Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS HARAKAH JIWA DAN MATERI DALAM PANDANGAN FILSAFAT

ILUMINASI

FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Raihanul Hammam Falah


Email : rewel275@gmail.com

Abstract
Philosophy is an intellectual exercise which enables man to determine form as it really is in himself. It
is man's duty to do this through the intellectual training of his soul so that he is glorified and
perfected. It could also be a rational scientist and attain eternal happiness in a later capacity. Islamic
philosophy has important themes of this study, including God, man and nature. The post-modern era
which demands rationality causes a sharp shift in human orientation, knowledge and understanding of
the ideas of Muslim philosophers. The research aims to explain some of the thoughts of the famous
Muslim philosopher in the East, Suhrawardi. This research is to explore and describe thoughts and
compromises by explaining the differences, philosophy of illumination, methodology of illumination
philosophy, structure of illumination philosophy, illuminationist epistemology which explains the
theory of soul and harakah.

Keywords: philosophy of illumination, Harakah Theory Of Seoul

Abstrak:
Filsafat adalah latihan intelektual yang memungkinkan manusia untuk menentukan bentuk
sebagaimana adanya pada dirinya sendiri. Adalah tugas manusia untuk melakukan ini melalui latihan
intelektual jiwanya sehingga dia dimuliakan dan sempurna. Bisa juga seorang ilmuwan yang rasional
dan memperoleh kebahagiaan abadi dalam kapasitas selanjutnya. Filsafat Islam memiliki tema
penting dari penelitian ini, termasuk Tuhan, manusia dan alam. Era post modern yang menuntut
rasionalitas menyebabkan pergeseran tajam dalam diri manusia orientasi, pengetahuan dan
pemahaman tentang ide-ide para filosof muslim menjadi keharusan bagi umat Islam untuk
mengimbangi pandangan dunia sekuler yang bisa merusak keimanan, tradisi, dan moral bangsa.
Penelitian bertujuan untuk menjelaskan beberapa pemikiran filosof muslim terkenal ditimur,
Suhrawardi. Penelitian ini untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan pemikiran dan kompromi
dengan menjelaskan perbedaan, filsafat iluminasi, metedologi filsafat iluminasi, struktur filsafat
iluminasi, epistemologi iluminasionis.

Kata kunci: Filsafat Iluminasi, Harakah, Teori Jiwa

PENDAHULUAN
Dengan berkembangnya filsafat dan ilmu-ilmu Yunanai, Persia dan India, kaum Muslimin
secara bertahap mulai menampilkan beragam perspektif intelektual yang mendominasi cakrawala
peradaban Islam sejak saat itu. Madzhab-madzhab hukum dan tarekat-tarekat sufi terbentuk sendiri
pada abad ketiga sejarah Islam, dan wahyu sampai pada abad ketiga sejarah Islam, dan wahyu yang
sampai saat itu berada dalam kondisi ”menyatu”, menjadi ”terkristalisasi” ke dalam komponen-
komponennya. Dengan cara serupa, setelah beberapa abad, beragam perspektif intelektual menyerap
bahan yang disajikan oleh warisan melimpah dari peradaban sebelumnya, yang telah terdapat dalam
bahasa Arab, ke dalam pandangan dunia Islam, dan melahirkan madzhab-madzhab filsafat, seni dan
ilmu Pengetahuan yang bermacam-macam. Dengan demikian kita sah menyebut madzhab madzhab
ini sebagai madzhab Islam. Karena konsep dan formulasi yang digunakan oleh mereka terintegrasi ke
dalam pandangan Islam sekalipun ia berasal dari yang lain. Di kalangan Muslim mungkin kita tidak
asing dengan para filosof Islam yang tersebar di Timur ataupun di Barat. Di Timur misalkan kita
temukan nama-nama seperti Al-Kindi (180-260H/796-873 M) Al- Razi (250-313 H/864-925 M) , Al-
Farabi (259-339 H/872-950 M) , Ikhwan Al-Safa (Abad 4 H) , Ibnu Maskawaih (330-421 H/940-1030
M) , Ibnu Sina (370-428 H/980-1036 M) dan Al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) .Sedangkan di
barat terdapat nama-nama seperti Ibnu Bajjah (..?-533 H/1138 M) , Ibnu Thufail (500-581 H/1105-
1185 M) dan Ibn Rusyd (520-595 H/1126-1198 M) .
Filosof sekaligus tokoh sufisme seperti AlGhazali, Syahab Al-Din Suhrawardi dan Ibn Al-
Arabi Dalam hal ini menurut Seyyed hossein Nasr, ”ada tiga ahli hikmah Muslim termasyhur, Ibnu
Sina (Avicenna) , Suhrawardi dan Ibnu ’Arabi, yang diharapkan bisa mengekspresikan–melalui
mereka– sudut pandang tiga madzhab penting, yaitu ilmuwan –filsuf, illuminasionis dan sufi”. Di
timur, ia selalu menjadi gagasan yang sangat mempengaruhi orang perorang, sesuai dengan perkataan
Ali bin Abi Thalib –representasi yang sebenarnya dari hikmah Islami dan pesan esotorik Nabi saw–
yang mengajarkan kepada para muridnya untuk mementingkan apa yang dikatakannya, bukan siapa
yang mengatakannya.Tiga orang yang ajaran-ajarannya membentuk bahan kajian kita dalam
kesempatan ini tentu merupakan tokoh yang sangat penting pada dirinya sendiri dan memainkan peran
signifikan yang istimewa dalam madzhab yang dinisbatkan kepada mereka.Tapi di samping itu,
masingmasing berbicara menggunakan perspektif yang mereka jalani dalam kehidupannya dan
menggunakan pandangan dunia yang telah direnungkan oleh generasi-generasi kaum bijak dan para
ahli dari abad ke abad. Lebih jauh, sekalipun madzhab mereka bukan satu-satunya yang ada dalam
Islam, tetapi ia merupakan yang paling penting lahir setelah periode awal Islam. Dalam totalitasnya
mereka juga menampilkan aspek signifikan dari intelektualitas Islam, menyingkap cakrawala-
cakrawala yang telah menentukan kehidupan intelektual banyak ahli hikmah terkemuka dalam Islam.
Suhrawardi memilih judul (Hikmah Al-Isyraq) untuk menamai karya berbahasa Arabnya
yang utama, dan untuk membedakan pendekatan filosofisnya dari pendekatan karya-karya kaum
Peripatetik yang sudah sangat mapan pada masanya, yang didominasi oleh doktrin-doktrin Ibnu Sina,
ilmuwan besar Islam dan guru besar masysya'i atau filsafat Peripatetik. Walaupun Suhrawardi
menyatakan bahwa At-Tawihar misalnya, ditulis berdasarkan "metode Peripatetik", ini tidak diangga
sebagai karya lepas tentang filsafat Peripatetik. Akan tetapi, karya it menunjukkan bahwa filsafat
iluminasi memasukkan sesuatu yang tidak dan belum didefinisikan oleh ajaran Peripatetik yang sudah
diakui umum, yang sebagian diterima oleh Suhrawardi dan sebagian lainnya ditolak atau diperbaiki
olehnya.
Dalam seluruh karyanya, Suhrawardi menggunakan istilah-istilah seperti "kaidah
iluminasionis" (qa'idah isyraqiyyah): "aturan-aturan iluminasionis" (dhawabith isyraqiyyah),
"argumen-argumen dasar iluminasionis" (daqiqah isyraqiyyah), dan frase-frase semacam itu, untuk
mengidentifikasi masalah-masalah khusus dalam bidang logika, epistemologi, fisika, dan metafisika-
wilayah-wilayah pemikiran yang direkonstruksi atau direformulasi dengan cara yang sangat inovatif.
Istilah- istilah baru tersebut menunjukkan komponen-komponen esensial filsafat iluminasi dan inilah
yang membedakan metodologi filsafat iluminasi dengan metodologi filsafat Peripatetik 1.
Menurut Suhrawardi hanya ada lima kategori, yaitu substansi , kuantitas (kam), kualitas (kayf),
gerak, dan relasi. Passi, tempat, waktu, da lingkungan masuk ke dalam relasi, sedangkan aksi masuk
ke dalam gerak. Dari lima kategori diatas yang menonjol menurut Suhrawardi hanya gerak dan waktu.
Penjelasannya berkaitan erat dengan penjelasan yang berkaitan dengan semua jenis pergerakan yang
terjadi di alam semesta. Semua gerak bersumber dari yang pertama, termasuk juga gerakan-gerakan
yang terjadi pada falak-falak, bola-bola bintang ynag berhubungan dengan falak-falak, seperti
gerakan matahari, bulan, dan bumi.
Jiwa manusia disebut juga dengan Al Nafs an Nathiqah yang terbebas dari ikatan materi. Ia
tunggal, esa dan tak terbagi. Jiwa manusia merupakan unsur ruhani, karena itu ia dapat digerakkan
oleh cinta yang bersifat ruhani. Suhrawardi sependapat dengan Ibn Sina bahwa jiwa memiliki daya
pencerap dalam dan luar. Daya pencerap luar meliputi pancaindra. Sedangkan daya pencerap dalam
meliputi daya imajinasi, daya berpikir, daya penjaga dan daya estimasi.

