Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan
pengertian dan cakupannya oleh para ahli. Akan tetapi di sini penulis
cendenrung condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa Filsafat
Islam itu memang ada dan terbukti exis sampai sekarang. Dalam dunia
filsafat terdapat dua aliran besar yaitu aliran peripatetis dan iluminasi.
Mengerti dan mengetahui kedua aliran ini adalah hal yang sangat penting
ketika kita ingin mengkaji filsafat, karena semua filusuf khususnya muslim
pada akhirnya merujuk dan berkaitan kepada dua aliran ini. Aliran
peripatetis merupakan aliran yang pada umumnya diikuti oleh kebanyakan
filusuf, sedangkan aliran iluninasi di sini merupakan tandingan bagi aliran
peripatetis.
Aliran iluminasi ini dipelopori oleh seorang tokoh filusuf muslim
yaitu Suhrawardi al Maqtul yang dikenal juga dengan sebutan bapak
iluminasi. Suhrawardi dikenal dalam kajian Filsafat Islam karena
kontribusinya yang sangat besar dalam mencetuskan aliran iluninasi
sebagai tandingan aliran peripatetis dalam filsafat, walaupun dia masih
dipengaruhi oleh para filusuf barat sebelumnya. Hal ini tidak dapat
dipungkiri karena sebagian atau bahkan keseluruhan bangunan Filsafat
Islam ini dikatakan kelanjutan dari filsafat barat yaitu Yunani.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Suhrawardi
2. Bagaimana Pemikiran Suhrawardi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Suhrawardi
Suhrawardi Al-maqtul adalah salah seorang dari generasi pertama
para sufi filosof. Nama lengkap Suhrawardi ialah ‘Abu al-Futuh Yahya bin
Habasy bin Amirak as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/1153
M, di Suhraward. Sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat
Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar. Akan tetapi Suhrawardi lebih dikenal
dengan sebutan al-Maqtul. Penyebutan al-Maqtul dibelakang namanya
terkait dengan dengan proses meninggalnya. Disamping itu, al-Maqtul
adalah gelar yang membedakannya dari dua tokoh yang memiliki nama
yang serupa.
Al-Suhrawardi belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal,
Majduddin Al-Jilli, guru Fakhruddin Al-Razi. Di Isfahan dia belajar logika
pada Ibnu Sahlan Al-Sawi, penyusun kitab Al-Basha’ir Al-Nashiriyyah.
Selain itu dia juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketis.
Ia kemudian pergi ke Halb dan belajar kepada Al-Syafir Iftikharuddin. Di
kota inilah dia menjadi terkenal dan membuat para fuqaha menjadi iri
terhadapnya, dan mulai mengancamnya. Akibatnya dia segera dipanggil
pangeran Al-Zhahir, putra Shalahuddin Al-Ayyubi, yang ketika itu
bertindak sebagai penguasa Halb. 1
Pangeran kemudian melangsungkan suatu pertemuan dengan
dihadiri para teolog maupun fuqaha. Maka di sinilah dia berhasil
mengemukakan argumentasi-argumentasinya yang kuat yang membuatnya
menjadi dekat dengan Al-Zhahir serta mendapat sambutan yang sangat
baik. Tetapi orang-orang yang dengki terhadapnya melaporkan kepada
Shalahuddin Al-Ayyubi yang memperingatkan bahaya akan tesesatnya
akidah Al-Zhahir seandainya terus bersahabat dengan Al-Suhrawardi.
Shalahuddin Al Ayyubi yang terpengaruh laporan tersebut kemudian

1
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1997), hlm 247

2
memerintahkan putranya untuk segera membunuh Al-Suhrawardi. Maka
setelah meminta pendapat para fuqaha Halb, yang memang menjatuhkan
fatwa bahwa Al-Suhrawardi harus dibunuh, Al-Zhahir pun memutuskan
agar Al-Suhrawardi dihukum gantung pada tahun 587 H di Halb, ketika
Al-Suhrawardi berusia tiga puluh delapan tahun.

