PEMIKIRANNYA
Alam Perintah atau Entitas-Entitas Tunak
(Alam Kawruhan)
Bentuk-Bentuk Kawruhan
(Jiwa Manusia)
Falak Universal
(Falak Luar)
Alam Ciptaan
(Alam Materiil)
Dari diagram ini dapat kita lihat bagaimana Mulla Shadra seperti halnya para filosof
Isyraqi lain melanjutkan tradisi Ibn Sina dan neo Platonisme dengan variasivariasi yang lebih
bersifat verbal atau semantic.
Pandangan yang sempurna yang diperkaya oleh Mulla Shadra dengan kutipan
ekstensif dari Al-Qur'an, Hadits, dan ucapan-ucapan Imam Syi'ah, memiliki tujuan
melindungi keyakinan tentang kebangkitan kembali. Melalui penyulingan subtil ini, status
raga yang tadinya kabur itu kini diasumsikan memiliki bentuk etereal. Dan dalam kondisi
seperti ini, raga dinyatakan identik dengan jiwa. Etereal berasal dari bahasa Inggris ethereal,
yaitu unsur sangat halus yang memenuhi lapisan teratas luar angkasa.
B. Al-Razi
1. Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Zakaria bin Yahya Al-Razi. Dia
lahir di Ray, dekat Teheran, Iran, pada 865 M/251 H. Al-Razi hidup di bawah pemerintahan
Dinasti Saman. Di kota Ray, Al-Razi belajar ilmu kedokteran pada Ali bin Rabban al-
Thabari, belajar ilmu filsafat pada al-Balkhi. Di samping itu, Al-Razi juga belajar
matematika, astronomi, sastra, dan kimia. Di masa mudanya, Al-Razi hidup sebagai tukang
intan, penukar mata uang, dan sebagai pemusik/pemetik kecapi. Al-Razi menulis hampir
semua karyanya kecuali matematika
Al-Razi dikenal sebagai seorang pemberani dan pengeritik dogma-dogma Islam yang
fundamental, seperti soal Al-Qur`an, kenabian, dan takdir. Buku Naqd al-Adyan aw fi al-
Nubuwwah yang diduga kuat sebagai karyanya, menjadi sasaran kritik dari lawan-lawannya,
seperti: 1) Abu Hatim Al-Razi (seorang teolog, ahli hadis, dan da’i beraliran Syi’ah
Ismailiyah); 2) Abu Qasim al-Balkhi (seorang Mu’tazilah yang berbeda soal waktu dan
zaman); dan 3) Ibnu Tammar yang menolak tulisan Al-Razi berjudul Al-Thibb Al-Ruhani.
Al-Razi meninggal pada 5 Sya’ban 313 H bertepatan dengan 27 Oktober 925 M
karena menderita penyakit semacam katarak. Beberapa dokter menawarkannya untuk
mengobati kebutaan matanya, tetapi Al-Razi menolaknya dengan berkata, “Sudah banyak
dunia yang aku lihat, dan aku tidak ingin melihatnya kembali”.
2. Filsafat Ar-Razi
Al-Razi dikenal dengan ajaran “Lima Kekal”, yaitu:
al-Bari Ta’ala (Allah): hidup dan aktif (dengan sifat independent).
al-Nafs al-Kulliyyah (jiwa universal): hidup dan aktif dan menjadi al-mabda` alqadim al-
tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifnya bersifat dependent. Al-Nafs al-Kulliyyah
tidak berbentuk. Namun karena punya naluri untuk bersatu dengan al-Hayula al-Ula, maka
al-Nafs al-Kulliyyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima sekaligus
menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika
masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan ruh untuk menempati benda-benda alam
dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Oleh karena
semakin lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk
menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut.
al-Hayula al-Ula (materi pertama): tidak hidup dan pasif. Al-Hayula al-Ula adalah substansi
(jauhar) yang kekal yang terdiri dari dzarrah, dzarat (atom-atom). Materi yang sangat padat
menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi
substansi udara, dan yang lebih renggang menjadi api. Al-Hayula al-Ula: kekal karena tidak
mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan
(yang berproses) dan tidak dalam sekejab yg sangat sederhana dan mudah.
al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut) ? tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang kekal
membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ‘tempat’ yang sesuai. Ada dua macam ruang:
ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang partikular terbatas sesuai keterbatasan
maujud yang menempatinya. Sementara ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada
maujud, karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan tanpa maujud.
al-Zaman al-Muthlaq (zaman absolut) ? tidak aktif dan tidak pasif. Zaman atau masa ada
dua: relatif/terbatas yang bisaa disebut al-waqt dan zaman universal yang bisa disebut al-
dahr. Yang terakhir ini (al-dahr) tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau
benda-benda angkasa raya.
