yang ada’ (being) menjadi sesuatu yang abstrak dan pada akhirnya ‘tidak nyata’ (unreal).
[8]

Bangunan epistemologi al-Attas banyak mengadopsi pandangan-pandangan al-Ghazali (1058-1111)


terutama dalam kitab Ma’āridz yang diturunkan dari kitab Shifā’ dan Najāt Ibn Sina (980-1037).[9]
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui epistemologi yang dirumuskan Syed Muhammad Naquib al-
Attas yang mencakup definisi ilmu pengetahuan serta bagaimana ilmu pengetahuan tersebut diterima
oleh manusia. Makalah ini tidak membahas obyek ilmu pengetahuan secara spesifik yang merujuk pada
realitas-realitas sebagai hal yang mungkin diketahui oleh manusia. Al-Attas menjabarkan makna realitas
dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan secara mendetail dan komprehensif dalam karya-karya
ilmiahnya sehingga diperlukan kajian tersendiri mengenai permasalahan tersebut agar terhindar dari
pemahaman yang parsial yang berujung pada kesimpulan yang salah.

Definisi Ilmu Pengetahuan

Mendefinisikan ilmu pengetahuan bukan suatu perkara yang mudah. Al-Attas berpandangan bahwa
ketidakmampuan mendefinisikan suatu konsep dengan benar merupakan salah satu problematika umat
Islam saat ini.[10] Beberapa pemikir muslim beranggapan bahwa mendefinisikan ilmu merupakan
perkara yang mustahil, namun al-Attas perpandangan bahwa ilmu dapat secara rasm[11]dan bukan
hadd. Ilmu berdasarkan hadd memang sulit untuk dibuat karena cakupan ilmu sangat luas dan tidak
terbatas.

Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai tibanya makna ke dalam jiwa bersamaan dengan tibanya jiwa
kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri.[12] Tibanya makna ke dalam jiwa berarti
Tuhan sebagai sumber asal pengetahuan, sedangkan tibanya jiwa kepada makna menunjuk kepada jiwa
sebagai penafsirnya.[13] Maka menurut al- Attas ilmu adalah kesatuan antara orang yang mengetahui
dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subyek ilmu) dengan yang diketahui (obyek ilmu).
Unsur-unsur makna ini dikonstruksikan oleh jiwa dari obyek-obyek yang ditangkap oleh indera ketika
jiwa menerima iluminasi dari Allah swt, dan berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam obyek-
obyek yang ada.[14]

Definisi tersebut merujuk kepada tiga hal penting yang menjadi dimensi dari ilmu pengetahuan menurut
al-Attas. Tiga hal tersebut adalah jiwa, makna, serta sifat-sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan. Definisi
ilmu pengetahuan menurut al-Attas juga telah memposisikan jiwa manusia sebagai entitas spiritual yang
aktif untuk mempersiapkan diri dalam menerima kehadiran makna yang merupakan bentuk intelijibel.

Menurut al-Attas, dalam tradisi Islam, jiwa manusia dikenal dengan sebutan nafs, ‘aql, qalb, dan ruh.
Keempat istilah tersebut pada hakikatnya adalah realitas tunggal dengan empat keadaan (ahwal/
modes) yang berbeda, dan masing-masing terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat kognitif,
empiris, intuitif dan spiritual. Jiwa itu memiliki dua aspek dalam hubungan penerima dan pemberi efek.
Pada saat menerima efek, dia berhubungan dengan apa yang lebih tinggi dari “derajat” dirinya. Jiwa
akan berperan sebagai pemberi efek pada saat ia berhubungan dengan sesuatu yang lebih rendah
sehingga timbul prinsip etis sebagai petunjuk bagi tubuh untuk menentukan mana yang baik dan buruk.
Sedangkan pada saat jiwa berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi maka pada saat itulah ia akan
menerima ‘pengetahuan’.[15]

