Anda di halaman 1dari 12

“ILUMINASI”

(HIKMAH AL-ISYRAQ)
SUHRAWARDI AL-MAQTUL
Penulis :
M Iqbal Hidayatullah

Program Studi Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuludin


Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
(UINSA)
Email
Iqbalhidayat429@gmail.com

Abstrak
Pemikiran Suhrawardi dalam Ilmunasinya ini sangatlah menarik untuk dikaji, dalam buah
pemikirannya untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang sejati sangatlah sistematis dan
mendalam. Filsuf sekaligus sufi ini dalam usia mudanya sangatlah radikal dalam berpikir. Hikmah al-
Isyraq merupakan salah satu karya monumental yang menjadikan Suhrawardi sendiri terkenal sebagai
penggagasnya dalam kancah pemikir muslim. Selain karyanya yang masyhur itu masih banyak karya-
karya lain yang dibuat oleh Suhrawardi, kurang lebih ada 50 karya yang ia tulis. Tidak sampai disitu,
dalam menyelami buah pikiran Suhrawardi ini bukan terfokus pada landasan ontologinya saja, akan
tetapi dalam pembahasan lebih lanjut dia juga memiliki ajaran bahwasannya pengetahun sejati itu bisa
diperoleh dengan “kesadaran diri” bukan melulu dari subjek maupun objek. Walaupun Suhrawardi
tokoh pemikir Islam yang kurang populer akan tetapi dia memberi pengaruh besar terhadap
perkembangan pemikiran Islam dalam era selanjutnya, Sampai pada dimana nanti ketika ajalnya
dipegang oleh teman sekaligus murid Suhrawardi sendiri untuk mengakhiri hidupnya karena pada
titik-titik tertentu nantinya Suhrarawdi dianggap menyesatkan. Kemunculan seorang figur dengan
kapasitas intelektual dan spiritual seperti Suhrawardi jelas menunjukkan adanya suatu kehidupan
tradisi intelektual yang kuat, yang memungkinkan baginya tumbuh dan berkembang dengan baik,
yang kemudian mendorongnya untuk tampil kepermukaan dengan membawa arus-arus yang terdalam
dari tradisi tersebut. Kehadirannya tidak bisa terisolasi dan tidak bisa dipisahkan dari tradisi yang
melahirkannya.
Kata kunci : Biografi, Karya-karya, Ontologi, Kesadaran diri dan Hikmah al-Isyroqi (Iluminasi)

Pendahuluan
Sebelum Suhrawadi al-Maqtul ada dengan konsepsinya akan ajaran Iluminasi atau al-Isyroq,
sebenarnya ada banyak filsul-filsuf pendahulu yang termasuk pengikut ajaran al-Isyroqiyah atau
Iluminasi. Dalam dunia Barat kususnya di ranah alam pikiran filsafat yang pertama kali mendapat
teori mengenai Iluminasi adalah filsuf yang terkenal juga sebagai bapa gereja yaitu Markus Aurelius
Augustinus (354-430) kemudian dilanjutkan oleh Tomas Aquinas yang sampai pada abad ke-13
sampai pada St. Bonaventura, bahkan filsafat Iluminnasi ini sampai pada era modern salah satunya
juga adalah Melebranche.1 Dari beberapa filsuf Iluminasi di Barat Suhrawardi al-Maqtul menjadi

