Anda di halaman 1dari 11

Brief Policy 2019

Persiapan Zakat Pengurang Pajak di Indonesia: Studi Kasus di Aceh

Dodik Siswantoro, Mohammad Soleh Nurzaman, Sri Nurhayati dan Agus Munandar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

1. Pendahuluan
Berbeda dengan pajak yang diwajibkan kepada seluruh warga negara yang telah memenuhi syarat
sebagai wajib pajak, zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat
wajib zakat. Zakat dapat menjadi komplemen pajak di dalam program pengentasan kemiskinan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan zakat bisa bersifat melengkapi
kekurangan pajak karena memperluas dan menambah area penghasilan yang wajib dibayarkan
oleh wajib pajak (AlMatar, 2015). Sebagai komplemen, berdasarkan argumentasi berbasis teori
Keyness, zakat memberikan dampak positif terhadap pendapatan domestik bruto (Sakti, 2007).
Namun demikian, pada awalnya zakat merupakan salah satu sumber utama bagi perekonomian
negara pada zaman nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan para sahabatnya.
Berbagai negara mengatur secara berbeda mengenai hubungan antara zakat dan pajak.
Peraturan tentang hubungan zakat dan pajak memiliki tiga kemungkinan yaitu, zakat sebagai
pengurang Penghasilan Kena Pajak, zakat sebagai pengurang pajak (zakat rebate), dan zakat tidak
sebagai pengurang pajak. Malaysia termasuk negara yang mengatur bahwa zakat sebagai
pengurang pajak. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang mengatur zakat sebagai pengurang
Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Di Indonesia, insentif zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (zakat as taxable
income deduction) telah berlaku sejak 1999. Sementara peraturan teknisnya baru ada pada tahun
2011, jadi diperlukan 12 tahun agar dapat diterapkan UU tersebut. Akan tetapi jumlah wajib pajak
yang memanfaatkan insentif tersebut masih sedikit. Hal ini dikarenakan kompleksitas klaim dan
kurang signifikan manfaat yang diterima jika dibandingkan dengan usaha yang dilakukan.
Di Aceh, Pemerintah daerah telah merumuskan kebijakan yang menawarkan insentif berupa
zakat sebagai pengurang pajak melalui UU No 11 tahun 2006 pasal 192 dan mengakui zakat

1
sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota. Nurhayati
& Siswantoro (2015) menjelaskan bahwa implementasi peraturan tersebut kurang efektif karena
belum mendapatkan dukungan dari regulasi perpajakan. Harmonisasi regulasi antara zakat dan
pajak akan memudahkan komunikasi antara wajib zakat dan wajib pajak dengan Pemerintah, dan
dimungkinkan dapat terealisasinya UU yang telah ditetapkan tersebut. Selain itu, konsistensi
regulasi zakat dan pajak akan memudahkan perhitungan pajak terutang atau restitusi yang
dilakukan oleh wajib zakat dan pajak
Sebagai komparasi regulasi adalah Malaysia melalui Income Tax Act 1967, dimana
Pemerintah Malaysia menempatkan zakat sebagai pengurang pajak (zakat rebate) dan tidak
dimasukan ke dalam anggaran Pemerintah (government budget, Regulasi yang menempatkan
zakat sebagai pengurang pajak memberikan insentif yang lebih baik kepada pembayar zakat dan
pajak karena jumlah nominal pajak dan zakat yang dibayarkan secara total menjadi lebih kecil
daripada ketika regulasinya menempatkan zakat hanya sebagai pengurang Penghasilan Kena
Pajak.
Di regulasi Malaysia, zakat bersifat wajib (mandatory). Hal ini berdasarkan Income Tax Act
1967, Part II Imposition and General Characteristics of the Tax, yang menjelaskan bahwa zakat
bersifat wajib bagi seluruh warga negara Muslim Malaysia yang telah memenuhi syarat wajib
zakat dan diberikan insentif berupa zakat sebagai pengurang utang pajak bagi pembayarnya
sebagaimana kutipan berikut,
A rebate shall be granted for a year of assessment for any zakat, fitrah or any other
Islamic religious dues payment of which is obligatory and which are paid in the basis
year for that year of assessment to, and evidenced by a receipt issued by, an
appropriate religious authority established under any written law.