Jiwa manusia memiliki fakultas atau kekuatan-kekuatan (quwā) yang termanifestasi melalui
hubungannya dengan tubuh. Jiwa mirip sebuah genus yang terbagi menjadi tiga jiwa yang berbeda
yaitu: jiwa vegetatif (al-nabātiyyah), jiwa hewani (al-hayawāniyyah), dan jiwa insani (alinsāniyyah) atau
jiwa rasional (al-nātiqah). Jiwa vegetatif memiliki fungsi sebagai kekuatan nutrisi, pertumbuhan dan
regenerasi atau reproduksi. Kekuatan khas pada jiwa hewani adalah penggerak (motive) dan perseptif
sedangkan Jiwa insani atau rasional memiliki dua kekuatan yaitu intelek aktif (praktis) dan intelek
kognitif. Intelek aktif yaitu yang mengatur gerak tubuh manusia, mengarahkan tindakan indvidu (dalam
kesepakatan dengan fakultas teoritis atau intelek kognitif), bertanggung jawab akan emosi manusia,
mengatur obyek fisik dan menghasilkan keterampilan dan seni, serta memunculan premis-premis dan
kesimpulan. Sedangkan Intelek kognitif adalah daya jiwa untuk menerima kekuatan kreatif dari
pengetahuan melalui inteleksi dan intuisi jiwa. Kekuatan intelek kognitif ini bersifat spekulatif
(nazariyyah).

Sebagaimana jiwa manusia yang memiliki beberapa istilah, makna(ma’na) menurut al-Attas juga
merujuk kepada beberapa nama. Pada hakikatnya makna merupakan bentuk intelijibel yang berkaitan
dengan kata, ekspresi, atau simbol yang diterapkan untuk menunjukkan itu. Ketika itu kata, ekspresi,
atau simbol menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) hal itu disebut ‘dipahami'(mahfūm). Sebagai
bentuk Intelijibel yang dibentuk untuk menjawab pertanyaan “apa itu?” bentuk intelijibel itu disebut
‘esensi’ (māhiyyah). Apabila ia dianggap sebagai sesuatu yang ada di luar pikiran, atau secara obyektif
hal itu disebut ‘realitas’ (haqīqah). Sebagai suatu realitas yang membedakan sesuatu dari yang lainnya,
maka ia disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individu’ (huwiyyah). Secara umum makna (ma’na)
diartikan sebagai “the recognition of the place of anything in a system” atau pengenalan terhadap
‘tempat’ dari segala sesuatu di dalam sebuah sistem. Konsep ‘tempat’ pada definisi makna, mengacu
kepada pengenalan terhadap ‘tempat yang tempat’ yang berkaitan domain ontologis yang mencakup
manusia dan dunia empiris, serta domain ontologis yang mencakup aspek relijius pada eksistensi
manusia.

Makna harus melibatkan pengakuan terhadap tempat segala sesuatu di dalam sistem sehingga ilmu
pengetahuan sejati terdiri atas pengakuan terhadap ‘tempat yang tepat’ bagi Allah swt dalam urutan
“being” dan eksistensi. Al-Attas menegaskan bahwa “tempat” merujuk kepada letaknya yang wajar
dalam sistem, yaitu sistem pemikiran dalam al-Qur’an yang diuraikan secara sistematis melalui tradisi
para nabi dan dituturkan oleh agama sebagai suatu pandangan alam (worldview ) sehingga
menghantarkan kepada pengenalan terhadap Tuhan Semesta Alam.[16] Hal tini berarti bahwa ilmu
pengetahuan tanpa pengakuan terhadap eksistensi Tuhan, bukan merupakan ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya.

Pengenalan tempat yang tepat juga mengisyaratkan bahwa Ilmu pengetahuan sejati harus merujuk
kepada otoritas keagamaan.Tradisi keilmuwan Islam membedakan otoritas menjadi dua jenis. Pertama
adalah para sarjana, saintis dan orang-orang berilmu yang merupakan rangkaian berkelanjutan dari
ucapan orang-orang yang rasionya tidak dapat menerima bahwa mereka memiliki tujuan bersama untuk
berbohong. Otoritas kedua adalah utusan Allah swt yang bersama-sama dengan al-Qur’an dan sunnah-
Nya merupakan otoritas tertinggi sebagai sumber dan saluran ilmu pengetahuan yang bersifat absolut.
[17]

