Anda di halaman 1dari 13

Membincang Konsep Ada dalam Pandangan Suhrawardi dan Martin

Heidegger

Agus Mughni Muttaqin


&
Husein Yusuf
Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta

Abstrak
Pembahasan “Ada”, dalam kacamata filsafat, selalu menjadi perbincangan yang
menarik. Hal ini, cukup beralasan, sebab Ada, merupakan salah satu term pembahasan
yang cukup fundamental dalam filsafat. Adalah filsafat kaum Peripatetik yang mencoba
membahas dan menjangkau Ada.
Dalam kacamata Heidegger dan Suhrawardi, tokoh-tokoh filsuf pra-mereka
(khususnya kaum Paripatetik)—dalam membahas Ada—mereka dipandang belum
menyentuh pada Ada, melainkan hanya menyentuh pada Adaan-nya saja. Hal tersebut,
dikarenakan mereka tidak mampu membedakan antara “Ada” dengan “adaan”
(Entitas).
Tulisan ini hendak menyoroti dan menulusuri pelik-pelik perjumpaan pemikiran
filosofis antara Suhrawardi dengan Heidegger. Selain dari itu, dalam tulisan ini juga
hendak mengemukakan ketersalingkaitan dan tegangan-tegangan gagasan metafisis—
khususnya dalam membahas tentang Ada—keduanya. Melalui telaah komperatif ini,
diharapkan dapat merekonsiliasi sejarah pemikiran filsafat Islam yang masih terkesan
terbiaskan dalam kancah per-filsafat-an. Meskipun, usaha ini akan tampak problematis,
dikarenakan kedua tokoh tersebut selain beda zaman dan konteks, keduanya juga dari
aliran yang berbeda. Suhrawardi aliran Iluminasi sedangkan Heidegger tergolong aliran
Eksistensialis—yang pada dasarnya, secara sekilas, terkesan kontradiksi.
Pendahuluan
Pembahasan “Ada”, dalam kacamata filsafat, selalu menjadi perbincangan yang
menarik. Hal ini, cukup beralasan, sebab Ada, merupakan salah satu term pembahasan yang
cukup fundamental (dasar dari seluruh realitas) dalam filsafat.1 Meskipun, kebanyakan dari
mereka meyakini bahwasannya Ada tidak memerlukan definisi—karena sudah jelas dengan
sendirirnya. Namun, yang menjadi perbincangan paling fundamental di antara mereka ialah
realitas Ada itu sendiri—ada sebagaimana adanya. Untuk mencapai realitas tersebut, para filsuf
telah mengembangkan berbagai epistimologi. Baik itu dikalangan filsafat Islam , ataupun di
kalangan filsafat Barat.
Dalam kahazanah filsafat Islam awal-awal, khsusnya filsafat kaum Peripatetik,
mengandalkan dan meyakini terhadap epistimologi husuli untuk mencapai realitas tersebut.
Mereka yakin bahwa dengan epistimologinya, ia dapat menjangkau Ada sebagai mana adanya.
Namun, dalam pengamatan Filsuf setelahnya, Iluminasi—yang dicetuskan oleh Suhrawardi—
justru kaum Peripatetik dipandang telah mengaburkan Ada itu sendiri. Dalam kacamatanya,
kaum Peripatetik—dengan menggunakan epistimologi husuli—belum menggapai bahkan
belum menyentuh Ada itu sendiri. Melainkan baru menyentuh entitasnya saja. Alasan dasarnya
karena kaum Peripatetik belum berhasil membedakan antara “ada” dengan “adaan” (entitas).
Permasalahan yang sama ditemui juga di dunia filsafat Barat, Ada telah dikaburkan
menjadi entitas. Paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang masih tertahan dalam refleksi
kajian metafisika mereka, yaitu; 1) Dunia merupakan totalitas objek present –at-hand di luar
subjek bagi suatu deskripsi berjarak total-menyeluruh, b) Subjek, dalam hal ini manusia,
mampu mencapai posisi sudut pandang Tuhan dimana ia mampu mentransendensi konteks
keberadaannya demi sebuah pemahaman total; c) Prioritas pengetahuan teoritis, kontemplatif
atas pengetahuan praktis. Sehingga, Heidegger berinisiatif untuk mempurifikasi atau
pemurnian Ada, dengan menggunakan fenomenologi-ontologis.2
Dengan adanya problem tersebut, Heidegger dan Suhrawardi datang untuk merevisi
dan menawarkan solusinya, dengan epistiomologi masing-masing. Sehingga, dapat dikatakan
Heidegger dan Suhrawardi, memiliki visi yang sama, yakni untuk mendestruksi kelupaan dan
pengkaburan Ada dari tokoh-tokoh filsuf pra-mereka (khususnya kaum Peripatetik).