PEMBAHASAN

1
Juhaya S. Praja” pengantar filsafat islam” bandung : Pustaka setia, 2009 hal. 180
A. Biografi Suhrawardi Al Maqtul
Syihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Al-Futuh Suhraward sangat terkenal dalam
sejarah filsafat Islam sebagai guru iluminasi [Syekh Al-Isyraq), suatu sebutan bagi posisinya yang
lazim sebagai pendiri mazhab baru filsafat yang berbeda dengan mazhab Peripatetik. Suhrawardi lahir
di kota kecil Suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. la menemui kematian tragis melalui
eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M dan karena itulah, terkadang disebut Guru yang Terbunuh
(Asy-Syaikh Al-Magtul). Dia belajar filsafat dan teologi dengan Majid Ad-Din Al-Jil di Maraghah
dan kemudian pergi ke Ishfahan untuk belajar di dengan Fakhr Ad-Din Al-Mardin (wafat 594 H/1198
M) yang meramalkan kematiann muridnya. Diketahui pula bahwa ahli logika Zhahir Al-Farsi
memperkenalkan Suhraward kepada Al-Basâir, karya ahli logika terkenal 'Umar ibn Sahlan Ash-
Shawi (1540 H/1145 M). Fakta ini cukup penting, karena karya terakhir adalah salah satu karya
pertama yang menyimpang dari standar pembagian sembilan bagian logis dan untuk mengidentifikasi
dua bagian: logika formal dan logika material, Suhrawardi kemudian menggunakan sistem yang lebih
sederhana ini dalam logika bagian yang lebih tinggi, terdiri dari semantik, logika formal dan logika
material.
Setelah merasa cukup untuk belajar secara formal, Syekh Al-Isyraq melakukan perjalanan ke
seluruh Iran. Di kota tempat ia ditempatkan, ia mengunjungi seorang guru sufi terkenal untuk
memperdalam ilmu pencerahannya. Dia menggunakan waktu luangnya untuk meditasi dan asketisme
serta memperbanyak ibadah dan 'Uslah.Puas dengan pergaulannya dengan para sufi, Syekh Al-Isyraq
melanjutkan perjalanannya ke Anatolia (Asia Kecil) dan Syria. Pada tahun 1183, setelah menulis
Kitab Al-Hikmah Al-Isyraq, ia mengunjungi Aleppo dan akhirnya Damaskus. Di Damaskus, ia
diterima sebagai penasehat spiritual istana Pangeran Malik Az-Zahir Ghazi, putra Sultan Salahuddin
Al-Ayyub atau yang lebih dikenal dengan Sultan Saladin. Seorang prajurit hebat dalam perang
melawan Tentara Salib.
Suhrawardi berhasil memenangkan hati sang pangeran, menjadi pemimpinnya dan tinggal di
istana. Di sana sang filsuf muda dikatakan telah memberi tahu sang pangeran tentang filosofi barunya
pada pertemuan-pertemuan pribadi yang makmur.
Kenaikan pesat Suhrawardi ke posisi istimewa pasti bersinggungan dengan intrik umum dan
penyelidikan hukum di Abad Pertengahan. Para hakim, wazir, dan ahli hukum Aleppo, yang tidak
puas dengan status pengajaran yang eksplosif dari tutor terkemuka, mau tidak mau meringankan
kasusnya. Hakim terkenal Qadhi Al-Fadhil menulis surat kepada Saladin menuntut eksekusi
Suhrawardi untuk mengakhiri hidup pemikir muda itu. Sultan memerintahkan pangeran untuk
membunuh gurunya.
Sejarawan abad pertengahan menuduh Suhraward "menjadi zindiq (tidak beragama)",
"merusak agama", dan "menyesatkan pangeran muda Al-Malik Az-Zhahir", tetapi validitas tuduhan
ini sangat diperdebatkan. Alasan yang lebih kredibel untuk dugaan eksekusi Suhraward tampaknya
didasarkan pada doktrin politik sang filsuf, sebagaimana terungkap dalam pencerahannya dalam
karya-karya filosofisnya. Hal itu terlihat dari situasi tahun eksekusi Suhrawardi yang bertepatan
dengan gejolak politik dan militer. Raja Richard si Hati Singa dari Inggris mendarat di Acre dan
terjadi pertarungan hebat antara Muslim dan Kristen untuk memperebutkan Tanah Suci. Sultan
Saladin yang Agung rupanya lebih memperhatikan peristiwa ini daripada eksekusi seorang mistik
pengembara, yang tidak dipandang sebagai ancaman nyata bagi keamanan politik.

