Anda di halaman 1dari 19

seorang dari generasi pertama para sufi filsuf pada abad ke-6

Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Futuh Yahya Ibn Habsy Ibn
Amrak, bergelar Syihabuddin, dan dikenal pula sebagai sang bijak
(al-Hakim). Ia lahir di Suhrawad sekitar tahun 550 H. Ia dibunuh di
Halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin Al-Ayyubi, tahun 578 H.
Oleh karena itu, ia digelari Al-Maqtul (yang dibunuh) sebagai
pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu An-Najid As-
Suhrawardi (meninggal tahun 563 H) dan Abu Hafsh Syihabuddin
As-Suhrawardi Al-Baghdadi (meninggal tahun 632 H), penyusun
kitab Awarif Al-Ma’arif. Dalam sejarah filsafat Islam, guru
iluminasinya adalah Syihab Ad-Din Yahya ibnu Habasy ibn Amirak
Abu Al-Futuh Suhrawardi (Syaikh Al-Isyraq). Suatu sebutan bagi
posisi yang lazim sebagai pendiri mazhab baru filsafat yang berbeda
dengan mazhab Periptetik.

Ia mempelajari filsafat dan teologi kepada Majid Ad-Din Al-Jili di


Maraghah, kemudian mengembara ke Ishfahan untuk belajar
kepada Fakhr Ad-Din Al-Mardini (w. 594 H/1198 M) yang konon
telah meramalkan kematian muridnya. Diketahui bahwa Zhahir Al-
Farsi, seorang logikawan, memperkenalkan Suhrawardi dengan Al-
Basair, karya logikawan termasyhur, Umar ibn Sahlan Al-Shawi.
Fakta ini cukup penting karena karya termasuk karya pertama yang
menyimpang dari pembagian-baku sembilan bagian logika dan
mengakui dua bagian; logika formal dan logika material.
Suhrawardi menggunakan sistem yang lebih sederhana ini dalam
logika tiga-bagiannya, yang terdiri atas semantik, logika formal,
dan logika material.

Setelah merasa cukup belajar secara resmi, Syekh Al-Isyraq


mengembara ke seluruh Persia. Di kota yang disinggahinya ia
mengunjungi guru tasawuf yang masyhur untuk mendalami ilmu
makrifat. Ia menggunakan waktu luangnya untuk tafakur dan
zuhud, serta memperbanyak ibadah dan ‘uzlah. Setelah bergaul
lama dengan para sufi, Syekh Al-Isyraq melanjutkan perjalanannya
ke Anatolia (Asia Kecil) dan Suriah. Pada 1183, seusai menulis
kitab Al-Hikmah Al-Isyraq, ia melawat ke Aleppo dan akhirnya ke
Damsyik (Damaskus). Di Damsyik ia diterima menjadi penasihat
kerohanian di istana Pangeran Malik Aa-Zahir Ghazi, putra Sultan
Salahuddin Al-Ayyubi, yang lebih dikenal dengan Sultan Saladin,
pahlawan besar dalam peperangan melawan Tentara Salib.
Suhrawardi berhasil mengambil hati pangeran, menjadi
pembimbingnya dan hidup di istana. Dalam pertemuan pribadinya
yang berkembang luas, filsuf muda ini menginformasikan kepada
sang pangeran tentang filsafat barunya. Hal tersebut membawanya
pada posisi istimewa yang diberikan oleh sang pangeran. Hal ini
menimbulkan kecemburuan istana yang lazim dijumpai pada Abad
Pertengahan. Para hakim, wazir dan fuqaha Aleppo tidak senang
dengan statusnya yang meroket dari tutor terkemuka itu. Surat-
surat kepada Saladin yang ditulis oleh hakim terkenal Qadhi Al-
Fadhil yang menuntut agar Suhrawardi dieksekusi dan eksekusi ini
mengakhiri nasib pemikir muda itu. Sultan memerintahkan
pangeran untuk membunuhnya.

Para sejarawan Abad Pertengahan menyebut zindiq (anti-


agama), merusak agama dan menyesatkan pangeran muda, Al-
Malik Al-Zhahir sebagai tuduhan-tuduhan kepada Suhrawardi.
Namun, validitas tuduhan ini sangat kontroversial. Alasan eksekusi
Suhrawardi yang lebih masuk akal tampaknya didasarkan atas
doktrin politik sang filsuf yang terungkap dalam karya-karyanya
tentang filsafat iluminasi. Hal itu terlihat dari situasi kejadian tahun
eksekusi Suhrawardi yang bersamaan dengan gejolak konflik politik
dan militer. Raja Inggris, Richard Hati Singa mendarat di Acre, dan
pertempuran-pertempuran besar berlangsung antara Muslim dan
Kristen memperebutkan Tanah Suci. Sultan Saladin memberikan
perhatian lebih besar pada urusan ini daripada menghiraukan
eksekusi sang mistikus pengembara yang tidak dianggap sebagai
ancaman nyata bagi keamanan politik.

Suhrawardi adalah penulis produktif meskipun usianya relatif muda


—yang banyak menulis hampir semua pokok persoalan filsafat,
termasuk, untuk pertama kali dalam sejarah filsafat Islam,
sejumlah narasi simbolik filosofis Persia. Ia mampu
menyintesiskan filsafat peripatetik sampai filsafat iluminasi.

Karya As-Suhrawardi mampu memadukan antara


filsafat Aristoteles dan filsafat iluminasi yang dikembangkan oleh
Suhrawardi sekaligus dijadikan sebagai basis utama filsafat dan
tasawufnya. Suhrawardi menganggap bahwa seorang pengkaji
teologi lebih unggul daripada seorang pecinta Tuhan. Hal ini tampak
dari ungkapannya, Jika dalam waktu yang sama seseorang menjadi
pecinta Tuhan dan pengkaji teologi, dirinya telah menduduki derajat
kepemimpinan (riydsah). Jika ia tidak dapat memadukannya,
derajatnya hanya seorang pengkaji teologi atau seorang pecinta
Tuhan, tetapi tidak mengkaji-Nya. Pemikiran inilah yang
menunjukkan bahwa Suhrawardi bukanlah seorang sufi murni,
melainkan sufi dan sekaligus filsuf, bahkan sangat dekat dengan
filsuf Peripatetik yang sering diserangnya.
As-Suhrawardi termasuk penulis produktif, baik dalam bentuk buku
maupun risalah kecil. Karyanya dapat digolongkan menjadi tiga
bagian. Pertama, kitab induk filsafat iluminasinya: 
1. At-Talwihat (Pemberitahuan)
2. Al-Muqawamat (Yang Tepat)
3. Al-Masyari’ wa al-Mutarahat (Jalan dan Pengayoman)
4. Al-Hikmah al-Isyraq (Filsafat Pencerahan)
Karya kedua adalah risalah ringkas filsafat, seperti:
1. Hayakil An-Nur (Rumah Suci Cahaya)
2. Al-Alwah Al-Imadiyah (Lembaran Imadiyah)
3. Partawnamah (Uraian tentang Tajalli)
4. Bustan Al-Qulub (Taman Kalbu). Selain dalam bahasa Arab ada
juga risalah yang ditulis dalam bahasa Persia.