3. Kontroversi Pandangan Al-Razi Tentang Kenabian
Sebagian dari penjelasan al-Razi yang menunjukkan pengingkarannya pada kenabian
dan cenderung merendahkan posisi para nabi adalah dapat dilihat dalam dua buah karyanya,
Makhariq al-Anbiya` aw Hiyal al-Mutanabbi`in? (Kehebatan Para Nabi atau Tipu Muslihat
Orang-Orang yang Mengaku Nabi?) dan Naqd al-Adyan aw fi al-Nubuwwah? (Kritik atas
Agama-Ag/ama atau Kenabian?). Karya yang pertama mendapat sambutan cukup sukses di
kalangan kelompok yang menyebarkan ajaran zindiq dan ateis, khususnya kaum Qaramithah
(salah satu dari sekte-keagamaan Syi’ah–pen).
Abu Hatim menyebut bahwa al-Razi berkata, “Yang lebih utama bagi hikmah
dan kasih sayang Sang Maha Bijaksana adalah memberi inspirasi pada seluruh hamba-Nya
untuk mengetahui, baik cepat atau lambat, beberapa manfaat dan kemudharatan, dan tidak
boleh melebihkan sebagian mereka dari yang lain serta tidak boleh terdapat pertentangan dan
pertikaian di antara mereka sehingga menyebabkan kebinasaan. Hal ini lebih hati-hati dari
pada Dia menjadikan sebagian dari mereka beberapa pemimpin, lalu pengikut-pengikutnya
membenarkan sang imam (pemimpin) dan mengingkari pemimpin lainnya sehingga terjadi
peperangan di antara mereka dan menimbulkan bencana. Keba-nyakan manusia binasa
karena hal ini”. Disebutkan pula bahwa Al-Razi mengatakan, “Para nabi tidak berhak
mengaku diri mereka sebagai manusia yang istimewa, baik secara akal maupun spiritual,
karena seluruh manusia adalah sama dan bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Swt.
adalah tidak boleh memberi keistimewaan seseorang atas lainnya”.
C. Al-Farabi
1. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin
Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari
wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-
Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada
950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya
berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang
ibunya berasal dari Turki.
2. Filsafat al-Farabi
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-
faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan danalam pluralis dan empirik.
Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu
keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujud (Tuhan). Proses
terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya,
sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa
aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi
memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari
akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang
menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir
tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā`
al-Awwal (langit pertama).
Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal
II → al-Kawākib (bintang-bintang).
Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal
III → Saturnus.
Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal
IV → Jupiter.
Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal
V → Mars.
Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya
Akal VI → Matahari.
Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya
Akal VII → Venus.
Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya
Akal VIII → Mercury.
Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal
IX → Bulan.
Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal
X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api,
udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql alfa’āl (akal aktif) yang bisaanya disebut
Jibril yang berperan sebagai wāhib alsuwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak
berfisik (baik yang tidak menempati fisik (yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet)
maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa, bentuk, dan materi). 2) esensinya berfisik (yaitu
benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang
empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari
pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident
(‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda.
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi,
sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya:
Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghadiyah, nutrition), memelihara
(murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction).
Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hassah, sensation) dan imajinasi
(mutakhayyilah, imagination).
Daya berpikir (al-quwwah al-nathiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amali) dan
akal teoretis (‘aql nazhari).
Menurut Al-Farabi, Nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql
fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql
mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-
10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau
daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar bisaa, berupa al-
hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan
cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga
dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang
nabi.
D. Al-Ghazali
1. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah
(Acuan) Al-Islam lahir di Thus, bagian kota Khusaran, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya
tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang (ghazzal) sehinnga
dijuluki al-Ghazzali, karena dinisbatkan kepada mata pencaharian ayahnya, tetapi ayah
mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat ada simpatiknya pada ulama,
dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat pada uamaqt.
Sebelum ayahnya wafat, ayahnya menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad
yang pada itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan
bimbingan.
2. Karya-Karya al-Ghazali
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, diantaranya adalah:
Maqashid-Al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan
berisi masalah-masalah filsafat.
Tahafut Al-Filasafah (Kekacuaan Pikiran Para Filsuf), dikarang sewaktu berada di Bagdad
tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
Mi’yar Al-‘Ilm (Kriteria-Kriteria / Standar Keilmuan).
Ihya ‘Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Agama-Agama), merupakan karya terbesar Al-
Ghazali.
Al-Munqidz Min Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesehatan), merupakan sejarah alam pikiran
Al-Ghazali sendiri dan mereflesikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan
mencapai Tuhan.
Al-Ma’arif Al-‘Aqliah (Pengatahuan Yang Rasional).
Misyakat Al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), berisi pembahasan tentang akhlak dan
tasawuf.
