Anda di halaman 1dari 20

1

FILSAFAT AL-FARABI, IBNU SINA DAN IBNU THUFAIL


(Tentang Teori Emanasi, Agama dan Filsafat)

Pendahuluan

Kalau kita perhatikan definisi-definisi yang telah diberikan oleh ahli-ahli


pikir senantiasa berbeda sejak Plato (429-347 SM), Epicure (341-270 SM), Cicero
(106-43 SM) sampai Decrates (1596-1650), kendatipun definisi yang mereka
berikan berbeda-beda, namun dapat disimpulkan mereka semuanya berpendapat
bahwa “berfilsafat” itu ialah “berfikir”. Jadi berfilsafat adalah berfikir sedalam-
dalamnya dengan bebas dan teliti, tentang segala yang masuk kedalam fikiran, baik
yang diluar maupun yang di dalam diri.1
Ada tiga hal yang harus terpenuhi dalam berfikir secara filosofis yaitu :
- berfikir haruslah sedalam-dalamnya
- berfikir haruslah bebas
- harus dikerjakan dengan teliti.
Memahami hal diatas mampukah seorang mukmin berfilsafat? bukankah
seorang mukmin akan senantiasa terikat oleh ajaran-ajaran agamanya? Bolehkah
seorang mukmin meninggalkan agamanya untuk berfilsafat?.
Seorang mukmin tidak perlu cemas, karena berfikir filsafat tidak perlu
menanggalkan agama dari jiwanya terlebih dahulu karena istilah berfikir bebas
dalam alam filsafat bukan berarti berfikir sesuka hati, membabi buta, dan tanpa
peraturan melainkan bebas yang terikat. Tetapi yang mengikatnya hanyalah disiplin
dan hukum berfikir itu sendiri.2 Disipilin dan hukum berfikir itu sendiri merupakan
kesadaran bahwa akal adalah ciptaan (makhluq) bukanlah pencipta (kholiq)
karenanya akal terbatas.
Dengan demikian seorang mukmin yang berfilsafat tidak harus keluar dari
garis kebenaran. Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas para filosof
muslim yaitu, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail tentang teori Emanasi, Agama
dan Filsafatnya.

1
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1996) hal, v
2
Ibid.

1
2

Al Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin


Tharkhan bin Auzalag, lahir pada tahun 259 H./872 M3 di Farab yang sekarang
dikenal dengan Atrar dan mendapat gelar al Farabi sesuai tempat asalanya Farab
yang berada diwilayah Khurasan (Turki ).4 ia meninggal di Damaskus pada tahun
339 H/ 950 M. dalam usianya yang ke delapan puluh tahun.5
Al-Farabi adalah seorang filosof Islam pertama dalam arti yang sebenarnya,
pemikiran para filosof Islam yang datang kemudian terdapat asal-usul dan akarnya
dalam falsafah al-farabi.6 Hampir semua ilmu pengetahuan yang berkembang
dizamannya dikuasai dengan baik, sehingga ia telah mampu mengklasifikasikan
ilmu dengan segala cabangnya dalam bukunya yang mirip dengan Ensiklopedi yang
berjudul Ihsha’u al-Ulum.7 selain menjadi pengarang ia juga sebagai komentator
buku-buku Filsafat Yunani, dan sangat hormat kepada Filosof Yunani terutama
Plato dan Aristoteles. Dalam kitab-kitabnya ia tidak menyebut Aristoteles secara
langsung, tapi dipanggilnya dengan gelar Mu’allim Awwal (Guru Pertama). Karena
pengetahuannya yang sangat dalam terhadap falsafah Aristoteles, teutama komentar
dan ulasan terhadap berbagai karangannya, maka al-Farabi di gelari orang sebagai
Mu’allim Tsani (Guru Kedua).
Mengenai corak pemikiran filsafa al-Farabi berbeda dengan filosof lainnya.
Ia mengambil ajaran dari para Filosof terdahulu kemudian merekontruksikannya
kembali kedalam format yang lebih relevan dengan lingkungan kebudayaan yang
ada. Selain itu al-Farabi juga dikenal sebagai seorang filosof yang befikir logis, baik
dalam statemen, argumentasi, diskusi, keterangan dan penerapannya.
Pemikiran al Farabi dalam bidang filsafat, meliputi antara lain : filsafat
Keesaan Tuhan, Emanasi, Kenabian dan Teori Politik.

3
Ibid, hal, 81, sebutan al-Farabi diambil dari kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun
257 H/870M
4
Ibnu Khillikan, Wafiayatul A’yan (Kairo ; Maktabah an-Nahdah,1948) hal,243,
5
Jamaluddin al Qothfi, Ikhbarul Ulama bi Ikhbaril Hukama’ hal, 182. dan Dr Ahmad
Daudy dalam bukunya Kuliah Filsafat Islam mengutif dan Muhammad al Bahi, Al-Janib al Ilahi
min Tafkir al-Islamy (Kairo ; Darul Katib al- Arabi 1967), hal.375. bahwa al-Farabi meninggal pada
tahun 339 H / 941 M, terjadi kesalahan redaksi dalam kutipan wafatnya 941 H, karena pada tahun
941 M (330 H) tersebut adalah tahun pindahnya al-Farabi ke Damasqus.
6
Hana al-Fakhuri, Tarikh al-Falsafah al’-Arabiyah (Beirut ; Darul ma’arif, 1958) hal. 92
7
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang 1986) hal. 26.

