Pendahuluan
1
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1996) hal, v
2
Ibid.
1
2
Al Farabi
3
Ibid, hal, 81, sebutan al-Farabi diambil dari kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun
257 H/870M
4
Ibnu Khillikan, Wafiayatul A’yan (Kairo ; Maktabah an-Nahdah,1948) hal,243,
5
Jamaluddin al Qothfi, Ikhbarul Ulama bi Ikhbaril Hukama’ hal, 182. dan Dr Ahmad
Daudy dalam bukunya Kuliah Filsafat Islam mengutif dan Muhammad al Bahi, Al-Janib al Ilahi
min Tafkir al-Islamy (Kairo ; Darul Katib al- Arabi 1967), hal.375. bahwa al-Farabi meninggal pada
tahun 339 H / 941 M, terjadi kesalahan redaksi dalam kutipan wafatnya 941 H, karena pada tahun
941 M (330 H) tersebut adalah tahun pindahnya al-Farabi ke Damasqus.
6
Hana al-Fakhuri, Tarikh al-Falsafah al’-Arabiyah (Beirut ; Darul ma’arif, 1958) hal. 92
7
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang 1986) hal. 26.
2
3
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari zat yang wajibul wujud (zat yang mesti adanya : Tuhan). Teori
emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.10 Upaya yang
dilakukan oleh al-Farabi (demikian juga Ibnu Sina) bertujuan menunjukkan keesaan
Tuhan dari zat-Nya sendiri dan bukan dari ciptaannya sebagaimana yang dilakukan
oleh para ahli kalam.
Dalam filsafat emanasinya ini al-Farabi menjelaskan bahwa dari wujud
Tuhan yang satu itu memancar wujud alam semesta. Pemancaran ini melalui
tafakkur Tuhan tentang diri-Nya sendiri, tafakkur Tuhan tentang diri-Nya adalah
ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudroh) yang
menciptakan segala sesuatu.11 Selanjutnya tafakkur Tuhan yang Maha Esa tentang
zat-Nya yang Maha Esa itu dapat menciptakan yang terbilang, dengan demikian
terbebaslah Tuhan dari arti yang banyak. Lebih lanjut dari teori emanasi tersebut,
Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-wujud al-
8
Harun Nasution, falsafat & Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan III,
1983, hal. 27
9
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafa dan Tasauf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
cetakan V, 2001 hal 87
10
ibid. hal. 92
11
ibid. hal.87
3
4
awwal) dan dengan pemikiran itu timbullah Wujud Kedua (al-Wujud al-Tsani) dan
juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (al-aql al-awwal) yang tidak
bersifat materi. Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama, dan dari
pemikiran ini timbullah Wujud Ketiga yang disebut Akal Kedua (al-Aql al-Tsani).
Selanjutnya Wujud Kedua atau Akal Pertama itu berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran itu timbul Langit Pertama (al-Samau al-Awwal).12
Selanjutnya akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran itu
timbul Akal Ketiga, dan Akal Ketiga ini dengan tafakkur pada diri-Nya mewujudkan
Alam Bintang, Akal Ketiga kemudian memunculkan Akal Keempat dan Saturnus.
Akal keempat mewujudkan akal kelima dan yupiter, akal kelima mewujudkan akal
keenam dan Mars, akal keenam mewujudkan akal ketujuh dan Matahari, akal
ketujuh mewujudkan akal kedelapan dan Venus, akal kedelapan mewujudkan akal
kesemnbilan dan Merkuri dan akal kesembilan mewujudkan akal kesepuluh dan
Bulan. Akal kesepuluh tidak lagi mewujudkan akal-akal, melainkan mewujudkan
bumi dan jiwa serta materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam,
yaitu : api, udara, air dan tanah.13 Akal I sampai akal IX hanya mengurus benda-
benda langit, sedangkan akal X yang disebut juga “al-aqlu al fa’al” (akal aktif) atau
wahib as shuwar (pemberi bentuk) bertugas mengawasi dn mengurusi kehidupan di
bumi.14
Teori emanasi al-Farabi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Akal I
12
Harun Nasution, op.cit, hal 62
13
ibid, hal 27-28
14
Abdul Aziz Dahlan, Pamikiran Falsafi Dalam Islam, (hakarta : Djambatan) hal. 64-66
4
5
Bumi, Jiwa-jiwa
dilingkungan bumi
5
6
Allah swt akan tetapi juga ciptaannya, karena menurutnya Tuhan menciptakan hal
ini bukan dari tidak ada, melainkan dari yang ada, karena penciptaan dari yang tidak
ada merupakan hal yang tidak mungkin. Selain itu al-Farabi berpendapat bahwa
alam ini tidak mempunyai permulaan dalam waktu, karena alam ini tidak terjadi
secara berangsur-angsur, melainkan sekaligus dengan tidak berwaktu.15
Kemudian jiwa yang merupakan hasil fikir akal kesepuluh memiliki
beberapa daya sebagai berikut :
1. Daya al-Muharrikah, yaitu daya gerak atau motion, dengan daya ini
menyebabkan manusia dapat makan, memelihara dan berkembang biak.
2. Daya al-Mudrikah, yaitu daya mengetahui atau cognition. Dengan daya ini
manusia dapat berimajenasi dan merasa.
3. daya an-Nathiqoh, yaitu daya berfikir atau intelection. Dengan daya ini
manusia dapat berfikir secara teoritis dan praktis (al-Aqlu an-nadhary wa al-
Amaly).16
Daya berfikir manusia ini memiliki tiga tingkatan yaitu :
1. al-Aql al-Hayulani, yaitu akal potensial atau material intelect. Akal serupa
ini baru berada dalam potensi untuk melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
dari materinya.
2. al-Aql al-Fi’li yaitu akal aktual atau actual intelect, akal ini telah melepaskan
arti-arti dari materinya serta dapat mewijudkan akal potensial menjadi wujud
aktual yang sebenarnya, dalam keadaan seperti ini ia telah mampu
menangkap arti-arti dan konsep-konsep.
3. al-Aql al –Muqtashid atau acquired intelect, yaitu akal yang telah mampu
menangkap bentuk semata-mata tanpa dikaitkan dengan materi. Dan telah
mampu berkomunikasi dengan akal kesepuluh serta mampu menangkap ide-
ide atau gagasan-gagasan.17
Jika akal potensial baru dapat mengerti arti dan bentuk dari materi dengan
bantuan pancaindra, dan akal aktual telah mampunyai kesanggupan menangkap arti
dan konsep sekalipun tanpa bantuan panca indra, maka akal mustafad telah sanggup
15
ibid, hal 28
16
ibid, hal 29-30
17
ibid, hal. 30
6
7
mengadakan hubungan langsung dengan akal kesepuluh atau akal aktif yang
didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala sesuatu yang ada semenjak azali.18
Ada beberapa kerancuan dalam filsafat al-Farabi ini
1. agar tidak menyimpang dari ketauhidan Islam maka nampaknya al-Farabi
dalam menguraikan penciptaan Tuhan terhadap alam ini berpijak pada aliran
platonisme. Ia menganggap Tuhan sebagai wujud yang pertama dan
menciptakan akal-akal benda angkasa. Dengan demikian ia menolak
kepercayaan agama Sabaiah yang mempertuhankan bintang-bintang. Akan
tetapi ia sebenarnya ia terjebak pada fenomena memberi kekuatan pencipta
kepada akal-akal benda angkasa.
2. dalam soal Qodimnya alam, al-Farabi mengikuti aristoteles, untuk tidak
keluar dari ajaran agama Islam ia menggabungkannya dengan ketentuan
Islam tentang penciptaan, bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh
Tuhan, meskipun tidak dalam waktu. Usaha penggabungan ini belum
memberikan solusi yang memuaskan.
3. al-Farabi berusaha mensucikan Allah swt dari bilangan dan materi dengan
mengemukakan teori akal, tetapi ia tetap tidak bisa menjelaskan bagaimana
proses kebendaan keluar dari akal yang tidak berbenda. Lalu ia tetap
mengakui rangkaian alam lahir dan alam kemusnahan dari dzat yang tidak
musnah sesuai teori akalnya.
4. Teori emanasi al-Farabi menjadikan langit adalah hasil pemikiran wujud
kedua atau akal pertama dan bumi adalah hasil pemikiran akal ke sepuluh.
Langit dan bumi tercipta (sebagaimana alam yang lain) sekaligus tidak
memiliki permulaan dalam waktu, teori ini tidak sejalan dengan al-Qur’an :
“katakanlah sesungguhnya patutkah kamu kafir terhadap yang menciptakan
bumi dalam dua yaum dan kamu adakan sekutu-sekut baginya, demikian
itulah tuhan semesta alam. QS : al-Fushilat 9”. Dan “Maka dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua yaum dan Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya… QS : al-Fushilat 12”. Kata yaum pada ayat
diatas bisa diartikan hari, masa atau priode. Namun tetap semua pengertian
18
ibid.
7
8
Teori Kenabian
Al-Farabi tampil sebagai filosof pertama membahas teori Kenabian dengan
cara mengkombinasikan pemikirannya dengan ajaran Islam yang berdasarkan
wahyu. Al-Farabi telah mampu memadukan antara agama dengan falsafah dan yang
merupakan bagian terpenting dalam mazhabnya. Teori ini didasarkan atas pijakan
kejiwaan dan metafisika serta mempunyai hubungan erat dengan politik dan
akhlak.19
Dalam bukunya yang berjudul Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah al-Farabi
menjelaskan pemikiran tentang kenabian yang ia hubungkan dengan teori politiknya,
yang bertumpu pada konsep kota yang ideal atau ideal city. Ia mengatakan bahwa
kota adalah ibarat tubuh manusia yang memiliki bagian-bagian yang saling
berhubungan.
Di dalam kota tersebut terdapat prinsip hubungan sebagaimana badan yang
berhubungan dengan seluruh anggota tubuh lainnya, dan masing-masing mempunyai
fungsi yang harus dilaksanakan. Pekerjaan yang terpenting dalam tubuh manusia
adalah pekerjaan yang menggunakan akal yang ada di kepala.
Dari prinsip peranan kepala inilah, al-Farabi menghubungkannya dengan
peranan kepala atau pimpinan dalam masyarakat. Jika kepala manusia harus sehat
maka kepala pemerintahan pun harus sehat, kuat, pintar, cinta pada ilmu
pengetahuan dan keadilan.20
Selanjutnya ia menyatakan bahwa pimpinan dalam masyarakat harus
mempunyai akal mustafad yang telah mampu berkomunikasi dengna akal kesepuluh,
dan orang yang mempunyai kemampuan seperti itu adalah nabi atau rasul. Oleh
karena itu, kepala suatu pemerintahan harus dipegang oleh Nabi atau Rasul dan jika
Nabi atau rasul telah tiada maka pimpinan harus diserahkan ketangan para filosof,
karena para filisof telah mampu berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Selanjutnya
al-Farabi mengaitkan teori kenabian dengan falsafat polotiknya bahwa kepala negara
19
Hana al-Fakhuri dan khalil al-Jar, op. cit. hal 153
20
al-Farabi, Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah, Mesir, tt. Hal 45-46
8
9
bukan hanya mengatur negara, tetapi mendidik manusia agar memiliki akhlak21
mulia dan hal tersebut hanya bisa terlaksana bila negara dipimpin oleh Nabi atau
Rasul.
