Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT SUHRAWARDI

Disusun untuk memenuhi salah satu nilai mata kuliah Filsafat Islam

Dosen Pengampu: Bapak Yanto Maulana Restu M.Pd

Disusun oleh :

Chindy ayu apriliana (2101094)


Andika fitrah alam (2101013)
Muhammad jaesyulloh al fadil (2101349)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN PROGRAM


STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA
ISLAM TASIKMALAYA (2022)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga
banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang
kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka
“kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-
kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-
falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan
Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa
‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa
para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak
dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan
filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat
Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah
pengayoman negara Islam”.
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya
didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh
para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para
filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang
bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-
agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang
disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat
(kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan
universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia,
Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Riwayat Hidup dan Karya-karya Suhrawardi?
b. Bagaimana Pemikiran Filsafat Suhrawardi?
c. Apa saja ajaran pokok ajaran Isyraqiyah?

C. Tujuan
a. Mengetahui Riwayat hidup dan karya-karya Suhrawardi
b. Mengetahui pe,ikiran Filsafat Suhrawardi
c. Mengetahui ajaran pokok ajaran Isyraqiah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup dan Karya-karya Suhrawardi


1. Riwayat Hidup
Syihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amiak Abu Al Futuh Suhrawardi sangat
terkenal dalam sejarah filsafat Islam sebagai guru iluminasi (Syekh Al-Isyraq), suatu
sebutan baginya yang lazim sebagai pendiri mazhab baru filsafat yang berbeda dengan
mazhab peripatetik. Syihab al-Din Suhrawardi dilahirkan di sebuah desa kecil, Suhraward
dekat kota Zinjan, di Persia Barat tahun 549/1153 M. Ia mula-mula belajar di bawah
bimbingan Majd al-Din Jili di Maraghah dan kemudian belajar pada Zahir al-Din di
Isfahan serta guru lain adalah Fakhr al-Din al-Mardini ( w. 1198) yang juga mengajar di
Isfahan atau Mardin. Guru lainnya adalah Zahir al-Farsi yang mengajarkan tentang
pengamatan (al-basa’ir) dan ahli logika terkenal, dan Umar ibn Sahlan al-Sawi, salah
seorang dari filosof yang namanya disebut ole Suhrawardi, khususnya dengan persoalan-
peresoalan tertentu logika yang ruwet, ia membaca kitab toko logika ini yang berjudul al-
Basa’ir al-Nusairiyah.
Di Zinjan dan Isfahan ini, ia menyelesaikan pendidikan formalnya dalam bidang
agama, ilmu-ilmu filsafat, dan memasuki dunia sufisme ia kemudian pergi mengembara
menjelajahi pelosok-pelosok negeri Persia untuk menemui guru-guru sufi. selain itu , ia juga
pergi ke Syria dan Antolia.Pada tahun 1183, seusai menulis kita Al Hikmah Al Isyraq, ia
melawat ke Aleppo, dan akhirnya ke Damsyik (Damaskus), di Damsyik ini ia diterima
menjadi penasihat kerohanian di istana Pangeran Malik Az-Zahir Ghazi, putra Sultan
Salahuddin Al-Ayyubi, yang lebih dikenal dengan sultan Saladin. Ini me mbuat par a
fuqaha menjad i ir i t er hadapnya, dan mula i mengecamnya.
Akibatnya dia segera dipanggil Pangeran Al-Zhahir, putra Shalahuddin Al-
Ayyubi, yang ketika itu bertindak sebagai penguasa Halb. Pangeran kemudian
melangsungkan suatu pertemuan dengan dihadiri para teolog maupun fuqaha. Maka
di sinilah dia berhasil mengemukakan argumentasi-argumentasinya yang kuat, yang
membuatnya menjadi dekat dengan Al-Zhahir serta mendapat sambutan yang sangat
baik. Tetapi orang-orang yang dengki terhadapnya melaporkan kepada Shalahuddin Al-
Ayyubi, yang memperingatkan bahaya akan tersesatnya aqidah Al-Zhahir seandainya
terus bersahabat dengan Al-Suhrawardi. Shalahuddin Al-Ayyubi, yang terpengaruh
laporan tersebut, kemudian memerintahkan putranya untuk segera membunuh Al-
Suhrawardi. Maka setelah meminta pendapat para fuqaha Halb, yang memang
menjatuhkan fatwa bahwa Al-Suhrawardi harus dibunuh, AI-Zhahir pun memutuskan
agar Al-Suhrawardi dihukum gantung. Penggantungan ini berlangsung saat umurnya 38
tahun pada tahun 587/1192 M, dan karena itulah terkadang disebut guru yang terbunuh
(Asy- Syaikh Al-Maqtul).
2. Karya-karya Suhrawardi
Selama hidupnya, Suhrawardi menulis beberapa karya yang ditulis dalam bahasa
Persia dan Arab. Tulisan-tulisannya bersifat doktrinal , dimulai dengna sebuah elaborasi dan
transformasi berahap filsafat peripateik Ibn Sina dan akhirnya berpncak dalam Hikmah
Isyraq ( The Theosophy of the Orient of Light), yang merupakan karya paling penting dalam
tradisi filsafat islam. Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia
termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang
relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman
pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang Ia tekuni.