B. Filsafat Suhrawardi Al-Maqtul


Kata Ishraq bahasa arab itu sendiri berarti iluminasi dan sekaligus
juga cahaya pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari timur
(sharq). Timur as. Filsafat ishraqiyah berarti “ketimuran” dan
“iluminatif”. Ia memancar tidak hanya berarti timur secarra geografis
tetapi awal cahaya, realitar karena ia adalah Timur dan ia Timur karena ia
memancar.
Filsafat Ishraqiyah atau teosofi, menjadi lebih tepat didasarkan
pada metafisika cahaya. Pemula dan sumber segala sesuatu adalah cahaya
atas segala cahaya ( nur al-anwar ), yang merupakan Cahaya Absolut dan
tak terbatas diatas dan dibelakang semua sinar yang memancar. Semua
tingkat realitas, bagaimanapun, juga adalah derajat dan tingkat-tingkat
cahaya yang berbeda dari tiap sesuatu oleh tingkat intensitas dan
kelemahannya dan dengan tak sesuatupun dalam alam semesta yang luas
ini melainkan cahaya. Dari cahaya diatas segala cahaya ada suatu hierarkhi
cahaya-cahaya, vertikal maupun longitudinal tentang cahaya-cahaya yang
terdiri dari tingkat-tingat eksistensi universal dan suatu tatanan horisontal
atau latitudinal ( melintang ) yang berisi pola dasar ( rab al-naw’ ) atau
idea-idea platonik tentang segala sesuatu yang kelihatannya dibawah
sebagai objek atau barang.2
Jelas bahwa wawasan al-Suhrowardi melahirkan keinginan, di
dalam dirinya untuk memadukan antara berbagai macam aliran filsafat dan
filosof yang berbeda-beda. Karena para filosof, di mana al-Suhrowardi,
adalah tokoh-tokoh (bagi) satu keluarga dan cabang-cabang (bagi) pohon

2
Jalaludin, filsafat pendidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm 180.

3
Mubarokah yang membantu dengan memberikan semua buah dan hasil
yang dikandungnya.3
Maka Empedocles, Pytagoras, Plato, Aristoteles, Buda, Homerus,
Mazdak dan Mani, walaupun kebangsaan berbeda-beda, tetapi secara
primer dan secara esensial, mereka adalah anak-anak manusia bahkan
duta-duta perdamaian dan reformasi.
Al-Suhrawardi Al-Maqtul mengemukakan bahwa hikmah
isyaraqnya ini didasarkan pada rasa, sebagaimana katanya: “Apa yang
kukemukakan (dalam Hikah Al-Isyaraq) ini tidak kuperoleh lewat
pemikiran, tapi kuperoleh lewat sumber lain. Dan aku pun segera mencari
argumentasinya. Jika argumentasinya itu benar-benar telah pasti,
sedikitpun aku tidak ragu terhadapnya sekalipun orang meragukannya”.
Adapun menurut wujud, Al-Suhrawardi telah menyusun sebuah
teori, yang dia kemukakan secara simbolis, berdasarkan teori emanasi.
Akan tetapi teorinya tidak bisa dipandang sebagai teori para sufi tentang
kesatuan wujud dalam pengertiannya yang rinci. Sebab manurutnya,
terdapat aliran yang melimpah dari Allah, atau cahaya dari segala cahaya,
yang mirip dengan matahari, yang sama sekali tidak kehilangan cahayanya
sekalipun ia bersinar terus menerus. Menurutnya, terdaoat tiga alam yang
melimpah, alam akal-budi, alam jiwa dan alam tubuh.
Jiwa manusia menurut Al-Suhrawardi, tidak bisa sampai pada alam
suci serta tidak bisa menerima cahaya-cahaya Iluminsasi kecuali dengan
latihan rohaniah. Sebab alam suci maupun cahaya itu adalah substansi
malakut, dimana alam suci itu sendiri tidak membutuhkan kekuatan-
kekuatan fisik. Jelasnya, seandaninya jiwa manusia menguat dengan
keutamaan-keutamaan rohaniah, dan kontrol kekuatan fisik melemah
akibat mengurangi makan serta mengurangi tidur malam, jiwa pun
terkadang melesat manuju alam suci dan bertemu dengan induk-sucinya,
bahkan menerima pengetahuan-Nya.

3
Sirajuddin Zar, Filsafat islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), 123-125.

4
Dengan begitu, menurut Al-Suhrawardi, lewat latihan rohaniah
jiwa berkaitan dengan suatu kefanaan duniawi. Dan lewat kefanaan itulah
jiwa berhubungan dengan alam suci serta mencapai kelezatan dan
kebahagiaan. Kata Al-Suhrawardi: “kelezatan setiap kekuatan itu selaras
dengan kesempurnaan dan pemahamannya, begitu juga halnya dengan
kegetirannya. Kelezatan dan kehetirran sesuatu itu pun selaras dengan
kekhususan yang dimilikinya. Bau-bauan misalnya, berkaitan dengan apa-
apa yang dibaui, cita-rasa sesuai dengan apa yang dicitarasai, dan begitu
seterusnya. Jelasnya, segala sesuatu itu selaras dengan apa yang tepat
baginya. Sementara kesempurnaan sunstansi orang yang berakal adalah
gairah pengenalan terhadap yang Maha Benar alam dan sistemnya.
Ringkasnya, hal ini adalah masalah prinsip dan tujuan, serta keterhindaran
dari kekuatan-kekuatan fisik.
Kekurangannya terletak pada kebalikannya, dan kelezatan serta
kegetirannya tergantung kepada keduanya”. Jadi, menurut Al-suhrawardi,
jiwa-jiwa yang utama bisa teralisasi dengan menyaksikan cahaya-cahaya
yang maha benar serta terpesona dalam lautan cahaya, dan bukan dengan
mengakhiri kebahagiaannya.