B. Pemikiran Filsafat Suhrawardi

Suhrawardi memperkenalkan konsep baru yang disebut iluminasi (Isyraqiyah) yang


merupakan pancaran cahaya dari Nur al Anwar. Filsuf Islam belum memperkenalkan konsep ini.
Filsafat Suhrawardi merupakan perpaduan antara filsafat Peripatetik dan mistisisme Islam.
Kata isyraq, yang memiliki padanan kata iluminasi, berarti cahaya atau pencerahan. Dalam bahasa
filsafat, pencerahan berarti sumber perenungan atau perubahan bentuk kehidupan emosional untuk
mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum Israq, apa yang disebut hikmat bukan sekadar teori yang
diyakini, melainkan transfer spiritual praktis dari alam kegelapan tempat bersemayamnya ilmu dan
kebahagiaan. Ada sesuatu yang mustahil dalam cahaya intelektual ini, di mana pengetahuan dan
kebahagiaan dicapai bersama. Oleh karena itu, menurut Israqen, sumber ilmu adalah radiasi, yaitu
berupa sejenis radiasi yang menyatu dengan zat cahaya. 2. Selain itu, cahaya adalah simbol terpenting
filsafat Irak. Simbolisme cahaya digunakan untuk menunjukkan faktor yang menentukan tingkat
intensitas makhluk, bentuk, materi, indra primer dan sekunder, intelek, jiwa, substansi individu, dan
pengalaman mistis. Terlihat jelas bahwa penggunaan simbol cahaya merupakan ciri khas konstruksi
filsafat Israel3. Secara umum, klasifikasi Hikmat al-Isyrâq dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian
pertama mengkaji beberapa kritik terhadap pemikiran bergerak, khususnya konsep epistemologi.
Bagian kedua berkaitan dengan konsep cahaya dan dimensinya yang berbeda. Pada bagian pertama,
kritik epistemologis berkisar pada logika dan sumber-sumber pengetahuan, sesuai dengan arah kritik
yang diprakarsai.4.
Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik epistemologi
berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan5. Dalam kajian tentang sumber ilmu
pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî.
Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan
memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu
menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat,
mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi
rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara
silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum
diketahui6.Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani)
yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi
berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi.  Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan
Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada
memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada
olah pikir7.
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang
memuat konsep metafisikanya8. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang
berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq) sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya
untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi, teologi, dan ontologi. 
Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya,
cahaya dominan, pembagian barzâkh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib
perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.
1. Mengenai ketuhanan
Inti filsafat illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi
menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi
menyebut Allah dengan Nur al Anwar. Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan
paling nyata, sehingga mustahi terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya.
Oleh karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diriNya 9. Suhrawardi
mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al wujud.
Konsep terang dan gelap Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal
itu tidak berarti bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab pada kenyataannya
terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran
Zoroaster dan Suhrawardi10.

2
Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 119
3
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif
Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm. 27
4
John Walbridge, Mistisime Filsafat Islam (The Science of mystic Lights), terj.Hadi Purwanto,
(Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.37
5
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 9
6
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif
Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm. 17
7
John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi
Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.37
8
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 150
9
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 142
10
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 153
Nur al Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahaya disini bukan
dalam arti perpindahan tempat. Menurut Suhrawardi, gerakan itulah yang memiliki peran
sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini Suhrawardi menegaskan
bahwa semua pergerakan adalah atas kehendakNya dan pergerakan tersebut juga sebagai
pangkal bagi terciptanya alam semesta.
Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi, unsur cinta merupakan modal dari kedinamisan
gerak semua makhluk. Semua wujud dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung
dari proses penyinaran dari Nur Al Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala
pergerakan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta
menyandarkan wujudnya pada penerangan abadiNya.
Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi tidaklah sama dengan teori
emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik. Menurutnya, pancaran  yang dihasilkan oleh
sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa
mencapai jumlah yang banyak11.
Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga
vertical, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari,
semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat
tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.

2. Mengenai Kemanusiaan
Konsep jiwa Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan pandangan para filosof
paripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang telah disempurnakan oleh para
filosof muslim. Seperi konsep jiwa Ibn Sina semakin lengkap dan sempurna. Dia
memberikan penjelasan tentang jiwa dan daya-daya yang melekat padanya secara
sistematis.
Suhrawardi menuangkan pemikirannya tentang jiwa dalam magnum opusnya Hikmah
Al Isyraq, misalnya tentang barzakh, mimpi, ma’ad dan kenabian. Kedua dalam kitab
Hayakil al Nur, misalnya argument-argument yang membuktikan adanya jiwa, daya-daya
jiwa, karakter-karakternya, sumber-sumber jiwa dan nasib jiwa setelah terlepas dari jasad.
Sebagai bukti adanya jiwa adalah kesadaran diri tiap manusia pada jati dirinya 12.
Suhrawardi menekankan adanya jiwa pada manusia berbeda dari jasad yang ditempati oleh
jiwa. Disamping itu, jiwa memiliki kemampuan untuk menyerap makna-makna yang
terlepas dari badan. Kemampuan jiwa tersebut menunjukkan bahwa jiwa memiliki
karakter-karakter khusus yang tak dimiliki oleh badan. Pada hakikatnya manusia akan
tetap utuh dan eksis apabila jiwa masih melekat pada badannya. Oleh karena itu, eksistensi
manusia terletak pada jiwanya. Jiwa manusia disebut juga dengan Al Nafs an Nathiqah
yang terbebas dari ikatan materi. Ia tunggal, esa dan tak terbagi. Jiwa manusia merupakan
unsur ruhani, karena itu ia dapat digerakkan oleh cinta yang bersifat ruhani. Suhrawardi
sependapat dengan Ibn Sina bahwa jiwa memiliki daya pencerap dalam dan luar. Daya
pencerap luar meliputi pancaindra. Sedangkan daya pencerap dalam meliputi daya
imajinasi, daya berpikir, daya penjaga dan daya estimasi.
Menurut suhrawardi, jiwa manusia melimpah dari pemberinya dalam satu waktu yang
bersamaan dengan jasad yang menampungnya. Jika alam semesta merupakan hasil
rentetan illuminasi dari Allah dan emanasi dariNya, jiwa juga akan sampai pada
kesempurnaan melalui perantaraan illuminasi 13. Proses naiknya jiwa menuju asalnya
disebut remanasi.