1
Dorothea Frede, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion
to Heidegger, Cambridge, Cambridge University Press, 1993, hal 43.
2
Donny Gahral Adian, Senjakala Metafisika Barat: dari Hume Hingga Heidegger, (Jakarta:
Koekoesan, 2012), hal. 68.
Menurut kedua filsuf tersebut, Ada dapat digapai oleh yang menyadari akan realitas ada
itu seandiri—dalam subjeknya—yakni keakuan performatif (kesadaran diri). Namun ada
perbedaan yang mendasar diantara kesadaran diri yang dimaksud oleh kedua filsuf tersebut.
Heidegger menganggap kesadaran diri dikategorikan sebagai bagian level kesadaran ontis—
Dasein tercelup dalam “Sein-nya. Sedangakan bagi Suhrawardi, kesadaran diri (ananiyyah)
dikategorikan sebagai bagian level kesadaran ontologis.3
Meskipun dari penjelasan di atas terdapat persamaan masalah yang ingin diatasi oleh
kedua filsuf tersebut, tidak dapat dinafikan berhubungan dari segi zaman dan konteks kedua
tokoh filsafat itu berbeda, maka akan terdapat perbedaan antara kedua pemikiran mereka.
Apakah Ada yang dimaksud oleh Heidegger dan Suhrawardi itu sama? Dimana letak perbedaan
dan persamaan antara Heidegger dan Suhrawardi?
Dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk mencari adanya probabilitas (kemungkinan)
eksistensi solusi yang sama bagi problematika-problematika yang terjadi di dalam dua
peradaban yang berbeda. Memang, upaya tersebut terkesan mustahil dan problematis,
dikarenakan kedua tokoh tersebut selain beda zaman dan konteks, keduanya juga dari aliran
yang berbeda. Suhrawardi aliran Iluminasi sedangkan Heidegger tergolong aliran
Eksistensialis—yang pada dasarnya, secara sekilas, terkesan kontradiksi. Namun, seperti yang
telah disinggung oleh Hasan Hanafi, meskipun dalam mengkomparasikan dua tokoh dari segi
peradaban berbeda, tetap masih dapat menelisiki realitas-realitas filosofis universal yang
memungkinkan pemikir-pemikir dari peradaban yang berbeda berafiliasi kepadanya dan
sepakat dengannya, bukan dengan komposisi yang khas atau sebagai graduasi arah persepsi
secara khusus yang dipertautkan dengan masa tertentu.4
Sehingga, tulisan ini hendak menyoroti dan menulusuri pelik-pelik perjumpaan
pemikiran filosofis antara Suhrawardi dengan Heidegger. Selain dari itu, dalam tulisan ini juga
hendak mengemukakan ketersalingkaitan dan tegangan-tegangan gagasan metafisis—
khususnya dalam membahas tentang Ada—keduanya. Lebih jauhnya lagi, penulis berusaha
untuk menemukan sumber pemikiran yang mempengaruhi mereka, sehingga mempertemukan
pemikiran kedua tokoh tersebut. Melalui telaah komperatif ini, diharapkan dapat
merekonsiliasi sejarah pemikiran filsafat Islam yang masih terkesan terbiaskan dalam kancah
per-filsafat-an—padahal, dalam membahas term Ada, secara ready to hand, seperti yang

3
4
Hasan hanafi, Islamogi 2, terj. Oleh Miftah Faqih, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. 245-246.
disinggung oleh Heidegger, dalam ontologis sudah dahulu dibahas oleh Suhrawardi dengan
istilah Huduri.

Selayang Pandang tentang Kedua Tokoh


1. Suhrawardi
Al-Maqtul ialah panggilan yang biasa dinisbahkan kepada Suhrawardi karena
terkait dengan proses meninggalnya secara eksekusi. Selain panggilan tersebut
menandakan bahwa kisah kehidupannya berakhir dengan tragis (dibunuh), panggilan
tersebut juga untuk membedakannya dengan dua tokoh Sufi yang memiliki nama yang
sama dengannya.5 Nama lengkapnya adalah Syibab al-Din Abu al Futuh Yahya ibn
Habasy ibn Amirak Al-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/1153 M di
Suhrawad (sebuah desa di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan—saat ini masuk
wilayah Aleppo, Suriah. Selain dari gelar al-Maqtul, Suhrawardi memiliki sejumlah
gelar, di antaranya; syeikh Al-Isyraq (Bapak Pencerahan), Al-Hakim (Sang Bijak), itu
karena keberlianan dan sumbangan filsafatanya yang monumental.6
Adapun jika ditinjau dari segi pendidikannya, Suhrawardi menerima pendidikan
awalnya dari Majduddin al-Jili, yang juga guru dari Fakhruddin Al-Razi di Maraghah,
kota yang menjadi terkenal ke seluruh dunia beberapa tahun berikutnya ketika Hulagu,
penakluk dari Mongol, membangun observatorium terkenal di dekatnya dan
mengumpulkan para astronom terkemuka saat itu di bawah pimpinann Nashir al-Din
al-Thusi di kota tersebut. Saat ini wilayah Maraghah berada di kawasan Azerbaijan. Di
tempat inilah ia belajar hukum dan teologi. Setelah itu, ia belajar filsafat dengan
Fakhruddin Al Mardini.7
Setelah itu, Al-Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui
guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Menurut Husein Nasr, Al-Suhrawardi
memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat untuk
mempelajari dan memikirkannya. Perjalanannya semakin melebar sehingga mencapai
Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus ia pergi ke Aleppo untuk berguru pada Syaffir
Iftikhar al-Din, dan di kota ini Al-Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para faqih

5
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 247.
6
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hal. 143.
7
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli “Three
Muslim Sages : Avicenna-Suhrawardi-Ibn 'Arabi”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hal. 103-104.
menjadi iri dan mengecamnya. Sehingga dari keirian dan kecaman tersebut, Suhrawardi
terbunuh.8
a. Sekilas tentang Pemikiran Suhrawardi
Al-Maqtul termasuk seorang filosof (filsuf) sekaligus teosofi9 yang cukup
terkenal. Ia hidup ketika filsafat dalam dunia Islam sedang berada pada posisi tidak
menentu akibat serangan dari berbagai kelompok ortodoks. Dalam situasi demikian,
ia tampil dengan filsafat cahaya (isyraqiyah) sebagai wahana pencerahan untuk
mengharmonisasikan pertentangan-pertentangan—yang paling kentara ialah
pertentangan antara mistisisme dengan rasioalisme. Sehingga ia berupaya
mengintegrasikan kedua epistimologi aliran tersebut—antara mistis dengan
rasional.10 Hasilnya, ia menawarkan epistimologi Huduri—yang tidak adanya
keterterpisahan antara subjek dan objek, ia juga hadir secara langsung tanpa ada
perantara—untuk meninjau Ada sebagaimana adanya.
Al-Maqtul berhasil memaparkan ajaran filsafatnya dengan apik dan unik.
Hal tersebut dikarenakan ia mampu mengintegrasikan berbagai tradisi serta sumber
keilmuan. Dari tradisi Arab-Persia atau Islam, ia menentukan akar pemikirannya
dalam tradisi hikmah Nabi Syis dan Nabi Idris a.s sampai Zunnun Al- Misri, Abu
Sahl At-Tustari atau Mansur Al-Hallaj. Dari Yunani kuno ia menggali pemikiran
tradisional Ordo Hermetiah (Hermetitisme) sampai Phytagoras dan Plato. Adapun
sumber-sumber keilmuan klasik yang menjadi stimulus pemikirannya meliputi
kearifan Persia kuno, Yunani kuno pro Aristoteles, dan Arab Persia. Dari Persia
kuno ia menggali pemikiran Gayamars, Faridun, Kay Khusraw. Selain dari itu,
tidak dapat di elakan bahwa karya filsafatnya dapat terkategorikan sebagai corak
sastra. Hal tersebut, merupakan ciri khas Timur, sebagaimana tampak dalam uraian
ahli filsafat, seperti konfusius, lao Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato khususnya juga
memaparkan ajaran filsafatnya dalam bentuk dialog. Namun, pemikiran Al-
Suhrawardi lebih menarik lagi karena bersumber dari berbagai tradisi serta
keilmuan yang beragam, seperti yang telah disinggung sebelumnya.11

