Anda di halaman 1dari 15

EPISTEMOLOGI SAINS DALAM PANDANGAN ISLAM DAN BARAT

Oleh:
Ade Sulastri
Luthfiyah Dyaka Rose

PPG PRAJABATAN GELOMBANG 2


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2023
EPISTEMOLOGI SAINS DALAM PANDANGAN ISLAM DAN BARAT

What is Epistemology?

“Epistemology in English is better known as the “theory of knowledge”. Epistemology comes


from the Greek word “episteme” which means knowledge and “logos” means theory or
science. Whereas according to the term Arab scholars are referred to as Nazhariyah al-
Ma’rifah. Epistemology can be defined as one branch of philosophy that examines deeply and
radically about the origin of knowledge, structure, methods, and validity of knowledge.” 1

Secara etimologi, Epistemologi berasal dari kata Yunani epiteme yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Sedangkan menurut istilah ulama Arab disebut
dengan Nazhariyah al-Ma’rifah. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dah sahnya (validitas) pengetahuan.
Maka epistimologi adalah sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif,
dan kritis. Ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan
dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan secara nalar. Ruang lingkup epistemologi sebagai suatu cabang filsafat
ilmu yaitu meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Epistemologi berfungsi untuk
mempermudah pemahaman seseorang dalam sistematika cara memperoleh ilmu pengetahuan.2

