Anda di halaman 1dari 11

Menurut As-Sijistani (w.

391 H/1000 M), para pemuka mereka


adalah Abu Sulaiman Al-Busti (terkenal dengan gelar Al-Muqaddas),
Abu Al-Hasan Az-Zanjani, Abu Ahmad An-Nahrajuri (alias Al-
Mihrajani), Abu Al-Hasan Al-Aufi, dan Zaid bin Rita’ah. Kalangan
Syi’ah, terutama kalangan Syi’ah Ismailiyah mengklaim Ikhwan
Ash-Shafa’ adalah kelompok dari kalangan mereka. Walaupun
identitas mereka tidak jelas, dari risalah ensiklopedis yang mereka
hasilkan, menurut Abu Hayyan At-Tauhidi (w. 414/1023) dan data
internal dalam risalah mereka, dapat disimpulkan bahwa mereka
berasal dari masa antara tahun 347 H/958 M sampai tahun 373
H/983 M atau dari perempat ketiga abad ke-4 H. Pusat kegiatan
mereka di Kota Basrah, tetapi di Baghdad juga terdapat cabang dari
kelompok rahasia itu.

Pemikiran mereka layak dikaji karena lebih dari sekedar kajian


artifisial. Penyebutan mereka sebagai Orang-orang yang tertidur
dalam gua Adam sebagaimana dalam kitabnya Rasa’ilyang diambil
dari Al-Qur’an dan Tujuh Orang Yang Tertidur dalam legenda
Ephesus, mencerminkan misteri identitas mereka. Pengaruh
gagasan Plato, Aristoteles dan terutama Plotinus ada dalam filsafat
Ikhwan.

Sumber-sumber Arab menyebutkan nama masing-masing secara


berbeda-beda, mungkin hal ini merupakan tindakan kerahasiaan
yang mereka upayakan sehingga hanya sedikit sekali yang kita
ketahui tentang kehidupan mereka pada zaman sekarang. Laksana
perkemahan kekasih yang telah ditinggalkan dalam syair Arab
kuno, jejak-jejak perjalanan mereka meredup dan tinggal bayang-
bayang (Netton, 1982:1).

Jemaah Ikhwan Ash-Shafa’ terdiri atas empat kelompok, yaitu:


(1) Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama (para saudara yang baik dan
dikasihi), berusia dari 15 sampai 29 tahun, (2) Al-Ikhwan al-Akhyar
al-Fudala’ (para saudara yang terbaik dan utama), berusia 30
sampai 39 tahun, (3) Al-Ikhwan al-Fudala’ al-Kiram (para saudara
yang utama dan mulia), berusia 40 sampai 49 tahun, dan (4)
kelompok yang berusia 50 tahun ke atas, kelompok elite yang
hatinya telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata
hati.

Ikhwan Ash-Shafa’ menghasilkan—sebagai magnum


opus (masterpiece)-nya yang terhimpun dalam kumpulan tulisan
yang terdiri atas 52 Risalah dengan keluasan dan kualitas beragam
yang mengkaji subjek-subjek berspektrum luas yang merentang
dari musik sampai sihir. Tekanannya bersifat sangat didaktik,
sedangkan kandungannya sangat eklektik. Hal ini memberikan
cerminan pedagogis dan kultural zaman mereka serta beragam
filsafat dan kredo pada masa itu. Rasa’il dibagi dengan apik menjadi
empat bagian utama: 14 terfokus pada ilmu matematis, 17
membahas ilmu kealaman, 10 berhubungan dengan ilmu pedagogis
dan intelektual, dan 11 mengakhiri empat jilid edisi Arab terakhir
dengan memusatkan perhatian pada metafisika atau ilmu teologis.
Aspek pokok Rasa’il adalah bagian utama yang menampilkan
perdebatan panjang antara manusia dan para utusan dari kerajaan
binatang. Ini mengisi sebagian besar Risalah ke-22 yang
berjudul On How the Animals and Their Kinds are Formed (Netton,
1982:2). Bagian ini ditelaah secara ilmiah, dianalisis serta
diterjemahkan oleh L.E. Goodman (1978).

