Dodik Siswantoro, Mohammad Soleh Nurzaman, Sri Nurhayati dan Agus Munandar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
1. Pendahuluan
Berbeda dengan pajak yang diwajibkan kepada seluruh warga negara yang telah memenuhi syarat
sebagai wajib pajak, zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat
wajib zakat. Zakat dapat menjadi komplemen pajak di dalam program pengentasan kemiskinan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan zakat bisa bersifat melengkapi
kekurangan pajak karena memperluas dan menambah area penghasilan yang wajib dibayarkan
oleh wajib pajak (AlMatar, 2015). Sebagai komplemen, berdasarkan argumentasi berbasis teori
Keyness, zakat memberikan dampak positif terhadap pendapatan domestik bruto (Sakti, 2007).
Namun demikian, pada awalnya zakat merupakan salah satu sumber utama bagi perekonomian
negara pada zaman nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan para sahabatnya.
Berbagai negara mengatur secara berbeda mengenai hubungan antara zakat dan pajak.
Peraturan tentang hubungan zakat dan pajak memiliki tiga kemungkinan yaitu, zakat sebagai
pengurang Penghasilan Kena Pajak, zakat sebagai pengurang pajak (zakat rebate), dan zakat tidak
sebagai pengurang pajak. Malaysia termasuk negara yang mengatur bahwa zakat sebagai
pengurang pajak. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang mengatur zakat sebagai pengurang
Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Di Indonesia, insentif zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (zakat as taxable
income deduction) telah berlaku sejak 1999. Sementara peraturan teknisnya baru ada pada tahun
2011, jadi diperlukan 12 tahun agar dapat diterapkan UU tersebut. Akan tetapi jumlah wajib pajak
yang memanfaatkan insentif tersebut masih sedikit. Hal ini dikarenakan kompleksitas klaim dan
kurang signifikan manfaat yang diterima jika dibandingkan dengan usaha yang dilakukan.
Di Aceh, Pemerintah daerah telah merumuskan kebijakan yang menawarkan insentif berupa
zakat sebagai pengurang pajak melalui UU No 11 tahun 2006 pasal 192 dan mengakui zakat
1
sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota. Nurhayati
& Siswantoro (2015) menjelaskan bahwa implementasi peraturan tersebut kurang efektif karena
belum mendapatkan dukungan dari regulasi perpajakan. Harmonisasi regulasi antara zakat dan
pajak akan memudahkan komunikasi antara wajib zakat dan wajib pajak dengan Pemerintah, dan
dimungkinkan dapat terealisasinya UU yang telah ditetapkan tersebut. Selain itu, konsistensi
regulasi zakat dan pajak akan memudahkan perhitungan pajak terutang atau restitusi yang
dilakukan oleh wajib zakat dan pajak
Sebagai komparasi regulasi adalah Malaysia melalui Income Tax Act 1967, dimana
Pemerintah Malaysia menempatkan zakat sebagai pengurang pajak (zakat rebate) dan tidak
dimasukan ke dalam anggaran Pemerintah (government budget, Regulasi yang menempatkan
zakat sebagai pengurang pajak memberikan insentif yang lebih baik kepada pembayar zakat dan
pajak karena jumlah nominal pajak dan zakat yang dibayarkan secara total menjadi lebih kecil
daripada ketika regulasinya menempatkan zakat hanya sebagai pengurang Penghasilan Kena
Pajak.
Di regulasi Malaysia, zakat bersifat wajib (mandatory). Hal ini berdasarkan Income Tax Act
1967, Part II Imposition and General Characteristics of the Tax, yang menjelaskan bahwa zakat
bersifat wajib bagi seluruh warga negara Muslim Malaysia yang telah memenuhi syarat wajib
zakat dan diberikan insentif berupa zakat sebagai pengurang utang pajak bagi pembayarnya
sebagaimana kutipan berikut,
A rebate shall be granted for a year of assessment for any zakat, fitrah or any other
Islamic religious dues payment of which is obligatory and which are paid in the basis
year for that year of assessment to, and evidenced by a receipt issued by, an
appropriate religious authority established under any written law.
Berdasarkan fakta bahwa jumlah penerimaan zakat di Indonesia, khususnya Aceh, yang belum
optimal dan belum terimplementasinya Undang-undang Aceh No. 11/2006 tentang zakat
pengurang pajak maka diperlukan dukungan atas undang-undang tersebut agar dapat diterapkan.
2
Di UU RI No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 180 menjelaskan bahwa zakat
merupakan salah satu Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD
kabupaten/kota sebagaimana yang dimaksud Pasal 179 ayat (2) huruf a. Zakat, harta wakaf,
dan harta agama yang telah dikumpulkan dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
kabupaten/kota sebagaimana dipaparkan di Pasal 191. Terkait insentif zakat sebagai
pengurang pajak, di Pasal 192 dijelaskan bahwa zakat yang dibayar menjadi faktor
pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak.
b. Qanun Aceh No. 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal
Qanun ini merupakan regulasi untuk mengimplementasikan pemberlakuan Syariat Islam di
Aceh sebagaimana disampaikan di Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Qanun Aceh No. 10 tahun
2007 diterbitkan untuk mengatur tentang Baitul Mal yang bersifat strategis dan penting untuk
mengoptimalkan pendayagunaan zakat, waqaf dan harta sehingga pengelolaannya dapat
dilakukan secara efektif, profesional, dan bertanggung jawab.
c. Qanun Aceh No. 1 tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh
Di Qanun Aceh No. 1 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, Pasal 23
menjelaskan secara spesifik mengenai zakat termasuk dalam Pendapatan Asli Aceh
sebagaimana dipaparkan di pasal 24. Hal ini konsisten dengan ketentuan di UU RI No. 11
tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh yang menjelaskan bahwa zakat merupakan salah satu
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan PAD kabupaten/kota yang pengelolaannya
dilakukan oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota.
d. Qanun Aceh No. 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal.
Qanun ini merupakan pengganti Qanun Aceh No. 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal yang
dikatakan masih belum sepenuhnya menampung perkembangan kebutuhan masyarakat
terhadap pengelolaan zakat, infak, wakaf, harta keagamaan lainnya dan perwalian. Qanun ini
merupakan salah satu regulasi turunan untuk mengimplementasikan Pasal 180 ayat (1) huruf
d, Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh yang menjelaskan bahwa zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dikelola oleh
Baitul Mal. Qanun ini menjelaskan beberapa hal terkait baitul mal seperti definisi istilah,
asas penyelenggaraan baitul mal, tujuan penyelenggaraan, struktur organisasi, tugas, fungsi,
dan wewenang, pelaporan dan tanggung jawab, pengelolaan zakat dan infak, nisab zakat,
3
penganggaran, penyaluran, dan hal lain yang berkaitan sebagaimana disebutkan di Qanun
Aceh No. 10 tahun 2018 Tentang Baitul Mal.
Untuk zakat pengurang pajak diatur di pasal 105, dasar zakat tersebut dibayarkan ke Baitul
Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK). Namun demikian untuk
implementasi akan diatur di Peraturan Gubernur setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
4
jawab yang tak terelakkan dari masyarakat untuk menemukan cara dan alat lain untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat sepanjang sesuai dengan kaidah fikih.
Dalam konteks Indonesia, relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan UU No 38/1999
sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang
pendapatan kena pajak (taxable income deduction). Semangat ketentuan ini adalah agar wajib
pajak tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran
membayar zakat diharapkan juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Dalam praktiknya hingga kini, zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP) belum
memberikan dampak yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain
sebagai berikut:
a. Publik (muzzaki) tidak termotivasi untuk melaporkan zakat yang dibayarkan kepada Ditjen
Pajak atau KPP (Kantor Pelayanan Pajak), karena dampak zakat bagi pengurangan
pajaknya relatif kecil.
b. Penerimaan zakat tidak tumbuh proporsional dengan penerimaan pajak.
c. Pemerintah belum mempunyai data yang komprehensif tentang potensi zakat dan pajak
secara akurat.
d. Adanya inefisiensi dan inefektifitas dalam pemungutan zakat dan pajak.
e. Oleh karena insentif pajak berupa zakat sebagai biaya yang mengurangi Panghasilan Kena
Pajak (PKP) dinilai tidak efektif, maka dapat ditingkatkan kembali peranannya menjadi
zakat sebagai Kredit Pajak.
Amandemen UU No. 38 tahun 1999 menjadi UU No.23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
dianggap gagal untuk mewujudkan adanya komponen zakat sebagai pengurang pajak (zakat
rebate), namun amandemen tersebut tetap memberikan poin positif terutama dengan terbentuknya
Baznas sebagai regulator tunggal pengelolaan zakat yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Kondisi ini semakin menegaskan tentang pentingnya peran negara dalam manajemen
pengelolaan zakat. Namun demikian, untuk kasus di Aceh permasalahan bukan pada Undang-
undangnya, namun lebih kepada Undang-undang pendukung seperti Undang-undang pajak dan
turunannya hingga tingkat teknis yang belum ada.
Di beberapa negara dengan penduduk mayoritas Muslim, zakat telah sepenuhnya menjadi
pengurang pajak, misalnya, di Pakistan, berdasarkan Income Tax Ordinance 2001, wajib pajak
5
dapat mengurangkan pajak dengan seluruh zakat yang dibayarkan sebagaimana diatur dalam Zakat
and Ushr Ordinance 1980. Di Malaysia, ketentuan ini telah lama dilaksanakan. Berdasarkan
Income Tax Act 1967, individu di Malaysia dapat mengurangkan pembayaran zakat dari jumlah
pajak terutang. Namun, tidak ada zakat rebate untuk perusahaan yang membayar zakat.
6
maupun penyaluran zakat yang hanya boleh disalurkan ke 8 golongan maka sudah pasti unit yang
bertanggung jawab atas zakat harus mengetahui ketentuan syariahnya.
Permasalahan lain adalah adanya kekhawatiran dari Pemerintah akan menurunnya penerimaan
pajak dengan ditetapkannya zakat sebagai pengurang pajak. Sebenarnya hal ini kurang beralasan
menimbang penerimaan zakat saat ini masih sangat kecil dibandingkan penerimaan pajak.
Diharapkan kedepannya justru dengan diperlakukannya zakat sebagai pengurang pajak dapat
meningkatkan penerimaan zakat seiring dengan itu penerimaan pajak pun meningkat. Mengingat
zakat merupakan kewajiban seorang Muslim yang wajib untuk ditunaikan.
7
melakukan perhitungan dan pembayaran pajak. Besaran zakat yang dibayarkan dapat
berasal dari 2 sumber yaitu zakat profesi dan zakat maal yang dibayar oleh wajib pajak.
c. Orang Pribadi yang memiliki sumber penghasilan hanya dari satu pemberi kerja yang
jumlah bruto penghasilan setahun tidak melebihi Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)
dan tidak mempunyai penghasilan lainnya kecuali dari bunga bank dan bunga koperasi.
Dalam kondisi ini wajib pajak tidak dapat melakukan klaim zakat untuk pengurang pajak.
a. Revisi atas Undang Undang No. 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan terutama pasal
9 ayat 1 (g) mengenai zakat yang dapat mengurangkan Penghasilan Kena Pajak menjadi
pengurang pajak penghasilan yang dibayarkan ke Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal
kabupaten /kota yang dibuat di dalam pasal lain. Ini beserta peraturan pendukung di
bawahnya hingga tingkat teknis pelaksanaan.
8
b. Untuk pembayaran pajak sudah memperhitungkan pengurangan zakat dan dapat dilakukan
setiap bulan dengan menyerahkan bukti bayar zakat tiap bulan dan akhir tahun sehingga
pajak yang dibayarkan sudah bersih dari zakat. Pembayar zakat bisa mengajukan kepada
pemberi kerja atau sebagai pemilik perusahaan.
c. Adapun kelebihan dari pembayaran pajak yang dibayarkan setelah dihitung dari Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan dapat dilakukan proses restitusi ke kantor pajak
tanpa disertai adanya audit jumlah pendapatan atau harta yang dimiliki oleh pembayar
zakat.
d. Zakat pengurang pajak hanya berlaku di Aceh termasuk kepada pembayar pajak dan zakat
di lingkungan Aceh.
Zakat sebagai pengurang pajak merupakan hal yang bisa memberikan kegairahan bagi pembayar
zakat dan pajak untuk lebih disiplin dalam membayarkan kedua hal tersebut.
8. Kesimpulan
Kedudukan zakat dan pajak harus setara, salah satu contohnya bisa merujuk pada Income Tax Act
1967 Act No. 53 di Malaysia yang jelas memberikan informasi bahwa zakat, fitrah dan jenis
pembayaran Islam lainnya yang dibayarkan ke otoritas dapat sebagai pengurang pajak. Untuk
kasus di Indonesia, perlu ada amademen Undang-undang pajak untuk mengakomodir zakat
sebagai pengurang pajak. Di samping itu, perlu ada kemudahan dalam proses zakat sebagai
pengurang pajak dengan tidak perlu adanya audit khusus jika ada orang yang akan mengajukan
restitusi karena kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal ini, untuk implementasi awal, Dirjen
Pajak perlu memberikan kemudahan dalam proses yang terkait dengan zakat sebagai pengurang
pajak di Aceh dikarenakan secara regulasi UU no.11 telah memberikan penegasan kebijakan zakat
sebagai pengurang pajak di Aceh.
9. Daftar Pustaka
Ali Sakti. (2007). Ekonomi Islam: Jawaban atan Kekacauan Ekonomi Modern. Paradigma: Aqsa.
AlMatar, D. F. (2015). Zakat vs. Taxation: the issue of social justice and redistribution of wealth.
European Journal of Business, Economics and Accountancy, 3(3), 119–129.
9
Iqbal, M. dan Khan, T. (2004) Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective,
Occasional Paper No.7, Jeddah: Islamic Research and Training Institute, Islamic
Development Bank.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2006). Undang-undang No.
11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2008). Undang-undang No.
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2010). Peraturan Pemerintah
No. 60 tahun 2010 tentang Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2011). Undang-undang No.
23 tahun 2011tentang Pengelolaan zakat.
Nurhayati, S., & Siswantoro, D. (2015). Factors on Zakat (Tithe) Preference as a Tax Deduction
in Aceh, Indonesia. International Journal of Nusantara Islam, 3 (1): 1-20.
Pemerintah Aceh (2007). Qanun Aceh No. 10/2007 tentang Baitul Mal.
Pemerintah Aceh (2008). Qanun Aceh No. 1/2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh.
Pemerintah Aceh (2018). Qanun Aceh No. 20/2018 tentang Baitul Mal.
The Commissioner of Law Revision (2006). Income Tac Act 1967. Kuala Lumpur: Percetakan
Nasional Malaysia Berhad.
10