A. Epistemologi Sains “Barat”


Berdasarkan studi penulis, perjalanan sejarah epistemologi Sains “Barat”
menghasilkan lima aliran epistemologi yang cukup dominan di dunia Barat Modern. Lima
mazhab (asas epistemologi) itu adalah rasionalisme, empirisme, kritik (criticism),
intuisionisme (intuisi), dan skeptisisme.
1. Rasionalisme
Tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah Rene Descartes, Spinoza, Leibniz
and Christian Wolf yang akar pemikirannya dari pendapat Plato dan Aristoteles.
Dalam pendekatan ini menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama
pengetahuan. Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai suatu paham yang sangat
menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan otoritas terakhir
dalam menentukan kebenaran pengetahuan manusia. Gagasan ini mengasumsikan
bahwa ada prinsip-prinsip dasar tertentu dari dunia, yang benar diakui oleh rasio
manusia. Prinsip pertama ini berasal dari pikiran manusia dan tidak dijelaskan dari
pengalaman, bahkan pengalaman empiris tergantung pada prinsip ini. Padahal
rasionalisme sangat menekankan pada fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan,
bukan berarti rasionalisme itu menyangkal peran indera dalam memperoleh
pengetahuan. Pengalaman sensorik dibutuhkan untuk merangsang kerja akal dan
menyediakan bahan-bahan agar akal itu bisa bekerja. Namun, untuk sampainya
manusia pada kebenaran itu semata-mata dengan alasan (reason). Bagi rasionalisme,
data yang dibawa oleh indera masih belum jelas dan kacau dan terkadang bahkan
menipu. Pikiran kemudian mengatur laporan dari indra sehingga pengetahuan yang
benar dapat terbentuk.3
2. Empirisme
Tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah Francis Bacon, Thomas Hobbes,
John Locke, George Berkeley, David Hume. Kata empirisme berasal dari bahasa
Yunani “empiria” yang berarti pengalaman. Gelombang pemikiran ini terlihat di
Inggris yang diprakarsai oleh Bacon Franciscans (1561-1626 M). Pendekatan ini
merupakan doktrin bahwa seluruh pengetahuan juga harus berdasarkan pengalaman
inderawi. Empirisme mengasumsikan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman juga melalui pengamatan atau pengindraan. Dengan kata lain,
pengalaman adalah sumber pengetahuan. Berbeda dengan rasionalisme yang
menjadikan akal manusia sebagai sumber dan penjamin kepastian kebenaran
pengetahuan manusia, pandangan empirisme hanya memandang pengalaman indrawi
sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan kepastian dalam pengetahuan manusia.
Metode pembuktian induktif adalah metode yang ditawarkan oleh empirisme dalam
menguji validitas pengetahuan manusia. Metode ini bekerja dengan cara pengujian
pengetahuan manusia berdasarkan bukti ilmiah empiris dan menggunakan metode
induktif untuk menarik kesimpulan umum dari hal-hal atau fenomena tertentu.4
3. Kritik (Criticism)
Gelombang pemikiran ini dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724 - 1804 M).
Dia adalah filosofis Jerman yang mencoba menyelesaikan perbedaan diantara
rasionalisme dan empirisme. Kant masih memperhitungkan bahwa alasan (reason)
dapat mencapai kebenaran, untuk itu dia kemudian mengatur kondisi untuk mencapai
kebenaran dari alasan (reason). Filsafat Kant berusaha mengatasi kontradiksi kedua
aliran (rasionalisme dan empirisme) dengan menunjukkan unsur-unsur mana yang ada
dalam akal.5
4. Intuisi (Intuitionism)
Dalam perkembangan selanjutnya epistemologi Barat kemudian dilengkapi
dengan munculnya ajaran intuisionisme yang dipelopori oleh Henry Bergson (1859 -
1941 M). Bagi Bergson, indra dan nalar manusia sama-sama terbatas memahami
realitas secara keseluruhan. Berdasarkan kelemahan akal dan indra manusia, Henry
Bergson kemudian mengembangkan kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh
manusia yang bernama intuisi. Menurutnya, intuisi berarti mengetahui secara
langsung dan seketika. Elemen utama dari pengetahuan adalah kemungkinan bentuk
apresiasi langsung (intuitif), selain pengalaman panca indera.6
5. Skeptisisme
Menurut Misnal Munir, aliran ini menarik karena para penganutnya kebanyakan
dari mereka sudah dikategorikan pada aliran filsafat tertentu. Misalnya Descrates,
dikategorikan termasuk aliran rasionalisme, dan David Hume dikategorikan termasuk
aliran empirisme. Padahal keduanya adalah penganut paham skeptis dan berfilsafat.
Oleh karena itu, skeptisisme memiliki corak berbeda tergantung pada ajaran yang
dikemukakan oleh para penganutnya.7
Adapun benang merah dari aliran ini yaitu memandang segala sesuatu selalu