Minhaj Al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (moderasi dalam akidah).Al-Mustadzhir Qisthasul Mustaqim (Nerca
Yang Lurus).
3. Filsafat al-Ghazali
a. Epistimologi
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia
ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul
merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “sekiranya ada orang
yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat
dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang betul ia laksanakan, saya akan kagum
melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak
dari tiga tidak akan goyah”. Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal yang
dapat yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca
indera juga berdusta. Seumpama: “bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi
berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang dilangit, kelihatannya kecil tetapi
perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi”.
Karena tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan
kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi,
demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun
setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar atau
karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan,
ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan
dengan akal. Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang
bertentangan itu. Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm al-yaqini
yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen
dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan inderawi, ia
menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan adanya
sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis
(fardhi) saja. Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang
lebih tinggi daripada akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak
kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi
dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang disebut juga oleh Al-
Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat
menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi
Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk
menangkap pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-
nabi berbentuk wahyu dan ada manusia bisaa berbentuk ilham.
Pengetahuan yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi
pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan, mujahadah (mendekatkan
diri kepada AllahSWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan filsafat menurut Al-
Ghazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika.
Logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika
berisi penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian,
definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah menjadikan logika sebagai
pendahuluan dalam persoalan ketahunan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dahriyyun),
naturalis (thabi’iyyun), dan theis (ilahiyun). Kelompok pertama materialis, terdiri dari para
filsuf awal, seperti Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka
pencipta dan pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini telah ada dengan sendirinya sejak
dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama.
Kelompok kedua naturalis,terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan
maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mengakui
eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal kerohanian dan sifat immateriality jiwa
manusia mereka menjelaskan perihal jiwa dalam istilah naturalis sebagai sautu epifenomena
jasad dan yakin bahwa kematiaan jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
Kelompok ketiga theis, tergolong para filsuf lebih modern, meski mereka menyerang
menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali berpendapat kaum theis ini masih
menyimpan sisa kekafiran dan paham bi’ah. Sebab itu dia menilai mereka maupun para filsuf
muslim yang mengikutinya sebagai kaum kafir. Menurut pendaatnya diantara pengukut
mereka, Al-Farabi dan Ibn Sina adalah penerus terbaik filsafat Aristoteles ke dalam dunia
islam.
b. Metafisika
Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras
terhadap Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan
logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-
Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut
ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasardasar pemujaan ritual
dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang
metafisika dan empat dalam bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan
sebagai ah-bida’ , sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir,
karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan
pendirian semua kaum muslimn.
Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah:
Alam qadim (tidak bermula).
Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak.
Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk citaan-Nya,ungkapan
ini bersifat metaforis.
Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam.
Penolakan akan sifat-sifat tuhan.
Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud.
Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.
wujud tuhan dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara
universal.
Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
Tujuan yang menggerakkan langit.
Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah).
Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang,
tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya
mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya.
Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal.
Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di
dalam.
Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
Dalam persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali,
setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia sesungguhnya
hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan tidak
menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap mengakui
pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran agama. Kedua:
dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina serta filsuf yang lainnya
telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman alam, kebangkitan ruhani dan
ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang partikular. Ketiga: tentang pembagian
filsafat yunani dalam tiga bagian materalisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun),
dan theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah Aristoteles tapi ia hanya
mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang kita lihat pada
bagian epistimologi burhani.
Al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu: (1) kaum
awam, yang cara berpikirnya sederhan sekali, (2) kaum pilihan (elect) yang akalnya
tajam dan berpikir secara mendalam, dan (3) kaum penengkar. Sebagai filosof-filosof
dan ulama-ulama lain, Al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia kedalam dua
golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama, dan oleh
karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat
diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum
khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan
berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang
tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat.
c. Moral
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri
kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang
mempelajarinya.
Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari.
Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha
menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak harus
terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak
menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam
kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan
tidak lebih dari pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak
teologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Suatu
derat baik atau buruk berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh
yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Masalah kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan manusia
adalah kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni
berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan tanpa kebodohan,dan
kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna.
Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian yang sesuai Al-qur’an dan Hadits adalah
surga.
d. Jiwa
Manusia diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk yang terdiri
dari jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk spiritual rabbani
yang sabgat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali
untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada dirinya
sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada
didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan
malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa mempunyai kemampuan memahami,
sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat
membawa makan dalam kehidupan manusia.
Mengenai kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat
menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali berada
dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan hancurnya jiwa apabiala
dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat substanai kekla).
Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap filsuf dalam bukunya Tahafut al-Falasafah,
bukan ditekankan pada kekalnya jiwa, yang dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan
para filsuf untuk memebuktikan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan
persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi
jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup kekal. Semua yang
ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud
yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena
itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni
membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar.