Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Filsafat sebagai dalam dunia Islam telah membuktikan dirinya sebagai


penggerak utama bagi pengetahuan yang kemudian menjadi pondasi bagi
peradaban Islam. Filsafat cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada
masa dahulu hingga sekarang. Al-Farabi merupakan seorang filosof muslim
sebagai penerus tradisi intelektual Al-Kindi, namun dengan kemampuan,
kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih mendalam lagi.
Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang
sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida
studi falsafah dalam Islam.
Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam mendapat kehormatan dengan
julukan al-Muallim al-Sany (Guru Kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan
jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Oemar Amin Hoesin
berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas itu
diemban Al-Farabi sebagai guru kedua.1 Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran
filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya hanya satu, yaitu sama-sama
mencari kebenaran yang satu, karena tujuan filsafat ialah memikirkan kebenaran,
sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya.
Kalaupun berbeda, hanya pada lahirnya. Upayanya ini terealisasi ketika ia
mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam bukunya yang populer
al-Jam’ bain al-Ra’yai al-Hakimain, dan antara filasafat dan agama.2
Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu.
Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan dan kerajinanya
serta ketajaman otaknya.3
Dalam makalah ini membahas pemikiran-pemikiran Al-Farabi tentang
teori emanasi, filsafat jiwa, filsafat kenabian dan filsafat politik.

1
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 67
2
Ibid, hlm. 68
3
Ibid, hlm. 66

1
PEMBAHASAN

A. Biografi singkat Al-Farabi


Al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibnu Thorhan
Al-Farabi. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat
ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). 4 Al-
Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas
mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya.
Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar
untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal
pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan,
ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.5 Pokok-
pokok pemikiran Al Farabi yang lain, yaitu : logika, filsafat, metafisika,
hakikat dan sifat Tuhan, etika serta politik. 6
Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik
Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana
waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan
malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat.
Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali
lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang
kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru
Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah
sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat,
bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi
asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan
pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada
bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia
delapan puluh tahun.7
4
Drs, H, Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, cet.1, 1997, hlm. 125-126
5
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern,Pustaka Pesantren,
2004, hlm. 71-73
6
Drs. H. Musa Asya’arie, Filasafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis,
Prospektif, Lesfi, Yogya, 1992, hlm. 20
7
Ahmad Zainul Hamdi, Op.cit, hlm. 74

2
B. Teori Emanasi
Dalam falsafah ini, Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang
banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat Maha Satu, tidak berubah,
jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat
pada apapun. Kalau demikian hakikat Tuhan, bagaimana alam materi ini dari
yang Maha Satu? Menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi. 8
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam
makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan).
Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud”.9
Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana cara terjadinya emanasi
tersebut? Seperti halnya Plotinus, Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu Esa
sama sekali. Karena itu, yang keluar dari-Nya juga satu wujud saja, sebab
emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang
satu. Dasar adanya emanasi tersebut adalah karena dalam pemikiran Tuhan
dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam
alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah
kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya. 10
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal pertama yang
mengandung dua segi yaitu :
1) Segi hakikatnya sendiri, yaitu wujud yang mungkin
2) Segi lain, yang wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya
Tuhan, sebagi zat yang menjadikan.
Jadi meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal) namun pada dirinya
terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi-segi lain, maka dapat
dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.
Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang
wajib (nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui Tuhan, maka
keluarlah Akal kedua. Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya

8
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 21
9
A. Hanafi, M.A, Pengantar Filsafat Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hlm. 137
10
Drs. H.A. Mustofa, Op.cit, hlm. 160