1
Simon Petrus Ltjahjadi, PETUALANGAN INTELEKTUAL “Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani
Hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta, PT Kanisius Cetakan ke-6 2018). Hlm. 110-112. Menurut pemikiran
perwakilan sekaligus penerus salah satu filsuf dari Timur yang merupakan pencetus teori Iluminasi.
Perlu kita ketahui terkait Empat aliran pemikiran Islam klasik pasca Mongol yaitu Masysya’i
( paripatetik ), Isyroqi ( Iluminasionis ), Irfani ( Genoses, Sufisme, atau Tasawuf ), dan kalam
( Teologi Islam ). Dengan seluruh variasi yang terkandung di dalamnya berkembang secara luas
selama empat abad. Di samping itu keempat aliran tersebut saling mendekat satu sama lain, sehingga
mempersiapkan dasar untuk kemudian menciptakan suatu sintsis besar bagi pemikir sesusdahnya,
terutama adalah Mulla Sdara yang merupakan penerus Suhrawaardi. 2 Dalam pemikiran filsafat Islam
ada dua tokoh islam yang memiliki nama sama selain Suhrawardi al-Maqtul, yang pertama adalah
Abu Najib Abdul Qahir Suhrawardi dan Syihabuddin Umar Suhrawardi. 3 Sebenarnya yang menjadi
latar belakang teori Hikmah al-Isyroq atau yang sering disebut juga sebagai Iluminasi Suhrawardi ini
muncul atau lahir ketika sudah mulai tampak kelemahan-kelemahan dalam filsafat paripatetik
Aristotelian bagi Suhrawardi, entah itu dari segi ontologi maupun epistimologi. Walaupun
sebelumnya Suhrawardi menganggap bahwa filsafat paripatetik merupakan suatu proses berpikir yang
sangat unggul dan terperaya, akan tetapi seiring pengembaraan berpikirnya sedikit demi sedikit mulai
timbul kesadaran akan adanya kejanggalan pada dirinya atas filsafat paripatetik, sampai-sampai dia
mengatakan bahwasanya filsafat sebelumnya (paripatetik) ada teori Iluminasinya mengandung banyak
kelemahan-kelemahan yang tidak diketahui. Yang pertama adalah dimana dalam filsafat paripatetik
ketika ditinjau dari segi epistimologinya sangat kurang mumpuni, dalam artian tidak bisa
mengantarkan kita untuk mengetahui kepada seluruh realitas yang ada (Wujud). Suhrawardi merasa
bahwa penalaran secara rasional pun masih sulit untuk menjadikan dia tahu secara utuh (hakikat).
Kemudian kelemahan yang kedua dilihat dari segi ontologinya justru menjadikan
Suhrawardi memiliki sikap anti pada filsafat paripatetik, baginya yang paling fundamental dalam
mencari kebenaran adalah esensi dari seluruh realitas yang ada, bukan malah eksistensi sebagaimana
yang dianut oleh filsafat paripatetik. Hal semacam ini sangatlah rancau dalam pandangan Suhrawardi,
karena menurutnya eksistensi itu adalah yang sekunder sedangkan esensi itu yang primer. 4 Dari sini
Suhrawardi memulai untuk mencari kebenaran dari dalam dirinya sendiri yang di mana nantinya ia
menemukan konsep cahaya yang digunakan sebagai dasar dalam mendapatkan pengetahuan, yang
dicetuskan melalui karyanya yang bernama Hikmah al-Isyroq atau Ilmuniasi. Berkat pemikirannya
yang jenius Suhrawardi memberi pengaruh yang sangat besar, menurut Henry Corbin berkat
Iluminasi Suhrawardi telah membuka jalan bagi suatu dialog dengan wacana-wacana dan upaya-
upaya modern untuk mencarikan tempat bagi pengalaman religius atau mistis dalam dunia ilmiah. 5
Augustinus, ajaran Iluminasi manusia dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang abadi dan sejati berkat
terang (Lumen, Latin) dari Alloh. Dari lain pihak, Augustinus juga berkeyakinan bahwa dalam diri manusia
secara alamiah sudah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati.
2
Syaifan Nur, Filsafat Wujud MULLA SADRA, ( Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, Cetakan I. November 2002 ).
3
Abdul Kadir Riyadi, ARKEOLOGI TASAWUF, ( Bandung, PT Mizan Pustaka Cetakan I, Juli 2016). Hlm. 188-189.
4
Khudori Sholeh, FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Sampai Kontemporer, (Yogyakarta, AR-RUZZ MEDIA Cetakan I
2016). Hlm. 140-141.
5
Haidar Bagir, BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM, ( Bandung, PT Mizan Pustaka, Edisi revisi Cetakan II, Shafar 1427
H/maret 2006). Hlm. 131.
Biografi
Syihab ad-Din Abu al-Futuh Yahya Ibn Habsyi Ibn Amirak as-Suhrawardi adalah nama
lengkap dari filsuf muslim yang mempunyai julukan al-Maqtul atau yang sering dipanggil dengan
Suhrawardi al-Maqtul. Suhrawardi lahir didesa kecil dekat Zanjan di Timur Laut Iran yaitu Suhrawad
tahun 545 H/1153 M. Istilah (al-Maqtul) ini pada umumnya digunakan untuk membedakan dua tokoh
pemikir muslim yang memilik nama yang sama akan tetapi berbeda dalam peran maupun pemikiran.
Dua tokoh selain Suhrawardi al-Maqtul yaitu, pertama adalah Abu Najib Abdul Qahir Suhrawardi
(w.1168) yang merupakan salah satu murid dari sang maestro tasawuf yaitu al-Ghazali, dia juga
merupakan pendiri tarekat Suhrawardiyah sekaligus pengarang kitab Adabul Muridin. Kemudian yang
kedua adalah Syihabuddin Abu Hafsh Umar As-Suhrawardi (w.1234) yang termasuk keponakan
sekaligus murid dari Suhrawardi yang pertama dan memiliki gelar Syaikh as-Suyukh sekaligus
pengarangn kitab Al-Warif al-Ma’arif.6 Suhrawardi sendiri memiliki beberapa gelar selain gelarnya
yang masyhur (al-Maqtul), diantaranya adalah Syeikh al-Isyroq, Master of Illumination, al-Hakim, al-
Syahid dan The Martyr.7 Suhrawardi mengenyam pendidikannya berawal di kota Maraghah,
kemudian berlanjut pergi di daerah Isfahan untuk mempertajam pengetahuannya kepada Zahir al-Din
Qari dan Fakr al-Din al-Mardini (w.1198 M), Dari kedua guru tersebut Suhrawardi menganggap
bahwa mereka sangat memberi pengaruh terhadap dinamika berpikirnya. Sejak sekitar 12 tahun
Suhrawardi terkenal dengan seorang yang individualis, karena semasa kecilnya ia tak pernah
berinteraksi maupun berkumpul bersama teman-temannya, ia lebih senang untuk menyendiri dan
merenung. Dalam memperdalam ilmu terhadap gurunya, Suhrawardi mendalami ilmu-ilmu seperti
halnya filsafat, logika, teologi, fisika dan metafisika, tidak hanya itu ia juga mempelajari ilmu-ilmu
dasar yang normatif seperti Hadis, fikih dan tafsir. Walaupun demikian Suhrawardi juga mempelajari
ilmu tasawuf secara mandiri kepada guru spiritualnya, yaitu Abu Yazid al-Bustami dan juga al-Hallaj,
bahkan menurut Annemarie Schimmel ia juga mendalami sekaligus terpengaruh oleh pendapat dan
gagasan Zunnun al-Misri.8
Tidak sampai disitu proses pengembaraan Suhrawardi, setelah berguru di Isfahan ia
melanjutkan pendidikannya sampai pada pelosok Persia dan meluas pada daerah Anatoli dan Syiria.
Dari Syiria kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Allepo untuk berguru kepada Safir Iftkhar al-
Din. Dan yang menarik adalah terkenalnya Suhrawardi di daerah Allepo karena daya pikirnya yang
handal sampai-sampai membuat beberapa tokoh didaerah tersebut menyimpan rasa dengki padanya
terutama para ahli hukum, terlebih para pakar fiqih. Karena begitu terkenalnya Suhrawardi lantas
dipanggil oleh pangeran Malik az-Zahir (1172-1216 M) yang merupakan putra dari raja ternama yaitu
Sholahudin al-Ayyubi (1138-1193 M). Akan tetapi karena kecerdikannya dalam menciptakan ide dan
gagasan sehingga para ahli fiqih dapat mengetahui titik dimana Suhrawardi memiliki ajaran mengenai
6
Seyyed Hossein Nasr, William C.Chittick, Leonard Lewishon (Ed.), WARISAN SUFI “Warisan Sufisme Persia
Abad Pertengahan ( 1150-1500)”, (Yogjakarta, Pustaka Sufi Cetakan I Juni 2003). Hlm. 429.
7
Amroni Drajat, FILSAFAT ISLAM Buat Yang Pengen Tahu, (PENERBIT ERLANGGA, Jakarta 2006). Hlm. 130.
8
Abdul Kadir Riyadi, ARKEOLOGI TASAWUF, ( Bandung, PT Mizan Pustaka Cetakan I, Juli 2016). Hlm. 232-233.
hal kenabian.9 Suhrawardi memiliki keyakinan bahwa nabi Muhammd Saw bukanlah nabi yang
terakhir, gagasan semacam ini bagi Suhrawardi sangatlah keliru, karena menurutnya jika memang hal
yang demikian itu benar berarti sama halnya tidak menghormati kekuasaan dan kebesaran Tuhan,
karena menganggap bahwa Tuhan tidak bisa mengutus nabi lagi. Karena polemik semacam inilah
kemudian Suhrawardi dibunuh oleh pangeran Malik az-Zahir atas perintah dari raja Sholahuin al-
Ayyubi, karena kawatir akan kesesatan yang ada pada diri Suhrawardi merasuk dalam putranya
sendiri sekaligus menyebar pada penduduk desa. Dan pada kejadian inilah Suhrawardi yang terbilang
masih muda, kurang lebih berumur 36-38 tahun mendapat julukan sebagai al-Maqtul (yang terbunuh).
Walaupun di umur 38 ia dibunuh secara tragis, Suhrawardi tetap dikenal sebagai filsuf muda yang
luar biasa dan terkenal dengan filsafatnya yaitu Hikmah al-Isyroq atau Iluminasi. Dan mngenai
ajarannya ini, tidak diragukan lagi telah memberikan pengaruh besar dalam belahan Timur dunia
Islam, kususnya di Persia dan India dan nantinya pengaruh tersebut akan dilanjutkan oleh muridnya
yang fenomenal dengan ajarannya tentang Al-Hikmah al-Muta’Aliyah yaitu tiada lain adalah Mulla
sadra10
Karya-Karya Suhrawardi
Meskipun Suhrawardi tutup usia pada saat mudanya dimana ia masih beurumur 38 tahun,
akan tetapi banyak buah tangan berupa karya-karya yang ia tulis untuk mengabadikan namanya.
Dalam perspektif Hossen Nasr mencatat bahwa ada kurang lebih 50 karya tulis berbahasa arab dan
persia yang dibuat oleh Suhrawardi. Dan dalam karyanya itu sangat komperhensif, dalam artian
bahwa apa yang ia tuliskan meliputi dari berbagai bidang keilmuan, dari 50 karyanya paling tidak
dapat diklasifikasikan menjadi lima karya yang menjadi titik fokus dalam dimensi pemikiran
Suhrawardi namun dalam refrensi lain juga ada yang menyebut tujuh klasifikasi, 11 diantaranya sebagai
berikut:
1. Pada pengelompokan karya suhrawardi yang pertama yaitu mengenai empat buku besar yang
menkaji mengenai pola pikir filsafat paripatetik yang terdiri atas al-Talwihat, al-Muqawimat
dan al-Mutaharat dan yang terakhir adalah Hikmah al-Isyroqiah.12
2. Risalah-risalah pendek yang tertulis dalam bahasa arab dan persia sekaligus.
3. Kisah-kisah sufistik yang menceritakan perjalanan jiwa atau rohani sekaligus dalam semesta
yang mencari keunikan dan Iluminasi, dan dalam kisah-kisah sufi ini ia tulis hanya dalam
bahasa persia saja.