Sayyed Hossein Nasr (1978:39) menyatakan bahwa Sumber-


sumber mengenai Ikhwan, hendaknya dianggap sebagai teks
historis semata. Dia menerjemahkan bagian dari suatu wacana
(Rasa’il 4:42), yang di dalamnya terdapat informasi tentang
universalitas sumber-sumber mereka, dengan memasukkan Wahyu
dan Alam, di samping teks-teks tertulis, sebagai berikut: Kita telah
mengambil pengetahuan dari empat buku. Buku pertamaberisi
ilmu-ilmu matematis dan kealaman yang telah dibangun oleh
orang-orang bijak dan para filsuf. Kedua, terdiri atas kitab-kitab
wahyu, seperti Taurat, Injil dan Al-Qur’an, dan lembaran-lembaran
catatan (shuhuf—penerj.) lain yang dibawa oleh para nabi melalui
malaikat Wahyu. Ketiga adalah buku-buku tentang Alam yang
merupakan gagasan-gagasan (shuwar) dalam pengertian Platonik
mengenai bentuk-bentuk (asykal) ciptaan yang secara aktual ada,
dari susunan benda-benda langit, pembagian zodiak, gerak bintang,
dan sebagainya... hingga perubahan unsur-unsur, produksi
berbagai jenis mineral, tumbuhan dan binatang, dan berbagai
ragam industri manusia... Keempat, terdiri atas buku-buku ilahiah
yang hanya menyentuh orang-orang suci dan malaikat mana yang
dekat dengan makhluk-makhluk pilihan, serta jiwa-jiwa yang mulia
dan suci...

Ikhwan Ash-Shafa membagi pengetahuan pada tiga kelompok,


yaitu: (1) pengetahuan adab/sastra, (2) pengetahuan syariat, dan
(3) pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat dibagi menjadi empat
bagian, yaitu pengetahuan matematika, pengetahuan logika,
pengetahuan fisika, dan pengetahuan ilahiah/metafisika.
Pengetahuan syariat adalah pengetahuan nubuwwah yang
disampaikan oleh para nabi, sedangkan pengetahuan adab/sastra
dan pengetahuan filsafat merupakan hasil upaya jiwa manusia. Bagi
mereka, pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan
syariat atau nubuwwah,yaitu pengetahuan yang diperoleh para nabi
melalui wahyu, sedangkan yang paling mulia setelahnya adalah
pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang tidak diperoleh
melalui wahyu, tetapi melalui pemikiran akal yang mendalam.
Dilihat dari segi objek pengetahuan, dalam pengajaran Ikhwan Ash-
Shafa’, pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang
Tuhan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, kemudian menyusul
pengetahuan tentang hakikat jiwa, hal-ihwalnya, dan hubungannya
dengan raga (tubuh), keberadaannya yang sementara dalam tubuh,
kelepasannya dari tubuh, dan keberadaannya kembali di alam jiwa.
Selanjutnya, pengetahuan tentang hari berbangkit (kiamat), hari
berhimpun. Hari perhitungan amal, hari masuk surga/neraka, dan
perjumpaan dengan Tuhan. Mereka mengajarkan agar para anggota
jemaah Ikhwan Ash-Shafa’ mempelajari semua pengetahuan, tidak
mengabaikan suatu buku, dan tidak fanatik terhadap salah satu
mazhab agama.

Menurut anggota Ikhwan Ash-Shafa’, filsafat memiliki tiga taraf,


yaitu: (1) taraf permulaan, yakni mencintai pengetahuan, (2) taraf
pertengahan, yaitu mengetahui sejauh mana manusia hakikat dari
segala yang ada, (3) taraf akhir, yaitu berbicara dan beramal
dengan sesuatu yang sesuai dengan pengetahuan. Menurut mereka,
filsuf atau orang bijak (hakim) adalah orang yang perbuatan,
aktivitas dan akhlaknya kukuh, pengetahuannya hakiki, tidak
melakukan sesuatu yang menimbulkan bahaya dan tidak pula
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Tujuan filsafat dalam
pengajaran mereka adalah menyerupai Tuhan (at-tasyabbuh bi al-
Hah) sejauh kemampuan manusia.

Untuk mencapai tujuan itu, manusia harus berijtihad (berupaya


sungguh-sungguh) menjauhkan diri dari berkata bohong dan
meyakini akidah yang batil, pengetahuan yang keliru, dan akhlak
yang rendah, serta berbuat jahat dan melakukan pekerjaan secara
tidak sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai upaya
menyerupai Tuhan karena Tuhan hanya mengatakan yang benar
dan hanya melakukan kebaikan. Dalam penilaian mereka, syariat
telah dikotori oleh kebodohan dan kesesatan manusia dalam
memahaminya. Menurut mereka, tidak ada jalan untuk
membersihkannya, kecuali dengan filsafat karena filsafat
mengandung hikmah dan kemaslahatan.
Sebagaimana Al-Farabi, Ikhwan Ash-Shafa’ juga menganut paham
penciptaan alam oleh Tuhan melalui cara emanasi. Akan tetapi,
paham emanasi mereka berbeda dengan paham emanasi Al-Farabi.
Menurut mereka, Tuhan memancarkan akal universal atau akal
aktif. Akal universal memancarkan jiwa universal. Jiwa universal
memancarkan materi pertama, yaitu bentuk dan jiwa. Dari materi
pertama muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa. Jiwa
universal dengan bantuan akal universal menggerakkan materi
pertama sehingga mengambil bentuk yang memiliki dimensi
panjang, lebar, dan tinggi. Dengan demikian, terwujud tubuh yang
mutlak. Dengan tubuh mutlak itu tersusun alam falak/langit dan
unsur yang empat (tanah, air, udara, dan api). Karena pengaruh
gerakan langit yang berputar, terjadi percampuran unsur yang
empat sehingga dapat muncul mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan manusia. 

Di alam langit, yang lebih dahulu muncul adalah wujud yang mulia
(akal universal, kemudian jiwa universal, dan seterusnya). Adapun
di bumi, yang paling akhir muncul adalah yang paling mulia
(didahului oleh mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia). Apabila
diurutkan, kemunculan wujud itu dari yang pertama sampai yang
terakhir, urutannya adalah: (1) Tuhan; (2) akal universal; (3) jiwa
universal; (4) materi pertama dan bentuk; (5) tabiat; (6) tubuh
mutlak; (7) falak/langit; (8) unsur yang empat (tanah, air, udara,
dan api); (9) yang dilahirkan dari empat unsur dan/tanpa jiwa;
mulai dari benda-benda mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia.
Jika menurut Al-Farabi, penciptaan alam merupakan akibat aktivitas
Tuhan berpikir tentang diri-Nya, pada filsafat Ikhwan Ash-Shafa’
penciptaan alam oleh Tuhan merupakan manifestasi kepemurahan
Tuhan. Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan potensi alam
raga yang tersusun. Ia menciptakan segenap alam rohani sekaligus,
sedangkan alam raga yang tersusun diciptakan-Nya berangsur-
angsur dengan mengubahnya dari keberadaan potensial pada
keberadaan aktual. Keberadaan seorang ayah secara aktual lebih
dahulu daripada keberadaan anak secara aktual, tetapi keberadaan
keduanya secara potensial adalah sama. Tuhan berperan sebagai
sebab pertama dan langsung bagi keberadaan akal universal, tetapi
hanya sebagai sebab pertama dan tidak langsung bagi keberadaan
dan terjadinya perubahan pada segenap ciptaan-Nya yang lain.

Tuhan adalah Wujud Yang Maha Sempurna. Sejak azali, pada


dirinya terdapat bentuk-bentuk dari (pengetahuan tentang) segala
wujud yang ada. Bentuk-bentuk dari segala yang ada itu,
dilimpahkan-Nya pada akal universal secara langsung, dan pada
jiwa universal melalui akal universal. Oleh sebab itulah, dikatakan
bahwa Tuhan adalah guru akal universal, akal universal adalah guru
jiwa universal, jiwa universal adalah guru para malaikat, para
malaikat adalah guru para nabi dan filsuf, sedangkan para nabi dan
filsuf adalah guru segenap manusia. Pada jiwa manusia, bentuk
atau segenap pengetahuan itu, pada mulanya belum secara aktual,
tetapi secara potensial saja. Melalui berbagai jalan (tangkapan
indra, pemikiran akal instingtif, akal yang diupayakan, atau melalui
ilham dan wahyu) pengetahuan itu mengaktual dalam jiwa manusia
secara bertahap.

Membaca selintas teks Rasa’il akan menemukan besarnya perhatian


Ikhwan pada angka. Menurutnya, seseorang mempelajari terlebih
dahulu matematika dan bilangan sebelum mempelajari cabang-
cabang pengetahuan lain (yang lebih tinggi), seperti fisika, logika,
dan ketuhanan (Rasa’il, 1:49). Ikhwan
memegang keyakinan Pythagoreanbahwa sifat dasar hal-hal yang
diciptakan adalah sesuai dengan sifat dasar bilangan dan
menyatakan, Inilah mazhab pemikiran ikhwan kami (Netton,
1982:10). Mereka juga mengikuti kaum Pythagorean dalam hal
kepeduliannya yang besar terhadap angka-angka tertentu. Secara
khusus, Ikhwan memberikan perhatian khusus terhadap angka
empat, penghormatan yang melampaui bilangan matematika murni.

Mereka misalnya menaruh perhatian pada empat musim, empat


angin, empat arah mata angin, dan empat unsur empedoclean,
serta empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia.
Kecapi mempunyai empat senar dan materi dapat dibagi menjadi
empat jenis. Alasan di balik pemuliaan terhadap angka empat ini
ditemukan dalam pernyataan, Tuhan menciptakan banyak hal
dalam kelompok empat-empat dan... materi-materi alam tersusun
secara empat-empat yang pada dasarnya berkaitan atau selaras,
dengan empat prinsip spiritual yang berkedudukan di atas mereka,
yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal, dan
Materi Pertama (Netton, 1982:11).

Menurut Ikhwan Ash-Shafa’, seseorang dapat belajar tentang


keesaan Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan angka. Ia menyatakan, Pythagoras percaya bahwa yang
kedua menuntun ke yang pertama (Rasa’il, 3:200). Meskipun
mencurahkan perhatian pada bilangan, Ikhwan Ash-Shafa’ berusaha
menghindarkan diri dari kesalahan utama kaum Pythagorean,
seperti dicatat oleh Aristoteles, ketika angka dan hal yang
diangkakan dirancukan. Mereka juga menolak
gagasan Pythagorean tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi), dan
lebih berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai
dalam satu kali kehidupan di bumilah yang dapat memasukkan
manusia ke dalam surga (Netton, 1982: 12-14).
Bentuk-bentuk atau ide-ide (ideal) Platonik dalam Rasa’il Ikhwan
Ash-Shafa’ tidak dapat dikatakan bersifat Platonik. Akan tetapi,
yang sangat ditekankan Ikhwan Ash-Shafa’ adalah konsepsi mereka
mengenai filsuf Platonik sebagai pahlawan (hero). Dalam bagian-
bagian yang memiliki kaitan erat setidak-tidaknya dengan kerangka
dialog Phadeo dan Crito, Sokrates dikagumi dan dihormati sebagai
filsuf besar yang mengetahui cara mati dengan gagah berani. Yang
juga menarik adalah bahwa Ikhwan Ash-Shafa’ menyesuaikan
deskripsi mengenai adegan kematian Sokrates  dengan doktrin
sendiri. Sokrates  dibuat seolah-olah mengucapkan terminologi yang
sangat mengingatkan kita hierarki pilihan Ikhwan Ash-Shafa’
(Netton, 1982:16-19). Pandangan Platobahwa raga merupakan
penghalang bagi tercapainya kesempurnaan jiwa juga dianut
Ikhwan Ash-Shafa’, tetapi mereka menolak epistemologi Plato yang
mencurigai persepsi Indra. Mereka menjelaskan dengan cermat
bahwa metode pengajaran harus melalui indra, kemudian intelek,
dan akhirnya deduksi logis. Tanpa indra seseorang tidak dapat
mengetahui apa-apa (Rasa’il 3:424). Itulah perbedaan yang paling
jelas antara pandangan Ash-Shafa’ dan pandangan Plato (Netton,
1982:17-18).

Kontribusi Aristoteles  pada karya-karya Ikhwan Ash-Shafa’ adalah


pada bidang terminologi metafisika, bidang yang sering diserbu oleh
terminologi Neoplatonisme. Oleh karena itu, ditemukan istilah
substansi dan aksiden, materi dan bentuk, potensi dan aktualitas,
dan beberapa istilah Aristotelian lain yang tersebar di seluruh teks
mereka. Dua contoh bagaimana istilah-istilah dasar Aristoteles di-
Neoplatonis-kan dalam karya Ikhwan Ash-Shafa’:
yang pertama berkaitan dengan empat sebab klasik Aristoteles:
(1) Di antara empat sebab tumbuhan, dua yang dianggap/diakui
unsur, sebab finalnya (al-‘illah al-ilgha’iyyah) adalah ketentuan
penyediaan makanan bagi binatang; tetapi sebab efisiennya
(al-‘illah al-fa’iliyyah) adalah kekuatan Jiwa Universal; sedangkan
sebab formalnya (al-‘illah al-shurriyyah) berkaitan dengan alasan-
alasan kebinatangan yang panjang penjelasannya. (Rasa’il, 2:155;
Netton, 1982:25).

(2) Menggambarkan apa yang dilakukan Ikhwan Ash-Shafa’


terhadap kategori Aristoteles. Jika hierarki, pembagian, dan
emanasi dapat dikatakan sebagai ciri-ciri kunci Neoplatonisme,
setidaknya dua yang pertama, tampak jelas secara utuh dalam
kutipan sebagai berikut: Substansi, pertama-tama, terbagi ke
dalam aspek-aspek jasmani (jasmani) dan spiritualnya (rohani).
Substansi jasmani dibagi lagi menjadi yang berkaitan dengan alam
langit atau alam angkasa (falaki) dan alam natur (thabi’i), dan
begitu seterusnya hingga pembagian akhir: menjadi binatang-
binatang yang lahir dari kandungan, telur, dan materi yang telah
membusuk. Kuantitas (kamm) juga dibagi menjadi kuantitas yang
terpisah (munfashil) dan yang terikat (muttashil) (Rasa’il, 1:408-9;
Netton, 1982:37). Metamorfosis (perubahan bentuk) paling luar
biasa yang mengambil istilah-istilah Aristoteles adalah berikut ini,
ketika bentuk dikemukakan dalam terma substansi: Ikhwan Ash-
Shafa’ menulis, Ketahuilah bahwa ada dua jenis bentuk (ash-
shurah): yang menyusun (muqawwimah) dan yang
menyempurnakan (mutammimah). Para sarjana menyebut bentuk-
bentuk yang menyusun sebagai substansi (jawahir) dan bentuk-
bentuk yang menyempurnakan sebagai aksiden (a’radh). (Rasa’il,
1:401; Netton, 1982:45).
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash-Shafa’
memandang manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jiwa, yang
bersifat imateri, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah,
air, udara, dan api. Dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan
bahwa masuknya jiwa ke dalam tubuh merupakan hukuman pada
jiwa yang telah melakukan pelanggaran (melanggar larangan
Tuhan, seperti dalam kisah Adam a.s. dan pasangannya, Hawa).
Karena pelanggaran itu, jiwa diusir dari surga, yaitu alam rohani,
dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh. Dengan hukuman
itu, jiwa yang semula memiliki pengetahuan yang banyak secara
aktual, setelah memasuki tubuh, menjadi lupa dengan
pengetahuannya, dan jadilah pengetahuan itu terdapat dalam jiwa
secara potensial saja. Dengan bantuan tubuh dan pancaindra tubuh
sebagai alat jiwa, secara berangsur-angsur, jiwa manusia dapat
memiliki kembali pengetahuan secara aktual.