tidak pasti atau selalu ragu dan curiga terhadap pengetahuan. Skeptisisme seringkali
berperan besar di dalam perdebatan religius. Argumen yang ditawarkan biasanya
begini, jika tidak ada yang dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia, maka ia hanya
perlu mempercayainya.
Tentu saja pandangan ini memiliki banyak kelemahan. Bagaimana mungkin
orang bisa beriman tanpa menggunakan akal budinya? Jika itu terjadi bukankah agama
lebih menjadi ilusi irasionil semata yang justru memperbodoh manusia? Bukankah
orang akan begitu mudah menjadi fanatik terhadap agamanya sendiri, dan menutup
mata atau bahkan menindas perbedaan yang ada? Menurut Reza Alexander Antonius
Wattimena, skeptisisme mengajarkan orang untuk bersikap kritis terhadap semua
bentuk pengetahuan. Sikap kritis itu tidak bertujuan untuk membawa orang pada
kebingungan, melainkan justru untuk menjernihkan pengetahuan orang tersebut.
Inilah yang menjadi inti dari skeptisisme di dalam filsafat modern, yakni mengajarkan
orang untuk berpikir kritis, sehingga ia bisa menemukan kebenaran yang
sesungguhnya, dan tidak berpuas diri dengan kebenaran-kebenaran palsu.8
B. Epistemologi Ilmu dalam Pandangan Islam Menurut Para Pakar
Adapun pendapat para pakar Islam yang kami pelajari yaitu:
1. Al-Ghazali
Ilmu dan pengetahuan dalam epistemologi Islam bukan merupakan sesuatu di
luar Allah, sehingga tidak ada ilmu dan pengetahuan yang tidak diurai dari sumber
yang satu itu. Seluruh jenis pengetahuan makhluk adalah setitik air dari samudra
pengetahuan Allah. Menurut Al-Ghazali ada 3 dimensi pengenalan (ma’rifah)
manusia kepada Allah dilihat dari sudut pandangnya, yaitu perbuatan-Nya (al-af’al),
sifat (al-sifat), dan Dzat-Nya (al-Dzat). Pengetahuan manusia (dalam bentuk science)
diambil dari samudra al-af’al karena maqam al-af’al tersebut merupakan samudra
yang tak terarungi luasnya. Sesuai dengan Al-Qur’an Surat Al-Kahfi (18) ayat 109,
“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk
(menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum
selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula).”
Dalam pandangan Al-Ghazali, keberadaan pengetahuan manusia adalah
terbatas. Realitas kebenaran itu ada sejumlah pengetahuan yang tidak akan mungkin
dapat diekspresikan dari wujudnya dalam bentuk teori, meskipun daya dan potensi
manusia dimungkinkan untuk mencapainya. Satu dari tiga batasan pengetahuan
manusia menurut Al-Ghazali yaitu bahwa pengetahuan manusia itu terbatas, ada yang
bisa diteorikan dan ada yang tidak mungkin dapat diekspresikan dalam wujud teori.
Al-Ghazali dalam al-Risalah al-Ladunniyyah mendefinisikan pengetahuan
sebagai ilustrasi jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah) yang stabil tentang hakikat segala
sesuatu di mana ilustrasi itu terlepas dari unsur materi dengan segala dimensi, kualitas,
kuantitas, substansi, dan zatnya jika ia tunggal.
Al-Ghazali dalam Ihya’ menyatakan “Secara substansial ilmu itu sempurna dan
independen. Adapun akal adalah produsen dan landasan bagi ilmu tersebut. Ilmu itu
mengalir dari akal seperti mengalirnya (sari pati) buah dari pohon, cahaya dari
matahari, atau seperti pandangan dari mata.” Pernyataan tersebut menguatkan
pendapat Abd. Al-Karim al-Yamani yang mengatakan bahwa Al-Ghazali begitu
mengagumi ilmu dan akal, hanya saja ia selalu mengaitkannya dengan amal
perbuatan.
Al-Ghazali dalam Fatihah al-‘Ulum mengatakan bahwa kesempurnaan
manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah ditentukan oleh keilmuannya. Al-
Ghazali memandang ilmu sebagai hidayah kebenaran di mana cahayanya merupakan
jalan bagi wujud. Dia mendefinisikan ilmu sebagai pasangan penglihatan dengan
kegelapan. Kegelapan adalah kelanjutan dari diam dan diam itu dekat dengan tidak
ada. Sehingga, hukum ilmu itu adalah wujud, dan ketidaktahuan adalah nihil.9
Berdasarkan sumber asalnya, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
menjadi dua, yaitu:
a. Ilmu Syari’ah adalah ilmu yang berasal dari nabi yang berkaitan dengan wahyu
Allah SWT. Adapun contoh dari ilmu Syari’ah yaitu Al-Quran, Sunnah dan
Syari’ah (ketetapan hukum dalam Islam).
b. Ilmu Ghoiru Syari’ah merupakan ilmu yang bersumber dari akal pikiran,
eksperimen, dan akulturasi yang diperoleh melalui intelektualitas manusia
semata. Karena berasal dari akal pikiran manusia, ilmu ini tentunya memiliki
keterbatasan yang menjadikannya sebab bahwa akal belum tentu benar.
Hierarki ilmu dalam Islam menurut Al-Ghazali dapat digambarkan pada
diagram berikut ini:10