9
Ibid. 238-239. Dalam kitab Ibn Taimiyah (Taqiuddin Ibn Taimiyah) menjelaskan bahwasannya dasar yang
digunakan untuk mengkafirkan Suhrawardi adalah karena yang bersangkutan bahwa seorang filsuf itu lebih
utama dan mullia dari pada nabi : filsuf memiliki pemikiran, gagasan dan keyakinan agama sedangkan nabi
hanya memiliki sekaligus mengajarkan keyakinan agama.
10
Syaifan Nur, Filsafat Wujud MULLA SADRA, (Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, Cetakan I, November 2002).
Hlm. 35.
11
Haidar Bagir, BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM, ( Bandung, PT Mizan Pustaka, Edisi revisi Cetakan II, Shafar 1427
H/maret 2006). Hlm. 136-137.
12
Ibid. 137-139
4. Nukilan-nukilan, penjelasan sekaligus terjemahan filsafat lama kedalam bahasa persia seperti
halnya Risalah al-Thair karya Ibnu Sina (980-1037 M), kemudian Risalah Haqiqah al-Isyqi
yang berpusat dalam Risalah fi al-Isyqi karya Ibnu Sina, tak hanya itu ia juga menafsiri
bebrapa hadis-hadis nabi.
5. Yang terakhir adalah berupa zikir-zikir atau wirid-wirid sekaligus doa-doa dalam bahasa
arab.13
Pemikiran Suhrawardi al-Maqtul
Perlu diketahui bahwasanya yang menjadi nilai pokok dalam Isyroqiyah Suhrawardi pada era
modern sudah dibuktikan oleh realita bahwa sejak abad ke-20, para sejarahwan filsafat dan orientalis
telah mengenal Suhrawardi sebagai seorang filsuf Islam pasca Ibnu Sina. Beberapa peneliti modern
menegaskan bahwasanya aliran Isyroqiyah ini merupakan aliran yang dipandang sebagai sistem
pemikiran yang bisa dipertangggungjawabkan secara ilmiah sekaligus lengkap. 14 Sebelum masuk
dalam pokok pemikiran Iluminasi Suhrawardi penting sekali untuk diketahui apa saja yang melatar
belakangi timbulnya pengetahuan al-Isyroqiyah ala Suhrawardi al-Maqtul. Berikut beberapa aliran-
aliran dalam pemikiran Islam yang menjadikan titik sentrum Suhrawardi menggagas pengetahuannya:
1. Latar belakang Suhrawardi yang pertama adalah tasawuf, kususnya sebagaimana yang
dikatakan oleh dua tokoh sufi yaitu sang Maestro tasawuf (al-Ghazali) dan juga al-Hallaj;
“Suhrawardi merupakan seorang filsuf Islam yang meyakini bahwa perenial wisdom itu benar
adanya. Dalam artian, bahwa sebenarnya hikmah (wisdom) bersifat perenial dan bersumber
dari Tuhan yang diturunkan lewat para utusan”.
2. Peripatetisme yang terfokus pada pemikiran Ibnu Sina.
3. Neoplatonisme dan Phytagoreanisme, yaitu merupakan ajaran filsafat barat Yunani yang lebih
menekankan sifat mistis sepertihalnya yang dikatakan oleh Suhrawardi sendiri bahwa prinsip
filsafat Isyroqiyah merupakan perolehan kebenaran melalui pengalaman intuitif, kemudian
mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis dan rasional.
4. Hermetisme yaitu sebuah pemikiran yang menggunakan beberapa naskah-naskah Corpus
Hermeticus sebagai pondasinya, yang kemudian Hermes sendiri jika dalam filsafat Islam
dikenal dengan Nabi Idris sebagai salah satu bapak pengetahuan.
5. Kepercayaan kepada Zoroasterian Persia yang dimana didalam ajarannya dipercaya bisa
untuk mengembangkan suatu sistem pemikiran yang berbasis pertentangan antara cahaya dan
kegelapan.15