Dalam versi lain tidak tergambar bahwa keterusiran Adam a.s. dari
surga ke bumi adalah keterusiran jiwanya dari alam ruhani, yang
merupakan surga bagi jiwa, masuk ke dalam tubuh yang terdapat
di bumi. Tulisan versi ini menggambarkan bahwa Adam a.s. dan
pasangannya Hawa, berada di surga, yakni taman yang subur dan
menyenangkan yang terletak di suatu tempat yang tinggi di bumi
juga. Karena setan berhasil menipu keduanya hingga melanggar
larangan Tuhan, keduanya diusir dari tempat yang tinggi itu dan
harus turun ke tempat yang lebih rendah di bumi, menjalani
kehidupan yang jauh lebih susah karena tempatnya yang baru
bukan taman yang subur.

Terlepas dari sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia, pada


awalnya jiwa manusia, menurut Ikhwan Ash-Shafa’, karena berada
di dalam tubuh, tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki
kemampuan untuk menerima pengetahuan secara berangsur-
angsur. Manusia harus dididik sedemikian rupa dengan ajaran-
ajaran yang diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga
mengaktual pada jiwanya pandangan keyakinan dan pengetahuan
yang benar, baik tentang realitas maupun tentang apa yang
seharusnya dibiasakan manusia. Dengan pendidikan yang benar,
jiwa manusia menjadi suci, tidak bergelimang dosa karena
memperturutkan hawa nafsu. Jiwa manusia yang bersih ini
dikatakan oleh Ikhwan Ash-Shafa’ sebagai malaikat dalam potensi.
Apabila datang waktu kematian, yaitu berpisahnya jiwa dari tubuh,
jiwa manusia mengaktual menjadi malaikat, masuk ke alam surga,
alam rohani, yang terletak di alam langit, serta berbahagia di sana
dengan segala macam kesenangan rohani. Sebaliknya, jiwa
manusia yang bergelimang dosa dan kotor karena memperturutkan
hawa nafsu dikatakan sebagai setan dalam potensi. Apabila datang
waktu kematian, jiwa manusia itu mengaktual menjadi setan, tidak
bisa naik ke alam surga di langit, tetapi terombang-ambing dalam
gelombang materi, menderita dalam neraka materi di bumi dan
lapisan udara di bawah langit/falak bulan karena keinginannya yang
tetap membara untuk mendapatkan kesenangan melalui jasmani
tidak pernah terpenuhi.

Baik emanasi maupun hierarki, yang merupakan istilah-istilah kunci


Neoplatonisme klasik, tergambar dengan jelas dalam pemikiran
Ikhwan Ash-Shafa’. Dengan menggunakan tamsil matahari, yang
memiliki kesamaan dengan pembandingan yang digunakan oleh
Plotinus sebelumnya, ia menyatakan: Bagaimana kepemurahan dan
kebaikan yang terdapat pada Tuhan memancar (afadhah) dari-
Nya melalui keniscayaan kebijaksanaan (bi-wajib al-hikmah)
sebagaimana cahaya dan kecemerlangan memancar dari matahari.
Produk pertama emanasi (faidh) terus-menerus ini disebut Akal
Aktif (al-‘aql al-fa’al), kemudian memancar Akal Pasif (al-‘aql al-
munfa’il) atau Jiwa Universal; dari yang terakhir inilah memancar
Materi Pertama”(Netton, 1982:35).

Perbedaan besar antara Plotinus dan Ikhwan Ash-Shafa’ tampak


dalam hierarki wujud Ikhwan. Plotinus memostulatkan struktur
yang relatif sederhana, setidak-tidaknya dalam komposisinya jika
tidak dalam elaborasi, teologisnya, tentang Yang Esa, Akal, dan
Jiwa, sedangkan Ash-Shafa’ mengembangkan hierarki wujud ini
menjadi sembilan tingkat struktur emanasi.
Neoplatonisme Rasa’il yang dihasilkan oleh Ikhwan Ash-Shafa’ tidak
mungkin ditekankan. Penyerapan karya-karya ini, di samping
elemen Aristotelian dan elemen-elemen lainnya,
menjadikan Rasa’il sebagai salah satu karya paling sinkretis yang
dikenal dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Akan tetapi,
perlu disebutkan di sini, kita tidak boleh membiarkan tulisan-tulisan
mereka memberikan kesan sinkretisme yang sama sekali tidak
orisinal dan tidak berarti apa-apa. Rasa’il bukan sekedar
penggabungan total dari berbagai pengaruh. Realitasnya jauh lebih
subtil. Sinkretisme menjelaskan sebagian kontradiksi dalam teks
mereka, tetapi tujuan mereka adalah menerangkan orisinalitas
mereka yang sebenarnya.

Hal yang diinginkan Ikhwan Ash-Shafa’ dan tujuan yang ingin


dicapai dengan menggunakan setiap doktrin Islam dan non-Islam
yang dapat mereka kumpulkan adalah keselamatan yang hendak
dicapai melalui penyucian diri dalam kehidupan. 

Apakah Ikhwan Ash-Shafa’ benar-benar Muslim? Pertanyaan ini


dapat dijawab dengan dua cara, bergantung pada eksklusif atau
inklusifnya citra yang dimiliki seseorang mengenai Islam (Netton,
1982:106). Cara yang baik untuk mencirikan atau mengikhtisarkan
mereka adalah menyebut Ikhwan sebagai Orang-orang Muslim yang
bijak (Netton, 1981:67). Mereka sangat menghormati pengetahuan
dan kebijaksanaan. Karena menghargai intelek, mereka sering
melalaikan tubuh dalam cara-cara yang benar-benar asketis dan
Platonik. Minat mereka pada kecermatan pemikiran, dan pandangan
yang mendukung gagasan mereka, telah membawa mereka pada
eklektisisme rumit yang mencakup pandangan orang Kristen dan
orang India, dan membuahkan capaian lanjut mereka dalam
matematika. Apakah mereka benar-benar filsuf atau sekedar
intelektual pembual (magpies) tanpa suatu sistem yang jelas? Jika
seseorang mendefinisikan filsuf menurut pengertian etimologis
aktual kata itu, jawabannya ya. Mungkin mereka tidak melahirkan
suatu sistem tunggal yang rapi. Teks mereka tampak sarat dengan
kontradiksi, tetapi tidak diragukan lagi bahwa teks itu ditopang oleh
pendirian filosofis dan teologis yang asli, pendirian tentang
keselamatan melalui asketisme dan kebijaksanaan. Begitulah
Ikhwan Ash-Shafa’—misteri sejarah yang memberikan nilai yang
tinggi dalam filsafat Islam.

Secara sistematik, pemikiran filsafat bagi golongan Ikhwan Ash-


Shafa’ bertingkat-tingkat. Pertama-tama, cinta pada ilmu,
kemudian mengetahui hakikat wujud menurut kesanggupan
manusia, dan terakhir adalah berkata dan berbuat sesuai dengan
ilmu. Mengenai lapangan filsafat, Ikhwan Ash-Shafa’ membaginya
menjadi empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu
ketuhanan, ilmu ketuhanan memiliki bagian-bagian yaitu:
1. Mengetahui Tuhan
2. Ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan
3. Ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh dan jiwa, yang ada pada
benda langit dan benda alam
4. Ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan,
politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah
tangga), politik pribadi (akhlak)
5. Ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat hidup di hari
kemudian
BACA JUGA

 Leila Ahmed. Pemikiran Gender dalam Karya-Karyanya


 Nawal El-Saadawi. Perempuan di Titik Nol
 Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan

Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan


Ash-Shafa’ adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat
mungkin. Definisi filsafat secara lebih terperinci adalah cinta pada
ilmu pengetahuan di samping pengetahuan mengenai esensi segala
wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan
keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.

Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan Ash-Shafa’


yakin bahwa tidak ada pertentangan serius antara filsafat dan
agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan sesuai dengan
kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan Ash-Shafa’
dapat dicapai melalui pengetahuan teoretis atau amal kebajikan
yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat
dan agama hanya berada pada tataran yang subsider, yakni
bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduanya.

Bagi Ikhwan Ash-Shafa’, nilai utama filsafat terletak pada upayanya


mengungkap pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat
juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna
eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan,
filsafat mengajarkan bahwa hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan,
kebodohan, dan kebutaan adalah bersikap puas terhadap tafsiran-
tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenangan ragawi dan
imbalan kasat mata.

Anda mungkin juga menyukai