Berdasarkan fakta bahwa jumlah penerimaan zakat di Indonesia, khususnya Aceh, yang belum
optimal dan belum terimplementasinya Undang-undang Aceh No. 11/2006 tentang zakat
pengurang pajak maka diperlukan dukungan atas undang-undang tersebut agar dapat diterapkan.

2. Dasar Hukum Zakat Pengurang Pajak


Berikut beberapa dasar hukum zakat pengurang pajak di Indonesia untuk kasus di Aceh:
a. Undang Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

2
Di UU RI No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 180 menjelaskan bahwa zakat
merupakan salah satu Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD
kabupaten/kota sebagaimana yang dimaksud Pasal 179 ayat (2) huruf a. Zakat, harta wakaf,
dan harta agama yang telah dikumpulkan dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
kabupaten/kota sebagaimana dipaparkan di Pasal 191. Terkait insentif zakat sebagai
pengurang pajak, di Pasal 192 dijelaskan bahwa zakat yang dibayar menjadi faktor
pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak.
b. Qanun Aceh No. 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal
Qanun ini merupakan regulasi untuk mengimplementasikan pemberlakuan Syariat Islam di
Aceh sebagaimana disampaikan di Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Qanun Aceh No. 10 tahun
2007 diterbitkan untuk mengatur tentang Baitul Mal yang bersifat strategis dan penting untuk
mengoptimalkan pendayagunaan zakat, waqaf dan harta sehingga pengelolaannya dapat
dilakukan secara efektif, profesional, dan bertanggung jawab.
c. Qanun Aceh No. 1 tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh
Di Qanun Aceh No. 1 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, Pasal 23
menjelaskan secara spesifik mengenai zakat termasuk dalam Pendapatan Asli Aceh
sebagaimana dipaparkan di pasal 24. Hal ini konsisten dengan ketentuan di UU RI No. 11
tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang menjelaskan bahwa zakat merupakan salah satu
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota yang pengelolaannya
dilakukan oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota.
d. Qanun Aceh No. 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal.
Qanun ini merupakan pengganti Qanun Aceh No. 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal yang
dikatakan masih belum sepenuhnya menampung perkembangan kebutuhan masyarakat
terhadap pengelolaan zakat, infak, wakaf, harta keagamaan lainnya dan perwalian. Qanun ini
merupakan salah satu regulasi turunan untuk mengimplementasikan Pasal 180 ayat (1) huruf
d, Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh yang menjelaskan bahwa zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dikelola oleh
Baitul Mal. Qanun ini menjelaskan beberapa hal terkait baitul mal seperti definisi istilah,
asas penyelenggaraan baitul mal, tujuan penyelenggaraan, struktur organisasi, tugas, fungsi,
dan wewenang, pelaporan dan tanggung jawab, pengelolaan zakat dan infak, nisab zakat,

3
penganggaran, penyaluran, dan hal lain yang berkaitan sebagaimana disebutkan di Qanun
Aceh No. 10 tahun 2018 Tentang Baitul Mal.
Untuk zakat pengurang pajak diatur di pasal 105, dasar zakat tersebut dibayarkan ke Baitul
Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK). Namun demikian untuk
implementasi akan diatur di Peraturan Gubernur setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.