13
Ibid.
14
Ibid.,
15
Zoroasterianisme adalah agama orang Iran kuno yang bersifat dualistik, berkembang pada abad ke-7 SM.
Penciptanya diduga nabi mistik Zarathustra (Zoroaster). Ajaran utamanya adalah tentang pergumulan yang
terus menerus antara unsur yang berlawanan didunia, yakni kebaikan (cahaya) dan kejahatan (kegelapan).
Ibid. 144-146.
Sebenarnya ajaran mengenai Iluminasi merupakan sebuah kolaborasi antara tradisi mistik dan
filsafat paripatetik Aristotelian. Iluminasi sendiri dapat ditafsirkan dengan seperti demikian; “jika kita
bisa menyempurnakan diri kita sendiri maka kita akan memperoleh Iluminasi dari sumber realitas
secara langsung”. Suhrawardi juga pernah mengkritisi pada beberapa aspek dalam filsafat
Aristotelian dengan kaidah-kaidah logika, filsafat Iluminasi dapat melompat tinggi melampaui filsafat
paripatetik dengan menyertakan experiens dan pengetahuan yang sejati atau sempurna. 16 Sedangkan
jika kita fokus pada kata Isyroqi sendiri memiliki arti berseri-seri, terbit dan bersinar, menerangi dan
terang karena disinari. Pada intinya Isyroqi adalah ajaran yang memiliki keterkaitan dengan cahaya
yang identik sebagai simbol kekuatan, ketenangan, kebahagiaan. Suhrawardi menjadikan ajaran al-
Isyroqiyah sebagai suatu yang fundamental dalam pemikirannya dan nampaknya ia peroleh dari
Aristoteles, bukan berasal dari Ibnu Sina sebagaimana yang diyakini oleh khalayak umum. 17
Selain itu dalam pemikirannya Suhrawardi mengatakan bahwa seorang yang mencari kebenaran
itu memiliki beberapa ciri kusus, ada tiga ciri yang menunjukkan seseorang termasuk dalam pencari
kebenaran, diantaranya sebagai berikut;
1. Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam seperti para sufi akan tetapi
tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan pengalaman itu secara diskursif.
2. Mereka yang memiliki nalar diskursif tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang
cukup mendalam.
3. Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam namun juga memiliki
kemampuan nalar dan bahasa diskursif.18
a. Ontologi Cahaya
Dalam ajaran filsafat al-Isyroqi Suhrawardi setidaknya memuat dua ajaran, yaitu gradasi
esensi dan kesadaran diri. Pada gradasi esensi itu berkaitan dengan masalah ontologis sedangkan
mengenai kesdaran diri itu berkaitan dengan epistimologi. Karena begitu cerdasnya Suhrawardi,
sampai-sampai dalam kedua ajaran ini (gradasi esensi dan juga kesadaran diri) menciptakan ajaran
yang ketiga, yang dimana dalam ajaran ketiga ini pada fase selanjutnya akan dikembangkan oleh Ibnu
Arabi, ajaran ketiga itu adalah menegenai alam mitsal.
Mengenai ajarannya yang pertama, yaitu tentang gradasi esensi, menurut Suhrawardi perlu
dibedakan hakikat antara eksistensi dan juga esensi. Baginya eksistensi merupakan suatu konsep
yang tidak ada dalam realitas, gagasan umum dan hanya ada dalam pikiran. Sedangkan esensi adalah
suatu bentuk-bentuk cahaya yang merupakan realitas yang sejati. Bentuk-bentuk cahaya yang
16
Saidur Rahman, ILMU HUDURI (cara menghadirkan cahaya) Khazanah Epistimologi Islam, (Dalam Journal
TEOLOGIA, VOLUME 25 NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2014)
17
Yahya Suhrawardi diduga mengambil istilah Hikmah al-Isyroqiyah dari Ibnu Sina karena kebetulan Ibnu Sina
mempunyai karya yang berjudul Hikmah al-Masyriqiyah. Kedua istilah ini maknanya berdekatan hampir sama,
dan kebetulan ahya Suhrawardi belajar banyak dari kitab Ibnu Sina ini. Hanya saja melihat dari isi kedua buku
ini, tidak ada tanda-tanda kitab Yahya Suhrawardi yang mengandung unsur-unsur pemikiran Ibnu Sina. Lihat
Abdul Kadir Riyadi, ARKEOLOGI TASAWUF, ( Bandung, PT Mizan Pustaka Cetakan I, Juli 2016). Hlm. 241.
18
Khudori Sholeh, FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Sampai Kontemporer, (Yogyakarta, AR-RUZZ MEDIA Cetakan I
2016). Hlm. 146.
dimaksudkan oleh Suhrawardi adalah cahaya merupakan suatu yang nyata dengan dirinya sendiri, jika
cahaya tidak ada berarti yang ada hanyalah kegelapan dan tidak ada apapun yang dikenali. Oleh sebab
itu, cahaya tidak memerlukan definisi karena cahaya berperan sebagai realitas segala sesuatu, ia
mampu menembus tiap-tiap entitas secara mudah entah itu bentuk fisik maupun non-fisik, sebagai
komponen esensial dari cahaya.19
Poros Filsafat Iluminasi (Q.S. An-Nur: 35)
‫ُهّٰللَا ُنْو ُر الَّسٰم ٰو ِت َو اَاْلْر ِۗض َم َثُل ُنْو ِر ٖه َك ِم ْش ٰك وٍة ِفْيَها ِم ْص َباٌۗح َاْلِم ْص َباُح ِفْي ُز َج اَج ٍۗة َالُّز َج اَج ُة‬
‫َك َاَّنَها َك ْو َك ٌب ُد ِّرٌّي ُّيْو َقُد ِم ْن َش َجَرٍة ُّم ٰب َر َك ٍة َزْيُتْو َنٍة اَّل َشْر ِقَّيٍة َّو اَل َغْر ِبَّيٍۙة َّيَك اُد َزْيُتَها ُيِض ْۤي ُء َو َلْو‬
‫َلْم َتْمَس ْسُه َناٌۗر ُنْو ٌر َع ٰل ى ُنْو ٍۗر َيْهِد ى ُهّٰللا ِلُنْو ِر ٖه َم ْن َّيَش ۤا ُۗء َو َيْض ِر ُب ُهّٰللا اَاْلْم َثاَل ِللَّناِۗس َو ُهّٰللا ِبُك ِّل‬
‫َش ْي ٍء َع ِلْيٌۙم‬