3. Konsep Teosofi

11
Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm.
191
12
Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm.
192
13
Khudhori Soleh, Filsafat Islam dari klasik hingga kontemporer, (Yogyakarta : ArRuz Media, 2014), hlm.
194
Pokok kajian teosofi adalah menyingkap misteri ketuhanan yang masih tersembunyi.
Selain itu, kajian teosofi juga berkaitan dengan manusia, alam dan Tuhan. Teosofi berasal
dari bahasa Yunani theoshopia yang berarti hikmah Tuhan. Dalam kaitannya dengan
Suhrawadi adalah Hikmah al Isyraq (oriental theosophy).Teosofi merupakan bentuk  final
dari pemikiran falsafi suhrawardi. Konsep ini sarat dengan bahasa simbolik, seperti
malaikat, barzakh, maghrib (barat) dan masyriq (timur). Sejumlah terminologi yang
tampak familiar dalam teosofinya, tidak boleh dipahami secara konvensional, akan tetapi
harus dipahami secara simbolik pula. Isyraqiyyah merupakan hasil perpaduan antara rasio
dan intuisi14.
Istilah Isyraqi sendiri sebagai symbol geografis, mengandung makna timur sebagai
dunia cahaya. Sementara masyriq yang berarti tempat terbit matahari yang merefleksikan
sumber cahaya15. Henry corbin menyatakan, bahwa pengertian Isyraqi dapat didekati
melalui tiga pengertian: Pertama, teosofi yang mendasarkan pada sumber
penyinaran. Kedua, teosofi dalam wujudnya sebagai doktrin yang didasarkan pada
kehadiran filosof yang memiliki kematangan dan kesiapan untuk pencerahan langsung ke
dalam jiwanya, suatu pengetahuan yang berasal dari timur, akal murni merupakan oriental
knowledge. Ketiga, teosofi dari para ahli Persia kuno16.
Dalam filosofi suhrawardi, istilah cahaya menggantikan penamaan akal. Dalam
penjabarannya mengenai cahaya dan gelap, ia menyamakan keduanya dengan ruh dan
materi. Menurut Suhrawardi, cahaya dan gelap memiliki 2 jenis. Cahaya terbagi menjadi
cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya sendiri, dan cahaya dalam dirinya sendiri
sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain17.Kegelapan juga ada 2 jenis: pertama, kegelapan
murni, yang disebut dengan substansi kabur. Kedua, kegelapan yang terdapat pada sesuatu
yang lain ( bentuk cahaya yang sudah terkontaminasi). Disamping itu, Suhrawardi
memperkenalkan istilah barzakh (pembatas) merupakan symbol perantara dan penghubung
antara yang nyata dan yang ghaib.
Suhrawardi mengembangkan teori emanasi menjadi teori illuminasi. Melalui
teorinya, dia menyatakan bahwa illmuninasi dari Nur al Anwar menghasilkan cahaya-
cahaya murni/dominator. Dalam konsep cahaya Suhrawardi terdapat peringkat cahaya
horizontal dan cahaya vertikal.

B. Karya-Karya Suhrawardi
Dalam jengkal kehidupannya yang pendek, Suhrawardi menulis hampir 50 karya baik
dalam bahasa Arab atau Persia, yang sebagian besarnya masih ada. Karya-karya ini ditulis
dalam gaya yang indah dan bernilai susastra tinggi. Ia merupakan karya-karya Persia yang
termasuk diantara mahakarya terbesar tulisan prosa dalam bahasa tersebut dan kenyataannya
ia menjadi model bagi prosa naratif dan filosofis berikutnya. Tulisan-tulisan ini memiliki
beberapa tipe yang berbeda yang bisa dikelompokkan dalam lima kategori.

a. Empat karya besar yang bersifat doktrinal dan didaktik, semuanya dalam bahasa Arab,
yang membentuk sebuah tetralogi yang pertama kali berbicara tentang filsafat peripatetik
sebagaimana ditafsirkan dan dimodifikasi oleh Suhrawardi, lalu berbicara tentang Isyraqi
sendiri dengan mengikuti fondasi doktrinal yang lebih awal. Tetrelogi itu terdiri dari
talwihat (intimasi-intimasi) muqawwamat (oposisi-oposisi) dan musyhaharat
(percakapan) ketiganya berbicara tentang modifikasi filsafat Aristoteles- dan akhirnya
mahakarya Hikmat al Isyraq (teosofi cahaya timur), yang berbicara tentang doktrin-
doktrin Isyraqi
b. Risalah-risalah yang lebih pendek dalam bahasa Arab dan Persia di mana pokok
persoalan tetralogi diuraikan dalam bahasa yang lebih sederhana dan dalam bentuk yang
lebih singkat. Karya-karya ini meliputi Haykal al Nur (kuil-kuil cahaya, Al Alwah
14
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 146
15
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 147
16
http://ahmadsamantho.wordpress.com/2011/06/01/filsafat-illuminasi-suhrawardi
17
John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi
Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.62
al-'imadiyah (lembaran-lembaran yang didedikasikan untuk 'mad al Din, Patraw-namah
(risalah tentang iluminasi), Fi l'tiqad al-Hukama' (simbol keimanan para Filosof), al-
Lamahat (gemerlap cahaya, Yazdan Shinakht (pengetahuan Tuhan) dan Bustan al-Qulub
(kebun hati). Dua yang terakhir juga dinisbatkan kepada 'Ain al Qudhat al- Hamadani dan
Sayyid Syarif Aljurjani, sekalipun ia tampak lebih mungkin sebagai karya Suhrawardi.
c. Cerita-cerita mistik dan simbolik, atau novel yang melukiskan perjalanan jiwa melintasi
kosmos menuju iluminasi dan pencapaian puncaknya. Risalah-risalah ini hampir
seluruhnya berbahasa Persia dan sebagian kecil dalam versi Arabnya. Kary- karya
tersebut adalah 'Aql-Isurkh (malaikat, akal secara harfiah, merah). Awaz-i par-i jbra'il
(senandung sayap jibril), Al-Ghurat al-Gharbiyah (pengasingan ke negeri barat, Lughat-i
muran (bahasa anai-anai), Risalat fi Halat al-Thufuliyah (risalah tentang kedadaran
kanak-kanak), Ruzi ba jama'at-i Sufiyan (sehari bersama masyarakat sufi), Risalat al-
Abraj (risalah tentang perjalanan malam), Safir-i simurgh (nyanyian burung griffin).
d. Transikpsi, terjemahan dan uraian atas karya-karya filsafat yang lebih awal serta naskah-
naskah suci dan keagamaan seperti terjemahan Persia Risalat al-Thair-nya Ibnu Sina,
uraian dan komentar atas isyarat-i-nya Ibnu Sina, gubahan atas Risalah fi al-Isyrq-nya
Ibnu Sina, dan komentar-komentar atas sejumlah ayat Al-Qur'an dan hadist-hadits
tertentu.
e. Do'a-doa dan permohonan dalam bahasa Arab yang serupa dengan apa yang pada Abad
pertengahan disebut buku waktu dan yang disebut Syahazuri dengan Al- Waridat Wa al-
Taqdisat18.
f.
C. Filsafat Iluminasi
Dalam seluruh karyanya, Suhrawardi menggunakan istilah-istilah seperti "kaidah
iluminasionis" (qa'idah isyraqiyyah): "aturan-aturan iluminasionis" (dhawabith isyraqiyyah),
"argumen-argumen dasar iluminasionis" (daqiqah isyraqiyyah), dan frase-frase semacam itu,
untuk mengidentifikasi masalah-masalah khusus dalam bidang logika, epistemologi, fisika,
dan metafisika-wilayah-wilayah pemikiran yang direkonstruksi atau direformulasi dengan
cara yang sangat inovatif. Istilah- istilah baru tersebut menunjukkan komponen-komponen
esensial filsafat iluminasi dan inilah yang membedakan metodologi filsafat iluminasi dengan
metodologi filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi hanya ada lima kategori, yaitu substansi, kuantitas (kam),
kualitas (kayf), gerak, dan relasi. Passi, tempat, waktu, dan lingkungan masuk ke dalam
relasi, sedangkan aksi masuk ke dalam gerak. Dari lima kategori diatas yang menonjol
menurut Suhrawardi hanya gerak dan waktu. Penjelasannya berkaitan erat dengan penjelasan
yang berkaitan dengan semua jenis pergerakan yang terjadi di alam semesta. Semua gerak
bersumber dari yang pertama, termasuk juga gerakan-gerakan yang terjadi pada falak-falak,
bola-bola bintang ynag berhubungan dengan falak-falak, seperti gerakan matahari, bulan, dan
bumi.
Dalam buku Hikmah Al-Isyraq. Suhrawardi membahas cara bagaimana landasan
pengetahuan iluminasionis diperoleh olehnya sebagai berikut: "Aku, mula-mula, tidak
memperoleh [filsafat iluminasi] melalui berpikir, tetapi melalui sesuatu yang lain, aku
mencari pembuktian- pembuktian lebih lanjut baginya."Maksudnya, prinsip-prinsip filsafat
iluminasi [serupa dengan visi yang pertama, dan dengan pengetahuan tentang keseluruhan],
diperoleh Suhrawardi bukan melalui pemikiran dan spekulasi, melainkan melalui "sesuatu
yang lain". Ini, seperti yang diceritakan Suhrawardi dan para komentatornya, Syahrazuri
(abad ke-7 H/ ke-13 M), Quthb Ad- Din Al-Syiraz (abad ke-8 H/ke-14 M) dan Harawi (abad
ke-11 H/ke-17 M), merupakan modus eksperiensial khusus untuk mencari pengetahuan yang
dinamakan "visi iluminasionis" (al-musyahadah al-isyraqiyyah). Epistemologi dari tipe visi
ini digarap secara sangat terperinci oleh Suhrawardi. Epistemologinya menjadi subjek
pembahasan semua komentator setelah masa Suhrawardi dan dirumuskan serta dikaji kembali
oleh salah seorang filsuf iluminasionis Muslim abad ke-20 terkemuka, Sayyid Muhammad

