Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Futuh Yahya Ibn Habsy Ibn
Amrak, bergelar Syihabuddin, dan dikenal pula sebagai sang bijak
(al-Hakim). Ia lahir di Suhrawad sekitar tahun 550 H. Ia dibunuh di
Halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin Al-Ayyubi, tahun 578 H.
Oleh karena itu, ia digelari Al-Maqtul (yang dibunuh) sebagai
pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu An-Najid As-
Suhrawardi (meninggal tahun 563 H) dan Abu Hafsh Syihabuddin
As-Suhrawardi Al-Baghdadi (meninggal tahun 632 H), penyusun
kitab Awarif Al-Ma’arif. Dalam sejarah filsafat Islam, guru
iluminasinya adalah Syihab Ad-Din Yahya ibnu Habasy ibn Amirak
Abu Al-Futuh Suhrawardi (Syaikh Al-Isyraq). Suatu sebutan bagi
posisi yang lazim sebagai pendiri mazhab baru filsafat yang berbeda
dengan mazhab Periptetik.
Banyak naskah karangan Syekh Al-Isyraq yang hilang dan ada pula
yang dimusnahkan. Naskah yang memuat karyanya sangat sedikit
yang diterbitkan dan diterjemahkan ke bahasa Inggris dan bahasa
orang Muslim di luar Bahasa Arab dan Persia. Sebagian besar
manuskrip yang memuat karya As-Suhrawardi disimpan di
perpustakaan di Iran (Teheran), India, dan Turki.
Akar Filsafat
As-Suhrawardi memaparkan ajaran filsafatnya dengan cara sangat
unik karena banyak menggunakan tamsil dan kisah perumpamaan.
Karya filsafatnya bercorak sastra yang merupakan ciri khas Timur,
sebagaimana tampak dalam uraian ahli filsafat, seperti Konfusius,
Lao Tze, Meng Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato,
khususnya Republic, juga memaparkan ajaran filsafat dalam bentuk
dialog. Akan tetapi, pemikiran As-Suhrawardi lebih menarik karena
bersumber dari berbagai tradisi budaya dan kepercayaan dalam
rentang zaman yang panjang. Sumber-sumber klasik pemikirannya
meliputi kearifan Persia Kuno, Yunani Kuno pra-Aristoteles, dan
Arab-Persia.
Karakter paling menonjol dari puisi Persia yang diakui dan diterima
sebagai kesatuan adalah perspektif eksistensialnya dalam kaitannya
dengan hasil filsafat (khususnya filsafat non-Aristotelian, yang
dipersamakan dengan filsafat Timur Ibnu Sina, dan dengan filsafat
iluminasi Suhrawardi). Dari sudut pandang ini, hasil akhir filsafat,
yaitu kebijaksanaan, dapat dikomunikasikan hanya melalui medium
puisi. Dengan demikian, kebijaksanaan puitis murni
menginformasikan kepada manusia—wali-filsuf; penyair-wali; dan,
puncaknya hanya penyair—setiap sisi respons terhadap lingkungan:
jasmaniah dan rohaniah, etis dan politis, religius dan duniawi.
Persepsi tentang realitas yang terjadi dan proses historis
dikonstruksi (seperti dalam Syi’r sakhtanPersia) dalam bentuk
metafisis—mungkin bentuk seni—yang secara sadar menggunakan
metafora, simbol, mitos, nyanyian, dan legenda dalam setiap
tahapan. Akibatnya, kebijaksanaan Persia lebih bersifat puitis
daripada filosofis, dan selalu lebih bersifat intuitif daripada diskursif.
Hal ini jelas merupakan warisan dan pengaruh filsafat iluminasi
yang lebih populer. Cara kebijaksanaan puitis Persia (atau
kebijaksanaan isyraqi puitis Persia) mengurai misteri-misteri alam
sekalipun misalnya, bukan dengan meneliti prinsip-prinsip fisika,
seperti yang dilakukan oleh para pengikut Aristoteles, melainkan
dengan memasuki dan menghayati alam metafisis dan mitos,
arketip, mimpi, fantasi, dan sentimen. Tipe pengetahuan ini
membentuk basis pandangan Suhrawardi tentang pengetahuan
iluminasionis dengan kehadiran.