Salah satu aspek dari ilmu pengetahuan yang dibahas secara substansial oleh al-Attas yaitu sifat dan
kegunaan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan kegunaan dan sifat ilmu dalam pandangan hidup
Barat (Western Worldview) terutama dalam memandang realitas dan hakikat kebenaran. Pandangan
alam Barat tersebut telah menyebabkan pengaburan antara yang haq dan yang batil, ‘yang
sebenarnya’ dengan ‘yang palsu’, karena ilmu telah terlepas dari Iman atau Tuhan dan hal-hal yang
bersifat metafisik akibat Sekularisasi. Padahal dalam pandangan alam Islami, Iman mengandung unsur
ilmu yang memahamkan tentang kebenaran pada akal manusia.[18]

Sifat dan kegunaan Ilmu pengetahuan menurut al-Attas diantaranya; Ilmu pengetahuan yang sejati
mungkin untuk dicapai manusia karena ciri atau sifat Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki ketegasan
langsung pada manusia dan tidak bisa menunda keputusan terhadap kebenaran pengetahuan tersebut
di masa mendatang. Ilmu yang benar dapat meyakinkan dan memahamkan secara nyata dan
merupakan sifat yang akan menghapuskan kejahilan, keraguan dan dugaan. Ilmu Pengetahuan sejati
merupakan pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap obyeknya melalui
kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut pada gilirannya akan menghantarkan manusia menjadi seseorang
yang beradab. Ilmu pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui hidayah Allah swt dan bukan
diawali oleh keraguan sebagaimana epistemologi Barat. Ilmu pengetahuan menurut al-Attas bersifat
tidak netral atau tidak bebas nilai karena ia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia
sebagai subyek ilmu.

Proses Mengetahui

Ilmu Pengetahuan akan realitas sesuatu dan sifat-sifat dasar pokok ilmu pengetahuan dalam Islam,
dibangun berdasarkan keyakinan yang diperloleh melalui fakultas/indera eksternal dan internal, rasio
(reason) dan intuisi, serta berita yang benar. Berita benar tersebut haruslah didasarkan atas sifat-sifat
dasar saintifik atau agama yang diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.[19] Menurut al-Attas, Islam tidak akan pernah menerima ataupun terpengaruh
oleh etika serta epistemologi relativisme yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran tunggal dari
segala sesuatu. Premis dasar tersebut telah melahirkan paham-paham seperti skeptisisme, agnostisme,
dan subjektisme, yang kesemuanya berperan dalam kelahiran modernisme dan posmodernisme.

Dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysics of Islam[20] dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan
diperoleh oleh manusia melalui tahapan persepsi, abstraksi dan inteleksi yang bersifat intuitif. Obyek
ilmu pengetahuan pertama-tama akan melalui tahap persepsi oleh indera eksternal dan kemudian
disalurkan kepada indera internal pertama yaitu indera umum. Indera umum akan mengabtraksi bentuk
dari obyek ilmu tersebut menjadi citra (image). Citra dari realitas ekternal itu akan disimpan oleh
fakultas representatitif (al-khayâliyyah) ketika obyek ilmu tersebut sudah menghilang dari indera
eksternal tersebut. Citra tersebut kemudian oleh fakultas estimasi akan ditangkap makna non
inderawinya dan membentuk putusan dan pendapat melalui jalan imajinatif dan bukan jalan analitik,
seperti benar dan salah atau baik dan buruk. Makna non inderawi tersebut akan disimpan dan direkam
oleh fakultas berikutnya, yaitu fakultas retentif dan rekolektif sampai kehadiran fakultas Imajinasi.
Fakultas Imajinasi bertugas memadukan dan memisahkan makna-makna partikular yang telah disimpan
oleh fakultas retentif berdasarkan rasio praktis maupun rasio teoritis. Fakultas Imajinasi ini yang
kemudian akan menghubungkan jiwa hewani pada manusia dengan jiwa rasional karena fakultas ini
memiliki dua aspek, yaitu sebagai penerima sensitif dari bentuk-bentuk inderawi, dan sebagai penerima
rasional dari bentuk-bentuk intelijibel.