Dalam konteks ini, Hossein Nasr mengklasifikasikannya menjadi lima


kategosri sebagai berikut:
a. Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam
kelompok ini antara lain kitab: At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat,
dan Hikmah al-‘Ishraq.
b. Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah
dipahami: Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
c. Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami: Qissah
al-Ghurbah al-Gharbiyah, Al –‘Aql al-akhmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d. Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik klasik: Risalah al-Tair
dan Risalah fi al-‘Ishq.
e. Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat. Banyaknya
karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama
terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-
doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah
corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis
(teosofi).

B. Pemikiran Filsafat Suhrawardi


Suhrawardi memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime
(Isyraqiyah), yakni suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini
belum ada filsuf muslim yang mengemukakanya. Filsafat Suhrawardi ini adalah perpaduan
antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam.
Kata isyraq yang mempunyai padanan llumination dalam bahasa inggris mempunyai
arti cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber
kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan
harmoni. Bagi kaum isyraq apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang diyakini
melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya
pengetahuan dan kebahagiaan. Merupakan sesuatu yang mustahil, kepada cahaya yang
bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Karena itu menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa
semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi cahaya.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya
digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi, hal-hal
masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingakat
intensitas pengalaman mistik. Jelasnya penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan
karakter dari bangunan filsafat isyraqiah.
Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi ke dalam dua bagian utama.
Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran peripatetis terutama terhadap
konsep epistemologi. Bagian kedua membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik
epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam kajian tentang
sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam

pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana
untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau
observasi empiris. Melalui indera yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan
menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat,
mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir
(observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual
(ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada
hal-hal yang belum diketahui.
Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi
ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi
berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini
dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan
dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata
lain ilmu hudhûrî lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir.
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî
yang memuat konsep metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep
teosofi yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq) sebagai media simbolik. Suhrawardî
mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran
epistimologi, teologi, dan ontologi. Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat
cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh
(alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia menuju
purifikasi jiwa.
1. Mengenai Ketuhanan
Inti filsafat illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi
menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi
menyebut Allah dengan Nur al Anwar. Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling
nyata, sehingga mustahi terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. Oleh
karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diriNya. Suhrawardi
mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al wujud.