Hierarki Ilmu dalam Islam

Fardhu 'Ain Fardhu Kifayah


(Religious Science) (Intellectual Science)

Al-Qur'an, Sunnah, Ilmu Kedokteran, Ilmu Hubungan


Syari'ah, Bahasa Arab, Internasional, Ilmu Matematika,
Ilmu Metafisika, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik,
Ilmu Kalam (Teologi) Ilmu Hukum, Ilmu Teknologi, dsb.

2. Prof. Dr. Syafii Maarif


Basis epistemologi yang diusung Syafii Maarif berupa tradisi (tradition) dan
penafsiran-penafsiran Maarif terhadap term-term penting dalam teologi Islam yang
pada gilirannya sangat berperan bagi proses pembentukan worldview seorang muslim.
Penafsiran-penafsiran ini secara simultan ditelaah dengan akal kritis, ilmu sejarah,
prinsip humanis, demokrasi, Pancasilais, realitas Islam masa kenabian sekaligus
praktik Khulafa al-Rasyidun yang ditatap secara selektif, dan realitas global kekinian.
Semuanya itu terintegrasi dalam Epistemologi Teologi Islam dari seorang Maarif.11
Menurut Maarif ada tiga tipe ilmu (dalam makna sains) yang terkandung
dalam al-Qur’an, yaitu:
a. Ilmu-ilmu kealaman atau ilmu-ilmu fiskal, yang dapat dikuasai manusia.
b. Ilmu sejarah dan geografi yang sangat penting bagi kemajuan peradaban manusia.
c. Ilmu pengetahuan tentang diri manusia itu sendiri.
3. Agus Purwanto
Menurut Agus Purwanto, hubungan Islam dengan sains dapat dikategorikan
dalam tiga bentuk, yaitu Islamisasi Sains, Saintifikasi Islam, dan Sains Islam.
a. Islamisasi Sains
Hubungan ini berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-
20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat sesuai dengan ajaran Islam.
Mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan
membangun ulang sains sastra dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan
dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Hubungan ini mendapatkan
banyak kritik, bahwa ini hanya sekedar menghubung-hubungkan hal-hal yang
semula tidak berhubungan. Hubungan ini juga berdampak negatif, ketika fakta
sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus dikorelasi secara signifikan,
karena ada data atau model analisis yang baru. Penemuan dan teori sains Barat
selalu berubah-ubah, contohnya dari paradigma klasik Newton yang kemudian
berubah menjadi paradigma quantum Planck dan kenisbian Einstein.
b. Saintifikasi Islam
Hubungan ini berupaya mencari dasar sains pada suatu pernyataan yang
dianggap benar dalam Islam. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Masaru
Emoto terhadap air yang dibacakan kalimat baik (pujian, termasuk juga al-
Qur’an) dan kalimat buruk (cacian, dsb), termasuk juga air zam-zam, ada
perbedaan bentuk kristal airnya. Kemudian, penelitian menggunakan alat-alat
pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel
darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan sholat
(khususnya tahajud) dan puasa. Dan masih banyak lagi.
c. Sains Islam
Hubungan ini berupaya untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
basis konstruksi ilmu pengetahuan, sekaligus sebuah upaya untuk menjadikannya
mampu melakukan integralisasi yang baik dengan sains modern yang sudah
berkembang sebelumnya. Sains islam dapat terwujud apabila terjadi adanya
kesadaran normatif (normative consciousness) dan kesadaran historis (historical
consciousness). Kesadaran normatif muncul karena secara eksplisit atau implisit
al-Qur’an dan as-Sunnah menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Kesadaran
normatif tersebut kemudian menumbuhkan kesadaran historis yang menjadikan
al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai inspirasi dalam membaca realitas kehidupan.
Sehingga tumbuh kesadaran bahwa petunjuk al-Qur’an tentang sains tidak akan
membumi tanpa usaha sadar dari para saintis untuk membaca realitas, baik
kemajuan sains yang pernah diraih oleh bangsa lain, maupun melakukan
kontekstualisasi ajaran dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kegiatan penelitian
sains.