2
3

Dalam menjelaskan filsafat Keesaan Tuhan, al-Farabi bertolak dari


keyakinan bahwa Tuhan Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti
banyak, Maha Sempurna dan tidak membutuhkan kepada apapun.8 Hal ini erat
kaitannya dengan masalah aqidah umat Islam yang merupakan masalah pokok
dalam Islam. Al-Farabi dalam hal ini berusaha memurnikan tauhid dengan cara yang
berbeda dengan Ulama Islam lainnya. Jika golongan mu’tazilah berupaya
memelihara kemurnian tauhid dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan (nafyu al-
sifat), maka al-Farabi berupaya lebih dari itu. Ia tidak saja meniadakan sifat-sifat
tuhan yang serupa dengan-Nya, tetapi juga meniadakan arti banyak dari Tuhan
dengan melalui filsafat emanasi (al-Faidl). Dalam hal ini ia berpendapat bahwa yang
menjadi obyek pemikiran Tuhan harus satu saja, yaitu diri-Nya sendiri, dan dari
pemikiran itu timbullah wujud lain, yaitu alam semesta.9

Teori Emanasi (al-Faidl)

Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari zat yang wajibul wujud (zat yang mesti adanya : Tuhan). Teori
emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.10 Upaya yang
dilakukan oleh al-Farabi (demikian juga Ibnu Sina) bertujuan menunjukkan keesaan
Tuhan dari zat-Nya sendiri dan bukan dari ciptaannya sebagaimana yang dilakukan
oleh para ahli kalam.
Dalam filsafat emanasinya ini al-Farabi menjelaskan bahwa dari wujud
Tuhan yang satu itu memancar wujud alam semesta. Pemancaran ini melalui
tafakkur Tuhan tentang diri-Nya sendiri, tafakkur Tuhan tentang diri-Nya adalah
ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudroh) yang
menciptakan segala sesuatu.11 Selanjutnya tafakkur Tuhan yang Maha Esa tentang
zat-Nya yang Maha Esa itu dapat menciptakan yang terbilang, dengan demikian
terbebaslah Tuhan dari arti yang banyak. Lebih lanjut dari teori emanasi tersebut,
Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-wujud al-
8
Harun Nasution, falsafat & Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan III,
1983, hal. 27
9
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafa dan Tasauf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
cetakan V, 2001 hal 87
10
ibid. hal. 92
11
ibid. hal.87

3
4

awwal) dan dengan pemikiran itu timbullah Wujud Kedua (al-Wujud al-Tsani) dan
juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (al-aql al-awwal) yang tidak
bersifat materi. Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama, dan dari
pemikiran ini timbullah Wujud Ketiga yang disebut Akal Kedua (al-Aql al-Tsani).
Selanjutnya Wujud Kedua atau Akal Pertama itu berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran itu timbul Langit Pertama (al-Samau al-Awwal).12
Selanjutnya akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran itu
timbul Akal Ketiga, dan Akal Ketiga ini dengan tafakkur pada diri-Nya mewujudkan
Alam Bintang, Akal Ketiga kemudian memunculkan Akal Keempat dan Saturnus.
Akal keempat mewujudkan akal kelima dan yupiter, akal kelima mewujudkan akal
keenam dan Mars, akal keenam mewujudkan akal ketujuh dan Matahari, akal
ketujuh mewujudkan akal kedelapan dan Venus, akal kedelapan mewujudkan akal
kesemnbilan dan Merkuri dan akal kesembilan mewujudkan akal kesepuluh dan
Bulan. Akal kesepuluh tidak lagi mewujudkan akal-akal, melainkan mewujudkan
bumi dan jiwa serta materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam,
yaitu : api, udara, air dan tanah.13 Akal I sampai akal IX hanya mengurus benda-
benda langit, sedangkan akal X yang disebut juga “al-aqlu al fa’al” (akal aktif) atau
wahib as shuwar (pemberi bentuk) bertugas mengawasi dn mengurusi kehidupan di
bumi.14
Teori emanasi al-Farabi dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tuhan (Wajib al-Wujud)

Akal I

Akal II Langit I (as-Sama al-Ula)

12
Harun Nasution, op.cit, hal 62
13
ibid, hal 27-28
14
Abdul Aziz Dahlan, Pamikiran Falsafi Dalam Islam, (hakarta : Djambatan) hal. 64-66

4
5

Akal III Langit II (al-Kawakib al-Sabitah)

Akal IV Langit III (Saturnus/Kurrat az-Zuhal)

Akal V Langit IV (Yupiter/Kurrat al-Musytari)

Akal VI Langit V (Mars.Kurrat Al-Mirrikh )

Akal VII Langit V (Matahari/Kurrat al-Syams)

Akal VIII Langit VII (Venus/Kurrat al-Zahra)

Akal IX Langit VIII (Merkurius/Kurrat


a’tarid)

Akal X Langit IX (Bulan/Kurrat al-Qomar)

Bumi, Jiwa-jiwa
dilingkungan bumi

Demikianlah menurut al-Farabi tentang proses penciptaan alam. Dengan


demikian maka terhindarlah Tuhan dari pengertian banyak dan menghantarkan pada
kesimpulan bahwa alam ini adalah qodim, bagi al-Farabi yang qodim bukan hanya

5
6

Allah swt akan tetapi juga ciptaannya, karena menurutnya Tuhan menciptakan hal
ini bukan dari tidak ada, melainkan dari yang ada, karena penciptaan dari yang tidak
ada merupakan hal yang tidak mungkin. Selain itu al-Farabi berpendapat bahwa
alam ini tidak mempunyai permulaan dalam waktu, karena alam ini tidak terjadi
secara berangsur-angsur, melainkan sekaligus dengan tidak berwaktu.15
Kemudian jiwa yang merupakan hasil fikir akal kesepuluh memiliki
beberapa daya sebagai berikut :
1. Daya al-Muharrikah, yaitu daya gerak atau motion, dengan daya ini
menyebabkan manusia dapat makan, memelihara dan berkembang biak.
2. Daya al-Mudrikah, yaitu daya mengetahui atau cognition. Dengan daya ini
manusia dapat berimajenasi dan merasa.
3. daya an-Nathiqoh, yaitu daya berfikir atau intelection. Dengan daya ini
manusia dapat berfikir secara teoritis dan praktis (al-Aqlu an-nadhary wa al-
Amaly).16
Daya berfikir manusia ini memiliki tiga tingkatan yaitu :
1. al-Aql al-Hayulani, yaitu akal potensial atau material intelect. Akal serupa
ini baru berada dalam potensi untuk melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
dari materinya.
2. al-Aql al-Fi’li yaitu akal aktual atau actual intelect, akal ini telah melepaskan
arti-arti dari materinya serta dapat mewijudkan akal potensial menjadi wujud
aktual yang sebenarnya, dalam keadaan seperti ini ia telah mampu
menangkap arti-arti dan konsep-konsep.
3. al-Aql al –Muqtashid atau acquired intelect, yaitu akal yang telah mampu
menangkap bentuk semata-mata tanpa dikaitkan dengan materi. Dan telah
mampu berkomunikasi dengan akal kesepuluh serta mampu menangkap ide-
ide atau gagasan-gagasan.17
Jika akal potensial baru dapat mengerti arti dan bentuk dari materi dengan
bantuan pancaindra, dan akal aktual telah mampunyai kesanggupan menangkap arti
dan konsep sekalipun tanpa bantuan panca indra, maka akal mustafad telah sanggup

15
ibid, hal 28
16
ibid, hal 29-30
17
ibid, hal. 30

6
7

mengadakan hubungan langsung dengan akal kesepuluh atau akal aktif yang
didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala sesuatu yang ada semenjak azali.18
Ada beberapa kerancuan dalam filsafat al-Farabi ini
1. agar tidak menyimpang dari ketauhidan Islam maka nampaknya al-Farabi
dalam menguraikan penciptaan Tuhan terhadap alam ini berpijak pada aliran
platonisme. Ia menganggap Tuhan sebagai wujud yang pertama dan
menciptakan akal-akal benda angkasa. Dengan demikian ia menolak
kepercayaan agama Sabaiah yang mempertuhankan bintang-bintang. Akan
tetapi ia sebenarnya ia terjebak pada fenomena memberi kekuatan pencipta
kepada akal-akal benda angkasa.
2. dalam soal Qodimnya alam, al-Farabi mengikuti aristoteles, untuk tidak
keluar dari ajaran agama Islam ia menggabungkannya dengan ketentuan
Islam tentang penciptaan, bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh
Tuhan, meskipun tidak dalam waktu. Usaha penggabungan ini belum
memberikan solusi yang memuaskan.
3. al-Farabi berusaha mensucikan Allah swt dari bilangan dan materi dengan
mengemukakan teori akal, tetapi ia tetap tidak bisa menjelaskan bagaimana
proses kebendaan keluar dari akal yang tidak berbenda. Lalu ia tetap
mengakui rangkaian alam lahir dan alam kemusnahan dari dzat yang tidak
musnah sesuai teori akalnya.
4. Teori emanasi al-Farabi menjadikan langit adalah hasil pemikiran wujud
kedua atau akal pertama dan bumi adalah hasil pemikiran akal ke sepuluh.
Langit dan bumi tercipta (sebagaimana alam yang lain) sekaligus tidak
memiliki permulaan dalam waktu, teori ini tidak sejalan dengan al-Qur’an :
“katakanlah sesungguhnya patutkah kamu kafir terhadap yang menciptakan
bumi dalam dua yaum dan kamu adakan sekutu-sekut baginya, demikian
itulah tuhan semesta alam. QS : al-Fushilat 9”. Dan “Maka dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua yaum dan Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya… QS : al-Fushilat 12”. Kata yaum pada ayat
diatas bisa diartikan hari, masa atau priode. Namun tetap semua pengertian

18
ibid.

7
8

hal tersebut menunjukkan telah adanya waktu, walaupun waktu yang


dimaksud berbeda kualitasnya dari waktu kita saat ini. Wallahu A’lam.

Teori Kenabian
Al-Farabi tampil sebagai filosof pertama membahas teori Kenabian dengan
cara mengkombinasikan pemikirannya dengan ajaran Islam yang berdasarkan
wahyu. Al-Farabi telah mampu memadukan antara agama dengan falsafah dan yang
merupakan bagian terpenting dalam mazhabnya. Teori ini didasarkan atas pijakan
kejiwaan dan metafisika serta mempunyai hubungan erat dengan politik dan
akhlak.19
Dalam bukunya yang berjudul Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah al-Farabi
menjelaskan pemikiran tentang kenabian yang ia hubungkan dengan teori politiknya,
yang bertumpu pada konsep kota yang ideal atau ideal city. Ia mengatakan bahwa
kota adalah ibarat tubuh manusia yang memiliki bagian-bagian yang saling
berhubungan.
Di dalam kota tersebut terdapat prinsip hubungan sebagaimana badan yang
berhubungan dengan seluruh anggota tubuh lainnya, dan masing-masing mempunyai
fungsi yang harus dilaksanakan. Pekerjaan yang terpenting dalam tubuh manusia
adalah pekerjaan yang menggunakan akal yang ada di kepala.
Dari prinsip peranan kepala inilah, al-Farabi menghubungkannya dengan
peranan kepala atau pimpinan dalam masyarakat. Jika kepala manusia harus sehat
maka kepala pemerintahan pun harus sehat, kuat, pintar, cinta pada ilmu
pengetahuan dan keadilan.20
Selanjutnya ia menyatakan bahwa pimpinan dalam masyarakat harus
mempunyai akal mustafad yang telah mampu berkomunikasi dengna akal kesepuluh,
dan orang yang mempunyai kemampuan seperti itu adalah nabi atau rasul. Oleh
karena itu, kepala suatu pemerintahan harus dipegang oleh Nabi atau Rasul dan jika
Nabi atau rasul telah tiada maka pimpinan harus diserahkan ketangan para filosof,
karena para filisof telah mampu berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Selanjutnya
al-Farabi mengaitkan teori kenabian dengan falsafat polotiknya bahwa kepala negara

19
Hana al-Fakhuri dan khalil al-Jar, op. cit. hal 153
20
al-Farabi, Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah, Mesir, tt. Hal 45-46

8
9

bukan hanya mengatur negara, tetapi mendidik manusia agar memiliki akhlak21
mulia dan hal tersebut hanya bisa terlaksana bila negara dipimpin oleh Nabi atau
Rasul.
Dalam pemikian al-farabi ini Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat
layak menjadi kepala negara karena keduanya telah mampu berhubungan dengan
akal aktif (akal kesepuluh) yang merupakan sumber hukum dan aturan yang
diperlukan bagi kehidupan masyarakat. Kalaulah ada perbedaan, maka itu terletak
hanya pada cara berhubungan dengan akal aktif yang oleh nabi melalui daya khayal,
sedangkan filosof dengan pemikiran akal. Adapun tentang sumber dan materi yang
mereka terima adalah tidak berbeda, karenanya nabi dan filosof membawa
kebenaran yang sama. Namun demikian filosof tidak sejajar tingkatnya dengan Nabi
karena setiap Nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof adalah nabi. Setiap Nabi
memiliki keistimewaan yang melebihi Filosof.22
Ada beberapa hal yang tidak memuaskan dalam teori kenabian yang
dikemukakan al-Farabi, yaitu ;
1. al-Farabi menempatkan Nabi dibawah tingkatan Filosof, karena pengetahuan
yang diperoleh oleh para Filosof melalui daya fikir lebih tinggi dari pada
yang diperoleh melalui daya imajinasi.
2. Pengetahuan yang diperoleh para Nabi melalui daya Imajinasi membuka
peluang setiap manusia menggunakan daya imajinasinya sehingga ia bisa
mencapai derajat nabi. Dan hal ini bertentangan dengan pendapat Ahl as-
Sunnah wa al-Jamaah yang meletakan kenabian sebagai kaih sayang Allah
swt kepada hambanya yang tidak dapat diraih dengan usaha dan ilmu.
3. Tafsiran psikologis terhadap wahyu yang merupakan daya imajinasi tertinggi
pada seorang Nabi bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits.

Ibnu Sina
Asy-Syaikh ar-Rais Abu Ali al-Husain bin Abdillah bin Sina (avicenna)
beliau dilahirkan di Afsyanah (Efshene) di Bukhara pada bulan Safar tahun 370
H/980 M. ibunya seorang berkebangsaan Turki sedang ayahnya diduga peranakan

21
Abuddin Nata, op.cit,. hal.90-91
22
Ahmad Daudy, op.cit,. hal.54-55

9
10

Arab, Persia atau Turki.23 Di Bukhara ia dibesarkan dan belajar Falsafah,


Kedokteran, Manthiq, Matematika, Geometri dan ilmu-ilmu agama Islam. Dalam
usia sepuluh tahun ia telah menghafal al-Qur’an seluruhnya. Pada usianya ke enam
belas tahun ia telah dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam pelbagai
penyakit. Dan ketika usianya delapan belas tahun ia telah menguasai perbagai
cabang ilmu pengetahuan.24 Keberhasilan Ibnu Sina didukung oleh minat belajarnya
yang luar biasa dan kegeniusan otaknya, disamping adanya kebebasan yang
diberikan oleh para penguasa. Menurut Nur Kholis Madjid, di sinilah letaknya
keberuntungan dunia Islam, dari segi politik dunia Islam boleh dikatakan telah porak
poranda, akibat penguasa saling bersaing dang saling mengungguli, namun mereka
tetap mendorong dan melindungi kegiatan intelektual dan ilmiyah. Oleh karena itu,
berbagai kegiatan seperti ini berkembang bagaikan cendawan di musim hujan.25
Diantara ilmu yang sangat menarik baginya adalah kedokteran dan falsafah, dari
bidang kedokteran namanya semakin melambung tinggi ketika ia mampu
menyembuhkan penyakit yang diderita oleh penguasa Bukhara, Nuh bin Mansur
(387 H / 997 M), kemudian karya-karyanya terutama “al-Qonun” atau “Canon of
Medicine” yang pernah diterjemahkan kedalam bahasa Latin menjadi standar bagi
fakultas Kedokteran di Eropa sampai abad ketujuh belas Masehi.26 Kegemarannya
dibidang Falsafah juga telah membuatnya mendalami Falsafah dengan sangat
kesungguhan selama dua tahun, bahkan ia pernah membaca buku metafisika
karangan Aristoteles sebanyak empat puluh kali walaupun sangat sulit
memahaminya hingga setelah ia membaca tulisan al-Farabi barulah ia mampu
memahami buku Metafisaka karangan aristoteles tersebut.27
Karya sastra Ibnu Sina sangat banyak dan kelengkapan risalahnya jauh
mengungguli risalah manapun yang pernah dihasilkan pengarang-pengarang
pertama seperti al-Kindi dan ar-Razi.28 Beliau sangat membantu pertumbuhan kosa
kata filsafat, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia, dimana ia menulis
“Danish Nameh” buku Filsafat pertama dalam bahasa Persia pasca Islam.29 Karya
23
Ibid. hal 66
24
Ibid
25
Nurkholis madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984) hal. 31
26
Ahmad hanafi, op. cit,.hal. 117
27
Ahmad Daudi, op.cit,.hal. 66
28
Majid Fakri, sejarah Filsafat Islam (Jakarta, Pustaka Jaya 1986) cet 1 hal. 193
29
Ibid

10
11

beliau lainnya adalah an-Najah yang berisikan ringkasan kitab as-syifa, dan
kemudian kitab al-Isyarat wa at-tanbihaat, suatu kitab hikmah yang mengandung
kata-kata mutiara dari berbagai ahli fikir yang ditulis dalam bahasa yang padat dan
indah.

Dalam hal filsafat, ibnu Sina juga menganal paham emanasi, walaupun
filsafat emanasi bukanlah renungan Ibnu Sina (juga Al-Farabi), tetapi berasal dari
ramuan Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang
Maha Esa. Filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “ Dari yang satu hanya satu yang
melimpah”.30 Ini di Islamkan oleh Ibnu Sina (juga al-Farabi) bahwa Allah
menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-
Qur’antidak ditemukan informasi yang rinci tentnag penciptaan alam dari matei
yang sudah ada atau dari tiadanya. Walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama,
namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan, yang Esa
Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta (Shoni’ :
agen) yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pencaran.
Proses terjadinya pancaran yaitu ketika Allah wujud (bukan dari yang tiada)
sebagai akal lansung memikirkan (bertaa’ggul) terhadap zatn-Nya yang menjadi
obyek pemikiran-Nya, maka memancarkarlah Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini
memencarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan langit pertama. Dari akal pertama ini
memancarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama dan Langit Pertama. Demikianlah
seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat
menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bimu, roh
materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api dan
tanah.31
Perbedaan dengan al-Faraby, menurut Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai
dua sifat-sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah san sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya . Ibnu Sina membagi obyek pemikiran
akal-akal menjadi tiga : Allah (wajib al-wujud lizathi), dirinya akal-akal (wajib al-

30
T.J. De Boer, Op.cit, Hal. 198
31
Ibnu Sina, al Najat, (Kairo : Mustafa al-Baby al-Halaby, 1938), hal 398 dan lihat juga :
Muhammad Athif al-Iraqy, al-Manhaj, al-falsafat al-islamiyat, hal 219-220

11
12

wujud lighoirih) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-
wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
Dibawah ini dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina.32

Dirinya sendiri
Subyek Allah sebagai Dirinya sendiri
sebagai Wajib al-
akal Sifat Wjib al-wujud Mumkin al- keterangan
Wujud Lhighoiri,
yang ke menghasilkan wujud lizatihi
menghasilkan
Wajib al- Akal II Jiwa II yang
I Langit Pertama
wujud menggerakkan Masing-masing
Mumkin Jiwa III yang
II Akal III Bintang-bintang jiwa berfungsi
al-wujud menggerakkan
sebagai
Jiwa IV yang
III Sda Akal IV Saturnus penggerak satu
menggerakkan
Jiwa V yang planet karena
IV Sda Akal V Yupiter
menggerakkan (immateri) tidak
Jiwa VI yang bisa langsung
V Sda Akal VI Mars
menggerakkan menggerakkan
Jiwa VII yang
VI Sda Akal VII Matahari jisim (materi)
menggerakkan
Jiwa VIII yang
VII Sda Akal VIII Venus
menggerakkan
Jiwa IX yang
VIII Sda Akal IX Markurius
menggerakkan
Jiwa X yang
IX Sda Akal X Bulan
menggerakkan
Akal X tidak lagi
Bumi, roh, materi
memancarkan
pertama yang
Jiwa I yang akal-akal
X Sda - menjadi keempat
menggerakkan berikutnya karena
unsur (udara, api,
kekuatannya
air dan tanah)
sudah lemah

Tentang wujud Ibnu Sina berpendapat bahwa wujud menempati kedudukan


diatas essensi, essensi berada dalam akal, sedangkan wujud berada diluar akal dan
wujudlah yang menyebabkan tiap essensi berada dalam menpunyai kenyataan diluar
32
Sirajuddin Zar, konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran islam, Sains dan al-Qur’an,
(Jakarta : Rajwali Press, 1994) cet. I hal. 180

12
13

akal. Tanpa wujud essensi tidak besar artinya. Dengan demikian Ibnu Sina telah
lebih dahulu mengajukan filsafat eksistensialis daripada filosof modern seperti
Nietzce, kiekegard dan lainnya.33 Selanjutnya essensi dan wujud dapat mengambil
tiga bentuk yaitu :
- wajib al-wujud, yaitu essensi yang mesti mempunyai wujud.
- Mumkin al-wujud (contingent being), yaitu essensi yang boleh
mempunyai wujud dan boleh juga tidak mempunyia wujud
- Mustahil al-wujud (impsible being), yaitu essensi yang tidak ada
wujudnya dalam kenyataan.
Pendapat Ibnu Sina tentang jiwa dan akal lebih terperinci dan sempurna dari
falsafat jiwa dan akal menurut al-Farabi. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat yaitu wajib al-wujud sebagai pancaran Allah swt, dan sifat
mumkin al-wujud jika dintinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina
mempunyai tiga obyek pikiran yaitu ; Tuhan, dirinya sebagai wajib al-wujud dan
dirinya sebagai mumkin al-wujud.34
Teorinya tentang akal selanjutnya membawa pada munculnya falsafah
35
wahyu dan nabi. ia misalnya mengatakan bahwa akal terdiri dari beberapa
tingkatan, dan yang terendah adalah akal material, namun adakalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal material yang lebih kuat. Dan hal ini oleh
Ibnu Sina disebut intuisi. Daya yang demikian besarnya ini bisa langsung
berhubungan dengan akal aktif tanpa harus melalui latihan, demikian juga bisa
menerima cahaya atau wahyu dari Allah swt. Akal serupa ini memiliki daya suci
(al-Quwwah al-Qudsiyah) yang hanya dapat dimiliki oleh seorang nabi.36
Selanjutnya ia juga mempunyai pemikiran filsafat tentang manusia.
Sebagaimana halnya al-Farabi, Ibnu Sina juga menyatakan bahwa manusia terdiri
dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan
alat bagi jiwa untuk melakukan aktifitas. Jasad selalu berubah, berganti, bertambah,
dan berkurang. Sehingga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.

33
Abuddin Nata, op.cit,.hal. 94
34
Ibid, hal. 92-93
35
Ibid, hal. 93
36
ibid

13
14

Dengan demikian hakikat manusia adalah jiwanya, dan perhatian para filosof Islam
dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya daripada jasadnya.37
Ibnu Sina juga mempunyai filsafat tentang keqadiman alam yang bertolak
dari teori emanasinya, menurutnya bahwa alam ini telah ada sejak zaman azali,
karena ia terjadi dengan sebab Allah memikirkan dzatnya sendiri.38 Maksud alam ini
qadim dalam arti zaman, karena alam ini telah melimpah dari Allah sejak azali, akan
tetap ia baharu dan terkemudian dari Allah dari segi kemuliaan, tabiat, sebab dan
martabat.39

Ibnu Thufail
Ibnu Thufail nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al-
Malik bin Muhammad bin Thufai, ia lahir di Guadix, sebuah kota kecil di dekat
Granada, Andalusia, pada tahun 506 H/1110 M*. dan wafat di Maroko pada tahun
581 H/1185 M.* ia berasal dari bangsa Arab keturunan Qabilah Qais. 40 Ia sangat
terkenal dalam bidang Kedokteran, Ilmu Falaq, Sastra dan Falsafah. Disamping itu
ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansyur, khalifah kedua dinasti
Muwahhidin. Ibnu Thufail hidup semasa dengan Ibnu Rusyd, menurut Ahwani
antara Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd telah terjadi surat menyurat mengenai buku
karangan Ibnu Rusyd yang berjudul “al-Kulliyat fi at-Tib”.
Pada masa Khalifah Abu Ya’kub ini Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang
besar dalam pemerintahan dan dalam ilmu pengetahuan. Khalifah sendiri meminati
filsafat dan memberi keleluasaan berfilsafat. Ia meminta Ibnu Thufail untuk
menguraikan buku-buku karya Aristoteles. Untuk memenuhi permintaan tersebut
Ibnu Thufail menghadap Ibnu Rusyd. Selanjutnya Ibnu Thufailpun rela

37
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta, Tintamas 1984). Cet. IV,
hal. 50
38
Abuddin Nata, op.cit,. hal. 94
39
Fakruri, op. cit,. hal.226-227
*
menurut Ahmad Fuad Al-Ahwani dalam bukunya, Filsafat Islam, hal. 93 bahwa “tahun
kelahiran Ibnu Thufail tidak diketahui secara jelas.
*
ada kerancuan antara usia jumlah tahun Hijriah dan Masehi, karena keduannya
menunjukkan bahwa usia Ibnu Thufail adalah adalah 75 tahun, sedang jika perhatikan perbedaan hari
dalam setahun antara tahun Hijriah dan Masehi sekitar 10 hari + 5-6 jam (245-246 jam). Maka selama
75 tahun terjadi perbedaan sekitar 765 hari = 6 jam – 768 hari + 7 jam (sekitar 18375-18450 jam).
Hal ini berarti setidaknya terjadi selisih sekitar 2 tahun 45 hari. Wallahu a’lam.
40
M.M. Syarif, History Of Muslim Psilosopy, vol, III Otto Horraaowitz, Weisbaden, 1963
hal 526. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Tarj. Pustaka Firdaus (Jakrta, Pustaka Firdaus
1997), cet. 8 hal. 93

14
15

meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang dokter yang kemudian digantikan oleh


Ibnu Rusyd.
Sebagaimana para Filosof Islam lainnya, Ibnu thufail juga meninggalkan
karya tulis, namun yang ditemukan saat ini hanya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi
Asrar al-Hikmah al-Masyraqiah, kisah ini ditulis Ibnu Thufail sesungguhyna berisi
berbagai rumusan filsafat yang sudah terpengaruh dengn pemikiran sebelumnya,
tetapi Ibnu Thufail membentuk suatu sistim berfikir tersendiri yang disampaikan
dengan lambang Hayy ibn Yaqzhan sebagai akal fikiran. Penulisan kisah ini diawali
dengan melemparkan kritikan kepada filosof yang hanya mengandalkan logika yang
melupakan adanya sumber pengetahun lain yaitu kasyf Ruhani.41 Dalam hal ini Ibnu
Thufail mencoba mengkombinasikan akal dan az-Zauq untuk menyaksikan
kebenaran.
Pada abad pertengahan, karya Ibnu Thufail ini sangat terkenal, sehingga
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, seperti bahasa Ibrani (1671), bahasa
Belanda (1672) dan bahasa Rusia (1920).42 Walau gagasan roman ini tidak
semuanya baru karena Ibnu Sina telah menulis sebuah buku dengan judul yang
sama, akan tetapi dari segi alur cerita bereda. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari
nama tokoh yang dipakai seperti Hayy ibn Yaqzhan, Salaman dan Absal yang
didapati dalam karya Ibnu Sina.
Meskipun buku Hayy bin Yaqzhan merupakan buku roman yang bersifat
fiksi dan penuh imajinasi, namun bagi orang yang menghayatinya dengan sungguh-
sungguh akan menemukan sinar filsafat dalam roman tersebut. Hayy sebagai
lambang akal fikiran, walaupun sudah jauh terasing dari masyarakat, hidup sendirian
sebagai anak alam, namun tetap tumbuh dengan sendirinya, ia dapat mengenal
Tuhannya tanpa harus belajar dari orang lain. Hal ini merupakan simbol
kesinambungan ikrar manusia ketika berada dalam rahim ibunya. Allah swt
berfirman :
‫وإذ أخذ ربك من بنى أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسسسهم ألسسست‬
(172 ‫ )العراف‬.‫بربكم قالوا بلى شهدنا‬

41
Ahmad Daudi, Op.cit, hal 145
42
M. Saeed Shaikh, Studies In Muslim, (New Delhi, Adam Publisher, 1994), cet. 1 hal. 160-
161

15
16

“dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanimu? Mereka menjawab, “benar Engkau adalah tuhan kami, kami menjadi saksi. Al-A’raf :
172
Sebagaimana para Filosof sebelumnya, Ibnu Thufail juga mengemukakan
pemikirannya yang mencoba merekonsialisasi antara filsafat dan agama, bahwa
filsafat dan agama sama-sama menyampaikan kebenaran. Diantara Filosof Islam,
Ibnu Thufail tampil sebagai seorang filosof yang menulis tentang keharmonisan akal
dan wahyu. Dalam pandangan Ibnu Thufail, Tuhan tidak hanya dapat diketahui
dengan wahyu tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari ajaran
Nabi dapat dapat sampai ketingkat tertinggi dari ma’rifat. Dengan obeservasinya
tentang segala hal yang ada disekelilingnya, membawa Hayy sampai pada
kesimpulan adanya roh, dan adanya perubahan-perubahan pada alam menghasilkan
kesimpulan adanya Tuhan.
Meskipun demikian Ibnu Thufail juga menekankan bahwa mengetahui dan
berhubungan dengan Tuhan terkadang tidak bisa hanya dengan kemampuan akal
murni, sebab kemapuan tersebut hanya khusus pada sebagian orang. Sebab menurut
ibnu Thufail sebagaimana yang dikutif Yusuf Musa, tingkatan manusia ada dua
yaitu : pertama, orang yang tidak sanggup menangkap hakikat-hakikat yang bersifat
matafisik, dan yang terbaik bagi mereka adalah mengikuti pesan syariat
sebagaimana zohirnya agar tidak tersesat. Kedua, mereka yang diberi kemampuan
akal yang kuat hingga mampu menyingkap hakikat-hakikat yang bersifat metafisik.43
Untuk menjekaskan keselaran antara akal dan wahyu, Ibnu Thufail
memunculkan tokoh Absal sebagai simbol wahyu. Wahyu datang memberitakan
permasalahan agama, baik yang berkaitan dengan permasalahan ke-Tuhanan
ataupun Syariat. Ibnu Thufai ingin mengemukakan bahwa akal murni bisa mengenal
Tuhan. Wahyu atau agama bertujuan meluruskan atau menginformasikan hal-hal
yang tidak bisa ditangkap oleh akal sebab bagaimanapun akal tidaklah bersifat
mutlak.
Diantara pokok pikiran Ibnu Thufail yang bisa dipahami dari kisah Hayy
adalah tentang proses perolehan pengetahuan (epistimology). Menurut D. Boer,

43
Muhammad Yusuf Musa, Bain ad-Din wa al-Falsafah, (Mesir, Dar al-Ma’aarif, tt) cet, ke
2 hal. 183

16
17

dalam perkembangan pemikiran Hayy yang disimbolkan Ibnu Thufail, ditemukan


perkembangan dari tahap empiris menuju rasional dan berakhir pada tahap sufistik.44
Perkembangan pemikiran Hayy tersebut melalui beberapa fase, yaitu :
- Fase pertama, Yaqzhan hidup pada tingkat pemikiran yang paling
bersahaja (primitif). Tingkat ini dilanjutkan dengan peniruan Hayy
menutup tubuhnya seperti binatang yang memiliki kulit.
- Fase empiris, tampak dari upaya Hayy mencoba mengambil api untuk
memasak dan mulai berburu.
- Fase Sufistik, tampak dari kejeraan Hayy terhadap dirinya sendiri dan
keheranannya atas kematian kijang yang mengasuhnya,
keheranannya inilah yang menghantarkannya untuk berfikir secara
mendalam, mengapa kijang ini dapat mati.45
Dari gambaran diatas dapat dipahami bahwa telah terjadi perkembangan
pada Hayy dari tahapan empiris, rasio (filsafat) dan berakhir pada tahapan sufistik.
Ada tiga komponen dalam tahap perkembangan Hayy yaitu : inderawi, akal dan
intuisi yang kemudian dikemukakan olehnya sebagai langkah mendapatkan
pengetahuan. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan
inderawi, sedang hal-hal yang bersifat metafisik dapat diketahui dengan akal dan
intuisi.
Kemudian untuk mencapai ma’rifah memiliki dua jalan, pertama,
menggunakan akal, pemikiran atau perenungan seperti yang dilakukan para Filosof
dan kedua, kasyaf ruhani sebagaimana dilakukan oleh para Sufi. Kesesuaian antara
akal dan intuisi dapat dilakukan dengan latihan rohani-rohani dan perenungan.
Makin tinggi latihan tersebut maka semakin besar kemungkinan menangkap realitas
metafisis.
Dari pemikiran diatas dapat dipahami, bahwa Ibnu Thufail tampil menjawab
pandangan al-Ghozali yang meragukan kemampuan akal untuk mengetahui dengan
yakin Tuhan dan alam gaib lainnya, bahkan ibnu Thufail mencoba menampakkan
keunggulan para filosof (yang diwakili Hayy ibn Yaqzhan) bahwa jika seseorang

44
Tj. De Boer, Tarikh al-Falsafah al Islamiyah, Tahqiq Muhammad Abdul Hawi
Rauwaidah, (Beirut, Dar al-Nahdah al-Arabiyah, tt) hal 310-311
45
Miska Muhammad Amin, Epistomologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1993)

17
18

mengikuti jalan para filosof dengan benar niscaya akan sampai kepada pengetahuan
tertinggi, lewat penyaksian akal.

Penutup

Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail adalah diantara para filosof Islam
yang tampil dipentas sejarah dan memberikan torehan emas yang tak ternilai. Karya
mereka sempat mengangkat dunia Islam menjadi dunia bertabur bintang.
kemunculan para filosof Islam ini memberikan gambaran jelas bahwa Islam
merupakan satu agama universal dan memberikan kesempatan bagi akal untuk
berfikir secara profesional dan proporsional.

Daftar Pustaka

18
19

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Tarj. Pustaka Firdaus (Jakarta, Pustaka
Firdaus), cet. 8, 1997

Ali, Yunarsil, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam. (jakarta, Bumi


Aksara), cet. 1, 1997

Amin, Miska Muhammad, Epistomologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1993)

Bakry, Hasbullah, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta, Tintamas). Cet. IV,
1984

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta, Djambatan)

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang 1986)

De Boer, Tj., Tarikh al-Falsafah al Islamiyah, Tahqiq Muhammad Abdul Hawi


Rauwaidah, (Beirut, Dar al-Nahdah al-Arabiyah, tt)

al-Fakhuri, Hana, Tarikh al-Falsafah al’-Arabiyah (Beirut ; Darul ma’arif, 1958)

Fakri, Majid, sejarah Filsafat Islam (Jakarta, Pustaka Jaya) cet 1, 1986

al-Farabi, Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah, Mesir, tt.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1996)

Khillikan, Ibnu, Wafiayatul A’yan (Kairo ; Maktabah an-Nahdah,1948)

Madjid, Nurkholis, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang) 1984

Musa, Muhammad Yusuf, Bain ad-Din wa al-Falsafah, (Mesir, Dar al-Ma’aarif, tt)
cet. 2

Nasution, Harun, falsafat & Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang) cet. III
1983

Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasauf, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada) cet. 8, 2001

Al-Qothfi, Jamaludin, Ikhbaru al-Ulama bi Ikhbar al-Hukama (Cairo, Darl Kutub,


Tt)

19
20

Shaikh, M. Saeed, , Studies In Muslim, (New Delhi, Adam Publisher), cet. 1, 1994

Syarif, M. M, History Of Muslim Psilosopy, vol, III Otto Horraaowitz, Weisbaden,


1963

Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam Dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-
Qur’an (Jakarta, Rajawali Press) cet. I. 1994

20

Anda mungkin juga menyukai