3. Konsep Zakat Pengurang Pajak


Sebagaimana telah dipahami secara umum, Pemerintah membutuhkan sejumlah sumber daya yang
besar untuk membiayai program-program dasar (basic programs) seperti pengurangan kemiskinan,
mempromosikan dan merealisasikan pembangunan SDM serta untuk menjalankan sistem
pemerintahan yang efektif. Namun sayangnya untuk membiayai program-program dasar tersebut
hasil pajak seringkali tidak mencukupi, sehingga Pemerintah kemudian menetapkan defisit
anggaran yang mengakibatkan munculnya pembayaran utang dan beban bunga utang yang
bebannya cukup besar.
Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, berbagai kemungkinan untuk melibatkan secara
aktif sektor privat (swasta) memang seharusnya dipertimbangkan. Sumber penerimaan alternatif
yang potensial dalam sistem fiskal nasional diantaranya adalah zakat. Karena menurut penelitian
(Iqbal dan Khan, 2004), zakat dapat dimasukkan sebagai sumber pendapatan negeri-negeri Muslim
yang paling mungkin dan dapat dikembangkan dalam era modern.
Instrumen zakat juga memiliki justifikasi yang kuat untuk diintegrasikan dalam sistem fiskal
nasional. Hal ini didasari kenyataan bahwa secara sosiologis dan demografis Indonesia adalah
negeri Muslim terbesar. Dan pada saat yang sama secara filosofis, zakat memiliki legitimasi yang
kuat ketika diintegrasikan dalam sistem fiskal. Hal ini didukung kenyataan bahwa potensi zakat
sangatlah besar dimana menurut data BAZNAS tahun 2018, potensi penghimpunan zakat
mencapai Rp252 triliun, sementara penghimpunan total nasional baru mencapai Rp8,1 triliun.
Zakat tidak diposisikan untuk mensubstitusi pajak. Zakat dapat menjadi komplementer pajak
dan sumber penerimaan negara lainnya, untuk mengurangi masalah-masalah dalam sistem fiskal
nasional. Keduanya tetap bisa berjalan seiring sejalan, karena eksistensi pajak juga dibolehkan
dalam sistem fiskal yang sesuai dengan nilai Islam. Dalam sistem fiskal Islam klasik para Fuqaha
telah memberikan justifikasi jika hasil dari zakat tidak mencukupi, maka sudah menjadi tanggung

4
jawab yang tak terelakkan dari masyarakat untuk menemukan cara dan alat lain untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat sepanjang sesuai dengan kaidah fikih.
Dalam konteks Indonesia, relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan UU No 38/1999
sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang
pendapatan kena pajak (taxable income deduction). Semangat ketentuan ini adalah agar wajib
pajak tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran
membayar zakat diharapkan juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Dalam praktiknya hingga kini, zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP) belum
memberikan dampak yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain
sebagai berikut:
a. Publik (muzzaki) tidak termotivasi untuk melaporkan zakat yang dibayarkan kepada Ditjen
Pajak atau KPP (Kantor Pelayanan Pajak), karena dampak zakat bagi pengurangan
pajaknya relatif kecil.
b. Penerimaan zakat tidak tumbuh proporsional dengan penerimaan pajak.
c. Pemerintah belum mempunyai data yang komprehensif tentang potensi zakat dan pajak
secara akurat.
d. Adanya inefisiensi dan inefektifitas dalam pemungutan zakat dan pajak.
e. Oleh karena insentif pajak berupa zakat sebagai biaya yang mengurangi Panghasilan Kena
Pajak (PKP) dinilai tidak efektif, maka dapat ditingkatkan kembali peranannya menjadi
zakat sebagai Kredit Pajak.

Amandemen UU No. 38 tahun 1999 menjadi UU No.23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
dianggap gagal untuk mewujudkan adanya komponen zakat sebagai pengurang pajak (zakat
rebate), namun amandemen tersebut tetap memberikan poin positif terutama dengan terbentuknya
Baznas sebagai regulator tunggal pengelolaan zakat yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Kondisi ini semakin menegaskan tentang pentingnya peran negara dalam manajemen
pengelolaan zakat. Namun demikian, untuk kasus di Aceh permasalahan bukan pada Undang-
undangnya, namun lebih kepada Undang-undang pendukung seperti Undang-undang pajak dan
turunannya hingga tingkat teknis yang belum ada.
Di beberapa negara dengan penduduk mayoritas Muslim, zakat telah sepenuhnya menjadi
pengurang pajak, misalnya, di Pakistan, berdasarkan Income Tax Ordinance 2001, wajib pajak

5
dapat mengurangkan pajak dengan seluruh zakat yang dibayarkan sebagaimana diatur dalam Zakat
and Ushr Ordinance 1980. Di Malaysia, ketentuan ini telah lama dilaksanakan. Berdasarkan
Income Tax Act 1967, individu di Malaysia dapat mengurangkan pembayaran zakat dari jumlah
pajak terutang. Namun, tidak ada zakat rebate untuk perusahaan yang membayar zakat.