Dari ketiganya, bentuk hubungan Sains Islam inilah yang dianggap paling
efektif karena lebih produktif dalam pengembangan sains ke depan. Di dalam Sains
Islam, konstruksi sains dapat dilakukan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang
dilanjutkan dengan observasi alam (sunatullah) secara langsung. Sains Islam memiliki
konstruksi ontologi, epistemologi, maupun aksiologisnya berbasis dan berparadigma
wahyu. Sains islam berbeda dengan sains modern yang ontologinya menganut
materialisme ilmiah, epistemologinya hanya rasionalisme, dan meninggalkan
intuisionisme sebagai sumber mencari kebenaran, serta aksiologisnya sains modern
hanya berhenti pada kepuasan dari perolehan ilmu itu sendiri.12
C. Titik Kerapuhan dan Dampak Epistemologi Sains Barat (Modern)
• Kelemahan epistemologi sains Barat menurut al-Attas adalah:
1. Kepercayaan mutlak pada akal (rasional) sebagai panduan dalam kehidupan.
Dalam hal ini kita kenal rational science sebagai isu penting dalam filsafat
modern,13 yang merupakan hasil dari spekulasi. Rational science adalah kebenaran
yang bersumber kepada rasio (akal). Benar tidaknya sesuatu diukur oleh signifikansi
hubungan antara sebab dan akibat. Apabila terjadi hubungan sebab dan akibat yang
jelas, maka itu dikatakan logis, rasional dan dianggap benar. Tetapi jika hubungan
antara sebab dan akibat itu tidak nampak jelas maka dinilai tidak rasional dan salah.
Di luar rational science adalah kepercayaan (belief) semata- mata dan bukan ilmu.
Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin, malaikat, termasuk cerita tentang
mukjizat, dinyatakan bukan ilmu melainkan sekadar kepercayaan karena persoalan
tersebut tak dapat dibuktikan dengan indera maupun dengan rasio.14
2. Pandangan dualisme terhadap realitas dan kebenaran.
Kerusakan pada ilmu bermula dari dualisme. Menurut al-Attas dualisme
menjadi karakter world view dan sistem nilai peradaban Barat.15 Dualisme berlaku
apabila dua perkara dilihat bertentangan, terpisah dan tidak dapat disatukan secara
harmoni. Dualisme epistemologi Barat modern berangkat dari praduga atau
prasangka serta dilatarbelakangi oleh usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan wahyu.16
Jika epistemologi dari peradaban Barat yang telah menjadi cara pemikiran dan
penyelidikan (mode of thought and inquiry) dominan dewasa ini, kemudian
dijadikan rujukan untuk digunakan memahami Islam maka hasilnya akan mengalami
kerancuan (confusion).
3. Sekulerisme sebagai pandangann hidup
Menurut epistemologi sekuler, sains dan agama tak dapat dikonfrontasi,
karena keduanya berbeda daerahnya. Sains dan agama memiliki otonomi sendiri-
sendiri. Seorang ilmuwan tak dibenarkan “mengintervensi” teritori agama, dan
begitu pula sebaliknya. Ketika melakukan penjelajahan ilmu, seorang ilmuwan harus
tahu batas di mana mereka harus berhenti, dan di mana agamawan harus memulai.
Sebaliknya, seorang agamawan harus tahu di mana mereka harus berhenti, yaitu di
batas wilayah milik orang lain (para ilmuwan).17
Menurut al-Attas pandangan alam sekular telah menjadikan alam empiris
(benda) ini qadim (qadim bermakna tidak bermula dan tidak berakhir).18 Seterusnya
berlaku pemisahan antara wahyu (revelation) dan akal (reason) dan antara tradisi
dengan modernitas. Dari pemisahan ini maka manusia sekular yang telah
mengagungkan ilmu sains dan membataskan hakikat pada alam empiris, akan
cenderung memilih akal daripada wahyu, benda daripada ruh, dunia daripada
akhirat, modernitas daripada tradisi
4. Humanisme dan eksistensialisme sebagai nilai tertinggi.
Humanisme berkembang dalam bidang filsafat abad ke-20 yang bernama
humanisme naturalistik. Filsafat ini menolak semua kepercayaan dalam semua
bentuk yang bercirikan adikodrati dan menganggap kebaikan yang lebih besar dari
seluruh manusia di bumi sebagai tujuan etis tertinggi. Filsafat ini mendasarkan pada
akal, ilmu dan demokrasi untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