Dalam pemikian al-farabi ini Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat
layak menjadi kepala negara karena keduanya telah mampu berhubungan dengan
akal aktif (akal kesepuluh) yang merupakan sumber hukum dan aturan yang
diperlukan bagi kehidupan masyarakat. Kalaulah ada perbedaan, maka itu terletak
hanya pada cara berhubungan dengan akal aktif yang oleh nabi melalui daya khayal,
sedangkan filosof dengan pemikiran akal. Adapun tentang sumber dan materi yang
mereka terima adalah tidak berbeda, karenanya nabi dan filosof membawa
kebenaran yang sama. Namun demikian filosof tidak sejajar tingkatnya dengan Nabi
karena setiap Nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof adalah nabi. Setiap Nabi
memiliki keistimewaan yang melebihi Filosof.22
Ada beberapa hal yang tidak memuaskan dalam teori kenabian yang
dikemukakan al-Farabi, yaitu ;
1. al-Farabi menempatkan Nabi dibawah tingkatan Filosof, karena pengetahuan
yang diperoleh oleh para Filosof melalui daya fikir lebih tinggi dari pada
yang diperoleh melalui daya imajinasi.
2. Pengetahuan yang diperoleh para Nabi melalui daya Imajinasi membuka
peluang setiap manusia menggunakan daya imajinasinya sehingga ia bisa
mencapai derajat nabi. Dan hal ini bertentangan dengan pendapat Ahl as-
Sunnah wa al-Jamaah yang meletakan kenabian sebagai kaih sayang Allah
swt kepada hambanya yang tidak dapat diraih dengan usaha dan ilmu.
3. Tafsiran psikologis terhadap wahyu yang merupakan daya imajinasi tertinggi
pada seorang Nabi bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits.
Ibnu Sina
Asy-Syaikh ar-Rais Abu Ali al-Husain bin Abdillah bin Sina (avicenna)
beliau dilahirkan di Afsyanah (Efshene) di Bukhara pada bulan Safar tahun 370
H/980 M. ibunya seorang berkebangsaan Turki sedang ayahnya diduga peranakan
21
Abuddin Nata, op.cit,. hal.90-91
22
Ahmad Daudy, op.cit,. hal.54-55
9
10
10
11
beliau lainnya adalah an-Najah yang berisikan ringkasan kitab as-syifa, dan
kemudian kitab al-Isyarat wa at-tanbihaat, suatu kitab hikmah yang mengandung
kata-kata mutiara dari berbagai ahli fikir yang ditulis dalam bahasa yang padat dan
indah.
Dalam hal filsafat, ibnu Sina juga menganal paham emanasi, walaupun
filsafat emanasi bukanlah renungan Ibnu Sina (juga Al-Farabi), tetapi berasal dari
ramuan Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang
Maha Esa. Filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “ Dari yang satu hanya satu yang
melimpah”.30 Ini di Islamkan oleh Ibnu Sina (juga al-Farabi) bahwa Allah
menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-
Qur’antidak ditemukan informasi yang rinci tentnag penciptaan alam dari matei
yang sudah ada atau dari tiadanya. Walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama,
namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan, yang Esa
Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta (Shoni’ :
agen) yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pencaran.