4. Isu dan Masalah dalam Zakat Pengurang Pajak


Dasar perlakuan zakat sebagai pengurang pajak pada dasarnya berdasarkan prinsip keadilan yaitu
tidak adanya beban ganda untuk seorang individu dalam konteks pembayaran zakat dan juga
sekaligus pajak. Permasalahan yang muncul dengan belum terterapkannya prinsip zakat sebagai
pengurang pajak disebabkan belum adanya payung hukum atau UU berikut turunan peraturan
pelaksanaannya yang mengatur hal tersebut. Bahkan untuk Aceh dengan UU No. 11 tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh yang sudah memuat ketetapan bahwa zakat sebagai pengurang pajak pun
belum dapat diimplementasi kan karena belum ada ketentuan perpajakan yang menunjang hal
tersebut. Tidak adanya harmonisasi atau keselarasan karena pajak mengacu pada UU No. 36 Tahun
2008 dipertegas dengan PP No. 60 Tahun 2010 menyatakan zakat diperlakukan sebagai pengurang
Penghasilan Kena Pajak (PKP) bukan sebagai pengurang zakat. Untuk dapat merealisasikan hal
ini diperlukan dukungan sepenuhnya dari pemerintah/eksekutif dan legislatif untuk dapat
merealisasikan zakat sebagai pengurang pajak.
Masalah lain zakat tidak dapat diperlakukan sebagai pengurang pajak dikarenakan pengelolaan
pajak dan zakat dilakukan oleh lembaga yang berbeda. Selain itu perbedaan perlakuan dimana
pajak masuk kedalam pendapatan negara sedangkan zakat tidak. Pembayaran pajak diakui sebagai
pendapatan negara (di bawah Kementrian Keuangan), sementara penanggung jawab zakat adalah
BAZNAS (dibawah Kementrian Agama) dan penerimaan zakat tidak masuk dalam pendapatan
negara. Hal ini dijadikan alasan sulit memperlakukan zakat sebagai pengurang pajak walaupun
sebenarnya ini hanyalah masalah pencatatan penerimaan dan pengalokasian dana. Di Malaysia,
kebijakan zakat sebagai pengurang pajak sudah berjalan walaupun penghimpunan dilakukan oleh
Lembaga Zakat wilayah kemudian penyaluran zakat dilakukan oleh Majelis Agama Islam. Zakat
tidak diakui dalam pendapatan Negara, sementara pajak yang dikelola oleh (LHDN) diakui dalam
pendapatan negara. Di Malaysia, negara mendukung sepenuhnya atas perlakukan zakat sebagai
pengurang pajak. Tentu saja karena zakat adalah sesuatu yang khas baik dari syarat pemungutan

6
maupun penyaluran zakat yang hanya boleh disalurkan ke 8 golongan maka sudah pasti unit yang
bertanggung jawab atas zakat harus mengetahui ketentuan syariahnya.
Permasalahan lain adalah adanya kekhawatiran dari Pemerintah akan menurunnya penerimaan
pajak dengan ditetapkannya zakat sebagai pengurang pajak. Sebenarnya hal ini kurang beralasan
menimbang penerimaan zakat saat ini masih sangat kecil dibandingkan penerimaan pajak.
Diharapkan kedepannya justru dengan diperlakukannya zakat sebagai pengurang pajak dapat
meningkatkan penerimaan zakat seiring dengan itu penerimaan pajak pun meningkat. Mengingat
zakat merupakan kewajiban seorang Muslim yang wajib untuk ditunaikan.