Karya ketiga berupa kisah perumpamaan:


1. Qissah Al-Gurbah Al-Garbiyyah (Kisah Pengasingan ke Barat)
2. Risalah At-Tair (Risalah Burung). Buku ini mengulas karya Ibnu
Sina, Isyyarah wa Tanbihat
3. Awaz-i pari-i Jibra’il (Suara Sayap Jibril)
4. Aql-i-surkh (Akal Merah)
5. Ruzi Ba Jama’at-i Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi)
6. Fi Haqiqah At-‘Isyq (Hakikat Cinta Ilahi). Ulasan bukunya
membahas filsafat Masyriqiah Ibnu Sina
BACA JUGA

 Ibnu Nadim. Karya dan Pemikiran


 Muhammad Iqbal. Karya Filsafat
 Nasiruddin Ath-Thusi. Karya Filsafat
7. Fi Halah Al-Thufuliyyah
8. Lugah Al-Muran (Bahasa Sennit)
9. Safir-i Simurgh (Jerit Merdu Burung Pingai). Kisah ini memiliki
nilai sastra yang tinggi

Banyak naskah karangan Syekh Al-Isyraq yang hilang dan ada pula
yang dimusnahkan. Naskah yang memuat karyanya sangat sedikit
yang diterbitkan dan diterjemahkan ke bahasa Inggris dan bahasa
orang Muslim di luar Bahasa Arab dan Persia. Sebagian besar
manuskrip yang memuat karya As-Suhrawardi disimpan di
perpustakaan di Iran (Teheran), India, dan Turki.

Karya-karya Suhrawardi memperlihatkan pandangan yang telah


lama dibangun, bahwa modus diskursus simbolik dan puitis sama-
sama menarik minat para pembaca. Selain itu, karya-karyanya juga
memperlihatkan sentuhan subjektif dan eksperiensial tertentu yang
hilang dalam teks-teks yang murni diskursif.

Akar Filsafat
As-Suhrawardi memaparkan ajaran filsafatnya dengan cara sangat
unik karena banyak menggunakan tamsil dan kisah perumpamaan.
Karya filsafatnya bercorak sastra yang merupakan ciri khas Timur,
sebagaimana tampak dalam uraian ahli filsafat, seperti Konfusius,
Lao Tze, Meng Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato,
khususnya Republic, juga memaparkan ajaran filsafat dalam bentuk
dialog. Akan tetapi, pemikiran As-Suhrawardi lebih menarik karena
bersumber dari berbagai tradisi budaya dan kepercayaan dalam
rentang zaman yang panjang. Sumber-sumber klasik pemikirannya
meliputi kearifan Persia Kuno, Yunani Kuno pra-Aristoteles, dan
Arab-Persia. 

Dari Persia Kuno, ia menggali pemikiran Gayumarz, Faridun, dan


Kay Khusraw. Dari tradisi Arab-Persia atau Islam, ia menemukan
akar pemikirannya dalam tradisi hikmah Nabi Syis dan Nabi Idris
a.s. sampai Zunnun Al-Misri, Abu Sahl At-Tustari, atau Mansur Al-
Hallaj. Dari Yunani Kuno ia menggali pemikiran tradisional ordo
Hermetiah (Hermetisisme) sampai Pythagoras dan Plato.

Oleh sebab itu, akar pemikiran filsafat Suhrawardi dapat terlihat


dari kecenderungan iluminasionismenya yang merujuk pada
pola Plato, Hermes, dan tokoh-tokoh Yunani dan Persia Kuno,
sebagaimana ungkapannya: Yang saya sebut dengan ilmu tentang
pancaran cahaya ketuhanan (‘Ulum al-Anwar) dan segala hal yang
terkait dengannya bisa saya capai berkat bantuan orang-orang yang
selalu merambah jalan Allah, yaitu seorang tokoh dan ketua
Akademi, Plato, yang mula-mula menemukan teori keabadian (a
parte poste) dan pancaran cahaya ketuhanan dan jasa orang-orang
sebelumnya dari zaman bapak para filsuf, Hermes, hingga
zaman Empedocles.
Jika dilihat dari sudut sejarah dan kandungan ajaran metafisikanya,
filsafat Isyraqiyah merupakan penjelmaan kembali hikmah purba
yang mengutamakan intuisi intelektual (zauq) tanpa
mengesampingkan pemikiran diskursif. Filsafat Al-Isyraq adalah
filsafat yang memadukan kecenderungan pemikiran Platonisme dan
Aristotelian yang dilapisi dengan tatanan kemalaikatan (angelologi)
Zoroaster serta gagasan Hermetitisme.

Akar pemikiran filsafat iluminasi  lainnya adalah teori emanasi yang


dikembangkan oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi, sebagai dasar
epistemologi Suhrawardi meskipun ada pula perbedaannya.
Emanasi Ibnu Sina dan Al-Farabi berhenti pada akal aktual (akal
kesepuluh). Sementara emanasi Suhrawardi tidak terbatas pada
akal aktual, tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak
dan tidak bisa terhitung selama cahaya dari cahaya-cahaya (nur al-
anwar) terus-menerus memancarkan cahaya murni pada segala
sesuatu yang ada di bawahnya.

Dengan perjalanan waktu yang panjang setelah mengarungi


berbagai filsafat sebelumnya, Suhrawardi sampai pada tingkat
penemuan filsafat iluminasi. Dengan teori iluminasi yang diambil
dari mistisme Yunani dan filsafat Persia, Suhrawardi mengambil
kesimpulan bahwa tidak tepat baginya mengarungi dunia indriawi
dan materi bersama orang-orang yang terjebak di dunia materi.
Yang lebih tepat baginya adalah meninggalkan dunia materi menuju
dunia penanggalan keinginan duniawi (tajarrudi) dan penyaksian
langsung (syuhudi), kemudian naik ke maqamorang-orang yang
bercahaya (nuraniyyun), bergaul bersama mereka, dan
menyaksikan mereka dari dekat. Inilah titik kulminasi filsafat
Suhrawardi.

Suhrawardi memilih judul (Hikmah Al-Isyraq) untuk menamai karya


dalam bahasa Arabnya yang utama dan untuk membedakan
pendekatan filosofisnya dari pendekatan karya
kaum Peripatetik yang sudah sangat mapan pada masanya. Karya
kaum Peripatetik ini didominasi oleh doktrin-doktrin Ibnu Sina,
ilmuwan besar Islam dan guru besar masysya’iatau filsafat
Peripatetik. Walaupun Suhrawardi menyatakan bahwa At-
Talwihat misalnya, ditulis berdasarkan metode Peripatetik, ini
dianggap sebagai karya lepas tentang filsafat Peripatetik. Akan
tetapi, karya itu menunjukkan bahwa filsafat iluminasi memasukkan
sesuatu yang tidak dan belum didefinisikan oleh ajaran Peripatetik
yang telah diakui umum, yang sebagian diterima oleh Suhrawardi
dan sebagian lainnya ditolak atau diperbaiki olehnya.