Proses terjadinya pancaran yaitu ketika Allah wujud (bukan dari yang tiada)
sebagai akal lansung memikirkan (bertaa’ggul) terhadap zatn-Nya yang menjadi
obyek pemikiran-Nya, maka memancarkarlah Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini
memencarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan langit pertama. Dari akal pertama ini
memancarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama dan Langit Pertama. Demikianlah
seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat
menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bimu, roh
materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api dan
tanah.31
Perbedaan dengan al-Faraby, menurut Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai
dua sifat-sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah san sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya . Ibnu Sina membagi obyek pemikiran
akal-akal menjadi tiga : Allah (wajib al-wujud lizathi), dirinya akal-akal (wajib al-
30
T.J. De Boer, Op.cit, Hal. 198
31
Ibnu Sina, al Najat, (Kairo : Mustafa al-Baby al-Halaby, 1938), hal 398 dan lihat juga :
Muhammad Athif al-Iraqy, al-Manhaj, al-falsafat al-islamiyat, hal 219-220
11
12
wujud lighoirih) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-
wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
Dibawah ini dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina.32
Dirinya sendiri
Subyek Allah sebagai Dirinya sendiri
sebagai Wajib al-
akal Sifat Wjib al-wujud Mumkin al- keterangan
Wujud Lhighoiri,
yang ke menghasilkan wujud lizatihi
menghasilkan
Wajib al- Akal II Jiwa II yang
I Langit Pertama
wujud menggerakkan Masing-masing
Mumkin Jiwa III yang
II Akal III Bintang-bintang jiwa berfungsi
al-wujud menggerakkan
sebagai
Jiwa IV yang
III Sda Akal IV Saturnus penggerak satu
menggerakkan
Jiwa V yang planet karena
IV Sda Akal V Yupiter
menggerakkan (immateri) tidak
Jiwa VI yang bisa langsung
V Sda Akal VI Mars
menggerakkan menggerakkan
Jiwa VII yang
VI Sda Akal VII Matahari jisim (materi)
menggerakkan
Jiwa VIII yang
VII Sda Akal VIII Venus
menggerakkan
Jiwa IX yang
VIII Sda Akal IX Markurius
menggerakkan
Jiwa X yang
IX Sda Akal X Bulan
menggerakkan
Akal X tidak lagi
Bumi, roh, materi
memancarkan
pertama yang
Jiwa I yang akal-akal
X Sda - menjadi keempat
menggerakkan berikutnya karena
unsur (udara, api,
kekuatannya
air dan tanah)
sudah lemah
12
13
akal. Tanpa wujud essensi tidak besar artinya. Dengan demikian Ibnu Sina telah
lebih dahulu mengajukan filsafat eksistensialis daripada filosof modern seperti
Nietzce, kiekegard dan lainnya.33 Selanjutnya essensi dan wujud dapat mengambil
tiga bentuk yaitu :
- wajib al-wujud, yaitu essensi yang mesti mempunyai wujud.
- Mumkin al-wujud (contingent being), yaitu essensi yang boleh
mempunyai wujud dan boleh juga tidak mempunyia wujud
- Mustahil al-wujud (impsible being), yaitu essensi yang tidak ada
wujudnya dalam kenyataan.
Pendapat Ibnu Sina tentang jiwa dan akal lebih terperinci dan sempurna dari
falsafat jiwa dan akal menurut al-Farabi. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat yaitu wajib al-wujud sebagai pancaran Allah swt, dan sifat
mumkin al-wujud jika dintinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina
mempunyai tiga obyek pikiran yaitu ; Tuhan, dirinya sebagai wajib al-wujud dan
dirinya sebagai mumkin al-wujud.34
Teorinya tentang akal selanjutnya membawa pada munculnya falsafah
35
wahyu dan nabi. ia misalnya mengatakan bahwa akal terdiri dari beberapa
tingkatan, dan yang terendah adalah akal material, namun adakalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal material yang lebih kuat. Dan hal ini oleh
Ibnu Sina disebut intuisi. Daya yang demikian besarnya ini bisa langsung
berhubungan dengan akal aktif tanpa harus melalui latihan, demikian juga bisa
menerima cahaya atau wahyu dari Allah swt. Akal serupa ini memiliki daya suci
(al-Quwwah al-Qudsiyah) yang hanya dapat dimiliki oleh seorang nabi.36
Selanjutnya ia juga mempunyai pemikiran filsafat tentang manusia.
Sebagaimana halnya al-Farabi, Ibnu Sina juga menyatakan bahwa manusia terdiri
dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan
alat bagi jiwa untuk melakukan aktifitas. Jasad selalu berubah, berganti, bertambah,
dan berkurang. Sehingga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.