Setelah proses persepsi dan abstraksi oleh indera, maka bentuk-bentuk intelligible yang dilokalisasi dan
disimpan oleh fakultas-fakultas indera internal, menunggu proses selanjutnya yaitu proses inteleksi oleh
jiwa rasional. Bentuk-bentuk intelligible dan bahkan bentuk imajinasi kognitif tidak memiliki
penyimpanan fisik. Intelek itu substansi spiritual yang terpisah dari materi, dia tidak berada di jiwa atau
pun dalam tubuh. Jiwa rasional memiliki dua kekuatan yaitu intelek aktif (praktis) dan intelek kognitif.
Intelek aktif yaitu yang mengatur gerak tubuh manusia, mengarahkan tindakan indvidu dalam
kesepakan dengan fakultas teoritis dan intelek kognitif, bertanggung jawab akan emosi manusia,
mengatur obyek fisik dan menghasilkan keterampilan dan seni, serta memunculan premis-premis dan
kesimpulan.Intelek kognitif adalah daya jiwa untuk menerima kekuatan kreatif dari pengetahuan
melalui inteleksi dan intuisi jiwa. Kekuatan intelek kognitif ini bersifat spekulatif (nazariyyah).

Proses abstraksi dari inderawi ke intelligible adalah merupakan sebuah proses epistemologi agar jiwa
hadir kepada makna. Proses tersebut mengalami belbagai tahapan yang harus dipenuhi agar tercapai
kesempurnaan dan dimulai pada saat indera melalukan tindakan persepsi terhadap obyek pengetahuan
dan mencapai abstraksi yang sempurna pada saat terjadi proses inteleksi. Sebelum bentuk intelligible
dan universal hadir dalam intelek, bentuk-bentuk inderawi yang partikular yang tercetak pada fakultas-
fakultas indera internal akan tertinggal dalam entitas-entitas fisik . Bentuk tersebut akan menampilkan
kekuatan perseptif dan fakultas-fakultas dilokalisasi oleh tubuh dan disimpan oleh pemelihara mereka
sebagai bentuk-bentuk intelektual.

Imajinasi rasional yang berada di fakultas imajinatif merupakan tempat beradanya inteligibel potensial
yang dengan kehadiran intelek maka inteligibel potensial tersebut akan berubah menjadi inteligibel
aktual. Namun berubah disini bukan berarti inteligibel itu menjadi bentuk yang berbeda. Intelligible
potensial akan melalui proses inteleksi yaitu pempertimbangkan, membandingkan dan menganalisis
mereka serta mengabstraksi dari tambahan material untuk tiba pada makna universalnya. Pertama kali
intelek akan memisahkan sifat dasar esensial mereka dari tambahan aksidental, dari karakteristik yang
serupa dan yang berbeda. Dari makna yang majemuk dalam kesamaannya, intelek dapat menghasilkan
makna tunggal yang universal. Sedangkan dari makna yang serupa pada setiap ketidaksamaannya,
intelek dapat tiba pada makna yang majemuk. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa intelek dapat
menghasilkan makna tunggal dari makna-makna yang majemuk sekaligus menurunkan banyak makna
dari makna yang tunggal. Kemampuan intelek inilah yang menyebabkan manusia dapat melakukan
pembagian logis dari genus, spesies dan diferensia dan juga menghasilkan rumusan silogisme yang
melahirkan kesimpulan serta rumusan definisi-definisi. Menurut al-Attas, aktivitas jiwa dalam menilai
terhadap hal-hal yang partikular hanyalah untuk membawa dirinya kepada sebuah kondisi kesiapan
untuk menerima intelligible dari kecerdasan aktif.

Tibanya jiwa pada makna adalah melalui intuisi, karena intuisi yang menyintesiskan apa yang rasio dan
pengalaman lihat secara terpisah tanpa mampu mengkombinasikannya dalam sebuah sistem yang
koheren. Intuisi hadir apabila manusia memiliki kesiapan untuk menerimanya, yaitu ketika rasio dan
pengalaman sudah terlatih dan memiliki kedisiplinan untuk menginterpretasikannya.[21] Kesiapan
menerima makna menurut al-Attas berkaitan dengan tahapan perkembangan intelekual manusia atau
kemampuan manusia dalam proses inteleksi. Inteleksi ini bersifat intuitif dan iluminatif yang ditentukan
oleh hidayah dari Allah swt yang berkendak mengilhamkan makna sebagai bentuk intelligible ke dalam
jiwa manusia. Al-Attas menyatakan bahwa perkembangan intelektual atau kemampuan intelek
manusia melalui empat tahapan .
Proses perkembangan intelektual manusia berkaitan dengan perkembagan intelek. Pertama, adalah
tahapan intelek material yang merupakan sebuah potensi murni manusia untuk menerima bentuk-
bentuk intelligible namun bersifat tidak aktif. Ketika potensi murni itu diaktifkan oleh kesan-kesan
intelligible yang datang dari intelek-dalam aksi (intellect-in-action) maka hal tersebut akan memungkin
ia memiliki bentuk-bentuk intelligible tanpa sungguh-sungguh berpikir tentang mereka. Bentuk-bentuk
intelligible ini akan tercetak dan dipelihara dalam intelek material sehingga intelek ini tidak dalam
kondisi potensialitas absolut namun berubah menjadi intelek mungkin (possible intellect). Pada kondisi
ini, intelek telah memiliki prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.

Pada tahap kedua, intelek mungkin (possible intellect) kembali diaktivasi oleh intelek-dalam aksi
(intellect-in action) sehingga possible intellect akan menilai bentuk-bentuk Intelligible yang tercetak
padanya. Kondisi ini terus berlangsung sampai possible intellect memiliki semua bentuk spekulatif dan
proses penerimaan berhenti, maka intelek ini akan mencapai kondisi mapan yang cendrung untuk
berpikir tentang bentuk-bentuk intelligible tersebut. Pada kondisi ini intelek mencapai kesempurnaan
dan telah terbentuk pula kebiasaan (habit). Intelek potensial mungkin (possible intellect) pada tahap
ketiga berubah menjadi intelek posesif (possesive intellect) yang bersama-sama dengan intellect-in
action akan menyebabkan ia bisa melakukan tindakan berpikir oleh dirinya sendiri. Tahap
perkembangan ini merupakan tahap ketiga dimana hampir semua manusia mencapai tahapan ini.

Tahapan perkembangan intelektual yang terakhir yang tidak dialami oleh semua manusia yaitu ketika
possive intellect berubah menjadi intelek perolehan (acquired intellect). Saat itu intelek telah mencapai
kondisi aktual yang absolut. Pada tahap ini intelek mampu merefleksikan apa-apa yang ada dalam
dirinya dan berpikir tentang pemikiran yang sedang dipikirkannya itu (swa-inteleksi).

Dari ketiga tahap tersebut al-Attas menyebutkan peran intellect-in action sebagai kunci dari semua
tahapan dimana intelek mencapai intelektualitas yang tertinggi (acquired intelelect). Intelek potensial
tidak dapat berubah menjadi aktual tanpa adanya intellect-in action yang disebut al-Attas sebagai
kecerdasan aktif (active intelligence, al-‘aql al-fa’aal) yang diidentifikasikan sebagai Ruh Suci (al-ruuh al-
qudus) atau secara mendasar diartikan sebagai Tuhan. Dalam hubungannya dengan dengan intelek
manusia, kecerdasaan aktif merupakan intellect-in action yang membangkitkan intelek materi (material
intellect) dari kondisi tidak aktifnya dengan cara mengaktivasi bentuk-bentuk pemikiran yang universal
dan kebenaran abadi menjadi possible intellect. Intelek tersebut akan lebih teraktualisasikan melalui
iluminasi dari intelect-in action pada saat bertransformasi menjadi intelek perolehan ketika ia mampu
melakukan swa- inteleksi.

Hubungan antara Kecerdasan Aktif dengan jiwa menurut al-Attas seperti matahari dan mata. Tanpa ada
cahaya matahari yang datang ke mata, maka organ mata hanyalah sebuah organ potensial dari
penglihatan tanpa bisa digunakan untuk melihat obyek-obyek disekitarnya. Jiwa manusia apabila tidak
mendapatkan cahaya dari Kecerdasan Aktif maka ia tidak akan mampu merubah intelek potensial
menjadi intelek aktual atau inteligibel potensial menjadi inteligibel aktual. Ketika kekuatan intelektif dari
jiwa-dalam hal ini intelek potensial- menilai hal-hal partikular dalam imajinasi, tindakan penilaiannya ini
menyebabkan ia berada dalam kondisi kesiapan untuk menerima bentuk intelligible universal dari
kecerdasan aktif melalui jalan iluminasi.