Artinya:

(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah
lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca
(dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari
pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat,
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.20

b. Kesadaran diri
Sebelum Suhrawardi mengenal konsep mengenai kesadaran ini, agaknya kita juga perlu
menelisik dari latar belakang mengapa konsep kesadaran diri ini dijadikan dasar oleh Suhrawardi
untuk mencapai ilmu Hikmah al-Isyroq. Sempat disinggung bahwasannya dalam pembahasan
sebelumnya, dalam hal pemikiran filsafat Suhrawardi terkenal dengan kritisismenya pada filsfasat
sebelumnya yaitu filsafat paripetetik. Dari sifat kritisnya terhadap filsafat paripetetik inilah yang
menjadikan Suhrawardi memiliki konsep mengenai kesadaran diri. Seperti apa bentuk kritisnya
21
terhadap filsafat peripetetik? Suhrawardi memiliki argumen sendiri, bahwasanya cara untuk
memperoleh pengetahuan para kaum filsafat paripatetik didapat berdasarkan Definisi, kemudian lewat
perantara predikat (X) dan (Y) dan juga lewat konsepsi-konsepsi. Karena pada dasarnya pengetahuan
(objek) yang mereka peroleh bersifat independen dan eksistensinya berada pada di luar subjek, selain
itu bagi Suhrawardi hal semacam ini tidak ada kaitan logis dari segi ontologis maupun epistimologis.
19
Ibid.
20
Q.S. An-Nur ayat 35.
21
Khudori Sholeh, FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Sampai Kontemporer, (Yogyakarta, AR-RUZZ MEDIA Cetakan I
2016). Hlm.148.
Oleh sebab itu pengetahuan semacam ini menuntut untuk menentukan kriteria suatu hal yang benar
dan yang salah. Akan dikatakan benar jika konsepsi pikiran subjek sesui dengan kondisi objek yang
berada di luar, begitupun dengan yang salah, akan dikatakan salah apabila kolerasi antara subjek dan
objek tidak memiliki kesesuaian.22
Tidak sampai pada kritik atas masalah objek dan subjek, Suhrawardi pun sampai-sampai
menemukan sebuah kelemahan yang terselip di dalam pengetahuan yang mereka ( kaum filsafat
paripatetik) peroleh. Diantara kelemahan yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut, (1)
Pengetahuan semacam itu berkesan menunjukan sesuatu yang tidak hadir (al-Syai’ al-Ghaib), (2)
karena tidak semua objek bisa dikonsepsikan dan definisikan sehingga pengetahuan menjadi terbatas,
(3) Kepastian dalam pegetahuan tidak terjamin, karena pada dasarnya apa yang ada dalam konsep
mental (pikiran) ternyata tidak pernah melulu identik dengan kenyataan atau realitas objektif yang
berada diluar pikiran, (4) masih memiliki keterikatan oleh ruang dan waktu. 23
Bagi Suhrawardi untuk memperolehnya secara pasti, maka sesuatu (objek) harus dilihat dan
diterima harus berdasarkan apa adanya, sehingga pengetahuan yang didapatkan tidak butuh untuk di
definisikan (Istighna’ an al-Ta’rif) Seperti contoh, “warna putih”. Warna putih hanya dapat diketahui
jika dilihat dan diterima berdasarkan apa adanya bukan pada ada apanya dan juga sama sekali tidak
bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang belum melihat sebagai apa adanya. Oleh karena itu,
sampai di sini Suhrawardi menegaskan bahwa subjek yang mengetahui harus berada dan memahami
objek yang diterima secara langsung tanpa adaa sekat atau pengahalang apa pun. Inilah yang
kemudian kita kenal dalam pemikiran Suhrawardi dengan Iluminasi (tercerahkan) dan ini dijadikan
dasar untuk memperoleh suatu pengrtahuan, dan menurutnya dengan cara demikian seseorang bisa
memiliki pendekatan mental terhadap pengetahuan langsung terhadap objek yang di dapat oleh
subjek.
Dengan demikian Suhrawardi menegakkan prinsipnya bahwa cara yang seperti inilah yang
benar untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, pengetahuan yang di dapat dengan cara langsung
tanpa ada perantara maupun penghalang. Pengetahuan dengan cara menghadirkan langsung dari
dalam diri sendiri yang sering juga di sebut dengan Ilmu Huduri.24 Yang menjadi polemik dalam
konsep imu huduri ini adalah, bagaimana subjek bisa mengetahui esensi dari objek, begitupun
dengan objek, bagaimana menghadirkan esensinya kepada subjek? Dalam permasalahan seperti ini
Suhrawardi menjawab secara tegas dan gamblang, salah satu cara supaya subjek dan objek dapat
saling mengahdirkan esensinya masing-masing adalah dengan cara Kesadaran Diri. Bagi Suhrawardi,
kesdaran diri adalah sama seperti pengetahuan langsung tentang hakikat diri, seperti halnya kesdaran
tentang rasa sakit adalah sama seperti pengetahuan rasa sakit yang dialami. Menurutnya semua ini