18
Sayyed Hossein Nasr, 2006, filsafat islam, IRCiSoD, Jakarta, hal. 108
Kazhim Ashshar, dalam studinya tentang prinsip dan argumen ontologis Wahdah-i Wujud wa
Bada'.
Ringkasnya, landasan filsafat iluminasi adalah bahwa hukum-hukum yang mengatur
penglihatan dan visi didasarkan pada kaidah yang sama, yang terdiri atas eksistensi cahaya,
tindakan visi, dan tindakan iluminasi. Jadi, dalam filsafat iluminasi Suhrawardi, cahaya,
iluminasi, penglihatan, visi, tindakan-tindakan kreatif dan dengan keluasan semua hal-dapat
dijelaskan melalui eksistensi cahaya yang dipancarkan oleh Cahaya dari segala cahaya.
Tujuan akhir iluminasi, menurut Suhrawardi, adalah menjadikan manusia masuk ke
dalam jajaran alam malaikat (wqw) yang diliputi oleh hakikat dan makrifat tentang Allah,
menguasai ilmu Allah, dan dapat meraihnya sebelum kemunculannya ke alam ini, seperti
halnya teori filsafat idealisme (al-mutsul) Plato. Lebih lanjut, Suhrawardi menegaskan
pandangannya sebagai berikut, "Semua orang sepakat bahwa cara untuk meraih akhirat
haruslah mengetahui Yang Mahatunggal (Al-Haqq), malaikat, jiwa-jiwa suci, dan tempat
kembali untuk orang-orang bahagia. Oleh sebab itu, lakukan latihan spiritual (riyadhah) dan
konsentrasikan diri untuk meraihnya. Engkau pasti dapat menggapai apa yang telah dicapai
oleh mereka."

D. Metodelogi Filsafat Suhrawardi


Prinsip metodologis yang dibangun oleh Suhrawardi ketika, untuk pertama kali dalam
sejarah filsafat, ia membedakan secara gamblang dua pembagian metafisika: metafisika
generalis dan metafisika spesialis. Yang pertama, sebagaimana yang dipegang oleh
pandangan filsafat yang baru, melibatkan diskusi-diskusi standar tentang subjek-subjek,
seperti eksistensi, kesatuan, substansi, aksiden, waktu, gerak, dan sebagainya, sedangkan yang
kedua melibatkan pendekatan ilmiah yang baru untuk menganalisis masalah- masalah
suprarasional, seperti eksistensi dan pengetahuan Tuhan: "mimpi- mimpi yang benar",
"pengalaman visioner"; tindakan-tindakan kreatif orang tercerahkan, "imajinasi" subjek yang
mengetahui; "pembuktian" terhadap yang riil; keberadaan objektif "alam terpisah" yang
disebut mundus imaginalis ('alam al-khayal); dan banyak masalah serupa lainnya.
Sesungguhnya, pembagian masalah pokok metafisika Suhrawardi, dan juga upayanya untuk
memperlihatkan keunggulan epistemologis modus pengetahuan eksperiensial (berdasarkan
pengalaman) yang diobjektifikasi merupakan sebagian karakteristik struktural dan
metodologis khas filsafat iluminasi. Sejak masa Suhrawardi, prinsip-prinsip ini telah
digunakan oleh banyak komentator dan sejarawan untuk memberi tekanan pada perbedaan
antara kaum Peripatetik dan Iluminasionis.
Wilayah lain yang dalam hal ini prinsip-prinsip iluminasionis mempunyai pengaruh
dan dampak cukup besar adalah dalam bidang semantik ('Ulum dalalah al-alfazh).
Suhrawardi, boleh jadi, diilhami oleh tren kecil Stoik- Megarik dalam filsafat Islam yang
berlangsung sampai dengan masanya, mengungkap kembali sejumlah masalah melalui cara
yang berbeda dengan cara bagaimana masalah itu dinamakan dan dibicarakan dalam korpus
logika bnu Sina. Masalah dalam logika ini, antara lain adalah tipe penandaan; hubungan
antara nama-nama kelas dengan anggota-anggota kelas; tipe-tipe cara untuk memasukkan
anggota dalam kelas (indiraj, istighraq, indikhal, syumul, dan sebagainya), dan mungkin, yang
paling signifikan dari sudut sejarah logika, teori pengandaian yang terdefinisi dengan baik
(pemakaian terbatas dan tak terbatas dalam kuantifikasi).
Dalam wilayah logika formal, Suhrawardi membuktikan dirinya sebagai seorang
logikawan yang sangat menonjol. Dalam taraf yang lebih-kurang sama, Suhrawardi
memengaruhi beberapa karya tentang masalah khusus logika di Persia. Masalah-masalah ini,
antara lain: modalitas yang diulang- ulang; penciptaan proposisi-proposisi niscaya
superafirmatif (al-qadhiyyah adh-dharuriyyah al-battatah); persoalan negasi [as-salb],
terutama dalam konversi silogisme [al-'aks], penyederhanaan terma-terma; konstruksi
gambaran "induk" yang tunggal bagi silogisme [syakl al-qiyas] yang darinya setiap gambaran
lainnya diturunkan; modalitas-modalitas temporal (al- qadhaya al-muwajjahah); khususnya
penolakan validitas tak terbatas proposisi afirmatif universal (al-qadhiyah al-mujibah al-
kulliyah) dalam memperoleh pengetahuan yang meyakinkan (al-'ilm al-yaqin) karena
kemungkinan yang akan datang (al-imkan al-mustaqbal); dan lain-lain.
Wilayah penting pengaruh Suhrawardi lainnya adalah teorinya tentang kategori-
kategori, yang menjadi acuan sebagian besar karya filsafat terkemudian di Persia, khususnya
dalam sintesis filosofis utama non-Ibnu Sina terkemudian yang dikenal sebagai al-hikmah al-
muta'aliyyah.

Al Harakah Al Jauhariyyah

Suhrawardi memperbincangkan kategori-kategori secara panjang-lebar dalam karya-


karya filsafis sistematis utamanya berbahasa Arab dan Persia. la menisbahkan teori
kategorinya yang berpengaruh kepada seorang sarjana mazhab Pythagorean (syakhsh
fitaguritsi) yang bernama Arkhuthus. Apa yang kemudian disebut Shadr Ad-Din Asy-Syirazi
sebagai "gerak dalam kategori substansi" [al-harakah al-jauhariyyah], yang diterjemahkan
dengan "gerak substansial" dan "gerak transubstansial", pengaruh langsung dari teori
Suhrawardi. Secara ringkas, teori itu menyatakan bahwa "intensitas" (syaddah wa dha'f)
adalah sifat dari semua kategori yang disederhanakan menjadi lima: substansi (jauhar),
kualitas (kaif), kuantitas (kamm), relasi (nisbah), dan gerak (harakah). Konsep ini sesuai
sekali dengan teori Suhrawardi tentang wujud sebagai sebuah kontinum (kesinambungan),
dan juga dengan teorinya yang dikenal sebagai "teori tentang kemungkinan yang akan datang"
(qa'idah imkan al-asyraf- secara harfiah berarti teori tentang kemungkinan yang paling mulia.
Dilihat secara keseluruhan, tujuan Suhrawardi diarahkan pada sasaran- sasaran
teoretis di samping praktis yang dapat dicapai. Pertama-tama, mendemonstrasikan
kesenjangan fundamental dalam landasan-landasan logis epistemologi dan metafisika
Aristotelian, dan kemudian merekonstruksi sistem yang dilandaskan atas prinsip-prinsip
epistemologis dan metafisis yang berbeda dan secara logis lebih konsisten. Meskipun kajian-
kajian analitis lebih lanjut diperlukan guna menimbang sisi filosofis pemikiran Suhrawardi,
satu fakta yang diterima secara luas oleh para filsuf Islam tradisional: filsafat iluminasi
gagasan, bahasa, dan metodenya-mempunyai dampak besar pada setiap pemikiran masa-masa
berikutnya sudah mapan. Diduga tidak ada sumber tekstual lainnya yang tersedia baginya.
Fakta bahwa ia merumuskan kembali masalah-masalah filsafat, menolak sebagian atau
memperbaiki sebagian lainnya merupakan indikasi akan tujuan filsafatnya sendiri-yaitu
merekonstruksi sistem metafisika yang bertujuan untuk, antara lain, menetapkan keunggulan
modus intuitif dalam mencari pengetahuan. Bukan merupakan indikasi akan tradisi filsafat
yang dikenalnya, tetapi hilang dari kita19.

E. Struktur Filsafat Iluminasi


Komponen utama yang paling jelas tampak, tetapi begitu mudah diabaikan dalam
filsafat iluminasi Suhrawardi adalah pemakaian khas bahasa teknisnya. Kosakata khas ini
menggunakan simbolisme cahaya untuk menggambarkan masalah-masalah ontologis, dan
khususnya untuk memaparkan struktur-struktur kosmologis. Sebagai contoh, Wujud Niscaya
[Wajib Al-Wujud] peripatetik disebut "Cahaya dari segala cahaya" [nur al-anwar], intelek-
intelek terpisah disebut "cahaya-cahaya abstrak" (anwar mujarradah), dan sebagainya. Patut
dicatat bahwa inovasi kebahasaan ini bukan sekadar istilah baru, melainkan juga merupakan
indikasi akan tujuan filsafatnya. Tampaknya, simbolisme cahaya dinilai lebih cocok dan
sesuai untuk menyampaikan prinsip ontologis wujud ekuivokal karena lebih mudah dipahami
bahwa cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama.
Begitu juga, dianggap lebih dapat diterima untuk membahas "kedekatan" (qurb) dan
"kejauhan" (bu 'd) dari sumber sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan ketika simbolisme
cahaya digunakan. Sebagai contoh, semakin dekat suatu entitas dengan sumberya, yaitu
Cahaya dari segala cahaya, semakin terang cahaya entitas tersebut (asy-syai al-mustamr).
Secara keseluruhan, pemakaian bahasa simbolis merupakan karakteristik dan penting
dari filsafat iluminasi. Simbolisme juga diterapkan pada keutamaan epistemologis tindakan
kreatif intuisi, yang mengajukan, sebagai aksioma pertama, pemikiran bahwa pengetahuan
jiwa (roh) tentang diri sendirinya di sini maksudnya entitas cahaya merupakan landasan dan

19
Juhaya S. Praja, 2009, Pengantar filsafat islam, Bandung, hal. 186-187
titik tolak pengetahuan. Pengetahuan ini diibaratkan cahaya abstrak yang berasal (hashil) dari
sumber cahaya. Argumennya adalah bahwa cahaya merambat dengan sendirinya begitu
memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan (faidh) secara sengaja serta tidak
dipancarkan secara terputus- putus. Ini berarti bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau
berasal dari sumbernya bukan dalam waktu, melainkan dalam suatu saat ketika sumber
bercahaya, kapan saja itu terjadi.
Dari sudut pandang tekstual, filsafat iluminasi dimulai dalam buku Al- Talwihat. Di
sini, Suhrawardi mengingat kembali visi-mimpi ketika Aristoteles menampakkan diri. Sarana
atau perangkat alegoris ini memungkinkan Suhrawardi mengemukakan beberapa masalah
filosofis penting. Aristoteles menginformasikan kepada Suhrawardi, melalui visi-mimpi ini
bahwa kaum Peripatetik Muslim telah gagal mencapai tingkat kebijaksanaan seperti yang
dapat diraih oleh para sufi, seperti Abu Yazid Al-Basthami dan Al-Hallaj. Ini, menurutnya,
disebabkan para sufi itu berhasil mencapai kesatuan dengan akal aktif dengan melampaui
filsafat diskursif dan menyandarkan diri pada pengalaman pribadinya. Kebenaran-kebenaran
(haqa'iq) yang diperoleh dengan cara ini merupakan hasil dari modus eksperiensial, intuitif
khusus. Jadi, kritik pertama atas filsafat peripatetik dituturkan melalui mulut tak kurang dari
seorang otoritas seperti Aristoteles, yang menginformasikan kepada Suhrawardi bahwa
pengetahuan yang benar anya didasarkan atas pengetahuan akan diri sendiri dan diperoleh
hanya melalui modus khusus yang disebut "pengetahuan melalui iluminasi dan Zehadiran".
Apa arti modus epistemologis ini dan bagaimana modus itu diperoleh? Pertama-tama
harus bergantung pada usaha mendemonstrasikan kesenjangan-kesenjangan logis yang
terdapat dalam sistem Peripatetik. Ini terjadi ketika Suhrawardi melancarkan kritik lebih jauh
atas konsep dan rumusan definisi Aristotelian. Kritik ini, yang akan dikaji agak terperinci di
sini, adalah upaya signifikan pertama untuk memperlihatkan kesenjangan mendasar dalam
metode ilmiah Aristotelian, dan menunjukkan langkah pertama dalam rekonstruksi filsafat
iluminasi Langkah metodologis besar berikutnya, yaitu mengemukakan landasan
epistemologis alternatif untuk mengonstruksi metafisika yang lengkap. Ini merupakan salah
satu keutamaan dan keunggulan intuisi dan teori iluminasi-visi-yang dalam filsafat iluminasi
dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam
penalaran deduktif yang kompleks.

G. Epistemologi Iluminasionis

Tampaknya, dampak filsafat Suhrawardi yang paling luas mengena pada bidang
epistemologi. Prinsip dasar iluminasionis adalah mengetahui sesuatu berarti memperoleh
pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan
sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu berdasarkan pengalaman dianalisis setelah pemahaman
intuitif yang total dan langsung tentangnya. Adakah sesuatu dalam pengalaman seorang
subjek, demikian barangkali seseorang bertanya, yang menuntut agar apa yang diperolehnya
itu diungkapkan melalui bahasa simbolik yang dikonstruksi secara khusus? Jawaban bagi
pertanyaan ini harus diuji dari berbagai sudut pandang, tetapi jelaslah, bahkan pada tahap ini,
bahwa "bahasa iluminasi" Suhrawardi dimaksudkan sebagai kosakata khusus yang melalui
bahasa itu, pengalaman iluminasi mungkin dapat dilukiskan. Jelas pula bahwa interpretasi
terhadap simbolisme iluminasi serta implikasinya, sebagaimana yang dikemukakan secara
terperinci oleh Suhrawardi dalam Al-Masyari' wa Al- Mutarahat adalah aspek-aspek
terpenting dalam kontroversi mengenai dasar filsafat iluminasi.
Filsafat iluminasi, seperti tergambarkan dalam karya-karya Suhrawardi, terdiri atas
tiga tahap yang menggarap persoalan pengetahuan, yang diikuti oleh tahap keempat yang
memaparkan pengalaman. Tahap pertama ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filsuf:
ia harus "meninggalkan dunia" agar mudah menerima "pengalaman". Tahap kedua adalah
tahap iluminasi (pencerahan), ketika filsuf mencapai visi [melihat] "Cahaya Ilahi" (an-nur al-
ilahi). Tahap ketiga, atau tahap konstruksi, yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian
pengetahuan tak terbatas, yaitu pengetahuan iluminasionis (al-'ilm al-isyraqi) itu sendiri.
Tahap keempat dan terakhir adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang
ditulis ulang. Jadi, tahap ketiga dan keempat, seperti yang didokumentasikan dalam tulisan-
tulisan Suhrawardi, merupakan satu-satunya komponen filsafat iluminasi, seperti yang
dipraktikkan oleh Suhrawardi dan para muridnya seperti logika iluminasionis. Status
epistemologis yang diberikan pada pengetahuan intuitif telah memengaruhi apa yang disebut
"mistisisme spekulatif (irfan nazhari) di Persia dan juga dalam puisi Persia. Dengan melihat
sepintas paradigma yang terkait dengan jalan yang dipakai oleh penyair-filsuf-mistikus untuk
menangkap dan menggambarkan kebijaksanaan, hal ini akan terbukti.
Paradigma itu melibatkan subjek maudhu', kesadaran (idrak) dalam diri subjek itu dan
yang berkaitan dengannya, dan kreativitas (khallaqiyyah). Transisi dari subjek (al-maudhii)
ke subjek yang mengetahui-menciptakan (al-maudhu al-mudrik al-khallaq) menandai
transformasi manusia sebagai subjek alami ke manusia sebagai subjek yang mengetahui
dalam tahap pertama, yang dalam hal ini pengetahuan mentransendensikan pengetahuan yang
sederhana dan dimulailah perjalanan spiritual. Ini akhirnya membawa pada kesatuan, ketika
subjek yang mengetahui masuk ke alam kekuasaan (jabarut) dan Ilahi (lahut) dan manusia
memperoleh realitas [haqiqah] sesuatu dan menjadi subjek yang mengetahui-mencipta. Yang
akhirnya tercipta adalah "puisi".

H. Teori Jiwa Suhrawardi

Sebagai makhluq yang berasal dari alam malakut yang tinggi, jiwa jiwa manusia yang
berada dalam badan dilukiskan secara simbolis oleh suhrawardi, sebagai putra-putra syekh al
Hadi Ibn al-Khair al-Yamani, yang sedang melakukan perjalanan jauh dari negeri timur,
yakni negeri dibelakang Sungai Amu Darya, ke negeri barat yaitu, Qairuan, yang
berpenduduk zalim. Putra-putra syekh ditangkap dan dibelenggu dengan rantai besi,
kemudian dimasukan ke dalam sumur yang gelap, yang di atasnya berdiri istana yang
dilingkungi oleh benteng-benteng yang kuat. Pada siang hari mereka harus dalam sumur yang
gelap tanpa dapat melihat cahaya yang terdapat diluar, tapi pada malamnya mereka bisa naik
ke atas dan bisa melihat cahaya melalui celah dan lubang yang terdapat yang pada dinding
istana. Mereka dapat melihat adanya cahaya kilat di ufuk timur dan melihat datangnya burung
Hud Hud yang membawa surat dari ayah meraka, syekh Al-Yamani. Meraka dapat melihat
dalam surat itu petunjuk-petunjuk untuk melepaskan diri dari belenggu ataupun rintangan
dalam perjalanan kembali ke daerah asal (timur). Lukisan simbolik itu ditutup dengan do'a
"semoga Allah melepaskan kita dari tawanan tabi'at dan belenggu materi, dan katakanlah
'segala puji bagi Allah' yang akan memperlihatkan ayat- ayat-Nya kepadamu, maka kamu
akan mengenal-Nya, dan tidaklah la lalai pada apa yang kamu perbuat. Katakanlah segala puji
bagi Allah' akan tetapi kebanyakan mereka tidak sadar 20. Shalawat dan salam atas Nabi-Nya
dan keluarganya semua. "Lukisan simbolik ini menunjukan pandangannya bahwa jiwa
manusia sebenarnya terbelenggu dalam badan dan haruslah berupaya keras untuk kembali ke
dalam lingkungan asal (alam malakut) dengan berpedoman pada petunjuk-petunjuk yang
dibawa oleh rasul Tuhan. Selanjutnya, menurut Suhrawardi, jiwa-jiwa manusia yang jahat,
setelah mengalami kematian badan, tersiksa dan sengsara oleh kejahilan dan kerinduan
meraka untuk kembali ke alam materi, tidak akan terpenuhi.

KESIMPULAN

Suhrawardi lahir di kota kecil Suhraward di Persia Barat Laut pada 549 H/1154 M. la menemui
kematian tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M dan karena itulah, terkadang disebut
Guru yang Terbunuh (Asy-Syaikh Al-Magtul). la mempelajari filsafat dan teologi kepada Majid Ad-
Din Al-Jili di Maraghah, kemudian mengembara ke Ishfahan untuk belajar kepada Fakhr Ad-Din Al-
Mardini (w. 594 H/1198 M), yang konon telah meramalkan kematian muridnya. Juga diketahui bahwa
Zhahir Al-Farsi, seorang logikawan, memperkenalkan Suhrawardi dengan Al-Basâir, karya logikawan
termasyhur, "Umar ibn Sahlan Ash-Shawi (1540 H/1145 M). Fakta ini cukup penting karena karya
yang disebut terakhir ini termasuk karya pertama yang menyimpang dari pembagian baku sembilan
bagian logika dan mengakui dua bagian; logika formal dan logika material. Suhrawardi kemudian

20
Nasution Harun, 1979, Falsafah Agama, Bulan bintang, Jakarta, hal. 23
menggunakan sistem yang lebih sederhana ini dalam logika tign-bagiannya, yang terdiri atas
semantik, logika formal, dan logika material.
Kata isyraq yang mempunyai padanan llumination dalam bahasa inggris mempunyai arti
cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber kontemplasi atau
perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraq
apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan rohani secara
praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan. Merupakan sesuatu yang
mustahil, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai
bersama-sama. Karena itu menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu
berupa semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi cahaya.
Dalam seluruh karyanya, Suhrawardi menggunakan istilah-istilah seperti "kaidah
iluminasionis" (qa'idah isyraqiyyah): "aturan-aturan iluminasionis" (dhawabith isyraqiyyah),
"argumen-argumen dasar iluminasionis" (daqiqah isyraqiyyah), dan frase-frase semacam itu, untuk
mengidentifikasi masalah-masalah khusus dalam bidang logika, epistemologi, fisika, dan metafisika-
wilayah-wilayah pemikiran yang direkonstruksi atau direformulasi dengan cara yang sangat inovatif.
Istilah- istilah baru tersebut menunjukkan komponen-komponen esensial filsafat iluminasi dan inilah
yang membedakan metodologi filsafat iluminasi dengan metodologi filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi hanya ada lima kategori, yaitu substansi, kuantitas (kam), kualitas (kayf),
gerak, dan relasi. Passi, tempat, waktu, dan lingkungan masuk ke dalam relasi, sedangkan aksi masuk
ke dalam gerak. Dari lima kategori diatas yang menonjol menurut Suhrawardi hanya gerak dan waktu.
Penjelasannya berkaitan erat dengan penjelasan yang berkaitan dengan semua jenis pergerakan yang
terjadi di alam semesta. Semua gerak bersumber dari yang pertama, termasuk juga gerakan-gerakan
yang terjadi pada falak-falak, bola-bola bintang ynag berhubungan dengan falak-falak, seperti
gerakan matahari, bulan, dan bumi.
Prinsip metodologis yang dibangun oleh Suhrawardi ketika, untuk pertama kali dalam sejarah
filsafat, ia membedakan secara gamblang dua pembagian metafisika: metafisika generalis dan
metafisika spesialis. Yang pertama, sebagaimana yang dipegang oleh pandangan filsafat yang baru,
melibatkan diskusi-diskusi standar tentang subjek-subjek, seperti eksistensi, kesatuan, substansi,
aksiden, waktu, gerak, dan sebagainya, sedangkan yang kedua melibatkan pendekatan ilmiah yang
baru untuk menganalisis masalah- masalah suprarasional, seperti eksistensi dan pengetahuan Tuhan:
"mimpi- mimpi yang benar", "pengalaman visioner"; tindakan-tindakan kreatif orang tercerahkan,
"imajinasi" subjek yang mengetahui; "pembuktian" terhadap yang riil; keberadaan objektif "alam
terpisah" yang disebut mundus imaginalis ('alam al-khayal); dan banyak masalah serupa lainnya.
Sesungguhnya, pembagian masalah pokok metafisika Suhrawardi, dan juga upayanya untuk
memperlihatkan keunggulan epistemologis modus pengetahuan eksperiensial (berdasarkan
pengalaman) yang diobjektifikasi merupakan sebagian karakteristik struktural dan metodologis khas
filsafat iluminasi.
Sebagai makhluk yang berasal dari alam malakut yang tinggi, jiwa jiwa manusia yang berada
dalam badan dilukiskan secara simbolis oleh suhrawardi, sebagai putra-putra syekh al Hadi Ibn al-
Khair al-Yamani, yang sedang melakukan perjalanan jauh dari negeri timur, yakni negeri dibelakang
Sungai Amu Darya, ke negeri barat yaitu, Qairuan, yang berpenduduk zalim. Putra-putra syekh
ditangkap dan dibelenggu dengan rantai besi, kemudian dimasukan ke dalam sumur yang gelap, yang
di atasnya berdiri istana yang dilingkungi oleh benteng-benteng yang kuat. Pada siang hari mereka
harus dalam sumur yang gelap tanpa dapat melihat cahaya yang terdapat diluar, tapi pada malamnya
mereka bisa naik ke atas dan bisa melihat cahaya melalui celah dan lubang yang terdapat yang pada
dinding istana. Mereka dapat melihat adanya cahaya kilat di ufuk timur dan melihat datangnya burung
Hud Hud yang membawa surat dari ayah meraka, syekh Al-Yamani. Meraka dapat melihat dalam
surat itu petunjuk-petunjuk untuk melepaskan diri dari belenggu ataupun rintangan dalam perjalanan
kembali ke daerah asal (timur). Lukisan simbolik itu ditutup dengan do'a "semoga Allah melepaskan
kita dari tawanan tabi'at dan belenggu materi, dan katakanlah 'segala puji bagi Allah' yang akan
memperlihatkan ayat- ayat-Nya kepadamu, maka kamu akan mengenal-Nya, dan tidaklah la lalai pada
apa yang kamu perbuat. Katakanlah segala puji bagi Allah' akan tetapi kebanyakan mereka tidak sadar

REFERENSI
Juhaya S. Praja” pengantar filsafat islam” bandung : Pustaka setia, 2009
Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 119
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif
Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm. 27
John Walbridge, Mistisime Filsafat Islam (The Science of mystic Lights), terj.Hadi Purwanto,
(Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.37
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Mizan, 1994), hlm.
Hossein Ziai, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishraq, Terj. Afif
Muhammad ,( Bandung : Zaman Wacana Ilmu, 1998)hlm. 17
John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi
Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.37
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 150
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 142
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 147
http://ahmadsamantho.wordpress.com/2011/06/01/filsafat-illuminasi-suhrawardi
John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam  (The Science of mystic Lights), terj.Hadi
Purwanto, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008),hlm.62
Sayyed Hossein Nasr, 2006, filsafat islam, IRCiSoD, Jakarta,
Nasution Harun, 1979, Falsafah Agama, Bulan bintang, Jakarta,

Anda mungkin juga menyukai