Kekuatan intelektif merupakan sesuatu yang berbeda dengan jiwa rasional, karena dalam hubungan
antara jiwa dengan intelek, jiwa berperan sebagai agen sedangkan intelek adalah instrumennya, seperti
pisau dengan tindakan pemotongan. Namun pada kenyataannya menurut al-Attas, jiwa, intelek dan
pikiran (mind) menunjuk kepada entitas yang sama. Ia disebut intelek karena entitas tersebut perseptif,
disebut jiwa karena memerintah tubuh, dan disebut pikiran karena ia cendrung untuk menangkap
realitas-realitas. Letak jiwa independen dari tubuh, namun demikian jiwa membutuhkan tubuh di dunia
fisik untuk memperoleh prinsip-prinsip dari ide dan kepercayaan-kepercayaan. Hubungan inilah yang
membuat jiwa mampu mendapatkan hal-hal yang partikular dari kekuatan hewaninya yaitu data-data
yang diperolehnya melalui indera-indera.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa obyek ilmu pengetahuan akan melalui tahapan persepsi,
abstraksi dan inteleksi sampai pada akhirnya makna tiba pada jiwa manusia.

Implikasi terhadap dunia Pendidikan

Implikasi dari epistemologi al-Attas terhadap dunia pendidikan sangatlah besar terutama dalam bidang
pengajaran dan dapat menjadi argumentasi untuk menolak sekularisasi di bidang pendidikan. Al-Attas
dalam epistemologinya secara tegas menekankan bahwa keseluruhan proses pendidikan pada
dasarnya adalah proses pendidikan jiwa. Sekularisasi berusaha menghilangkan Tuhan dan realitas
metafisik dalam logika dan pikiran manusia sehingga kurikulum pendidikan saat ini tidak menekankan
pentingnya mempersiapkan jiwa manusia untuk menerima makna yang bersifat spiritual. Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan sejati haruslah diajarkan melalui pendidikan berbasis pandangan alam
(worldview) Islam agar jiwa manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui latihan dan kedisiplinan
dalam mempraktekan ajaran-ajaran Islam.

Epistemologi al-Attas yang mengacu pada tradisi intelektual Islam juga menjadi antitesis bagi konsep
kecerdasan spiritual yang dikembangkan Barat. Menurut Danah Zohar, sebagai salah seorang tokoh yang
mempopulerkannya, Kecerdasan Spiritual (SQ) merupakan kapasitas bawaan otak manusia yang
memberi manusia kemampuan dasar untuk membentuk makna dan keyakinan. SQ tidak memiliki
hubungan dengan agama institusional. Menurut Zohar, seseorang yang ber SQ tinggi bisa jadi tidak
memeliki keyakinan relijius dan seorang yang sangat relijius sangat mungkin memiliki SQ yang sangat
rendah. [22] Konsep SQ tersebut tentunya datang dari Worldview Barat yang dualistis, yang
memisahkan antara spiritualitas dengan relijiusitas. Makna, nilai dan keyakinan yang dimaksud Zohar,
sangat condong kepada aktualisasi manusia dalam hubungannya dengan dunia materi atau fisik
sehingga aktivitas keagamaan hanya dianggapnya sebagai “salah satu” pilihan untuk mengatasi krisis
eksistensi yang melanda manusia modern.

Epistemologi al-Attas menjelaskan bahwa inti dari ilmu pengetahuan adalah datangnya makna kepada
jiwa. Hal hal tersebut secara implisit mengisyratkan bahwa kecerdasan manusia pada dasarnya adalah
kemampuan manusia menempatkan segala sesuatu pada tempat yang tepat, termasuk di dalamnya
menempatkan Tuhan swt sebagai realitas yang tertinggi dalam kerangka berpikirnya. Pengakuan
terhadap Tuhan tersebut harus diikuti dengan ketaatannya mengikuti syari’at Tuhan yang termaktub
dalam ajaran Islam, sebagai jalan pembuktian penyerahan diri manusia kepada Tuhan. Oleh karena itu,
dalam Islam, tidak ada konsep kecerdasan spiritual sebagaimana definisi Barat. Semua kercerdasan
pada dasarnya memiliki dimensi spiritualitas karena aktivitas intelektual merupakan aktivitas jiwa yang
terhubung dengan Allah swt sebagai pemberi makna dan mengilhamkannya kepada diri manusia.

Implikasi lainnya dari epistemologi yang dikembangkan al-Attas adalah konsep pendidikan karakter
yang dikembangkan Barat saat ini tidak mungkin dapat mencetak manusia-manusia beradab. Menurut
al-Attas, prinsip etika yang sejati dan universal dibangun oleh jiwa manusia ketika jiwa berhubungan
dengan tubuh (entitias fisik) setelah mendapatkan pengetahuan yang benar dari Tuhan sebagai sumber
pengetahuan. Al-Attas juga menegaskan pentingnya kedudukan otoritas wahyu sebagai penjamin dari
tindakan etis manusia yang diperolehnya melalui kebijaksanaan ketika manusia memperoleh ilmu
pengetahuan sejati. Konsekuensinya, etika universal tidak akan mungkin diperoleh dari epistemologi
yang menganggap Tuhan, Jiwa atau realitas metafisika tidak memiliki obyektifitas dan nilai ilmiah
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Penolakan terhadap eksistensi jiwa manusia mencapai puncaknya
oleh kehadiran positivisme yang diilhami tulisan Auguste Comte pada awal abad ke sembilan belas.
Aliran ini sangat menolak pemikiran metafisis karena dianggap sebagai sebuah ilusi dan menganggap
aktivitas ilmiah sebagai suatu aktivitas yang bebas nilai.[23] Adalah sesuatu yang utopis apabila
pendidikan karakter yang universal dirumuskan oleh mereka yang berkiblat pada epistemologi Barat.
Oleh karena itu umat Islam hendaknya mengembangkan konsep akhlak yang memiliki definisi yang
komprehansif dan berakar pada tradisi intelektual Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.

Penutup

Epistemologi Islam menurut Al-Attas menekankan pentingnya intuisi dalam perolehan ilmu melalui
proses iluminatif. Intuisi yang dijabarkan al-Attas berbeda dengan intuisi yang didefinisikan kebanyakan
pemikir-pemikir Barat yang hanya menghubungkan intuisi dengan elemen-elemen indrawi (sensational
elements) seperti yang dikembangkan oleh pemikir Barat salah satunya adalah Henry Bergson (1859-
1941).[24] Intuisi dalam konsep al-Attas bukan hanya pengenalan langsung dan cepat dan cepat (direct
and immediate) subyek ilmu kepada dunia eksternal, kebenaran rasio dan nilai-nilai universal. Namun
intuisi merupakan pengenalan langsung dan cepat terhadap kebenaran relijius, yaitu realitas dan
eksistensi Tuhan. Pengenalan tersebut diperoleh melalui intuisi tingkat tinggi yang disebut intuisi akan
eksistensi (intuition of existence). Intuisi ini menurut al-Attas adalah pekerjaan dari hati (qalb).[25]
Epistemologi al-Attas menekankan pada proses persepsi dan inteleksi yang bersifat intuitif sehingga hal
ini menegaskan bahwa proses memperoleh ilmu pengetahuan merupakan aktivitas spiritual yang
menjadi perbedaan mendasar antara epistemologi Islam dan Barat. Keterlibatan kognitif dalam
epistemologi melibatkan dunia materi dan intelek, atau tubuh dan pikiran.[26] Pernyataan ini
merupakan ciri dari epistemologi Islam yang dijabarkan al-Attas yang menyatukan Rasionalisme dan
Empirisme, sekaligus mengafirmasi pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori. Sejarah filsafat
Barat secara umum hanya mengakui akal dan pengalaman indera sebagai sumber paling otentik dalam
mencapai ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi yang dipaparkan al-Attas, rasio dan intuisi
terhubungkan melalui perantara intelek.

Epistemologi al-Attas juga memiliki implikasi pada dunia pendidikan saat ini, yaitu pertama,
menekankan pentingnya pendidikan berbasis pandangan alam Islami (worldview Islam) agar manusia
memiliki kesiapan untuk menerima ilmu pengetahuan yang benar. Kedua, epistemologi al-Attas
merupakan antitesis terhadap konsep kecerdasan spiritual yang dirumuskan Barat karena pada dasarnya
semua kecerdasan memiliki dimensi spiritualitas yang terhubung dengan Allah swt sebagai pemberi
makna dan mengilhamkannya kepada diri manusia. Ketiga, konsep pendidikan karakter yang bersifat
universal tidak mungkin diperoleh dari epistemologi Barat yang menganggap realitas metafisika tidak
memiliki nilai ilmiah sebagai sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itu umat Islam diharapkan mampu
mengembangkan konsep akhlak yang berakar pada tradisi intelektual Islam dan tidak mengadopsi
konsep pendidikan karakter Barat yang sekuler.

[1] Vincent E. Hendricks, Mainstream and Formal Epistemology, Cambridge : Cambridge University
Press, 2006, hlm. 1

[2] Jonathan Ree (ed), The Concise Encyclopedia of Western Philosophy, 3rd Edition, New York :
Routledge, 2005, hlm. 112-113

[3] Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Cetakan ke-17, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009,
hlm.9

[4] Richard Fumerton, Epistemology, Oxford : Blackwell Publishing, 2005, hlm.1

[5] Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burden ; An Essay in the History and Philosophy of
Science, Istanbul : Fatih Universiti Yyinlari, 2000, hlm. 26
[6] Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and It’s Burden, hlm. 140

[7] Alparslan Acikgenc, The Emergence of Scientific Tradition in Islam, Manchester : FSTC Limited, 2006,
hlm. 10, http://www.fstc.co.uk

[8] Syed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, hlm. 5

[9] Namun menurut al-Attas, al-Ghazali telah memodifikasi konsep para filsuf Islam tersebut dan
mengafirmasi bahwa apa yang diafirmasi mereka tidak berlawan dengan agama dan sebaliknya agama
meminjam dukungan teori mereka dalam hal ini. Hanya saja klaim tentang keutamaan intelek sebagai
petunjuk satu-satunya untuk mengetahui sifat dasar realitas dibantahnya dalam kitab tahaafut yang
ditulisnya. Lihat catatan kaki al-Attas dalam buku Prolegomena to the metaphysic of Islam,2001, hlm.
167

[10]Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung:
Mizan, 1998, hlm. 142.

[11] Hadd merupakan definisi yang menspesifikasikan ciri-ciri utama yang membedakan obyek yang
didefinisikan dari obyek lainnya. Contohnya adalah ‘manusia adalah hewan yang berpikir” (hayawaan
naathiq). kemampuan berbicara (nuthq) yang merupakan manifestasi dari daya berpikir itulah yang
menjadikan manusia beda dari spesies-spesies lainnya yang terdapat dalam genus hewan. Sedangkan
definisi Rasm adalah definisi yang menerangkan ciri-ciri utama suatu obyek, dan bukan esensi dari
obyek tersebut. Contoh, “manusia adalah makhluk yang tertawa”. Jika dalam kategori hadd manusia
dipisahkan dari jenis hewan lainnya, namun definisi rasm hanya menerangkan salah satu aspek dari
manusia. lihat Wan Muhammad Wan Daud, hlm. 143-144

[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang :
Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007, hlm. 13, 39

[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur :
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001, hlm. 133.

[14]Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hlm. 149
[15] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 156

[16] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu, hlm. 42

[17] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 121

[18] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu , hlm. 2

[19] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam , hlm. 14

[20] Proses mengetahui dalam epistemologi al-Attas yang dipaparkan dalam makalah ini disarikan dari
buku al-Attas yang berjudul Prolegomena to the Metaphysics of Islam terutama bab mengenai Psikologi
Jiwa Manusia, serta bab mengenai Islam dan Filsafat Sains.

[21] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm.120

[22] Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Capital; Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, Cetakan
kedua, Bandung : Mizan, 2005, hlm. 116.

[23] Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Cetakan Kedua,
Yogyakarta : AK Group, 2007, hlm. 60

[24] Intuisi menurutnya adalah mengetahui secara langsung atau “to know directly”. Melalui metode
intuisi, kepercayaan filosofis (philosophical belief) dibangun melalui kebenaran yang dipersepsikan
secara langsung (directly pereceived truth). Pengetahuan langsung dari pikiran tersebut tidak
memerlukan simbol-simbol (one can directly experience one’s mind, Such direct knowledge of the mind
does not require symbols). Lihat James A. Gould (ed), Classic Philosophical Questions, Sixth Edition,
Colobus : Merrill Publishing Company, 1989, hlm. 221

[25] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam , hlm. 119

[26] Ibid, 167

Anda mungkin juga menyukai