Konsep terang dan gelap Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran
Zoroaster, hal itu tidak berarti bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab
pada kenyataannya terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang
dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan Suhrawardi.
Nur al Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahaya disini
bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Suhrawardi, gerakan itulah yang memiliki
peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini Suhrawardi
menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendakNya dan pergerakan tersebut
juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta.
Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi, unsur cinta merupakan modal dari kedinamisan
gerak semua makhluk. Semua wujud dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung dari
proses penyinaran dari Nur Al Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala pergerakan.
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta menyandarkan
wujudnya pada penerangan abadiNya.
Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi tidaklah sama dengan
teori emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik. Menurutnya, pancaran yang dihasilkan
oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa
mencapai jumlah yang banyak.
Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga
vertical, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari,
semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat
tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.
2. Mengenai Kemanusiaan
Konsep jiwa Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan pandangan para filosof
paripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang telah disempurnakan oleh para filosof
muslim. Seperi konsep jiwa Ibn Sina semakin lengkap dan sempurna. Dia memberikan
penjelasan tentang jiwa dan daya-daya yang melekat padanya secara sistematis.
Suhrawardi menuangkan pemikirannya tentang jiwa dalam magnum opusnya Hikmah Al
Isyraq, misalnya tentang barzakh, mimpi, ma’ad dan kenabian. Kedua dalam kitab Hayakil al
Nur, misalnya argument-argument yang membuktikan adanya jiwa, daya-daya jiwa, karakter-
karakternya, sumber-sumber jiwa dan nasib jiwa setelah terlepas dari jasad.

Sebagai bukti adanya jiwa adalah kesadaran diri tiap manusia pada jati dirinya.
Suhrawardi menekankan adanya jiwa pada manusia berbeda dari jasad yang ditempati oleh
jiwa. Disamping itu, jiwa memiliki kemampuan untuk menyerap makna-makna yang terlepas
dari badan. Kemampuan jiwa tersebut menunjukkan bahwa jiwa memiliki karakter-karakter
khusus yang tak dimiliki oleh badan. Pada hakikatnya manusia akan tetap utuh dan eksis
apabila jiwa masih melekat pada badannya. Oleh karena itu, eksistensi manusia terletak pada
jiwanya.
Jiwa manusia disebut juga dengan Al Nafs an-Nathiqah yang terbebas dari ikatan
materi. Ia tunggal, esa dan tak terbagi. Jiwa manusia merupakan unsur ruhani, karena itu ia
dapat digerakkan oleh cinta yang bersifat ruhani. Suhrawardi sependapat dengan Ibn Sina
bahwa jiwa memiliki daya pencerap dalam dan luar. Daya pencerap luar meliputi
pancaindra. Sedangkan daya pencerap dalam meliputi daya imajinasi, daya berpikir, daya
penjaga dan daya estimasi.
Menurut suhrawardi, jiwa manusia melimpah dari pemberinya dalam satu waktu yang
bersamaan dengan jasad yang menampungnya. Jika alam semesta merupakan hasil rentetan
illuminasi dari Allah dan emanasi dariNya, jiwa juga akan sampai pada kesempurnaan
melalui perantaraan illuminasi. Proses naiknya jiwa menuju asalnya disebut remanasi.
3. Konsep Teosofi
Pokok kajian teosofi adalah menyingkap misteri ketuhanan yang masih tersembunyi.
Selain itu, kajian teosofi juga berkaitan dengan manusia, alam dan Tuhan. Teosofi berasal
dari bahasa Yunani theoshopia yang berarti hikmah Tuhan. Dalam kaitannya dengan
Suhrawadi adalah Hikmah al Isyraq (oriental theosophy).
Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran falsafi suhrawardi. Konsep ini sarat
dengan bahasa simbolik, seperti malaikat, barzakh, maghrib (barat) dan masyriq (timur).
Sejumlah terminologi yang tampak familiar dalam teosofinya, tidak boleh dipahami secara
konvensional, akan tetapi harus dipahami secara simbolik pula. Isyraqiyyah merupakan hasil
perpaduan antara rasio dan intuisi.
Istilah Isyraqi sendiri sebagai symbol geografis, mengandung makna timur sebagai
dunia cahaya. Sementara masyriq yang berarti tempat terbit matahari yang merefleksikan
sumber cahaya.
Henry Corbin menyatakan, bahwa pengertian Isyraqi dapat didekati melalui tiga
pengertian: Pertama, teosofi yang mendasarkan pada sumber penyinaran. Kedua, teosofi
dalam wujudnya sebagai doktrin yang didasarkan pada kehadiran filosof yang memiliki
kematangan dan kesiapan untuk pencerahan langsung ke dalam jiwanya, suatu pengetahuan
yang berasal dari timur, akal murni merupakan oriental knowledge. Ketiga, teosofi dari para
ahli Persia kuno.
Dalam filosofi suhrawardi, istilah cahaya menggantikan penamaan akal. Dalam
penjabarannya mengenai cahaya dan gelap, ia menyamakan keduanya dengan ruh dan
materi. Menurut Suhrawardi, cahaya dan gelap memiliki 2 jenis. Cahaya terbagi menjadi
cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya sendiri, dan cahaya dalam dirinya sendiri
sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain.
Kegelapan juga ada 2 jenis: pertama, kegelapan murni, yang disebut dengan substansi
kabur. Kedua, kegelapan yang terdapat pada sesuatu yang lain (bentuk cahaya yang sudah
terkontaminasi). Disamping itu, Suhrawardi memperkenalkan istilah barzakh (pembatas)
merupakan symbol perantara dan penghubung antara yang nyata dan yang ghaib.
Suhrawardi mengembangkan teori emanasi menjadi teori illuminasi. Melalui
teorinya, dia menyatakan bahwa illmuninasi dari Nur al Anwar menghasilkan cahaya-cahaya
murni/dominator. Dalam konsep cahaya Suhrawardi terdapat peringkat cahaya horizontal
dan cahaya vertikal.
4. Kritik terhadap filsafat Paripatetik
Kritik yang dilancarkan Suhrawardi terhadap Filsafat Paripatetik sebagiannya tertuju
pada dua aspek yaitu epistemology dan ontology. Kritik Suhrawardi terhadap epistemology
terkait dengan pengetahuan yang diperoleh melalui definisi, persepsi indera dan logika.
Suhrawardi menolak teori paripatetik dan menyatakan bahwa teori tersebut tidak mampu
memberikan pengetahuan yang sejati. Ia menganggap teori paripatetik gagal membangun
teori pengetahuan yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang sebenarnya.

