Anda di halaman 1dari 7

Sejak mudanya Mehdi Ha’iri Yazdi telah tertarik kepada ilmu-ilmu

intelektual, sebagaimana yang dipahami secara tradisional, yang pada


jantungnya terdapat filsafat Islam. Dengan demikian dia mulai
mencari guru-guru terbaik di bidang ini, yaitu orang-orang yang telah
menjaga kelestarian kehidupan tradisi millenial filsafat Islam di Persia.
Dia mengkaji Syarh Al-Hidayah Al-Atsiriyah, komentar Mulla Shadra
mengenai karya besar Peripatetik dari Atsiruddin Abhari, dan Syarh Al-
Isyarat, komentar Nashiruddin Thusi mengenai kitab masyhur Al-
Isyarat wa Al-Tanbihat karangan Ibnu Sina, kepada Ayatullah Sayyid
Ahmad Khunsari di Teheran. Dia juga mengkaji matematika tradisional
yang didasarkan pada dalil-dalil Euclid dengan guru yang sangat
dihormatinya itu. Mehdi Ha’iri Yazdi mengkaji Al-Syifa’ karya Ibnu Sina,
ensiklopedia filsafat peripatetik yang paling hebat, kepada salah
seorang otoritas terbesar mutakhir dalam filsafat Islam, Mirza Mahdi
Asytiyani, yang mengajari murid muda yang bergairah besar itu di
Qum maupun Teheran. Sedangkan tentang filsafat mazhab Mulla
Shadra, Ha’iri mengkaji kitab Asfar karangan tokoh ini dan Syarh Al-
Manzhumah karangan penafsirnya pada masa dinasti Qajar, Hajji Mulla
Sabziwari, kepada Ayatullah Ruhullah Khumaini, yang pada waktu itu
mengajar filsafat dan irfan (gnosis) di Qum. Ha’iri juga melakukan
perjalanan ke Masyhad di Khurasan untuk mempelajari astronomi
tradisional kepada Sayfallah Isi
Pemikiran Mehdi Ha’iri Yazdi Tentang Ilmu Hudhuri

Kajian mengenai pengetahuan manusia merupakan salah satu


PENGERTIAN pembahasan epistemologi, pertanyaan mendasar yang bersifat
ILMU HUDHURI praepistemik yaitu mengenai hubungan antara pengetahuan dengan
pemilik pengetahuan. Secara ringkas, yang menarik perhatian
penyelidikan filosofis adalah alasan mengapa dan bagaimana subjek
yang mengetahui, dengan atau tanpa mengetahui dirinya sendiri,
menjadi satu atau terkait dengan objek eksternal ketika objek tersebut
diketahui. Dalam bahasa filsafat pencerahan kesadaran ini disebut
sebagai pengetahuan dengan kehadiran (ilmu hudhuri). Contoh paling
baik dari pengetahuan ini adalah pengetahuan yang nyata bagi subjek
yang mengetahui secara performatif dan langsung tanpa perantaraan
representasi mental atau simbolisme kebahasaan apa pun. Ilmu hudhuri
merupakan kesadaran manusiawi non-fenomenal yang identik dengan
wujud fitrah manusia itu sendiri.

Tuhan mengetahui melalui kehadiran apa yang telah beremanasi dari


PENGERTIAN Diri-Nya. Artinya, suatu wujud emanatif semisal diri, yang keluar dari
GANDA Tuhan dan terserap dalam cahaya yang melimpah dari Wujud-Nya, adalah
KEHADIRAN hadir di dalam Tuhan. Karena itu, Dia mengetahui diri tidak melalui
semacam kehadiran identitas diri seperti Dia mengetahui Diri-Nya sendiri,
melainkan identitas diri seperti Dia mengetahui Diri-Nya sendiri,
melainkan dengan kehadiran supremasi-Nya atas emanasi yang
melimpah sebagai tindak imanen-Nya. Dengan cara ini pulalah diri
mengetahui tubuh, imajinasi, dan fantasinya melalui kehadiran dengan
supremasi kausal. Jadi, suatu emanasi hadir dalam supremasi eksistensial
sumbernya sendiri; dan begitu juga dengan ekuivalensi antara emanasi
dan penyerapan, yang terserap hadir dalam yang menyerap, yaitu Tuhan.
• Mengenai arti kesadaran kesatuan mistikal, dalam filsafat
KESADARAN
pencerahan hubungan inidisebut “tangga menaik” eksistensi (al-
KESATUAN
Silsilat al-Shu’udiyah).13 Seorang mistikus naik ke kesadaran uniter
MISTIKAL
dan bersatu dengan Tuhan dalam pengertian terserap.
• Masalah besar yang kita hadapi ketika, sebagai filosof, berhadapan
dengan teori mistisisme adalah masalah kesadaran “kesatuan”
dengan Tuhan. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata
“kesatuan” atau “persatuan” dengan Tuhan, atau dengan diri
Universal,14 yang secara sepakat digunakan oleh otoritas-otoritas
mistisisme, menjadi masalah utama dalam filsafat mistisisme.
Menurut berbagai metode penafsiran yang diberikan kepada kata
“kesatuan”, terdapat berbagai jawaban bagi pertanyaan ini.
Jawaban-jawaban ini bersifat linguistik, filosofis, religius, psikologis,
dan lain-lain.
• Mengenai kesatuan dalam pengertian keidentikan Diri, apakah yang
salah dengan pengandaian bahwa kesatuan mistik adalah kesatuan
KESATUAN
sempurna dengan Tuhan dalam sifatnya, dengan makna kesatuan DALAM
yang sangat kuat? Pengandaian seperti itu menyiratkan bahwa PENGERTIAN
seorang mistikus sejati mengetahui keseluruhan realitas Tuhan KEIDENTIKAN
melalui ilmu hudhuri, persis seperti dia mengetahui realitas dirinya DIRI
sendiri dengan pengetahuan kehadiran berdasarkan kriteria
“swaidentitas”. Dalam hal ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Nicholson,
“sang mistikusSufibangkit menuju kontemplasi tentang sifat-sifat
Tuhan dan akhirnya ketika kesadarannya sama sekali melebur,
substansinya berubah menjadi pancaran esensi ilahi.
Dalam pembahasan terdahulu kita telah sampai pada titik dimana
KESATUAN “diri sebagai emanasi Tuhan adalah kesatuan kehadiran Tuhan di
DALAM ARTI dalam manusia dan kehadiran manusia di dalam Tuhan”. Kita juga
PENYERAPAN telah mempertimbangkan bahwa sifat kesatuan kehadiran ini
bukanlah kejadian fenomenal, yang akhirnya bisa terjadi pada alur
psikologi meditasi atau melalui suatu metode kontemplasi yang
disengaja. Ia murni bersifat eksistensial, muncul dari Sumber
Pertama wujud, yang dengannya Dia membawa dunia
kemungkinan ke dalam keadaan aktual realitas atas dasar
kepastian-Nya: kepastian wujud, mengetahui, berkehendak, dan
berbuat-Nya.

APAKAH Berdasarkan analisis atas kesadaran kesatuan mistik yang baru saja
ARTI FANA? kita suguhkan, kita berhak mengajukan pertanyaan ini: Jika benar
diri, dengan realitas ontologisnya sendiri, selalu hadir di dalam Tuhan
dan Tuhan selalu hadir di dalam diri, maka apakah arti proses
“peniadaan” mistik, atau dalam bahasa sufinya fana’? Sebagaimana
yang diyakini oleh kaum mistikus melalui jenis pengalaman inilah
mereka bisa mencapai tahap kesadaran kesatuan. Seandainya
kesafaran kesatuan adalah realitas itu sendiri, niscaya akan benarlah
jika dikatakan bahwa bagi setiap manusia “ada” berarti “menjadi
seorang mistikus”. Seandainya Tuhan selalu hadir di dalam diri
manusia dan manusia selalu hadir di dalam Tuhan, maka
pengalaman mistik akan menjadi kemubaziran.
Dipandang sebagai berada di luar jangkauan semua bahasa konvensional,
pengalaman mistik masuk dalam kategori ilmu hudhuri, dan dengan
demikian identik dengan jenis kehadiran yang bersifat preposisional dan
terserap. Karena mereka terletak di jajaran pengetahuan dengan kehadiran
yang identik dengan realitas eksistensial diri, maka pengalaman mistik
menjadi landasan bagi kausasi efisien pengetahuan representasional
introspektif pengalaman ini ketika sang mistikus telah “kembali”. Dengan
hubungan pencerahan ini, pengetahuan dengan kehadiran mistik yang
mendasari ini menerangi tindak pengetahuan imanennya dengan
representasu secara introvertif. Ini berarti ketika sang mistikus kembali dari
realisasi dirinya ke dunia obyek-obyek fenomenal, kemajemukan yang
tampak di tatanan horisontal emanasi, pengalaman kesadaran uniter ini
menjadi aktif secara efisien dalam menyediakan tindak-tindak representasi.

Kesimpulan yang bisa diambil dari semua ini adalah bahwa penyelidikan
metamistik adalah komtemplasi dengan merenungi bahasa obyek
pemgalaman mistik itu sendiri tetap berada dalam lingkup ilmu hudhuri.
Irfan dan metamistisisme termasuk tatanan pengetahuan dengan
representasi, dan karena itu keduanya termasuk bentuk pengetahuan
dengan korespondensi.
KAJIAN PUSTAKA:
https://teosophy.wordpress.com/2011/05/21/bahasa-mistisisme-dan-metamistisime-
terakhir/#more-947
1Sayyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London: Worts-Power Associates,
1987),Ibid., h. 10

Anda mungkin juga menyukai