Secara umum, sistematika Hikmat al-Isyraq terbagi ke dalam dua


bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap pemikiran
peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua membahas
konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada bagian pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan,
maka kritik epistemologi berkisar antara logika dan sumber ilmu
pengetahuan. Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî
membaginya ke dalam pengetahuan hushuli dan hudhuri. Pengetahuan
hushuli terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama
diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris.
4
Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan
menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu
4
Sodarsono, Ilmu filsafat, ( Jakarta: PT Rineka cipta, 2008 ), hlm 316.

5
melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui
sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek
rasio dalam bentuk spritual (maq'ulat) secara silogisme yaitu menarik
kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui.
Sedangkan pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan dengan kehadiran
(observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi
pengetahuan tertinggi berdasarkan mukasyafat (pengungkapan tabir) dan
iluminasi.  Konsep ilmu hudhuri ini dikembangkan Suhrawardî dengan
penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyadhat dan ibadat
daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhuri lebih
menekankan olah dzikir dari pada olah pikir.
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyraq mengungkapkan pemikiran
teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya. Pada bagian ini,
Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian cahaya
(al-isyraq) sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk
mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi,
teologi, dan ontologi.  Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat
cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan,
pembagian barzakh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan
nasib perjalanan manusia menuju purifikasi jiwa.

1.   Mengenai Ketuhanan

Inti filsafat illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya.


Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al
Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al Anwar.
Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga
mustahi terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. 5 Oleh
karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain
diriNya.Suhrawardi mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn sina
dalam menjelaskan wajib al wujud. Konsep terang dan gelap Suhrawardi
diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berarti
5
Ibid, Hlm 317.

6
bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab pada kenyataannya
terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan
gelap dalam ajaran Zoroaster dan Suhrawardi.
Nur al Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak
cahaya disini bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Suhrawardi,
gerakan itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud
yang ada. Dalam hal ini Suhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan
adalah atas kehendakNya dan pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi
terciptanya alam semesta.
Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi, unsur cinta merupakan modal
dari kedinamisan gerak semua makhluk. Semua wujud dan kelangsungan
pergerakan makhluk tergantung dari proses penyinaran dari Nur Al Anwar.
Penyinaran adalah kunci sentral segala pergerakan. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta menyandarkan
wujudnya pada penerangan abadiNya.
Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi
tidaklah sama dengan teori emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik.
Menurutnya, pancaran  yang dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya
terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa mencapai jumlah
yang banyak.
Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui
deret tangga vertical, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada
pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya
yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada intensitas sinar yang
dipancarkan dari sumbernya.6
2.   Mengenai Kemanusiaan
Konsep jiwa Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan pandangan para
filosof paripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang telah

6
Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, ( Yogyakarta: Narasi,
2008 ), hlm 110.

7
disempurnakan oleh para filosof muslim. Seperi konsep jiwa Ibn Sina
semakin lengkap dan sempurna. Dia memberikan penjelasan tentang jiwa
dan daya-daya yang melekat padanya secara sistematis.
Suhrawardi menuangkan pemikirannya tentang jiwa dalam magnum
opusnya Hikmah Al Isyraq, misalnya tentang barzakh, mimpi, ma’ad dan
kenabian. Kedua dalam kitab Hayakil al Nur, misalnya argument-argument
yang membuktikan adanya jiwa, daya-daya jiwa, karakter-karakternya,
sumber-sumber jiwa dan nasib jiwa setelah terlepas dari jasad.
Sebagai bukti adanya jiwa adalah kesadaran diri tiap manusia pada
jati dirinya. Suhrawardi menekankan adanya jiwa pada manusia berbeda dari
jasad yang ditempati oleh jiwa. Disamping itu, jiwa memiliki kemampuan
untuk menyerap makna-makna yang terlepas dari badan. Kemampuan jiwa
tersebut menunjukkan bahwa jiwa memiliki karakter-karakter khusus yang
tak dimiliki oleh badan. Pada hakikatnya manusia akan tetap utuh dan eksis
apabila jiwa masih melekat pada badannya. Oleh karena itu, eksistensi
manusia terletak pada jiwanya.
Jiwa manusia disebut juga dengan Al Nafs an Nathiqah yang terbebas
dari ikatan materi. Ia tunggal, esa dan tak terbagi. Jiwa manusia merupakan
unsur ruhani, karena itu ia dapat digerakkan oleh cinta yang bersifat ruhani.
Suhrawardi sependapat dengan Ibn Sina bahwa jiwa memiliki daya pencerap
dalam dan luar. Daya pencerap luar meliputi pancaindra. Sedangkan daya
pencerap dalam meliputi daya imajinasi, daya berpikir, daya penjaga dan
daya estimasi.7
Menurut suhrawardi, jiwa manusia melimpah dari pemberinya dalam
satu waktu yang bersamaan dengan jasad yang menampungnya. Jika alam
semesta merupakan hasil rentetan illuminasi dari Allah dan emanasi dariNya,
jiwa juga akan sampai pada kesempurnaan melalui perantaraan
illuminasi.Proses naiknya jiwa menuju asalnya disebut remanasi.
3.    Konsep Teosofi