3
sebagai wujud yang mungkin dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit
pertama atau benda langit dan jiwanya.
Dari Akal kedua, timbullah Akal ketiga dan langit kedua atau bintang-
bintang tetap beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti terjadi pada akal
pertama.
Dari Akal ketiga, keluarlah Akal keempat dan planet Saturnus, juga
beserta jiwanya. Dari Akal keempat, keluarlah Akal kelima dan planet Yupiter
beserta jiwanya.
Dari Akal kelima keluarlah Akal keenam dan planet Mars beserta
jiwanya.
Dari Akal ke keenam keluarlah Akal ketujuh dan matahari beserta
jiwanya.
Dari Akal ketujuh keluarlah Akal kedelapan dan planet Venus juga
beserta jiwanya.
Dari Akal kedelapan keluarlah Akal kesembilan dan planet Merkurius
beserta jiwanya pula.
Dari Akal kesembilan keluarlah Akal kesepuluh dan bulan.
Dengan demikian, maka dari satu akal keluarlah satu akal dan planet
beserta jiwanya.11
Dari Akal kesepuluh, sesudah dengan dua seginya, yaitu wajibul wujud
karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya. 12
Mengapa jumlah akal dibatasi sampai sepuluh? Jumlah akal dibatasi
pada bilangan sepuluh, ini disesuaikan dengan bintang yang berjumlah
sembilan, untuk tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal
pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Teori Emanasi Al Farabi saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis pada
saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa
menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian Al-Farabi menambah dua lagi yaitu
benda yang terjauh dan bintang-bintang tetap, yang diambil dari Ptolomey

11
Ibid, hlm. 161
12
Ibid.

4
(atau Cladius Ptolomazus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang
hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi.13

C. Filsafat Jiwa
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari Akal Kesepuluh.
Jiwa adalah jauhar rohani sebagi form bagi jasad. Masing-masing keduanya
mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa
binasa pada jiwa.14
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut.
a) Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan,
memelihara, dan berkembang
b) Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa
dan berimajinasi.
c) Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir
secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat berikut.
1. Akal Potensial (al-Hayulany), ialah akal yang baru mempunyai potensi
berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari
materinya.
2. Akal Aktual (al-Aql bi al-fi’il), akal yang telah dapat melepaskan arti-arti
dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang
sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk
aktual.
3. Akal Mustafad (al-‘Aql al-Mustafad), akal yang telah dapat menangkap
bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai
kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan
filsafat Negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada Negara utama, yakni
jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa
ini, menurut Al-Farabi, akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi
dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada hegara fasiqah, yakni jiwa yang
13
Lihat Ibid, hlm. 162
14
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Op.cit, hlm. 87

5
kenal Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah Allah, ia kembali ke
alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara itu,
jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali
dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap
bagaikan jiwa hewan.15

D. Filsafat Kenabian
Filsafat kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam
kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Fa’al. Motif
lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap
eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibnu Ishaq Al-Ruwandi
(w.akhir abad III H). Tokoh yang berkebangsaan Yahudi ini menurunkan
beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan
kenabian Muhammad Saw. Khususnya. Kritiknya ini dapat dideskripsikan
sebagai berikut.
a. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui
perbuatan baik dan buruk, menerima seruhan dan larangan-Nya.
b. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat
lain.
c. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan serigala bisa
berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang
Badr dan mengapa dalam perang Uhud tidak?
d. Alquran bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (al-khariq
al-‘adat). Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah Alquran,
karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad
adalah kabilah yang paling pasahah di kalangan Arab.

15
Ibid, hlm. 87-88

6
Justru itulah, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca
buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku astronomi, logika, dan
obat-obatan.16
Dikarenakan oleh suasana tersebut, Al-Farabi merasa harus menjawab
tantangan dari Ahmad ibnu Ishaq Al-Ruwandi, apalagi Al-Farabi segenerasi
dengannya, karena kenabian adalah asas sentral dalam agama, apabila ia telah
batal, maka membawa kebatalan pada agama itu sendiri. 17 Selain Ahmad ibnu
Ishaq Al-Ruwandi, ada lagi seorang tokoh filsafat yang sependapat menolak
masalah kenabian yaitu Ar-Razi.18
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al
(Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan
imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para
filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya
ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.19
Filsafat kenabian al-Farabi berkaitan erat dengan daya-daya jiwa
manusia yang terbagi dalam lima tahap yaitu :
- Pertumbuhan (memungkinkan manusia untuk tumbuh),
- Penginderaan (memungkinkan manusia menerima rangsangan, seperti
panas, dingin, mendegar, mengecap dan lain-lain),
- Bernafsu (memungkinkan manusia untuk merasakan suka atau tidak suka
terhadap sesuatu),
- Mengkhayal (memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari hal-
hal yang dirasakan setelah objek tersebut lenyap dari jangkauan indera,
menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga
menghasilkan kombinasi yang beraneka ragam, dan hasilnya bisa benar,
atau tidak)
- Berpikir (memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan
yang mulia dari yang hina serta menguasai ilmu). Menurutnya, manusia
memperoleh pengetahuan dari daya mengindera, mengkhayal dan berfikir.
Ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia yaitu jism, nafs, dan aql.
16
Ibid, hlm. 78-79
17
Lihat, Ibid.
18
Lihat Drs. H.A. Mustofa, Op.cit, hlm. 162
19
Ibid, hlm. 79