5. Metode Perhitungan Zakat Pengurang Pajak


Dalam pembahasan ini wajib pajak dibatasi hanya untuk perseorangan atau individu, baik sebagai
seorang entrepreneur maupun sebagai karyawan. Zakat pengurang pajak artinya pajak yang akan
dibayarkan adalah sebesar pajak terutang dikurangi zakat yang dibayarkan. Sementara itu, zakat
yang dapat dikurangkan dari pajak adalah zakat yang dibayarkan pada Lembaga zakat resmi yang
diakui Pemerintah.
Zakat dapat dibayarkan melalui pemberi kerja atau dibayarkan secara mandiri melalui transfer
rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Dari pembayaran
zakat, akan diperoleh bukti setor zakat yang pada gilirannya digunakan sebagai bukti pengurang
untuk perhitungan pajak.
Berikut beberapa perlakuan untuk berbagai kondisi wajib pajak yang berbeda yaitu:
a. Orang Pribadi yang memiliki sumber penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas.
Perhitungan pajak terutang sesuai dengan transaksi yang ada dan dilakukan pada tahun
berjalan kemudian dari pajak yang terutang dikurangi dengan bukti setor zakat dan
selisihnya adalah pajak yang harus disetor.
b. Orang Pribadi yang memiliki sumber penghasilan dari pemberi kerja (sebagai karyawan).
Pemberi kerja dapat langsung menghitung pajak yang dibayarkan dengan mengurangkan
zakat (dari bukti setor zakat) atas pajak terutang. Pembayaran zakat oleh wajib zakat dapat
dilakukan (1) melalui pemberi kerja yang secara langsung memungut zakat wajib pajak
yang kemudian dibayarkan ke lembaga yang diakui Pemerintah atau (2) wajib pajak
membayarkan sendiri zakatnya kemudian memberitahukan kepada bagian atau divisi yang

7
melakukan perhitungan dan pembayaran pajak. Besaran zakat yang dibayarkan dapat
berasal dari 2 sumber yaitu zakat profesi dan zakat maal yang dibayar oleh wajib pajak.
c. Orang Pribadi yang memiliki sumber penghasilan hanya dari satu pemberi kerja yang
jumlah bruto penghasilan setahun tidak melebihi Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)
dan tidak mempunyai penghasilan lainnya kecuali dari bunga bank dan bunga koperasi.
Dalam kondisi ini wajib pajak tidak dapat melakukan klaim zakat untuk pengurang pajak.

6. Pendekatan dan Metode


Metode penelitian yang digunakan dari kajian ini adalah metode kualitatif, pengumpulan data
dilakukan dengan interviu mendalam ke Lembaga terkait di dalam negeri dan di Malaysia sebagai
negara yang telah menerapkan zakat pengurang pajak (zakat rebate). Perbedaan kebijakan di
Malaysia pada dasarnya bisa diambil benang merah dimana mereka mempermudah proses tersebut
bagi wajib pajak untuk melakukan pengurangan pajak dengan zakat yang dibayarkan ke Lembaga
zakat yang resmi.
Untuk memperkuat analisis dan pengayaan kajian maka dilakukan juga Focus Group
Disscussion (FGD) dengan melibatkan beberapa pakar zakat di Malaysia dan praktisi sehingga
dari analisis yang dilakukan dapat diambil kesimpulan hingga pemahaman praktek di lapangan.
Di dalam FGD juga dibahas mengenai dampak dan kemungkinan praktek zakat pengurang pajak
ini. Setelah dilakukan pengambilan data dan dibuatkan draf awal maka dilakukan proses
konfirmasi ke Lembaga terkait sehingga analisis yang dibuat menjadi valid.