7
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kalam mulia, 2009). Hlm 98.

8
Pokok kajian teosofi adalah menyingkap misteri ketuhanan yang
masih tersembunyi. Selain itu, kajian teosofi juga berkaitan dengan manusia,
alam dan Tuhan. Teosofi berasal dari bahasa Yunani theoshopia yang berarti
hikmah Tuhan. Dalam kaitannya dengan Suhrawadi adalah Hikmah al Isyraq
(oriental theosophy). pakan bentuk  final dari pemikiran falsafi suhrawardi.
Konsep ini sarat dengan bahasa simbolik, seperti malaikat, barzakh, maghrib
(barat) dan masyriq (timur). Sejumlah terminologi yang tampak familiar
dalam teosofinya, tidak boleh dipahami secara konvensional, akan tetapi
harus dipahami secara simbolik pula. Isyraqiyyah merupakan hasil
perpaduan antara rasio dan intuisi.
Istilah Isyraqi sendiri sebagai symbol geografis, mengandung makna
timur sebagai dunia cahaya. Sementara masyriq yang berarti tempat terbit
matahari yang merefleksikan sumber cahaya. Dalam filosofi suhrawardi,
istilah cahaya menggantikan penamaan akal. Dalam penjabarannya mengenai
cahaya dan gelap, ia menyamakan keduanya dengan ruh dan materi. Menurut
Suhrawardi, cahaya dan gelap memiliki 2 jenis. Cahaya terbagi menjadi
cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya sendiri, dan cahaya dalam
dirinya sendiri sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain. Kegelapan juga ada 2
jenis: pertama, kegelapan murni, yang disebut dengan substansi kabur.
Kedua, kegelapan yang terdapat pada sesuatu yang lain ( bentuk cahaya yang
sudah terkontaminasi). Disamping itu, Suhrawardi memperkenalkan istilah
barzakh (pembatas) merupakan symbol perantara dan penghubung antara
yang nyata dan yang ghaib.
Suhrawardi mengembangkan teori emanasi menjadi teori illuminasi.
Melalui teorinya, dia menyatakan bahwa illmuninasi dari Nur al Anwar
menghasilkan cahaya-cahaya murni/dominator. Dalam konsep cahaya
Suhrawardi terdapat peringkat cahaya horizontal dan cahaya vertikal.8

BAB III

8
Muzairi, Filsafat Umum, ( Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 103.

9
PENUTUP

A. Kesimpulan
pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep metafisikanya. Pada
bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi yang berpusat pada kajian
cahaya (al-isyraq) sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya
untuk mengungkapkan kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi,
teologi, dan ontologi.  Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat
cahaya, susunan wujud (being), aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian
barzakh (alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan
manusia menuju purifikasi jiwa.

B. Saran Saran

Apabila di dalam makalah ini terdapat kata-kata yang salah ataupun


kurang tepat, kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun
sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Dan semoga
makalah ini dapat di pergunakan dalam hal-hal yang positif khususnya
mengenai pelajaran filsafat islam.

DAFTAR PUSTAKA

10
Solikhin Muhammad, 2008, filsafat dan Metafisika dalam Islam,
Yogyakarta: Narasi.

Zar Sirajuddin, 2013, Filsafat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nizar Samsul, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.


Mustofa, 1997, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia.
Jalaludin, 2011, filsafat Pendidikan, Jakarta: Kalam Mulia.
Sudarsono, 2008, Ilmu filsafat, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muzairi, 2009, Filsafat Umum, Yogyakarta: Teras.

11

Anda mungkin juga menyukai