7
Daya mengindera merujuk pada indera eksternal sedang daya mengkhayal
dan berfikir disebut dengan indera internal. 20
Daya mengindera hanya dapat mengetahui dunia eksternal, yaitu
materiil. Penginderaan tidak dapat mencapai objek setelah materinya tidak
ada. Maka, guna mengabstraksi materi agar memperoleh pengertian bentuk-
bentuk, manusia membutuhkan daya diatas mengindera, yaitu daya
mengkhayal. Untuk menyimpan bentuk-bentuk setelah objek menghilang dari
jangkauan penginderaan dilakukan daya representasi, daya estimasi, disimpan
dalam daya ingat, daya kompositif (berfungsi menggabungkan citra-citra
tertentu dengan citra yang lain atau memilah-milahnya, dalam daya kompositif
pada manusia disebut imajinasi rasional dan pada hewan disebut imajinasi
sensitif. Jadi daya mengkhayal memiliki lima indera yaitu representasi,
estimasi, memori, imajinasi rasional, dan imajinasi sensitif. 21
Setelah daya mengkhayal, manusia untuk memperoleh pengetahuan
memiliki daya berfikir untuk memahami. Daya pikir ini menurut Al-farabi
menjadi dua : praktis dan teoretis. Kemampuan berfikir praktis adalah sesuatu
yang dimanfaatkan untuk membedakan sedemikian rupa satu sama lain
sehingga kita dapat menciptakannya atau mengubahnya menjadi satu kondisi
ke kondisi lainnya. Apa yang menjadi persoalannya adalah masalah
ketrampilan-ketrampilan, misalnya, pertukangan, pertanian, kedokteran,
navigasi (pelayaran). Sedangkan daya pikir teoretis berkaitan dengan bentuk
objek intelektual atau yang biasa disebut Al-Farabi dengan istilah ma’qulat.22
Konsep Al-Farabi, manusia bisa berhubungan dengan Akal Fa’al,
namun tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al
fa’āl. Melainkan hanya orang yang memiliki jiwa suci yang dapat menembus
dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui
renungan-renungan fikiran yang banyak, akan tetapi di samping melalui
pemikiran hubungan dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi,
dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang

20
Lihat Ahmad Zainul Hamdi, Op.cit, hlm. 75-77
21
Ibid, hlm. 77-79
22
Ibid, hlm. 79

8
disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi
tersebut.23
Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut Al-Farabi, adalah bahwa
nabi mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan ia dapat
berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada
waktu ia terjaga. Dengan imajinasi tersebut ia dapat menerima pengetahuan-
pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan
impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al
aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya,
tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat
berhubungan dengan al aql al fa’āl (akal ke sepuluh/jibril).24

E. Filsafat Politik
Al-Farabi berpendapat, bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti
berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif dan akhlak.
Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat
manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur
memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti.25
Kebahagiaan manusia diperoleh karena tindakan dan perbuatan serta
cara hidup yang ia jalankan. Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang
hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang ini (di dunia ini),
tetapi sesudah kehidupan sekarang yaitu al-akhirat. Namun sekarang ini juga
ada kebahagiaan yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan dan
kesenangan yang dapat nampak dan dijadikan pedoman hidup. Kebahagiaan
sejati senantiasa dengan suatu tindakan-tindakan yang mulia, kebijakan-
kebijakan dan keutamaan-keutamaan. Maka untuk menuju ke arah itu
terwujud melalui kepemimpinan yang tegak dan benar-benar. Kepemimpinan
tumbuh dari Keahlian dan pembawaan manusia. Hal ini dapat mengarahkan
manusia dalam menegakkan nilai-nilai utama dan tindakan-tindakan yang

23
Lihat Drs. H.A. Mustofa, Op.cit, hlm. 140
24
Lihat Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Op.cit, hlm. 80
25
Drs. H.A. Mustofa, Op.cit, hlm. 131