22
Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Huduri, Terj. Ahsin Muhammad, dikutip dalam Khudori Sholeh “Filsafat Islam Dari
Klasik Sampai Kontemporer”, (Yogyakarta, AR-RUZZ MEDIA Cetakan I 2016). Hlm. 148.
23
Husein Ziai, Suhraward...Ibid.
24
Saidur Rahman, ILMU HUDURI ( Cara menghadirkan cahaya) Khazanah Epistimologi Islam, (Dalam Journal
TEOLOGIA, VOLUME 25 NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2014)
adalah suatu kebenaran wujud yang menyadari esensi mereka sendiri, dan salah satu ungkapan
Suhrawardi yang membingungkan sekaligus tidak terbantahkan terkait kesadaran diri ini adalah,
“Anda tidak pernah tidak menyadari esensi anda”.
Mengerti tentang Kesadaran diri sangatlah sulit, karena dalam hal ini Suhrawardi
menegaskan bahwa kesadaran diri ini tidak bisa diperoleh dari ide kita tentang sadarnya diri. Dalam
artian bahwa jika kita berpikir tentang kesadaran diri kita maka itu tidaklah yang kesadaran yang
sebenarnya. Karena jika memang keasadaran diri itu bisa diperoleh dari ide kita, maka akan ada dua
hal yang berbeda, yaitu subjek yang menyadari dan objek yang disadari, sehingga menjadikan seorang
tidak tahu esensinya diri.25 Lantas seperti apa orang yang memang sudah tahu dan mengerti mengenai
kesadaran diri? Suhrawardi mengatakan bahwa orang yang tahu tentang esensi dirinnya adalah
cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah manifestasi dari dirinya sendiri.26
Sampai sini bisa di petik bahwa pengetauan yang dimaksudkan oleh Suhrawaardi adalah
pengetahuan yang secara langsung hadir dalam diri yang dilandasi oleh kesadaran diri, sehingga jika
seseorang sudah sampai pada kesadaran diri maka akan terbebas dari pengetahuan yang memiliki
dualisme logis, benar dan salah. Tidak hanya itu seseorang juga akan terbebas dari pengetahuan
berdasarkan konsepsi dan pengetahuan berdasarkan kepercayan. Pengetahuan yang didatangkan atau
dihadirkan atas objek swaobjektivitas yang bersifat immanen ini pada akhir kesimpulannya disebut
sebagai Ilmu Huduri (cara menghadirkan cahaya), kearena objeknya justru hadir dari dalam diri
subjek yang mengetahui.27
Hikmah al-Isyroqiyah (Iluminasi)
Dalam pembahasan terakhir ini perlu ditegaskan bahwasanya Suhrawardi memiiliki
keyakinan terhadap setiap insan sebenarnya bisa untuk meraih pengetahuan yang sejati. Dan untuk
meraih pengetahuan sejati itu ( Hikmah al-Isyroq ) ada tahap-tahap tersendiri yang harus di tempuh
oleh setiap individu, Suhrawardi dalam pencapaian ilmu Hikmah al-Isyroq nya memetakan menjadi
empat tahap, yang dimana dalam setiap tahapnya merupakan suatu gemblengan mental bagi seorang
pencari Hikmah al-Isyroqi. Mengapa Suhrawardi memiliki mentapkan adanya tahap-tahap dalam
pencapaian Hikmah al-Isyroq? Tidak lain tidak bukan hal semacam ini karena disebabkan oleh betapa
tinggi dan istimewanya akan Hikmah al-Isyroq ini, karena pada dasarnya objek dari pengetahuan
Isyroqi memiliki sifat immanen dan swaobjektiv sehingga pada saat-saat tententu nantinya dibutuhkan
yang namanya kesadaran diri pada setiap diri seseorang. Oleh karena itu, hanya orang-orang kususlah
( mereka para pencari ) yang bisa mendapatkannya.
Tahap pertama atau yang bisa di sebut juga (tahap persiapan) untuk menerima pengetahuan
Iluminatif, untuk menuju Hikmah al-Isyroqiyah haruslah di awali dengan kegiatan-kegiatan spiritual,
seperti hal nya mengasingkan diri atau bertapa di tempat yang jauh dari keraimaian minimal selama