33
Abuddin Nata, op.cit,.hal. 94
34
Ibid, hal. 92-93
35
Ibid, hal. 93
36
ibid
13
14
Dengan demikian hakikat manusia adalah jiwanya, dan perhatian para filosof Islam
dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya daripada jasadnya.37
Ibnu Sina juga mempunyai filsafat tentang keqadiman alam yang bertolak
dari teori emanasinya, menurutnya bahwa alam ini telah ada sejak zaman azali,
karena ia terjadi dengan sebab Allah memikirkan dzatnya sendiri.38 Maksud alam ini
qadim dalam arti zaman, karena alam ini telah melimpah dari Allah sejak azali, akan
tetap ia baharu dan terkemudian dari Allah dari segi kemuliaan, tabiat, sebab dan
martabat.39
Ibnu Thufail
Ibnu Thufail nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al-
Malik bin Muhammad bin Thufai, ia lahir di Guadix, sebuah kota kecil di dekat
Granada, Andalusia, pada tahun 506 H/1110 M*. dan wafat di Maroko pada tahun
581 H/1185 M.* ia berasal dari bangsa Arab keturunan Qabilah Qais. 40 Ia sangat
terkenal dalam bidang Kedokteran, Ilmu Falaq, Sastra dan Falsafah. Disamping itu
ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansyur, khalifah kedua dinasti
Muwahhidin. Ibnu Thufail hidup semasa dengan Ibnu Rusyd, menurut Ahwani
antara Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd telah terjadi surat menyurat mengenai buku
karangan Ibnu Rusyd yang berjudul “al-Kulliyat fi at-Tib”.
Pada masa Khalifah Abu Ya’kub ini Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang
besar dalam pemerintahan dan dalam ilmu pengetahuan. Khalifah sendiri meminati
filsafat dan memberi keleluasaan berfilsafat. Ia meminta Ibnu Thufail untuk
menguraikan buku-buku karya Aristoteles. Untuk memenuhi permintaan tersebut
Ibnu Thufail menghadap Ibnu Rusyd. Selanjutnya Ibnu Thufailpun rela
37
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta, Tintamas 1984). Cet. IV,
hal. 50
38
Abuddin Nata, op.cit,. hal. 94
39
Fakruri, op. cit,. hal.226-227
*
menurut Ahmad Fuad Al-Ahwani dalam bukunya, Filsafat Islam, hal. 93 bahwa “tahun
kelahiran Ibnu Thufail tidak diketahui secara jelas.
*
ada kerancuan antara usia jumlah tahun Hijriah dan Masehi, karena keduannya
menunjukkan bahwa usia Ibnu Thufail adalah adalah 75 tahun, sedang jika perhatikan perbedaan hari
dalam setahun antara tahun Hijriah dan Masehi sekitar 10 hari + 5-6 jam (245-246 jam). Maka selama
75 tahun terjadi perbedaan sekitar 765 hari = 6 jam – 768 hari + 7 jam (sekitar 18375-18450 jam).
Hal ini berarti setidaknya terjadi selisih sekitar 2 tahun 45 hari. Wallahu a’lam.
40
M.M. Syarif, History Of Muslim Psilosopy, vol, III Otto Horraaowitz, Weisbaden, 1963
hal 526. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Tarj. Pustaka Firdaus (Jakrta, Pustaka Firdaus
1997), cet. 8 hal. 93
14
15
41
Ahmad Daudi, Op.cit, hal 145
42
M. Saeed Shaikh, Studies In Muslim, (New Delhi, Adam Publisher, 1994), cet. 1 hal. 160-
161
15
16
“dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanimu? Mereka menjawab, “benar Engkau adalah tuhan kami, kami menjadi saksi. Al-A’raf :
172
Sebagaimana para Filosof sebelumnya, Ibnu Thufail juga mengemukakan
pemikirannya yang mencoba merekonsialisasi antara filsafat dan agama, bahwa
filsafat dan agama sama-sama menyampaikan kebenaran. Diantara Filosof Islam,
Ibnu Thufail tampil sebagai seorang filosof yang menulis tentang keharmonisan akal
dan wahyu. Dalam pandangan Ibnu Thufail, Tuhan tidak hanya dapat diketahui
dengan wahyu tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari ajaran
Nabi dapat dapat sampai ketingkat tertinggi dari ma’rifat. Dengan obeservasinya
tentang segala hal yang ada disekelilingnya, membawa Hayy sampai pada
kesimpulan adanya roh, dan adanya perubahan-perubahan pada alam menghasilkan
kesimpulan adanya Tuhan.