manusia. Positivisme dari August Comte dan utilitarianisme Inggris adalah penerus
paham humanisme naturalistik yang pada umumnya dekat dengan naturalisme dan
materialisme.19 Dengan demikian, humanisme mempunyai arti: a) Menganggap
individu rasional sebagai nilai paling tinggi; b) menganggap individu sebagai sumber
nilai terakhir; c) mengabdi pada perkembangan kreatif dan perkembangan moral
individu secara rasional dan berarti tanpa acuan pada konsep-konsep yang bersifat
adi kodrati.
5. Drama dan tragedi dalam epistemology
Menurut Al-Attas konsepsi tentang tragedi dalam peradaban Barat Modern
muncul karena adanya keraguan dan kesangsian serta ketidakmampuan untuk
memahami identitas dan tujuan akhir. Inilah yang akhirnya menyebabkan terjadinya
keresahan dan konflik. Juga diterimanya konsepsi dualisme mengenai realitas di
mana yang satu bertentangan dengan yang lain dan tidak akan pernah selaras, dan
bahwa itu adalah perseteruan abadi. Ketegangan semacam inilah yang
membangkitkan cita tentang tragedi.
Asas dan dasar epistemologi ini menggiring pemikiran Barat kepada konsep
tragedi. Tragedi menjadi ciri peradaban Barat dan merupakan realitas yang mesti
diterima. Manusia dianggap makhluk yang malang. Malang karena harus
menanggung dosa warisan (original sin) dan harus bergantung dengan upaya sendiri
dan akal rasional untuk mencapai kebenaran.20
• Dampak Epistemologis Sains Barat (Modern)
Tradisi epistemologi keilmuan Barat memberikan pengaruh besar pada pola
fikir, cara pandang dan perilaku manusia yang menjadi motor perkembangan suatu
peradaban. Pengaruh ini bukan hanya pada masyarakat Barat sendiri, tetapi juga telah
meluas menjadi pengaruh global yang juga ikut mempengaruhi cara pandang umat
Islam. Adapun pengaruh yang ditimbulkan oleh keilmuan dan epistemologi Barat
antara lain secara lebih rinci di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Sekulerisasi dan Liberasi Teologi
Para teolog Kristen terkemuka abad ke-20 seperti Karl Barth, Dietrich
Bonhoeffer, Paul Van Buren, Thomas Altizer, William Hamilton dan lain
sebagainya, memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat
modern yang sekuler. Mereka menegaskan ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan
pandangan hidup sains modern yang sekuler. Mereka membuat penafsiran baru
terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang
lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Sekulerisasi dan liberalisasi teologi
menyebabkan agama menjadi urusan pribadi dan menjadi pinggiran dalam arus
peradaban Barat Modern.21 Sekularisasi telah menjadikan manusia menjauh dari
Tuhan bahkan sudah mendorong manusia “menuhankan” dirinya sendiri.22
2. Meluasnya ateisme di berbagai disiplin keilmuan
Berbagai disiplin keilmuan, seperti dalam teologi, filsafat, sains, sosiologi,
psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain tidak terlepas dari paham ateisme. Salah
seorang perintis paham ateisme di abad modern adalah Ludwig Feurbach (1804-
1872 M). Feurbach, seorang ahli teologi Kristen, menegaskan prinsip filsafat yang
paling tinggi adalah manusia.23 Teori big bang sebagai teori yang sangat populer
mengandaikan ketidakwujudan Tuhan sebagai sang Pencipta. Laplace sebagai
pencetus teori tersebut mengatakan “saya tidak membutuhkan hipotesa seperti itu”
(Je n’ai pas besoin de cet hypothese). Dalam pandangannya Tuhan dianggap sebagai
sebuah hipotesa semata-mata bahkan sebuah hipotesa yang tidak diperlukan dalam
menjawab asal mula dan mekanisme cara kerja alam semesta.24
Charles Darwin (1809-1882 M) termasuk salah satu ilmuwan yang tidak
mengakui adanya peran dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta melalui teori
evolusi dan teori seleksi alamnya. Baginya tidak ada penciptaan yang dilakukan oleh
Tuhan, yang ada adalah evolusi dari satu tahap ke tahap lainnya. Tuhan sudah
berhenti melakukan penciptaan dan digantikan dengan hukum mekanika dan hukum
evolusi serta seleksi alam ketika berkaitan dengan proses dan kejadian- kejadian di
alam semesta ini.25
3. Lahirnya paradigma-paradigma pemikiran yang saling bertentangan
Akibat lain dari epistemologi Barat modern adalah munculnya paradigma
pemikiran yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Beberapa
paradigma pemikiran ini adalah materialisme, positivisme, eksistensialisme,
pragmatisme, realisme, agnostisisme, konstruktivisme, humanisme, liberalisme dan
lain-lain. Jika dicermati semua paradigma pemikiran demikian saling bertentangan.
Misalnya saja materialisme bertentangan dengan idealisme dan eksistensialisme.
Agnostisisme bertentangan dengan realisme dan pertentangan-pertentangan
lainnya.26
D. Persamaan dan Perbedaan Epistemologi Sains dalam Pandangan Islam dan “Barat”
Epistemologi sains dalam pandangan barat dapat disimpulkan bahwa sains dicapai
melalui prosedur atau metode yang menggabungkan aliran-aliran dalam epistemology
(antara rasionalisme dan empirisme, diperkuat dengan positivisme) dengan sifat penelitian
yang objektif, akurat, sistematis dan analitis, terhadap objek materia. Jelasnya, berpikir
rasional untuk menurunkan hipotesis, dilanjutkan dengan berpikir secara empiris yang
didukung oleh eksperimen untuk membuktikan kebenaran hipotesis. Dengan kata lain sains
(scientific knowledge) dihasilkan dari atau dengan menggunakan pendekatan ratio (melalui
jalan deduktif) dan empeirikos (melalui jalan induktif) diperkuat dengan eksperimen.
Perspektifnya adalah, objektif, akurat, sistematis dan analitis. Objek penelitiannya adalah
segala yang dapat diamati oleh indera. Konsekuensinya, segala yang tidak dapat diamati
oleh indera bukanlah sains.27
Lalu apa dan bagaimana epistemologi dalam perspektif Islam? Apakah menolak
perspektif sains yang mengambil sumbernya dari rasio dan inderawi? Tentu jawabannya
adalah tidak, akan tetapi Islam tidak berhenti kepada kedua sumber tersebut. Islam meyakini
wahyu (al-khabar al-ṣādiq: al-Qur’ān dan al-Ḥadīṡ), dan intuisi (al-Ilhām) sebagai sumber
dalam mencapai dan memperoleh ilmu.28
Bangunan ilmu dalam studi Islam adalah suatu bangunan ilmu yang terdiri dari tiga
unsur pokok, yaitu:
1. Pertama, unsur yang disebut dengan ‘ilm al-wujud, yaitu sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai objek pengamatan dan penelitian, melalui indera atau akal atau lainnya. Dalam
kajian filsafat ilmu unsur ini sering dikenal dengan ontologi. Berbeda dari pemikir Barat
modern yang hanya menjadikan fisika sebagai yang dapat diobservasi atau sebagai
objek pengetahuan dan penelitian, para pemikir Muslim memandang bahwa objek
penelitian, bukan hanya fisika, melainkan juga nash-nash (ayat Al-Qur`an dan hadits),
dan metafisika.
2. Kedua, unsur yang disebut dengan nazhariyah al-ma’rifah, yaitu teori-teori dan caracara
mendapat atau menemukan pengetahuan, yang dalam kajian filsafat ilmu sering dikenal
dengan epistemologi. Berbeda dari para pemikir Barat modern, para pemikir Islam
mengatakan bahwa epistemologi Islam yang dapat digunakan dalam penelitian dan
pengembangan pengetahuan adalah: membaca, berpikir, eksperimen, penelitian,
observasi, dan attaqarrub ila Allah.
3. Ketiga, unsur yang disebutl ‘ilm al-‘amal, yang dalam kajian filsafat ilmu disebut
dengan aksiologi. Dalam studi Islam, selain dua hal di atas, bangunan penting dari suatu
ilmu adalah ‘ilm al-‘amal, yaitu aspek praktek dan aktualisasi dari suatu ilmu yang telah
didapatkan melalui berbagai epistemologi di atas.29
__________________________________
1
Atmaja, Lukman dan Ridho Ramazani bin Cecep Mustopa. 2020. Metaphysics in the
Epistemology: A Critical Analysis of the Islamic and Western Philosophical Tradition. Jurnal
AFKARUNA Vol. 16 No. 1 Juni 2020: 25.
2 https://hi.unida.gontor.ac.id/epistemologi-islam diakses pada 4 Januari 2023.
3 Atmaja, Lukman dan Ridho Ramazani bin Cecep Mustopa. 2020. Metaphysics in the

Epistemology: A Critical Analysis of the Islamic and Western Philosophical Tradition. Jurnal
AFKARUNA Vol. 16 No. 1 Juni 2020: 27.
4 ibid, 27.
5 ibid, 28.
6 ibid, 28.
7 Munir, Misnal. 1992. Skeptisisme dalam Filsafat Barat Sejak Yunani Kuno Sampai Abad

Modern. Jurnal Filsafat seri 11 bulan Agustus tahun 1992.


8Watimena, Reza A.A. 2009. Metode Skeptisisme di dalam Filsafat Modern.

https://rumahfilsafat.com/2009/07/23/metode-skeptisisme-di-dalam-filsafat-modern/ diakses
pada 5 Januari 2023.
9 Sodiq, Akhmad. 2017. Epistemologi Islam: Argumen Al-Ghazali atas Superioritas Ilmu

Ma’rifat. Jakarta: Penerbit Kencana.


10 https://hi.unida.gontor.ac.id/epistemologi-islam diakses pada 4 Januari 2023.
11 Junaidi. 2016. Teologi Islam (Studi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif). Tesis UIN Suka.

Yogyakarta.
12 Yusuf, Mohamad Yasin. 2017. Epistemologi Sains Islam Perspektif Agus Purwanto.

Jurnal Analisis Volume 17 Nomor 1, Juni 2017: 65-90.


13Ibrahim Bayyuni Madkour, “The study of Islamic Philosophy”, Jurnal Tsaqofah II, no 1

(1427):19.
14Mahbub Setiawan, “Kritik Terhadap Epistemologi Barat Modern (Perspektif Islam

Wordview)”, Kearsipan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013, 21.


15Syed Muhammad Naquib Al Attas, “Islam and Secularism”, 33
16Ibid, 27
17Idrus Shahab, Beragama dengan Akal Jernih: Bukti-bukti Kebenaran Iman dalam

Bingkai Logika dan Matematika (Jakarta: Serambi, 2007), 5.


18Al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu Dan Pandangan Alam, 3.
19Ali
Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam FIlsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1996), 92.
Mahbub Setiawan, “Kritik Terhadap Epistemologi Barat Modern (Perspektif Islam
20

Wordview)”, Kearsipan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013, 22.


21Adnin Armis, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (Ponorogo: CIOS, 2007), 7–8.

22Al-Attas, Islam and Secularism, 38–40.


23Armis, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, 3.
24Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas
(Jakarta: Erlangga, 2007), 108.
25Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas
(Jakarta: Erlangga, 2007), 108.
26MahbubSetiawan, “Kritik Terhadap Epistemologi Barat Modern (Perspektif Islam
Wordview)”, Kearsipan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013, 23-24.
27Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2006), 24.
28 Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 39.

29 Al-Hanif, Muhammad Nadiddin. 2021. Islamic Studies dalam Konteks Global dan
Perkembanganya di Indonesia. TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora,
Januari-April 2021: 71-80.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2007. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu Dan Pandangan Alam.
Universiti Sains Malaysia.

Al-Hanif, Muhammad Nadiddin. 2021. Islamic Studies dalam Konteks Global dan
Perkembanganya di Indonesia. TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan
Humaniora, Januari-April 2021: 71-80.

Armis, Adnin. 2007. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. Ponorogo: CIOS.

Atmaja, Lukman dan Ridho Ramazani bin Cecep Mustopa. 2020. Metaphysics in the
Epistemology: A Critical Analysis of the Islamic and Western Philosophical Tradition.
Jurnal AFKARUNA Vol. 16 No. 1 Juni 2020: 22-39.

Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

https://hi.unida.gontor.ac.id/epistemologi-islam diakses pada 4 Januari 2023.

Junaidi. 2016. Teologi Islam (Studi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif). Tesis UIN Suka.
Yogyakarta.

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasyi
Mizan.

Madkour, Ibrahim Bayyumi. 1427. The Study of Islamic Philosophy. Jurnal Tsaqofah II.

Mudhofir, Ali. 1996. Kamus Teori dan Aliran dalam FIlsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Munir, Misnal. 1992. Skeptisisme dalam Filsafat Barat Sejak Yunani Kuno Sampai Abad
Modern. Jurnal Filsafat seri 11 bulan Agustus tahun 1992.
Setiawan, Mahbub.2013. “Kritik Terhadap Epistemologi Barat Modern (Perspektif Islam
Wordview)”, Kearsipan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Shahab, Idrus. 2007. Beragama dengan Akal Jernih: Bukti-bukti Kebenaran Iman dalam
Bingkai Logika dan Matematika. Jakarta: Serambi.

Sodiq, Akhmad. 2017. Epistemologi Islam: Argumen Al-Ghazali atas Superioritas Ilmu
Ma’rifat. Jakarta: Penerbit Kencana.

Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Watimena, Reza A.A. 2009. Metode Skeptisisme di dalam Filsafat Modern.


https://rumahfilsafat.com/2009/07/23/metode-skeptisisme-di-dalam-filsafat-modern/
diakses pada 5 Januari 2023.

Yusuf, Mohamad Yasin. 2017. Epistemologi Sains Islam Perspektif Agus Purwanto. Jurnal
Analisis Volume 17 Nomor 1, Juni 2017: 65-90.

Anda mungkin juga menyukai