9
bakal memelihara sebagai kemantapan. Keahlian dapat disebut pemerintahan
dan raja. Adapun politik adalah bentuk operasional dari keahlian tersebut.26
Ada dua macam macam problem politik yaitu :
a) Pemerintahan atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan yang
sadar, cara hidup, disposisi positif. Dasar ini dapat dijadikan upaya untuk
memperoleh kebahagiaan. Pemerintahan atas dasar demikian disebut
pemerintahan utama, dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya
tunduk terhadap pemerintahan.
b) Pemerintahan atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan dan watak-
watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu
kebahagiaan, maka muncul beraneka ragam bentuk pemerintah, apabila
yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap sebagai pemerintah yang
rendah, jika mengejar kehormatan, disebut pemerintahan kehormatan, dan
pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
Sedangkan dipandang dari kemampuan suatu pemerintahan, ilmu politik
terbagi menjadi dua yaitu :
a) Kemampuan dalam melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat
universal.
b) Kemampuan yang disebabkan oleh adanya ketekunan dalam aktivitas
politik, dengan harapan bisa menjadi kebijaksanaan. 27

26
Ibid, hlm. 131-132
27
Ibid

10
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari beberapa uraian tentang pemikiran filsafat Al-Farabi tersebut maka


dapat disimpulkan bahwa:

1. Teori Emanasi Al Farabi.


Tuhan berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud
lain. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat,
maka daya itu dapat menciptakan sesuatu. Menurut A-Farabi, alam terjadi
karena proses Emanasi. Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang
wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang
Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud”.
Tuhan merupakan wujud yang pertama, karena Tuhan berpikir tentang diri-
Nya sendiri yang Esa, maka timbullah maujud kedua yang disebut akal
pertama yang tidak bersifat materi. Selanjutnya, akal pertama berpikir tentang
Tuhan sehingga timbul akal kedua. Akal pertama juga berpikir tentang diri-
Nya sehingga terciptalah langit. Akal kedua berpikir tentang Tuhan, timbul
akal ketiga, dan berpikir tentang dirinya, maka terciptalah bintang-bintang.
Begitu seterusnya hingga sampai pada akal kesepuluh
2. Filsafat Jiwa
Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut.
a) Daya al-Muharrikat (gerak),
b) Daya al-Mudrikat (mengetahui),
c) Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir
secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat berikut.
1. Akal Potensial (al-Hayulany) ;
2. Akal Aktual (al-Aql bi al-fi’il) ;
3. Akal Mustafad (al-‘Aql al-Mustafad) .

11
3. Filasafat Kenabian
Manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) melalui dua
cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi
(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat
menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara
kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut Al-Farabi, adalah bahwa
nabi mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan ia dapat
berhubungan dengan al aql al fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada
waktu ia terjaga. Dengan imajinasi tersebut ia dapat menerima pengetahuan-
pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan
impian yang benar.

4. Filsafat Politik
Al-Farabi berpendapat bahwa kebahagiaan yang hakiki (sebenarnya)
tidak mungkin dapat diperoleh sekarang ini (di dunia ini), tetapi sesudah
kehidupan sekarang yaitu al-akhirat. Kebahagiaan sejati senantiasa dengan
suatu tindakan-tindakan yang mulia, kebijakan-kebijakan dan keutamaan-
keutamaan. Maka untuk menuju ke arah itu terwujud melalui kepemimpinan
yang tegak dan benar-benar. Maka suatu pemerintahan bergantung kepada apa
yang menjadi tujuannya.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa Al-Farabi sebagai filosof


Islam yang pertama membawa pemikiran filsafat secara lebih dalam. Ia
mendirikan tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof
Islam yang lain. Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu, karena didukung
oleh ketekunan dan kerajinanya serta ketajaman otaknya. Gelar Guru Kedua
terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam.
Manusia dapat berfikir atas kejadian-kejadian yang ada, dan hanya Allah SWT
yang tahu akan kebenaran atas kekuasaan-Nya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Drs, H, Mustofa, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, cet.1, 1997

Drs. H. Musa Asya’arie, Filasafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis,


Aksiologis, Historis, Prospektif, Lesfi, Yogya, 1992

Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern,
Pustaka Pesantren, 2004

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1983

A. Hanafi, M.A, Pengantar Filsafat Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1981

13

Anda mungkin juga menyukai