Dalam semua karyanya, Suhrawardi menggunakan istilah


seperti kaidah iluminasionis (qa’idah isyraqiyyah), aturan
iluminasionis (dhawabith isyraqiyyah), argumen dasar
iluminasionis (daqiqah isyraqiyyah) dan frase semacam itu, untuk
mengidentifikasi masalah khusus dalam bidang logika, epistemologi,
fisika, dan metafisika—wilayah pemikiran yang direkonstruksi atau
direformulasi dengan cara yang sangat inovatif. Istilah-istilah baru
tersebut menunjukkan komponen esensial filsafat iluminasi dan
inilah yang membedakan metodologi filsafat iluminasi dengan
metodologi filsafat Peripatetik.

Suhrawardi menambahkan kata iluminasionis(isyraqi) sebagai


adjektif-deskriptif bagi istilah-istilah teknis tertentu sebagai sarana
untuk menandai atau memaknai pemakaian khusus istilah-istilah
dalam sistemnya. Sebagai contoh, visi iluminasionis (musyahadah
isyraqiyyah) menetapkan prioritas epistemologis atas
cara mengetahui secara langsung yang dibedakan dari pemakaian
lebih umum kata visi seperti yang diterapkan pada pengalaman
mistik. Hubungan iluminasionis(idhafal isyraqiyyah) menetapkan
hubungan non-predikatif antara subjek dan objek, dan merupakan
istilah teknis baru yang menandai pandangan iluminasionis dalam
hal landasan-landasan logis epistemologis. Pengetahuan
iluminasionis melalui kehadiran (al-‘ulum al-hudhuri al-isyraqi)
menandai keutamaan modus pemahaman yang ituistif, langsung,
dan tanpa selang waktu, atas definisi esensialis yang secara
temporal diperluas yang digunakan sebagai proposisi predikatif; dan
pengetahuan itu juga membedakan pandangan iluminasionis dan
pandangan Peripatetik tentang pengetahuan perolehan (al-‘ilm al-
hushuli). Banyak istilah teknis lainnya yang serupa juga
didefinisikan dan digunakan untuk pertama kali oleh Suhrawardi
dalam pengertian filosofis iluminasionis untuk membedakan istilah-
istilah itu dari istilah-istilah Peripatetik atau dari kosakata non-
filosofis umum dalam teks-teks mistik dan teologis. Upaya
Suhrawardi untuk mengaitkan makna-makna pilihan tertentu
dengan ungkapan yang telah banyak dikenal dengan menambahkan
pemberi sifat, dan untuk melontarkan istilah-istilah baru,
merupakan ciri dasar rekonstruksi filsafatnya atas modus-modus
pemikiran sebelumnya. 
Yang terakhir, Suhrawardi memperkenalkan istilah kaum
iluminasionis (al-isyraqiyyun), yang selanjutnya diadopsi oleh para
komentator dan sejarawan, untuk melukiskan gambaran bagi para
pemikir yang pandangan dan metode filsafatnya berbeda
dengan kaum Peripatetik (al-masysya’uri). Oleh karena itu, jelas
bagi kita bahwa filsuf muda mengharapkan agar karya-karyanya
diakui telah mengupayakan sistem yang lain daripada karya-
karya peripatetik pada masanya seperti yang terlihat nyata dalam
bahasa, metode, dan makna. Semua komentator iluminasionis,
seperti Syams Al-Din Al-Syahrazuri, Ibn Kammunah, dan Quthb Al-
Din Syirazi—sepakat bahwa pandangan filsafat Suhrawardi berbeda
tajam dengan mazhab Peripatetik. Akan tetapi, tradisi orientalis
yang lebih tua menandaskan dengan tegas bahwa filsafat iluminasi
pada dasarnya bukan hal baru. Mereka menilai bahwa catatan-
catatan singkat dan pendek Ibnu Sina mengenai filsafat Timur (al-
hikmah al-masyriqiyyah) sebenarnya telah mendahuluinya. Menurut
pandangan tradisi orientalis ini, polemik Ibnu Sina atau pernyataan
yang didorong motif politik tidak dimaksudkan untuk
merekonstruksi filsafat Aristotelian secara sistematis, tetapi
menunjang diterimanya filsafat Yunani secara lebih luas dengan
memberikan sebutan-sebutan secara umum lebih diterima.
Selanjutnya, tradisi orientalis yang sama tidak menilai filsafat
iluminasi berbeda secara esensial dengan filsafat Peripatetik dan
kemudian menggeneralisasi, biasanya tanpa pengujian cermat atas
teks-teks iluminasionis yang tersedia, filsafat iluminasi sebagai
pelanjut Ibnu Sina. Akan tetapi, pandangan ini juga tidak valid
karena tidak menimbang teks-teks Arab dan Persia pasca-Ibnu Sina
dan dianggap tidak memiliki argumen filosofis yang baru dan segar.

Dalam analisis akhir Hossein Ziai disebutkan bahwa filsafat iluminasi


konstruksi sistematis dan filosofis khas yang dirancang untuk
menghindari inkonsistensi-inkonsistensi logis, epistemologis, dan
metafisis yang dirasakan Suhrawardi dalam filsafat Peripatetik pada
masa itu. Meskipun, tentu saja, Suhrawardi menyadari pengaruh
karya-karya filosofis Ibnu Sina, filsafat iluminasinya tidak mungkin
sepenuhnya dinisbahkan kepada Ibnu Sina, dan tidak dapat
dianggap semata-mata sebagai pernyataan alegoris dari
filsafat Ibnu Sina, tetapi ia pun banyak menggunakan sumber lain.
Meskipun ia banyak terpengaruh oleh guru peripatetik As-Syaikh
Ar-Ra’is, tujuan filosofis yang mendasari penyusunan karya-karya
yang disebut sebagai iluminasionisjelas milik Suhrawardi. Untuk itu,
tugas para peneliti masa mendatang untuk menentukan apakah
rencana iluminasionis itu didefinisikan dengan baik dan kuat secara
filosofis ataukah menimbulkan lebih banyak polemik? Akan tetapi,
satu hal yang jelas: kegagalan mengkaji teks-teks iluminasionis
aktual, yang mayoritas belum diterbitkan dan hanya dapat diakses
oleh sedikit spesialis, telah mengaburkan asal-usul filsafat iluminasi.
Untuk itu, diperlukan pengujian dan pemeriksaan secara singkat
sejumlah kecil wacana yang relevan sehingga dapat menarik
generalisasi historis filsafat iluminasi Suhrawardi.