25
Husein Ziai, Suhraward...Ibid. 149-150.
26
Ibid.
27
Ibid.,
40 hari. Selain itu, tidak dianjurkan untuk memakan daging dan diutamakan harus berkonsentrasi
penuh untuk menerima Nur Ilahi. Dalam tahap ini seseorang akan sadar akan kekuatan intuitif yang
ada dalam dirinya melalui ilham yang di dapat, oleh Suhrawardi sadarnya akan kekuatan intuitif ini di
sebut sebagian dari ‘Cahaya Tuhan.
Tahap kedua, (tahap penerimaan), ketika seseorang sudah mendapatkan ilham dari tahap
pertama tadi maka dalam tahap kedua ini seseorang berada pada keadaan dimana cahaya Tuhan mulai
memasuki dalam dirinya. Dan cahaya inilah yang disebut sebagai ‘cahaya penyingkap’ diamana lewat
cahaya inilah seseorang pengetahuan yang sebenarnya bisa diperoleh.
Tahap ketiga, ( tahap pembangunan sekaligus pembuktian), maksud dari apa yang dinamakan
dengan tahap pembangunan ini, adalah tahap diamana sebuah pengetahuan ( Hikmah al-Isyroq ) yang
telah di dapatkan, di susun untuk menjadi suatu pengetahuan yang tervaliditasi. Selain itu, hal
demikian ini juga merupakan salah satu bentuk diujinya sekaligus dibuktikannya pengalaman akan
pengetahuan melalui cara diskursif.
Tahap keempat atau tahap terakhir yang di sebut sebagai ( tahap pengabadian ), dalam tahap
inilah pengalaman individualitas akan pengetahuan yang telah diperoleh bisa diakui sekaligus
dirasakan oleh orang lain, tidak lain dengan cara pelukisan dan dokumentasi dalam bentuk tulisan
(karya).
Dari keempat tahap yang dijelaskan tadi dapat diketahui bahwasanya untuk memperoleh
pengetahuan Isyroqi tidak hanya terfokus pada intuisi belaka, melainkan juga tetap membutuhkan
kekuatan dari rasio. Terlihat jelas disini mengenai peran Suhrawardi, dimana ia telah memecahkan
masalah yang terjadi sebelumnya, yaitu adanya dua keyakinan akan bagaimana cara memperoleh
sebuah pengetahuan. Dapat dijelaskan bahwa kolaborasi antara intuitif dan rasio ini memiliki
keterikatan yang valid, dimana dalam metode intuitif sendiri pada dasarnya merupakan alat untuk
memperoleh segala sesuatu yang tidak bisa di capai oleh rasio, sehinnga hal ini membawa kepada
pengetahuan yang tinggi dan terpecaya. Sedangkan dari rasio sendiri merupakan alat yang digunakan
untuk penjelasan mengenai pengalaman-pengalaman spiritual yang di dapat dari metode intuitif tadi,
dari sini bisa dianalogikan bahwasanya intuitif adalah mata untuk melihat dan rasio adalah lidah untuk
penjelas sekaligus pembukti.28
Tidak sampai disini, berdasarkan perbedaan metode untuk mencapai pengetahuan dan hasil
pemvaliditasian suatu ilmu, Suhrawardi masih dengan semangatnya membagi para pencari ilmu itu
atas empat level atau tingkatan.29
1. Para pencari ilmu masih bisa merasakan hausnya akan ma’rifat, yang kemudian memiliki
hasrat untuk membahas mengenai filsafat. pada tingkatan pertama ini banyak tokoh-tokoh

28
Khudori Sholeh, FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Sampai Kontemporer, (Yogyakarta, AR-RUZZ MEDIA Cetakan I
2016). Hlm. 151.
29
Ibid. 152.
yang berada pada makom ini, tidak lain yaitu mereka para filsuf yang masih belum secara
penuh dan tuntas akan pemikiran terhadap problematika yang ada pada mereka.
2. Para pencari ilmu telah mendapatkan pengetahuan yang sudah formal sekaligus sempurna
dalam filsafat pembuktian, pada tingkatan kedua ini para pencari ilmu sudah dikatakan
sebagai seseorang yang memiliki ilmu Burhani. Pada tingkat ini Suhrawaardi menyebutkan
dua tokoh yang berada pada tingkatan ini, yaitu al-Farabi dan Ibnu-Sina.
3. Para pencari ilmu masih belum merasa akan puasnya ilmu ma’rifat (Burhani), akan tetapi
mereka telah mensucikan diri sehingga sampai pada derajat perkiraan akal dan iluminasi
batin. Dalam tingkatan ketiga ini Suhrawardi menyebutkan beberapa tokoh yang berada pada
tingkat ini, diantaranya adalah Abu Yazid al-Bustami ( 804-874 M ), Mansur al-Hallaj ( 857-
922 M ) kemudian yang terakhir adalah Abu Sahal al-Tustari ( 815-896 M ).
4. Para pencari ilmu yang telah menuntaskan akan filsafat pembuktian ( Burhani ) sebagaimana
mereka mengetahui tahapan tentang iluminasi. Pada tingkat ini Suhrawardi menyebutkan
Phytagoras dan Plato yang berada pada makom puncak, tidak lupa bahwa Suhrawardi juga
merupakan tokoh yang menempati pada tingkat terakhir ini.30
Penutup

Daftar Pustaka
Sholeh, Khudori. FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Sampai Kontemporer, (Yogyakarta, AR-RUZZ MEDIA
Cetakan I 2016).
Rahman, Saidur. ILMU HUDURI ( Cara menghadirkan cahaya) Khazanah Epistimologi Islam, (Dalam
Journal TEOLOGIA, VOLUME 25 NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2014)
Ltjahjadi, Simon Petrus. PETUALANGAN INTELEKTUAL “Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman
Yunani Hingga Zaman Modern”, (Yogyakarta, PT Kanisius Cetakan ke-6 2018).
Hossein Nasr, Seyyed (Ed.). WARISAN SUFI “Warisan Sufisme Persia Abad Pertengahan ( 1150-
1500)”, (Yogjakarta, Pustaka Sufi Cetakan I Juni 2003).

30
Ibid.,
Bagir, Haidar.BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM, ( Bandung, PT Mizan Pustaka, Edisi revisi Cetakan II,
Shafar 1427 H/maret 2006).
Nur, Syaifan. Filsafat Wujud MULLA SADRA, (Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, Cetakan I, November
2002).
Drajat, Amroni. FILSAFAT ISLAM Buat Yang Pengen Tahu, (PENERBIT ERLANGGA, Jakarta 2006).
Riyadi, Abdul Kadir. ARKEOLOGI TASAWUF, ( Bandung, PT Mizan Pustaka Cetakan I, Juli 2016).
Q.S. An-Nur ayat 35.

Anda mungkin juga menyukai