8
Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128, Lihat juga; Haidar
Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, hal. 128-129.
9
Istilah teosof berasal dari bahasa Yunani Theos artinya Allah, dan Sophia artinya kebijaksanaan.
Teosof adalah orang yang berusaha mencari dan mengolah kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia
dengan tujuan mencapai suatu visi tertentu tentang Allah [Lorens Bagus, Teosofi, dalam Kamus Filsafat, hal.
1101
10
Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, hal. 128,
11
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009 Cet. 1) hal. 180.
b. Epistimologi Filsafat Iluminasi Suhrawardi
Jika ditinjau dari segi epistimologi—meskipun term ini datang belakangan,
sesuadah Suhrawardi—posisi cahaya sebagai sumber pengetahuan. Ia juga bisa
sebagai kesadaran diri.
Adapun sumber sandaran (dasar) term cahaya Suhrawardi terinspirasi dari
Qs. An-Nur ayat 35, bahwa Tuhan merupakan cahaya yang meliputi langit dan
bumi. Berangkat dari ayat tersebut, membentuk hirarki tertentu. Selain dari itu, tidak
dapat dinafikan bahwasannya salah satu pemikir yang mempengaruhi term atau
sistem cahaya Suhrawardi ialah al-Ghazali—dari salah satu karayanya yakni
Misykat al-Anwar yang menjelaskan tentang adanya relasi antara cahaya dengan
iman. Baginya, cahaya adalah simbol keindahan spiritual yang tak terperi. Dengan
,emyaksikannya, seseorang akan membumbung tinggi menaiki derajat-derajat
ketinggian Ilahiah. Sayangnya, term cahaya al-Gahazali masih belum tereksplor
lebih jauh. Di tangannya, cahaya masih menjadi metafor dari sebuah spekulasi
filsafat, dan bukan sebagai jantung filsafat itu sendiri.
Dalam epistimologi iluminasi, cahaya juga berperan penting dalam proses
keberlangsungan proses intuisi dan iluminasi visi. Seperti, cahaya jelas (an-nur)
yang diperlukan untuk pelihatan, atau cahaya abstrak yang diperlukan untuk visi.
Subjek dan objek dapat mengetahui atau diketahui secara hadir, jika terdapatnya
cahaya.
c. Konsep Ada menurut Suhrawardi
Dalam filsafat iluminasi, segala bentuk pembahasannya, baik dari segi
epistimologi taupun ontologi, seluruhnya menggunakan term “cahaya”. Begitu juga
dalam membahas “Ada” ia menggunakan dengan term “Cahaya”. Sehingga, dalam
pembahsan “Ada” di sini akan lebih dominan dengan term cahaya.12
Cahaya adalah sebagai pancaran al-Haq. Pada hakikatnya, seluruh bangunan
filsafat Suhrawardi ditekankan pada sifat dan penyebaran “cahaya”. Cahaya sebagai
realitas yang meliputi segala sesuatu. Cahaya menembus setiap entitas, baik yang
fisik ataupun non-fisik, sebagai komponen yang esensial dari cahaya. Tidak ada
yang lebih sentral dan tidak ada yang lebih urgen ketimbang cahaya. Sebab, cahaya
bersifat tidak materi dan tidak dapat didefinisiskan—karena tidak ada yang lebih
jelas ketimbang cahaya, cahaya terang dengan sendirinya dan dapat menerangkan

12
Hossein Ziai, Sang Pencerah Pengetahuan dari Timur: Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, terjem.
Afif Muhammad dan Munir A. Muin, cet 1, (Jakarta: Sadra Press, 2012), hal 239-242.
yang lainnya.13 Dengan hal tersebut, maka Cahaya dalam pandangan Suhrawardi
tidak disamakan dengan Entintas—justru ia yang menembus entitas.
Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri. Dalam artian, dapat dipahami
secara praktis. Ia ada, karena ketiadaannya merupakan kegelapan. Semua realitas
terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Segala sesuatu berasal dari
cahaya yang berasal dari Cahaya segala Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya
semua menjadi kegelapan yang diidentifikasikan non-eksistensi (‘adam).
Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya” disamakan dengan “Tuhan”.
Cahaya, dalam filsafat Iluminasi, berposisi sebagai landasan ontologinya.
Dalam hal ini, secara garis besar Suhrawardi membagi cahaya menjadi dua. Yakni
ada cahaya dalam dirinya dan cahaya tidak dalam dirinya. Adapun cahaya dalam
dirinya yang disebut Suhrawardi dengan nur fi haqiqah nafsihi terbagi menjadi dua;
1) Cahaya aksidental (an-nur al-‘aridh) yakni cahaya yang merupakan “bentuk”
atau “keadaan” sesuatu yang lain dan Suhrawardi mengategorikan cahaya matahari
dan api dengan cahaya seperti ini; 2) Cahaya yang menghidupi dirinya, yang disebut
oleh Suhrawardi dengan an-nur al-mahdh (cahaya murni), seperti Cahaya Segala
Cahaya dan semua cahaya abstrak lainnya serta segala sesuatu yang sadar diri.
Sedangkan cahaya yang bukan dalam dirinya dibagi menjadi tiga jenis; 1) Substansi
gelap yang dalam terminnologi Suhrawardi disebut dengan jauhar al-ghasiq. Dan
ini merupakan sesuatu yang tidak memerlukan tempat; 2) Bentuk gelap yang dalam
istilah Suhrawardi hal ini disebut dengan hai’ah azh-zhulmaniyyah, ia merupakan
keadaan atau bentuk bagi sesuatu yang lain; 3) Perantara (barzakh) yakni badan.
Dan badan terdidir dari tiga bentuk; 1) Badan yang ketika cahaya menghilang
darinya ia berada dalam keadaan gelap; 2) Badan yang tetap gelap, tetapi memenuhi
diri ketika cahaya menhilang darinya; 3) Badan yang tidak pernah terpisah dari
cahaya.14
2. Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal
26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Persentuhannya
dengan filsafat diseriuskan di Universitas Freiburg di bawah bimbingan Edmund
Husserl (penggagas fenomenologi)—dan kemudian ia menjadi profesor di sana 1928.
Pemikiran filsafatnya mempengaruhi banyak filsuf lainnya, terutama pada murid-

13
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hal. 146-148.
14
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hal. 148-150.
muridnya; Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo
Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre,
Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga
mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam. Selain bersentuhan dengan
fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai andil besar terhadap eksistensialisme,
dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat
Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-
pertanyaan ontologis. Dalam artian, ia menitik beratkan pada pertanyaan-pertanyaan
yang menyangkut dengan makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk
berada.
Sebenarnya, sejak ia masih berusia 18 tahun, Heidegger sudah bersentuhan
dengan persoalan “Ada”. Persentuhannya dengan persoalan “Ada” dimulai dari sebuah
buku disertasi yang berjudul On the Manifold Sense of Being according to Aristotle
(1862) karya Franz Brentano, pemberian dari Dr. Conrad Grober, tepatnya pada musim
panas 1907. Sehingga, pantas jika fokus utama filsafat Heidegger adalah pencarian akan
“Ada”.15
a. Sekilas tentang Pemikiran Heidegger
Biasanya, setiap pemikir besar selalu memiliki sebuah ide dasar yang
sifatnya revolusioner. Ide dasar itu biasanya merupakan jawaban atas suatu
pertanyaan yang juga tak kalah revolusioner. Pertanyaan itulah yang nantinya
membimbing seluruh refleksi filosofis filsuf besar tersebut. Hal ini kiranya berlaku
di dalam filsafat Heidegger. Menurut hasil penelitian Frede, pertanyaan yang
mengganjal di seluruh filsafat Heidegger sebenarnya adalah, “apa maksud
sesungguhnya dari konsep Ada?” Di dalam filsafat, pertanyaan ini berada di ranah
ontologi, yakni penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh
realitas. Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada
ontologi. Makanya, ia lebih akrab dikategorokan dengan Eksistensialisme.16
Eksistensialisme menekankan kesadaran “ada” (being), dan eksistensi. Nilai
kehidupan Nampak melalui pengakuan terhadap individual, yakni “I” (aku) dan
bukan “It”. Eksistensialis percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari
subjek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita sendiri.

15
Richardson, William J, Heidegger Through Philosophy to Thought, (Netherlands: Martinus Nijhoff,
The Hague (1963)) hlm. 3
16
Dorothea Frede, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion
to Heidegger, Cambridge, Cambridge University Press, 1993, hal 43.
Kebenaran tak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu, eksistensialis
menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan
suasana hati.17
b. Epistimologi Filsafat Heidegger
Seluruh rangkaian pemikiran filosofis Heidegger merupakan usaha untuk
menggali jawaban atas pertanyaan yang sudah dilontarkan sejak masa Yunani Kuno
yakni: Apa itu Ada? Pencarian jawaban atas pertanyaan ini dilakukan dengan
analisa filosofis yakni, konsep ontologi. Menurutnya, tugas dari ontologi adalah
memberikan penjelasan mengenai Ada itu sendiri dan menjadikan Ada dari
berbagai entitas muncul keluar dalam keseluruhannya.18
Pemikiran Heidegger mengenai “Ada” sangat dipengaruhi oleh pendekatan
fenomenologi yang ditawarkan pertama kali oleh Husserl. Itu sebabnya kita tidak
bisa melepaskan persoalan ontologis (pencarian akan Ada) dengan metode
fenomenologi. Metode fenomenologi dipakai Heidegger dalam kerangka pikir
ontologi. Dengan kata lain, fenomenologi dipakai sebagai suatu pendekatan yang
memungkinkan kita mendekati Ada. Inilah yang kiranya membedakan antara
fenomenologi Heidegger dengan Husserl. Fokus pemikiran fenomenologi Husserl
adalah terkait persoalan kesadaran ( persoalan epistemologi) sementara pada
Heidegger, fenomenologi dipakai dalam rangka mendekati Ada (persoalan
ontologi).
Konsep ontologi yang dipakai Heidegger mempunyai ciri khas yakni,
menggunakan metode fenomenologi. Fenomenologi yang dimaksud tidak merujuk
pada objek penelitian melainkan pada bagaimana penelitian itu dijalankan.19
Pertanyaannya kini, bagaimana implementasi fenomenologi dalam
pencarian akan Ada? Sudah dikatakan pada bagian awal bahwa Heidegger
menggunakan metode fenomenologi untuk mendekati Ada. Itu berarti Ada didekati
sebagai sebuah fenomena. Fenomenologi menurut Heidegger adalah gabungan kata
phainomenon dan logos. Phainomenon (φαινόμενον) diambil dari kata kerja
φαίνεσθαι bermakna ”menampakkan dirinya“, manifestasi. Manifestasi di sini
berarti dapat terlihat/dapat tampak dalam dirinya sendiri, sehingga pengertian
phenomenon secara lengkap adalah ”yang menampakkan diri pada dirinya sendiri

17
18
Heidegger, Martin, Being and Time, (Oxford:Basil Blackwell (1973)) hal. 49
19
Heidegger, Being and Time, hal. 50
(that which shows itself in itself)20. Sementara logos (λόγος) memiliki pengertian
”apa yang ”sedang dibicarakan“ dalam wacana seseorang dari penampakkan
tersebut“21. Dalam wacana logos mengambil pengertian sebagai ”membiarkan
sesuatu tampak“. Ketika sebuah wacana dimunculkan, wacana itu sendiri
menampakkan apa yang sedang dibicarakan. Dengan demikian, pengertian
fenomenologi adalah ”membiarkan yang menampakkan dirinya tertampak dari
dirinya dengan cara menampakkan dirinya dari dirinya sendiri“22
Dengan demikian, penyelidikan mengenai Ada dengan metode
fenomenologi adalah membiarkan Ada “menampakkan diri pada dirinya sendiri”.
Penampakkan merupakan hal yang masih bisa dibagi dalam pandangan Heidegger.
Ia menunjukkan bahwa pada dasarnya ada dua jenis penampakkan, yakni Scheinen
dan Erscheinung. Scheinen menunjuk kepada “kemiripan”. Sesuatu bisa
menampakkan diri seolah-olah mirip sesuatu. Misalnya, kita melihat seorang
pemain iklan jamu yang memakai baju motif kotak-kotak dengan wajah yang mirip
Jokowi, calon presiden Indonesia. Pada awalnya, kita bisa mengira pemain iklan
tersebut adalah jokowi sendiri. Namun, setelah dilihat kembali ternyata orang itu
hanyalah sosok yang kebetulan mirip dengan jokowi. “Kemiripan” inilah yang
disebut Scheinen. Sementara Ercheinung merupakan “penampilan”. “Penampilan”
dipahami sebagai sesuatu yang menampakkan diri sedemikian rupa sehingga
muncul sebagai sesuatu yang lain, sementara diri sejatinya tetap tersembunyi di
balik penampilannya.23 Jenis kedua (Ercheinung) inilah yang dipahami sebagai
penampakkan Ada; dimana Ada tidak menampakkan diri seluruhnya, karena dalam
penampakannya Ada sekaligus menyembunyikan diri. Ada yang menyembunyikan
diri hanya bisa didekati dengan membiarkan ia menampakkan dirinya pada dirinya
sendiri. Membiarkan Ada menampakkan dirinya sendiri memuat pengertian bahwa
kita tidak memaksakan berbagai penafsiran melainkan membuka diri, membiarkan
Ada terlihat (Sehenlassen).24

20
Heidegger, Being and Time, hlm. 51
21
Susanto, Trisno A “Historisitas Pemahaman” Majalah Filsafat Driyarkara Vol.2 Thn. XXV (2001)
hlm.24
22
Heidegger, Being and Time, hlm. 58 “to let that which shows itself be seen from itself in the very way
in which it show itself from itself”
23
Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: KPG, 2016), hal. 27
24
Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, hal. 26
c. Konsep Ada menurut Heidegger
Ada adalah dasar dari segala sesuatu menjadi ada. Tanpa ada, maka sesuatu
itu tak dapat dikenal, dipikirkan, maupun dilihat . Selama ini manusia sering kali
menggunakan kata “ada”, tetapi tak mengetahui apa hakikat ada. Ada diandaikan
secara apriori begitu saja. Ada bersifat temporer. Ada dalam konteks waktu
(mewaktu). Waktu bermakna: dulu, sekarang dan kemudian (yang akan datang),
namun Heidegger lebih menekankan waktu kemudian (yang akan datang). Hal ini,
karena manusia bersifat aktif dan dinamis, sebagai subjek yang mengambil
keputusan untuk merencanakan apa yang akan diperbuat.Dengan demikian hakikat
manusia (Dasein) adalah realitas yang belum selesai, sebagai “Ada” yang bersifat
temporer ( menjadi). Di sini nampak pengaruh pandangan Heraclitos, bahwa
“semuanya mengalir” atau “menjadi”.25
Tulisan ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana pokok persoalan
atau fokus utama dari refleksi filosofis Heidegger yakni, persoalan Ada. Persoalan
Ada itu sendiri tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa Ada hanya mungkin didekati
jika dipertanyakan. Manusia atau Dasein adalah pengada yang memiliki
kemampuan untuk mempertanyakan Ada. Itulah sebabnya Ada hanya mungkin
didekati lewat Dasein itu sendiri. Dari penjelasan di atas kita bisa melihat bahwa
Ada itu hanya bisa didekati saat kita mulai merenungkan Ada itu sendiri. Artinya,
kita membuka diri kepada Ada. Berbeda dengan anggapan umum bahwa Ada bisa
kita gapai, bagi Heidegger, Ada lah yang memberikan diri atau mewahyukan diri
kepada Dasein. Pewahyuan Ada terjadi saat Dasein membuka diri atau
mempertanyakan Ada.
Jika kita melihat penjelasan mengenai dasar-dasar pemikiran Heidegger di
atas, kita tidak bisa menemukan makna Ada itu sendiri. Hal ini merupakan
konsekuensi logis yang ditawarkan Heidegger untuk mendekati Ada. Ada tidak bisa
ditemukan, dikonsepkan atau didefinisikan. Ada itu sendiri hanya mungkin didekati
lewat pewahyuan atau penyingkapannya melalui Dasein. Penyingkapan adalah kata
kunci bagi konsep kebenaran Heidegger. Kebenaran atau realitas akhirnya hanya
merupakan penyingkapan dari Ada ini. Ada merupakan sesuatu yang tersembunyi,

25
Fadhillah, Hakikat Hidup Manusia Dalam Konsep Ruang dan Waktu Menurut Filsafat
Eksistensialisme Heidegger, dalam Jurnal Madani Edisi II, Nopember 2009, hal. 30.
yang tidak bisa disingkapkan secara keseluruhan. Penyingkapan Ada ini disebut
Aletheia atau kebenaran.

Perbedaan Pemikiran dari Kedua Tokoh


Dalam membincangkan Ada, fokus objek kajian atau semangat filsafat Heidegger
terletak pada manusia. Adapun Suhrawardi, ia terletak pada ke-Ilahian atau religious. Namun,
untuk lebih jelas lagi akan dipaparkan dalam tabel berikut:
Perihal Perbedaan Suhrawardi Heidegger
Epistemologi Huduri (Kasyaf dan Syuhudi) Fenomenologi-ontologis
Nama Proyek Besar Iluminasi Destruksi Metafisika
Filsafatnya
Objek Fokus Kajian Filsafat KeIlahian (religious) Kemanusiaan
Kesadaran diri (keakuan Kesadaran diri dikategorikan Kesadaran diri dikategorikan
perpormatif) sebagai bagian level kesadaran sebagai bagian level kesadaran
ontologis ontis

Titik temu/Persamaan Pemikiran dari Kedua Tokoh


1. Perspektif mereka dalam melihat ada:
2. Ada tidak disamakan dengan Entintas
3. Ada tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi atau definisi sebagaimana entitas
4. Ada hanya mungkin menyingkapkan diri pada sesuatu yang dapat memepertanyakan
ada, yang dalam terminology Heidegger disebut dengan dasein dan cahaya menurut
terminologi suhrawardi.
5. Ada dapat dipahami secara praktis
Dari segi sumber dilihat yang menemukan titik temu mereka dalam melihat tentang
Ada, ialah filsafat Plato. Meskipun secara tidak langsung, namun jika diruntutkan pada yang
membidani pemikiran yang demikian ialah Plato.

Daftar Rujukan
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 247.
Adian, Donny Gahral, Senjakala Metafisika Barat: dari Hume Hingga Heidegger, Jakarta:
Koekoesan, 2012.
Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2005
Fadhillah, Hakikat Hidup Manusia Dalam Konsep Ruang dan Waktu Menurut Filsafat
Eksistensialisme Heidegger, dalam Jurnal Madani Edisi II, Nopember 2009.
Frede, Dorothea, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge
Companion to Heidegger, Cambridge, Cambridge University Press, 1993.
Hanafi, Hasan, Islamogi 2, terj. Oleh Miftah Faqih, Yogyakarta: LkiS, 2007.
Hardiman, F, Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: KPG, 2016.
Heidegger, Martin, Being and Time, Oxford:Basil Blackwell, 1973.
Nasr, Seyyed Hossein, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul
asli “Three Muslim Sages : Avicenna-Suhrawardi-Ibn 'Arabi”, Yogyakarta: IRCiSoD,
2006.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
Susanto, Trisno A “Historisitas Pemahaman” Majalah Filsafat Driyarkara Vol.2 Thn. XXV
2001.
Ziai, Hossein, Sang Pencerah Pengetahuan dari Timur: Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi,
terjem. Afif Muhammad dan Munir A. Muin, cet 1, Jakarta: Sadra Press, 2012.

Anda mungkin juga menyukai