Kelemahan yang menonjol terdapat pada metode definisi, persepsi indera dan logika.
Dengan kelemahan tersebut Suhrawardi menawarkan solusi dengan suatu teori yang diyakini
dapat mendatangkan pengatahuan sejati yang disebut dengan ilmu hudhuri. Ilmu hudhuri
adalah pengetahuan dengan kehadiran, sejenis penyinaran langsung dari sumber cahaya dan
menempatkan jiwa manusia sebagai penerima cahaya. Komponen yang mendasar dalam
ilmu hudhuri adalah mukasyafah dan mujahadah.
Pada tataran ontologis, Suhrawardi memperkenalkan istilah-istilah tersendiri yang
bisa digunakan untuk mengungkapkan seluruh pemikirannya. Melalui terminology cahaya,
Suhrawardi menumbangkan teori akal sepuluh yang menjadi acuan umum hampir semua
filsuf muslim. Suhrawardi memahami bahwa pancaran cahaya tidak hanya sepuluh bahkan
bisa lebih dari itu.
Pada sisi lain, sikap Suhrawardi terhadap adanya empat unsur dasar; tanah, angin,
udara dan api yang dianggap sebagai unsur pembentuk alam semesta. Di tangan Suhrawadi
unsur tersebut menjadi tiga; angin, tanah dan udara. Unsur panas pada api dimasukkan ke
dalam unsur udara, karena api adalah udara yang bergerak.
5. Sumber Pengetahuan yang membentuk pemikiran Isyraqi Suhrawardi
Tentang sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi
Suhrawardi ini, menurut SH. Nasr terdiri atas lima aliran, yaitu:
a. Pemikiran-pemikiran sufisme khususnya karya-karya Al-Hallaj (858-913 M) dan
al-Ghazali (1058-1111 M). Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang
menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan iman, mempunyai
pengaruh langsung pada pmikiran illuminasi Suhrawardi.
b. Pemikiran filsafat paripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meskipun
Suhrawardi mengkritik sebagiaannya tetapi ia memandangnya sebagai azas
penting dalam memahami keyakinan-keyakinan Isyraqi.
c. Pemikiran filsafat sebelum islam, yakni aliran Pyithagoras ( 580- 500 SM ),
Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia,
kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur dekat oleh kaum Syabiah Harran
yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
d. Pemikiran-pemikiran (Hikmah) Iran Kuno.
e. Bersandar pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya
dan kegelapan.