Meskipun demikian Ibnu Thufail juga menekankan bahwa mengetahui dan
berhubungan dengan Tuhan terkadang tidak bisa hanya dengan kemampuan akal
murni, sebab kemapuan tersebut hanya khusus pada sebagian orang. Sebab menurut
ibnu Thufail sebagaimana yang dikutif Yusuf Musa, tingkatan manusia ada dua
yaitu : pertama, orang yang tidak sanggup menangkap hakikat-hakikat yang bersifat
matafisik, dan yang terbaik bagi mereka adalah mengikuti pesan syariat
sebagaimana zohirnya agar tidak tersesat. Kedua, mereka yang diberi kemampuan
akal yang kuat hingga mampu menyingkap hakikat-hakikat yang bersifat metafisik.43
Untuk menjekaskan keselaran antara akal dan wahyu, Ibnu Thufail
memunculkan tokoh Absal sebagai simbol wahyu. Wahyu datang memberitakan
permasalahan agama, baik yang berkaitan dengan permasalahan ke-Tuhanan
ataupun Syariat. Ibnu Thufai ingin mengemukakan bahwa akal murni bisa mengenal
Tuhan. Wahyu atau agama bertujuan meluruskan atau menginformasikan hal-hal
yang tidak bisa ditangkap oleh akal sebab bagaimanapun akal tidaklah bersifat
mutlak.
Diantara pokok pikiran Ibnu Thufail yang bisa dipahami dari kisah Hayy
adalah tentang proses perolehan pengetahuan (epistimology). Menurut D. Boer,
43
Muhammad Yusuf Musa, Bain ad-Din wa al-Falsafah, (Mesir, Dar al-Ma’aarif, tt) cet, ke
2 hal. 183
16
17
44
Tj. De Boer, Tarikh al-Falsafah al Islamiyah, Tahqiq Muhammad Abdul Hawi
Rauwaidah, (Beirut, Dar al-Nahdah al-Arabiyah, tt) hal 310-311
45
Miska Muhammad Amin, Epistomologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1993)
17
18
mengikuti jalan para filosof dengan benar niscaya akan sampai kepada pengetahuan
tertinggi, lewat penyaksian akal.
Penutup
Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail adalah diantara para filosof Islam
yang tampil dipentas sejarah dan memberikan torehan emas yang tak ternilai. Karya
mereka sempat mengangkat dunia Islam menjadi dunia bertabur bintang.
kemunculan para filosof Islam ini memberikan gambaran jelas bahwa Islam
merupakan satu agama universal dan memberikan kesempatan bagi akal untuk
berfikir secara profesional dan proporsional.
Daftar Pustaka
18
19
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Tarj. Pustaka Firdaus (Jakarta, Pustaka
Firdaus), cet. 8, 1997
Bakry, Hasbullah, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta, Tintamas). Cet. IV,
1984
Fakri, Majid, sejarah Filsafat Islam (Jakarta, Pustaka Jaya) cet 1, 1986
Musa, Muhammad Yusuf, Bain ad-Din wa al-Falsafah, (Mesir, Dar al-Ma’aarif, tt)
cet. 2
Nasution, Harun, falsafat & Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang) cet. III
1983
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasauf, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada) cet. 8, 2001
19
20
Shaikh, M. Saeed, , Studies In Muslim, (New Delhi, Adam Publisher), cet. 1, 1994
Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam Dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-
Qur’an (Jakarta, Rajawali Press) cet. I. 1994
20