Prinsip metodologi yang dibangun oleh Suhrawardi untuk pertama


kali dalam sejarah filsafat, ketika ia membedakan secara gamblang
dua pembagian metafisika, yaitu methaphysica
generalis dan methaphysica specialist. Pertama, sebagaimana yang
dipegang oleh pandangan filsafat yang baru, melibatkan diskusi
standar tentang subjek, seperti eksistensi, kesatuan, substansi,
aksiden, waktu, gerak, dan sebagainya, sedangkan
yang kedua melibatkan pendekatan ilmiah yang baru untuk
menganalisis masalah suprarasional, seperti eksistensi dan
pengetahuan Tuhan; mimpi yang benar; pengalaman visioner;
tindakan kreatif orang tercerahkan, imajinasi subjek yang
mengetahui; pembuktian terhadap yang real; keadaan objektif alam
terpisah, yang disebut mundus imaginalis (‘alam al-khayal); dan
banyak masalah serupa lainnya. 

Pembagian masalah pokok metafisika Suhrawardi dan upayanya


untuk memperlihatkan keunggulan epistemologis modus
pengetahuan eksperiensial (berdasarkan pengalaman) yang
diobjektifikasi merupakan sebagian karakteristik struktural dan
metodologis khas filsafat iluminasi. Sejak masa Suhrawardi, prinsip-
prinsip ini telah digunakan oleh banyak komentator dan sejarawan
untuk memberikan tekanan pada perbedaan antara
kaum Peripatetik dan iluminasionis. 

Wilayah lain yang dipengaruhi prinsip iluminasionis dan memiliki


dampak cukup besar adalah dalam bidang semantik ((‘Ulum dalalah
al-alfazh). Suhrawardi, boleh dari diilhami oleh tren kecil Stoik-
Megarik dalam filsafat Islam yang berlangsung sampai dengan
masanya, mengungkap kembali sejumlah masalah melalui cara
yang berbeda dengan cara masalah itu dinamakan dan dibicarakan
dalam korpus logika Ibnu Sina. Masalah dalam logika ini antara lain
adalah tipe penandaan; hubungan antara nama-nama kelas dengan
anggota kelas; tipe-tipe cara untuk memasukkan anggota dalam
kelas (indiraj, istighraq, indikhal, syumul, dan sebagainya), dan,
mungkin, yang paling signifikan dari sudut pandang sejarah logika,
teori pengendalian yang terdefinisi dengan baik (pemakaian
terbatas dan tidak terbatas dalam kuantifikasi).
Dalam wilayah logika formal, Suhrawardi membuktikan dirinya
sebagai logikawan yang sangat menonjol. Dalam taraf yang lebih-
kurang sama, Suhrawardi memengaruhi beberapa karya tentang
masalah khusus logika di Persia. Masalah-masalah ini, antara lain:
modalitas yang diulang-ulang; penciptaan proposisi niscaya
superafirmatif (al-qadhiyyah al-dharuriyyah al-battatah); persoalan
negasi (al-salb), terutama dalam konversi silogisme (al-‘aks),
penyederhanaan terma; konstruksi gambaran induk yang tunggal
bagi silogisme (syakl al-qiyas) yang darinya setiap gambaran
lainnya diturunkan; modalitas temporal (al-qadhaya al-
muwajjahah); khususnya penolakan validitas tidak terbatas
proposisi afirmatif universal (al-qadhiyah al-mujibah al-kuuiyah)
dalam memperoleh pengetahuan yang meyakinkan (al-‘ilm al-
yaqim) karena kemungkinan yang akan datang (al-imkan al-
mustaqbal); dan lain-lain.

Wilayah penting pengaruh Suhrawardi lainnya adalah teorinya


tentang kategori, yang menjadi acuan sebagian besar karya filsafat
di Persia, khususnya dalam sintesis filosofis utama non-Ibnu Sina
yang dikenal sebagai al-hikmah al-muta’aliyyah. Suhrawardi
menyebutkan kategori secara panjang lebar dalam karya filsafat
sistematis utamanya berbahasa Arab dan Persia. Ia menisbahkan
teori kategorinya yang berpengaruh kepada seorang
sarjana mazhab Pythagorean  (sykhsh fitaguritsi) yang bernama
Arkhuthus. Apa yang kemudian disebut Shadr Ad-Din Al-Syirazi
sebagai gerak dalam kategori substansial dan gerak
transubstansial merupakan pengaruh langsung dari teori
Suhrawardi. Secara ringkas, teori ini menyatakan
bahwa intensitas(syaddah wa dha’f) adalah sifat dari semua
kategori yang disederhanakan menjadi lima: substansi (jauhar),
kualitas (kaif), kuantitas (kamm), relasi (nisbah), dan gerak
(harakah). Konsep ini sesuai dengan teori Suhrawardi tentang
wujud sebagai kontinum (kesinambungan), dan dengan teorinya
yang dikenal sebagai teori tentang kemungkinan yang akan
datang (qa’idah imkan al-asyraf—secara harfiah berarti teori
tentang kemungkinan yang paling mulia).

Dilihat secara keseluruhan, tujuan Suhrawardi diarahkan pada


sasaran teoretis di samping praktis yang dapat dicapai. Pertama-
tama, mendemonstrasikan kesenjangan fundamental dalam
landasan logis epistemologi dan metafisika Aristotelian, kemudian
merekonstruksi sistem yang dilandaskan atas prinsip epistemologis
dan metafisis yang berbeda dan secara logis lebih konsisten.
Meskipun kajian analitis diperlukan lebih lanjut untuk menimbang
sisi filosofis pemikiran Suhrawardi, satu fakta yang diterima secara
luas oleh para filsuf Islam tradisional adalahfilsafat iluminasi—
gagasan, bahasa, dan metodenya—memiliki dampak besar pada
setiap pemikiran masa berikutnya telah mapan. Diduga tidak ada
sumber tekstual lainnya yang tersedia baginya. Fakta bahwa ia
merumuskan kembali masalah filsafat, menolak sebagian atau
memperbaiki sebagian lainnya merupakan indikasi tujuan
filsafatnya—yaitu merekonstruksi sistem metafisika yang bertujuan
menetapkan keunggulan modus intuitif dalam mencari
pengetahuan, bukan merupakan indikasi akan tradisi filsafat yang
dikenalnya, melainkan hilang dari kita.

Komponen utama yang paling jelas, tetapi mudah diabaikan


dalam filsafat iluminasiSuhrawardi adalah pemakaian khas bahasa
teknisnya. Kosakata khas ini menggunakan simbolisme cahaya
untuk menggambarkan masalah-masalah ontologis, khususnya
untuk memaparkan struktur kosmologis. Sebagai contoh, Wujud
Niscaya (Wajid Al-Wujud) Peripatetik tersebut Cahaya dari segala
cahaya(nur al-anwar), intelek terpisah disebut cahaya-cahaya
abstrak (anwar mujarradah), dan sebagainya. Inovasi kebahasaan
ini bukan hanya merupakan istilah baru, melainkan pula indikasi
atas tujuan filsafatnya. Tampaknya, simbolisme cahaya dinilai lebih
sesuai untuk menyampaikan prinsip ontologis wujud ekuivokal
karena lebih mudah dipahami bahwa cahaya mungkin memiliki
intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Selain itu,
dianggap lebih dapat diterima untuk membahas kedekatan (qurb)
dan kejauhan(bu’d) dari sumber sebagai indikasi bagi tingkat
kesempurnaan ketika simbolisme cahaya digunakan. Sebagai
contoh, semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya, yaitu
Cahaya dari segala cahaya, semakin terang cahaya entitas tersebut
(as-syai al-mustamr).

Secara keseluruhan, pemakaian bahasa simbolis merupakan


karakteristik menonjol dan penting dari filsafat iluminasi.
Simbolisme juga diterapkan pada keutamaan epistemologis
tindakan kreatif intuisi yang mengajukan sebagai aksioma pertama.
Pemikiran bahwa pengetahuan jiwa (roh) tentang diri sendirinya—
maksudnya entitas cahaya—merupakan landasan dan titik tolak
pengetahuan, diibaratkan cahaya abstrak yang berasal (hashil) dari
sumber cahaya. Argumennya adalah cahaya merambat dengan
sendirinya saat memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan
(faidh) secara sengaja, serta tidak dipancarkan secara terputus-
putus. Hal ini berarti bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau
berasal dari sumbernya bukan dalam waktu, melainkan ketika
sumber bercahaya itu terjadi.

Berdasarkan sudut pandang tekstual, filsafat iluminasi  dimulai


dalam buku At-Talwihat. Di sini Suhrawardi mengingatkan kembali
visi mimpi ketika Aristoteles menampakkan diri. Sarana atau
perangkat alegoris ini memungkinkan Suhrawardi mengemukakan
beberapa masalah filosofis penting. Melalui visi-mimpi
ini, Aristoteles menginformasikan kepada Suhrawardi bahwa kaum
Peripatetik Muslim gagal mencapai kebijaksanaan, seperti yang
diraih para sufi, yaitu Abu Yazid Al-Bastami dan Al-Hallaj. Hal ini
dikarenakan para sufi berhasil mencapai kesatuan dengan Akal Aktif
dengan melampaui filsafat diskursif dan menyandarkan diri pada
pengalaman pribadinya. Kebenaran (haqa’iq) yang diperoleh
dengan cara ini merupakan hasil dari modus eksperiensial, intuitif
khusus. Dengan demikian, kritik pertama atas filsafat
peripatetik dituturkan melalui seorang otoritas seperti Aristoteles,
yang menginformasikan kepada Suhrawardi bahwa pengetahuan
yang benar hanya didasarkan atas pengetahuan-diri-sendiri dan
hanya diperoleh melalui modus khusus yang disebut pengetahuan
melalui iluminasi dan kehadiran.

Apa arti modus epistemologis ini dan bagaimana modus itu


diperoleh? Pertama-tama harus bergantung pada usaha
mendemonstrasikan kesenjangan logis yang terdapat dalam sistem
peripatetik. Hal ini terjadi ketika Suhrawardi melancarkan kritik
lebih jauh atas konsep dan rumusan definisi Aristoteles. Kritik ini
upaya signifikan pertama untuk memperlihatkan kesenjangan
mendasar dalam metode ilmiah Aristotelian dan menunjukkan
langkah pertama dalam rekonstruksi filsafat iluminasi. Langkah
metodologis besar berikutnya, yaitu mengemukakan landasan
epistemologis alternatif untuk merekonstruksi metafisika yang
lengkap. Ini merupakan salah satu keutamaan dan keunggulan
intuisi dan teori-iluminasi-visi—yang dalam filsafat
iluminasidianggap sebagai sarana untuk mendapatkan prinsip-
prinsip yang akan digunakan dalam penalaran deduktif yang
kompleks.

Tampaknya dampak filsafat Suhrawardi yang paling luas adalah


bidang epistemologi. Prinsip dasar iluminasionis adalah mengetahui
sesuatu berarti memperoleh pemahaman tentangnya, serupa
dengan intuisi primer terhadap determinan sesuatu. Pengetahuan
tentang sesuatu berdasarkan pengalaman dianalisis hanya setelah
pemahaman intuitif yang total dan langsung tentangnya. Adakah
sesuatu dalam pengalaman seorang subjek? Demikian barangkali
seseorang bertanya, yang menuntut agar apa yang diperolehnya itu
diungkapkan melalui bahasa simbolik yang dikonstruksi secara
khusus? Jawaban bagi pertanyaan ini harus diuji dari berbagai
sudut pandang, tetapi jelaslah, bahkan pada tahap ini,
bahwa bahasa iluminasi Suhrawardi dimaksudkan sebagai kosakata
khusus yang melalui bahasa itu pengalaman iluminasi mungkin
dapat dilukiskan. Jelas pula bahwa interpretasi terhadap simbolisme
iluminasi serta implikasinya, sebagaimana yang dikemukakan
secara terperinci oleh Suhrawardi dalam Al-Masyari’ wa Al-
Mutarahat adalah aspek-aspek terpenting dalam kontroversi
mengenai dasar filsafat iluminasi.

Filsafat iluminasi, seperti tergambarkan dalam karya-karya


Suhrawardi, terdiri atas tiga tahap yang menggarap persoalan
pengetahuan, yang diikuti oleh empat tahap yang memaparkan
pengalaman. Tahap pertama ditandai kegiatan persiapan pada diri
filsuf: ia harus meninggalkan dunia agar mudah
menerima pengalaman. Tahap kedua adalah tahap iluminasi
(pencerahan), ketika filsuf mencapai visi (melihat) Cahaya Ilahi (al-
nur al-ilahi). Tahap ketiga atau tahap konstruksi, yang ditandai
dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tidak terbatas,
yaitu pengetahuan iluminasionis (al-‘ilm al-isyraqi) itu sendiri.
Tahap keempat dan terakhir adalah pendokumentasian, atau
bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Jadi, tahap ketiga
dan keempat, seperti yang didokumentasikan dalam tulisan-tulisan
Suhrawardi, merupakan satu-satunya komponen filsafat iluminasi,
seperti yang dipraktikkan oleh Suhrawardi dan muridnya.

Awal tahap pertama ditandai dengan kegiatan seperti


melakukan uzlah selama empat puluh hari, tidak makan daging dan
mempersiapkan diri untuk menerima ilham dan wahyu. Aktivitas itu
tergolong kategori umum praktik-praktik asketik dan mistik,
meskipun tidak persis sama dengan maqam-maqam dan ahwal
yang ditentukan oleh tarekat sufi. Menurut Suhrawardi, sebagian
dari Cahaya Tuhanbersemayam dalam diri filsuf yang memiliki daya
intuitif. Jadi, dengan menjalani aktivitas-aktivitas dalam tahap
pertama, melalui ilham pribadi dan visi (musyahadah wa
mukasyafah), filsuf menerima realitas eksistensi dirinya dan
mengenai kebenaran intuisinya sendiri. Oleh karena itu, tahap
pertama terdiri atas (1) aktivitas, (2) suatu syarat (yang dipenuhi
oleh setiap orang, karena konon setiap orang mempunyai intuisi
dan dalam diri setiap orang terdapat bagian tertentu dari Cahaya
Tuhan), dan (3) ilham pribadi.

Tahap pertama membawa seseorang menuju tahap kedua dan


Cahaya Ilahi memasuki wujud manusia. Kemudian, cahaya ini
mengambil bentuk serangkaian cahaya apokaliptik (al-anwar al-
sanihah), dan melalui cahaya-cahaya itu diperoleh pengetahuan
yang berfungsi sebagai fondasi ilmu-ilmu sejati (al-‘ulum al-
haqiqiyyah).

Tahap ketiga adalah tahap mengonstruksi suatu ilmu yang benar


(‘ilm shahih). Dalam tahap ini, sang filsuf menggunakan analisis
diskursif. Pengalaman diuji coba dan cara pembuktian yang
digunakan adalah demonstrasi (burhan) Aristotelian dalam Posterior
Analytics. Kepastian yang sama diperoleh dengan bergerak dari
data data indriawi (pengamatan dan pembentukan konsep) ke
demonstrasi berdasarkan akal, yang merupakan basis pengetahuan
ilmiah diskursif, terjadi ketika data visioner tempat filsafat
iluminasi bersandar didemonstrasikan. Hal ini dipenuhi melalui
proses analisis dengan tujuan mendemonstrasikan pengalaman dan
mengonstruksikan suatu sistem yang meletakkan pengalaman pada
tempatnya, kemudian mengabsahkannya, bahkan setelah
pengalaman itu berakhir. 

Pengaruh teori pengetahuan iluminasionis, yang secara umum


dikenal dengan pengetahuan dengan kehadiran (al-‘ilm al-hudhuri),
tidak terbatas pada lingkaran-lingkaran filosofis dan lingkaran
spesialis lainnya, seperti logika iluminasionis, misalnya. Status
epistemologis yang diberikan pada pengetahuan intuitif telah
memengaruhi mistisisme spekulatif (‘irfan nazhari) di Persia dan
puisi Persia. Dengan melihat sepintas paradigma yang terkait
dengan jalan yang dipakai oleh penyair-filsuf-mistikus untuk
menangkap dan menggambarkan kebijaksanaan, hal ini akan
terbukti.

Paradigma itu melibatkan subjek (mawdhu’), kesadaran (idrak)


dalam diri subjek itu dan yang berkaitan dengannya, dan kreativitas
(khallaqiyyah). Transisi dari subjek (al-maudhii’) ke subjek yang
mengetahui-menciptakan (al-maudhu al-mudrik al-khallaq)
menandai transformasi manusia sebagai subjek alami ke manusia
sebagai subjek yang mengetahui dalam tahap pertama yang dalam
hal ini pengetahuan mentransendensikan pengetahuan yang
sederhana dimulailah perjalanan spiritual. Ini akhirnya membawa
pada kesatuan, ketika subjek yang mengetahui masuk ke alam
kekuasaan (jabarut) dan Ilahi (lamt), dan manusia memperoleh
realitas (haqiqah) sesuatu dan menjadi subjek yang mengetahui-
mencipta. Yang akhirnya tercipta adalah puisi.

Karakter paling menonjol dari puisi Persia yang diakui dan diterima
sebagai kesatuan adalah perspektif eksistensialnya dalam kaitannya
dengan hasil filsafat (khususnya filsafat non-Aristotelian, yang
dipersamakan dengan filsafat Timur Ibnu Sina, dan dengan filsafat
iluminasi  Suhrawardi). Dari sudut pandang ini, hasil akhir filsafat,
yaitu kebijaksanaan, dapat dikomunikasikan hanya melalui medium
puisi. Dengan demikian, kebijaksanaan puitis murni
menginformasikan kepada manusia—wali-filsuf; penyair-wali; dan,
puncaknya hanya penyair—setiap sisi respons terhadap lingkungan:
jasmaniah dan rohaniah, etis dan politis, religius dan duniawi.
Persepsi tentang realitas yang terjadi dan proses historis
dikonstruksi (seperti dalam Syi’r sakhtanPersia) dalam bentuk
metafisis—mungkin bentuk seni—yang secara sadar menggunakan
metafora, simbol, mitos, nyanyian, dan legenda dalam setiap
tahapan. Akibatnya, kebijaksanaan Persia lebih bersifat puitis
daripada filosofis, dan selalu lebih bersifat intuitif daripada diskursif.
Hal ini jelas merupakan warisan dan pengaruh filsafat iluminasi
yang lebih populer. Cara kebijaksanaan puitis Persia (atau
kebijaksanaan isyraqi puitis Persia) mengurai misteri-misteri alam
sekalipun misalnya, bukan dengan meneliti prinsip-prinsip fisika,
seperti yang dilakukan oleh para pengikut Aristoteles, melainkan
dengan memasuki dan menghayati alam metafisis dan mitos,
arketip, mimpi, fantasi, dan sentimen. Tipe pengetahuan ini
membentuk basis pandangan Suhrawardi tentang pengetahuan
iluminasionis dengan kehadiran. 

Dalam buku Hikmah Al-Isyraq Suhrawardi membahas cara


memperoleh landasan pengetahuan iluminasionis. Ia
mengatakan, Aku, mula-mula, tidak memperoleh (filsafat iluminasi)
melalui berpikir, tetapi melalui sesuatu yang lain, aku mencari
pembuktian lebih lanjut baginya. Maksudnya, prinsip-prinsip filsafat
iluminasi (serupa dengan visi yang pertama, dan dengan
pengetahuan tentang keseluruhan), diperoleh Suhrawardi bukan
melalui pemikiran dan spekulasi, melainkan melalui sesuatu yang
lain. Ini, seperti yang diceritakan Suhrawardi dan para
komentatornya, Syahrazuri (abad ke-7 H/ke-13 M), Quthb Ad-Din
Al-Syiraz (abad ke-8 H/ke-14 M), dan Harawi (abad ke-11/ke-17
M), merupakan modus eksperiensial khusus untuk mencari
pengetahuan yang dinamakan visi iluminasionis (al-musyahadah al-
isyraqiyyah). Epistemologi dari tipe visi ini digarap secara sangat
terperinci oleh Suhrawardi. Epistemologinya menjadi subjek
pembahasan semua komentator setelah masa Suhrawardi dan
dirumuskan serta dikaji kembali oleh salah seorang filsuf
iluminasionis Muslim abad ke-20 terkemuka, Sayyid Muhammad
Kazhim Ashshar, dalam studinya tentang prinsip dan argumen
ontologis Wahdah-i-Wujud wa Bada’.

Teori pengetahuan Suhrawardi yang telah direkonstruksi itu terdiri


atas pertimbangan intuitif (al-ahkam al-hads—yang menyerupai
gagasan Arsitotelian aghinoia) dan apa yang dinilainya sebagai
proses ganda visi-iluminasi (al-musyahadah wal al-isyraq), yang
juga berfungsi sebagai landasan bagi rekonstruksi ilmu yang kuat
dan sahih (al’ilm al-shahih). Aspek-aspek ini juga membentuk basis
metodologi ilmiah (al-thariq al-‘ulum) yang merupakan saripati
konsep Suhrawardi tentang pengetahuan dengan kehadiran.
Pengalaman visioner, yang mengantarkan pada pengetahuan yang
tidak diperoleh melalui proses berpikir (fikr), berlangsung dalam
alam khusus yang disebut mundus imaginalis (‘alam mitsal).
Pengalaman eksperiensial dalam alam imajiner (khayali)
menentukan apakah sesuatu itu, yang akhirnya hanya dapat
dikomunikasikan melalui bahasa yang tidak biasa, seperti bahasa
puitis atau modus-modus simbolik metabahasa lainnya. Jadi, puisi
yang mencakup metafisika metafor dan simbolik, secara teoretis
diberi status yang paling sejati.

Pengetahuan tentang diri sendiri merupakan unsur mendasar dari


teori pengetahuan iluminasionis. Pengetahuan sebagai persepsi
(idrak) jiwa adalah esensial dan berdiri sendiri karena seorang
individu sadar akan esensi itu sendiri. Kesadaran-diri dan
konsep Aku—diri-sebagai-diri, atau kediriannya—adalah dasar
pijakan pengetahuan. Yang akhirnya diperoleh melalui kesadaran
awal akan esensi diri seseorang adalah jalan pengetahuan, yang
disebut pengetahuan dengan kehadiran dan penglihatan (al-‘ilm al-
hudhuri al-syuhudi). Bagi Suhrawardi, ini merupakan tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang
diperoleh oleh para filsuf Peripatetik, yang bertumpu pada kesatuan
dengan Akal Aktif.

Suhrawardi menyinggung dalam sejumlah karyanya pertimbangan


intuisi (ahkam al-hads, hukm al-hads) yang digunakan sebagai
bentuk absah dari pengambilan kesimpulan. Dalam segala hal,
keabsahan pertimbangan intuisi tidak perlu dipertanyakan dan
diberi peringkat demonstrasi. Demikian pula, pertimbangan intuitif,
yang menjadikan demonstrasi tidak lagi diperlukan. Intuisi, dalam
pengertian yang digunakan oleh Suhrawardi, kemungkinan besar
merupakan pengembangluasan dari kesadaran kilat (agkhinoia)
Aristoteliasn, tetapi Suhrawardi memasukkan tipe khusus
penyimpulan ini ke dalam epistemologinya. Dengan menggunakan
terminologi teknis peripatetik yang telah dimodifikasi, ia
mengidentifikasi intuisi pertama-tama sebagai suatu aktivitas akal
habitual (‘aql bi al-malakah) dan kedua sebagai aktivitas akal
suci(al-‘aql al-quds). Akan tetapi, ia menganggap tindakan
terpenting dari intuisi sebagai kemampuan subjek dalam
menangkap secara cepat sebagian besar inteligibel (ma’qulat) tanpa
bantuan seorang guru. Dalam kasus semacam ini, intuisi
memahami terma tengah (al-haddal-ausath) suatu silogisme, yang
serupa dengan pemahaman (langsung) akan definisi esensialis—
jelasnya, esensi dari sesuatu itu.

Iluminasi dipancarkan oleh Cahaya dari segala cahaya ke tingkat


manusia melalui prinsip perantara tertentu, yaitu cahaya-cahaya
yang mengendalikan (al-anwar al-qahirah) dan cahaya-cahaya yang
mengatur (al-anwar al-mudabbirah). Di antara cahaya yang
mengatur, cahaya prinsipiil yang secara langsung memengaruhi
jiwa manusia adalah cahaya isfahbad.

Teori Suhrawardi tentang visi berlaku pada fisika dan metafisika.


Analisis teori dimulai dengan pembahasan tentang visi eksternal
(ibshar), yang disebut visi, atau melihat, melalui indra-indra
lahir (musyahadah bi al-hiss al-zhahir). Dalam fisika, Suhrawardi
menolak kejasmaniaan sinar-sinar (jismiyyah al-syu’ra) dan
pandangan yang menganggap sinar sebagai warna-warna (launiyyat
al-syu’a). Ia menolak teori visi lahir yang berpendapat bahwa visi
(ibshar) berlangsung karena sinar-sinar meninggalkan mata dan
menemui (yulaqi) objek-objek penglihatan. Suhrawardi juga tidak
menerima pandangan bahwa tindakan melihat (ru’ya) berlangsung
ketika bentuk sesuatu (shurah al-syai’) tercetak pada cairan
bening (al-rutthubah al-jalidiyyah).

Bagi Suhrawardi, fakta bahwa visi tidak memiliki keluasan temporal


dan tidak perlu ada hubungan material (rabithah) antara yang
melihat dan yang dilihat, yang berarti bahwa penglihatan atau visi
telah ada sebelum pemikiran dan lebih unggul atasnya. Hal ini
dikarenakan pemerian sifat-sifat esensial, genus, dan diferensia
memerlukan waktu. Konstruksi silogisme dialektis dan induktif juga
membutuhkan waktu. Akan tetapi, visi berlangsung dalam sesaat
nirwaktu (an), dan ini adalah momen iluminasi.

Teori tentang visi, sebagaimana yang dikembangkan oleh


Suhrawardi dan digambarkan dalam metafisika filsafat iluminasi,
adalah penerapan dari teori umum tentang pengetahuan.
Suhrawardi menyatakan kembali kesimpulan-kesimpulan yang
dicapai dalam teori fisikanya: teorema (tentang visi) Anda kini telah
mengetahui bahwa penglihatan bukanlah tercetaknya bentuk objek
pada mata, dan bukan sesuatu yang keluar dari mata. Oleh karena
itu, penglihatan hanya dapat berlangsung ketika objek cemerlang
(al-mustanir) bertemu dengan (muqabalah) mata yang sehat”.
BACA JUGA

 Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi dalam Karya-


Karyanya
 Hasan Hanafi. Islam sebagai Sebuah Aksi yang Menyatu
bagi Kelangsungan Hidup Manusia
 Leila Ahmed. Pemikiran Gender dalam Karya-Karyanya
Dengan demikian, visi lahir berlangsung sesuai dengan teori umum
Suhrawardi tentang pengetahuan, yaitu bahwa subjek (mata yang
jernih) dan objek (sesuatu yang cemerlang) hadir dan sama-sama
membutuhkan tindakan visi. Agar tindakan visi itu terwujud, syarat
berikut harus dipenuhi: (1) kehadiran cahaya disebabkan oleh
pemancaran Cahaya dari segala cahaya; (2) ketiadaan penghalang
atau tabir (hijab) antara subjek dan objek; (3) iluminasi pada
subjek dan objek. Mekanisme yang memungkinkan subjek
teriluminasi adalah hal yang rumit dan pelik, serta melibatkan
aktivitas tertentu fakultas imajinasi. Ketika suatu objek dilihat, ia
bertindak dalam dua cara, yaitu dengan tindakan visi dan tindakan
iluminasi. Dengan demikian, visi-iluminasi diaktualisasikan ketika
tidak ada rintangan yang menghalangi subjek objek.

Ringkasnya, landasan filsafat iluminasi adalah bahwa hukum-hukum


yang mengatur penglihatan dan visi didasarkan pada kaidah yang
sama, yang terdiri atas eksistensi cahaya, tindakan visi, dan
tindakan iluminasi. Jadi, dalam filsafat iluminasi Suhrawardi,
cahaya, iluminasi, penglihatan, visi, tindakan-tindakan kreatif dan
dengan keluasan semua hal—dapat dijelaskan melalui eksistensi
cahaya yang dipancarkan oleh Cahaya dari segala cahaya.

Tujuan akhir iluminasi, menurut Suhrawardi, adalah menempatkan


manusia dalam jajaran alam malaikat (uqul), yang diliputi oleh
hakikat dan makrifat tentang Allah, menguasai ilmu Allah, dan
dapat meraihnya yang sebelum kemunculannya ke alam ini, seperti
halnya teori filsafat idealisme (al-mutsul) Plato. Lebih lanjut,
Suhrawardi menegaskan, Semua orang sepakat bahwa cara untuk
meraih akhirat harus mengetahui Yang Maha Tunggal (Al-Haqq),
malaikat, jiwa-jiwa suci, dan tempat kembali untuk orang-orang
bahagia. Oleh sebab itu, melakukan latihan spiritual (riyadhah) dan
mengonsentrasikan diri untuk meraihnya. Anda pasti dapat
menggapai apa yang telah dicapai oleh mereka.

Secara umum, epistemologi yang dikembangkan oleh Suhrawardi


sama dengan epistemologi yang dikemukakan oleh Ibnu Sinadan Al-
Farabi sebelumnya. Dasar utama epistemologi adalah hubungan
langsung dengan akal aktual (al-aql al-fa’al). Suhrawardi
menganggap bahwa hubungan langsung dengan akal aktual
merupakan landasan utama bagi setiap orang mempersiapkan
jiwanya secara khusus untuk menerima limpahan makrifat dari akal
aktual. Peristiwa itu sebagaimana terjadi pada para wali,
berlangsung melalui metode mujahadah dan riyadhah.

Sekalipun demikian, jika pada satu sisi Suhrawardi identik dengan


pikiran Ibnu Sina, pada pihak lain berbeda, pada dasarnya mereka
memiliki tujuan yang sama dan utama. Dalam analisis Abu Al-‘Ala
Afifi, tujuan utama kedua filsuf tersebut—Ibnu Sina dan Suhrawardi
—adalah sama, yaitu menentang para penganut filsafat peripatetik
dan memasukkan unsur-unsur baru dalam filsafat Aristoteles yang
bercampur dengan Neoplatonisme. Hanya, mereka berbeda
pandangan dalam unsur-unsur baru yang hendak dimasukkan ke
dalam filsafat Aristoteles. Ibnu Sina memasukkan unsur-unsur
gnoslisisme dan hermetisme, sedangkan Suhrawardi memasukkan
unsur-unsur filsafat Iran kuno yang menduduki tempat istimewa
dalam mazhab pemikiran filsafatnya. Suhrawardi menyebut unsur-
unsur filsafat Iran kuno ini dengan istilah al-khuthab al-sabil al-
quds, dan Al-ulum asy-syarif. Selain itu, ia juga memberikan istilah
lain. Dengan demikian, antara Suhrawardi dengan Ibnu
Sinaterdapat upaya saling memengaruhi atau, dalam istilah logika,
ada perpaduan antara yang umum dan yang khusus. Ibnu Sina dan
Suhrawardi sama-sama menganut filsafat iluminasi yang
menerjemahkan filsafat Aristoteles dan memadukan dengan filsafat
Neoplatonisme, sebagaimana dipahami oleh kaum peripatetik.
Sementara itu, filsafat Suhrawardi dianggap unik sebab filsafat
iluminasinya meminjam teori dari filsafat Iran kuno. Sementara itu,
pada sisi lain, mereka mengatakan bahwa filsafat iluminasi adalah
pemikiran filsafat Plato, Hermes, Agademon, dan Asqalius,
bahkan Empedocles. Terlepas dari berbagai pengaruh yang ada
terhadap teori iluminasi Suhrawardi, harus diakui bahwa ia mampu
menampilkan pola dan corak lain dalam filsafat isyraq. Bahkan,
diikuti dengan penerus isyraqiyah di Persia, India, dan Pakistan
sampai Mulla Shadra. Secara sistematis, dapat diringkas pemikiran
filsafat As-Suhrawardi Al-Maqtul bahwa hikmah isyraqnya
didasarkan pada rasa, sebagaimana dikataka, Apa yang
kukemukakan (dalam hikmah al-isyraq) tidak kuperoleh melalui
pemikiran, tetapi kuperoleh melalui sumber lain. Dan aku pun
segera mencari argumentasinya.

Adapun mengenai wujud, As-Suhrawardi menyusun sebuah teori,


yang ia kemukakan secara simbolis, berdasarkan teori emanasi.
Menurutnya, ada beberapa alam yang melimpah dari Allah; atau
cahaya dari segala cahaya, yang mirip matahari, yang sama sekali
tidak kehilangan cahayanya sekalipun ia bersinar terus-menerus.
Al-Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan searti
dengan al-kasyf. Akan tetapi, jika dilihat pada inti ajaran ini, al-
isyraq lebih tepat diartikan penyinaran atau iluminasi. Pemikiran ini
merupakan gabungan dari tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran
yang ia wariskan melalui karya tulisnya Hikmatul Isyraq.
Dengan konsep tersebut, As-Suhrawardi memberikan kesimpulan
bahwa dengan ide inilah memancar wujud-wujud materi yang
beragam sebagaimana terlihat pada alam semesta ini. Alam ini
merupakan bayang-bayang dari pancaran dari seluruh Nur Al-
Anwar sehingga menurut paham Isyraqyyahnya, alam ini terdiri
atas aspek alam makna, yang terdiri atas alam uluhiyat, dan aspek
akal budi.

Hikmah al-isyraq memperkenalkan satu hal bahwa untuk


memperoleh kebenaran yang beremanasi dari pencahayaan-Nya,
kita harus menjadi cahaya bagi diri kita sendiri. Caranya, kita harus
mengenal bahwa secara esensial, kita diciptakan sebagai makhluk
yang dianugerahi akal dan hati, rasionalitas dan spiritualitas, untuk
mencapai kodrat kemanusiaan dan keilahian dalam diri kita. Dirikita
adalah cahaya atau cerminan dari cahaya-Nya, akhirnya tidak perlu
diragukan lagi. Dengan diri yang bercahaya ini, kita dapat memeluk
kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah bagi
dunia, dan memancarkan pesona yang tidak habis-habisnya dan
memberikan kedamaian di muka bumi. Cahaya yang menghadirkan
kedamaian dan kenyamanan dalam satu cahaya yang abadi.

Anda mungkin juga menyukai