7. Usulan Aplikasi Zakat Pengurang Pajak: Kasus Aceh


Berdasarkan pasal 192 Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
disebutkan bahwa zakat dapat menjadi pengurang pajak penghasilan yang dibayar. Zakat ini
dipungut oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten / kota. Agar hal tersebut dapat dilakukan
maka ada beberapa usulan yang perlu mendapat perhatian:

a. Revisi atas Undang Undang No. 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan terutama pasal
9 ayat 1 (g) mengenai zakat yang dapat mengurangkan Penghasilan Kena Pajak menjadi
pengurang pajak penghasilan yang dibayarkan ke Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal
kabupaten /kota yang dibuat di dalam pasal lain. Ini beserta peraturan pendukung di
bawahnya hingga tingkat teknis pelaksanaan.
8
b. Untuk pembayaran pajak sudah memperhitungkan pengurangan zakat dan dapat dilakukan
setiap bulan dengan menyerahkan bukti bayar zakat tiap bulan dan akhir tahun sehingga
pajak yang dibayarkan sudah bersih dari zakat. Pembayar zakat bisa mengajukan kepada
pemberi kerja atau sebagai pemilik perusahaan.
c. Adapun kelebihan dari pembayaran pajak yang dibayarkan setelah dihitung dari Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan dapat dilakukan proses restitusi ke kantor pajak
tanpa disertai adanya audit jumlah pendapatan atau harta yang dimiliki oleh pembayar
zakat.
d. Zakat pengurang pajak hanya berlaku di Aceh termasuk kepada pembayar pajak dan zakat
di lingkungan Aceh.
Zakat sebagai pengurang pajak merupakan hal yang bisa memberikan kegairahan bagi pembayar
zakat dan pajak untuk lebih disiplin dalam membayarkan kedua hal tersebut.

8. Kesimpulan
Kedudukan zakat dan pajak harus setara, salah satu contohnya bisa merujuk pada Income Tax Act
1967 Act No. 53 di Malaysia yang jelas memberikan informasi bahwa zakat, fitrah dan jenis
pembayaran Islam lainnya yang dibayarkan ke otoritas dapat sebagai pengurang pajak. Untuk
kasus di Indonesia, perlu ada amademen Undang-undang pajak untuk mengakomodir zakat
sebagai pengurang pajak. Di samping itu, perlu ada kemudahan dalam proses zakat sebagai
pengurang pajak dengan tidak perlu adanya audit khusus jika ada orang yang akan mengajukan
restitusi karena kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal ini, untuk implementasi awal, Dirjen
Pajak perlu memberikan kemudahan dalam proses yang terkait dengan zakat sebagai pengurang
pajak di Aceh dikarenakan secara regulasi UU no.11 telah memberikan penegasan kebijakan zakat
sebagai pengurang pajak di Aceh.

9. Daftar Pustaka
Ali Sakti. (2007). Ekonomi Islam: Jawaban atan Kekacauan Ekonomi Modern. Paradigma: Aqsa.
AlMatar, D. F. (2015). Zakat vs. Taxation: the issue of social justice and redistribution of wealth.
European Journal of Business, Economics and Accountancy, 3(3), 119–129.

9
Iqbal, M. dan Khan, T. (2004) Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective,
Occasional Paper No.7, Jeddah: Islamic Research and Training Institute, Islamic
Development Bank.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2006). Undang-undang No.
11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2008). Undang-undang No.
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2010). Peraturan Pemerintah
No. 60 tahun 2010 tentang Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2011). Undang-undang No.
23 tahun 2011tentang Pengelolaan zakat.
Nurhayati, S., & Siswantoro, D. (2015). Factors on Zakat (Tithe) Preference as a Tax Deduction
in Aceh, Indonesia. International Journal of Nusantara Islam, 3 (1): 1-20.
Pemerintah Aceh (2007). Qanun Aceh No. 10/2007 tentang Baitul Mal.
Pemerintah Aceh (2008). Qanun Aceh No. 1/2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh.
Pemerintah Aceh (2018). Qanun Aceh No. 20/2018 tentang Baitul Mal.
The Commissioner of Law Revision (2006). Income Tac Act 1967. Kuala Lumpur: Percetakan
Nasional Malaysia Berhad.

10

Anda mungkin juga menyukai