C. Ajaran Pokok Isyraqiyah


1. Gradasi essensi
Salah satu ajaran pokok Isyraqiyah adalah gradasi essensi. Dengan konsep al-Isyrâq-
nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas
cahaya. Namun demikian, menurutnya masing-masing cahaya tersebut berbeda tingkat
intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan cahaya segala
cahaya (Nur Al Anwar). Semakin dekat dengan Nur Al Anwar yang merupakan
cahaya yang paling sempurna, berarti semakin sempurnalah cahaya tersebut, begitu pula
sebaliknya.
Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud, karena tingkatan-tingkatan cahaya ini
berkaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Dengan demikian, realitas ini tersusun
atas gradasi essensi yang tidak lain merupkan bentuk-bentuk cahaya mulai dari yang
paling lemah sampai yang paling kuat.
Menurut Husein ziai, proses cahaya yang beragam tingkat intensitas penampakannya
tersebut keluar seperti teori emanasi pada umumnya, (1) gerak menurun dari yang ‘lebih
tinggi’ ke yang ‘lebih rendah’, yakni emanasi-diri Cahaya Segala Cahaya,

(2) peniadaan penciptaan, yakni semesta tidak diciptakan dari tiada apakah dalam massa
tertentu atau tidak sekaligus, tidak ada ‘pembuat’ dan tidak ada ‘kehendak’ Tuhan. (3)
keabadian semesta, (4) hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud
yang lebih rendah.
Namun gagasan emanasi Suhrawardi di sini tidak hanya mengikuti teori kaum
Neoplatonis, tetapi mengkombinasikan dua proses sekaligus dan inilah yang membuatnya
menjadi khas pemikiran Suhrawardi. Pertama, adanya emanasi dari masing-masing
cahaya yang berada di bawah Nur Al Anwar. Cahaya-cahaya ini benar adanya dan
diperoleh (yahshul) tetapi tidak berbeda dengan Nur al Anwar kecuali pada tingkat
intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan:
a. Ada sebagai cahaya Abstrak
b. Mempunyai gerak ganda ‘mencintai’(yuhibbuh) serta ‘melihat’(yusyahiduh) yang
di atasnya dan ‘mengendalikan’ (yaqharu) serta ‘menyinari’ (asyraqah) apa yang
di bawahnya.
c. Mempunyai atau mengambil sandaran (zat) dan mempunyai kondisi (hay’ah),
keduanya berperan sebagai wadah bagi cahaya.
d. Mempunyai sesuatu semisal ‘kualitas’ atau sifat, yakni kaya dalam hubungannya
dengan cahaya di bawahnya dan miskin dalam kaitannya dengan cahaya di atasnya.
Kedua, proses ganda illuminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama
muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al Anwar tanpa durasi dan pada ‘momen’
tersendiri Nur al Anwar menyinarinya sehingga ‘menyalakan’ cahaya kedua dan zat serta
kondisi yang dihubungkan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini, pada prosesnya,
menerima tiga cahaya, dari Nur al Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan dari
Nur al Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan
jumlah cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.
2. Kesadaran diri
Pemikiran Suhrawardi tentang kesadaran diri berkaitan konsepnya tentang
pengetahuan. Bagi Suhrawardi, agar sesuatu dapat diketahui sesuatu tersebut harus
terlihat seperti apa adanya (kama huwa). Sedemikian, sehingga pengetahuan yang
diperoleh memungkinkannya tidak butuh definisi (istighna ‘an al-ta’rif). Misalnya, warna
hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali
tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana
adanya (la yumkin ta’rifuhu liman la yusyabiduh kama huwa).
Dalam hal ini, Suhrawardi menuntut bahwa subjek yang mengetahui harus berada
dan memahami objek yang dilihat secara langsung tanpa penghalang apapun. Jenis
hubungan illuminasi inilah yang merupakan ciri utama pandangan Suhrawardi mengenai
dasar pengetahuan, dan konsep ini memberikan perubahan antara apa yang disebut
pendekatan mental terhadap pengetahuan dan pendekatan visi langsung terhadap objek
yang menegaskan kevalidan sebuah pengetahuan terjadi jika objek-objeknya ‘dirasakan’.
Menurutnya, kesadaran diri (idrak al-ana’iyah) adalah sama dengan pengetahuan
langsung tentang dirinya sendiri (idrak ma huwa huwa), seperti kesadaran akan rasa sakit
adalah sama dengan pengetahuan akan sakit dialami. Ini adalah kebenaran semua wujud yang
menyadari essensi mereka sendiri, dan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Jadi, kesadaran diri
sama dengan manifestasi (penampakan) wujud atau sesuatu yang tampak (dzahir) yang
diidentifikasi dengan ‘cahaya murni’. Dari sini kemudian dinyatakan, bahwa
setiap orang yang memahami essensinya sendiri adalah cahaya murni dan setiap cahaya
murni adalah manifestasi dari essensinya sendiri.
3. Metode mendapatkan pengetahuan
Objek pengetahuan Isyraqi bersifat imanen dan berupa swaobjektivitas yang
melibatkan kesadaran, maka cara perolehannya menurut Suhrawardi harus melalui
tahapan-tahapan tertentu. Pertama, tahap persiapan untuk menerima pengetahuan
iluminatif. Tahap ini diawali dengan aktifitas seperti mengasingkan diri selama 40 hari,
berhenti makan daging, berkonsentrasi untuk menerima nur Ilahi dan seterusnya. kedua,
tahap penerimaan dimana cahaya Tuhan memasuki diri manusia. ketiga, tahap
pembangunan pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisi diskursif. keempat,
tahap pelukisan atau dokumentasi dalam bentuk tulisan atas pengetahuan atau struktur
yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Syihab al-Din Suhrawardi dilahirkan di sebuah desa kecil, Suhraward dekat kota
Zinjan, di Persia Barat tahun 549/1153 M. Al-Suhrawardi dihukum gantung saat umurnya 38
tahun pada tahun 587/1192 M, dan karena itulah terkadang disebut Guru yang terbunuh
( Asy- Syaikh Al-Maqtul ). Selama hidupnya, Suhrawardi menulis beberapa karya yang
ditulis dalam bahasa Persia dan Arab. Karya-karya tersebuth lebih dari 50 buah.

Suhrawardi memperkenalkan konsep baru yang disebut illuminasionsime


(Isyraqiyah), yakni suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al Anwar. Konsep ini
belum ada filsuf muslim yang mengemukakanya. Filsafat Suhrawardi ini adalah
perpaduan antara filsafat peripatetik dengan mistisisme Islam.
Adapun ajaran-ajaran pokok Isyraqinya adalah tentang Gradasi essensi, kesadaran
diri, Metode mendapatkan pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai