Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1. Identitas Ikwan Ash-Shafa’
Ikwan Ash-Shafa’muncul setelah wafatnya Al-Farabi. Kelompok
ini berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah enslikopedi tentang
ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Raisal Ikwan Ash-
Shafa’”. Ikwan Ash-Shafa’ adalah nama kelompok pemiki islam yang
bergerak secara rahasia dari sekte Syia’h Islamiyah yang lahir pada abad
ke-4 H (10M) di Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan
Al-Wafak’, Ahl Al-Adl, dan Abna’ Al-Hamd. Salah satu ajaran Ikwan Ash-
Shafa’ adalah paham taqiyah (menyembunyikan kebenaan). Paham ini
disebabkan basis kegiatannya berada ditengah-tengah masyarakat Sunni
yang notabene adalah lawan ideologi dari Ikwan Ash-Shafa’ (Syia’ah).
Kerahasiaan kelompok ini juga disebabkan oleh dukungan mereka
terhadap paham mu’tazilah yang telah dihapuskan dari mahzab negara
khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil (sekte sunni).1
Menurut As-Sijistani (w. 391 H/1000 M), para pemuka mereka
adalah Abu Sulaiman Al-Busti (gelar Al-Muqqadas), Abu Al-Hasan Az-
Zanjani, Abu Ahmad An-Nahrajuri (alias Al-Mihrajani), Abu Hasan Al-
Aufi, dan Zaid bin Rata’ah. Kalangan Syia’ah Islamailiah mengeklaim
bahwa Ikwan Ash-Shafa’ adalah kelompok dari kalangan mereka.
Walaupun identitas mereka tidak jelas, dari risalah enslikopedi yang
mereka hasilkan, menurut Abu Hayyan At-Tauhidi (w. 414/1023 H) dan
data internal dalam risalah mereka, dapat disimpulkan bahwa mereka
beasal dari masa antara tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M
atau dari perempat ketiga abad ke-4 H. Dengan pusat kegiatan mereka di
Kota Basrah, tetapi di Baghdad juga terdapat cabang dari kelompok
rahasia itu.
Pemikiran mereka layak dikaji karena lebih dari sekedar kajian
artifisial. Penyebutan mereka sebagai “Orang-orang yang tertidur dalam

1
Mustofa Hasan, Sejrah Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2015) hlm. 119

1
gua Adam” sebagaimana dalam kitabnya Rasai’il yang diambil dari Al-
Qur’an dan Tujuh Orang Yang Tertidur dalam legenda Ephesus,
mencerminkan misteri identitas mereka. Pengauh gagasan Plato,
Aristoteles dan, terutama, Plotinus ada dalam filsafat Ikhwan.
Jemaah Ikwan Ash-Shafa’ terdiri atas empat kelompok, yaitu:
a. Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama’ (para saudara yang baik dan
dikasihi, berusia dari 15 sampai 29 tahun).
b. Al-Ikwan al-Akhyar al-Fudala’ (para saudara yang terbaik dan
utama, berusia dari 30 sampai 39 tahun).
c. Al-Ikhwan al-afudala’ al-Kiram (para saudara utama dan
mulia, erusia antara 40-49 tahun).
d. Kelompok yang berusia 50 tahun keatas, kelompokelite yang
hatinya telah terbuka dan menyaksukan kebenaran dengan mata
hati.2
2. Karya Filsafat Ikwan Ash-Shafa’
Ikwan Ash-Shafa’ menghasilkan –sebagai magnum opus
(masterpiece)-nya yang terhimpun dalam kumpulan tulisan yang terdiri
atas 52 Risalah dengan keluasan dan kualitas beragam yang mengakaji
subjek-subjek bersepektrum luas yang merentang dari musik sampai sihir.
Tekananya bersifat didaktif, sedangkan kandungannya sangat elektik.
Raisa’il dibagi menjadi empat bagian utama: 14 terfokus paa ilmu
matematis, 17 membahas ilmu kealaman, 10 berhubungan dengan ilmu
psikologis dan intelektual, dan 11 mengakhiri empat jilid edisi Arab
terakhir dengan memusatkan perhatian pada metafisika atau teologis.
Aspek pokok Rasa’il adalah bagian utama yang menampilkan
perdebatan panjang antara manusia dan para utusan dari kerajaan binatang.
Ini mengisi sebagian besar Risalah ke-22 yang berjudul On How the
Animal and Their Kinds are Formed (Netton, 1982: 2). Bagian ini telaah
secara ilmiah, dianalisis serta diterjemahkan oleh L. E. Goodman (1978).
Seyyed Hossein Nasr (1978: 39) menyatakan bahwa “Sumber-sumber

2
Dendi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 100-101

2
mengenai Ikhwan, hendaknya tidak dianggap sebagai teks historis
semata.” Dia menerjemahkan bagian dari satu wacana (Raisa’il 4: 42)
yang didalamnya “terdapat informasi tentang universitas sumber-sumber
mereka, dengan memasukkan Wahyu dan Alam, disamping teks-teks
tertulis”.
Pengetahuan
Ikwan Ash-Shafa’ membagi pengetahuan pada tiga kelompok, yaitu:
a. Pengetahuan adab/sastra, pengetahuan hasil upaya dari jiwa manusia.
b. Pengetahuan syariat, pengetahuan nubuwwah yang disampaikan para
nabi.
c. Pengetahuan filsafat, pengetahuan hasil upaya dari jiwa manusia.
Pengetahuan filsafat dibagi menjadi empat yaitu, pengetahuan
matematika, logika, fisika, dan metafisika.
Dilihat dari segi objek pengetahuan, dalam pengajaran Ikwan Ash-Shafa’,
pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan dan
sifat-sifat-Nya , kemudian menyusul pengetahuan tentang hakikat jiwa ,
hal-ihwalnya, dan hubungannya denga raga (tubuh), dan keberadaannya
yang sementara dalam tubuh, kelepasanya dari tubuh, dan keberadaannya
kembali didalam jiwa. Mereka mengajarkan supaya para anggota jamaah
Ikwan Ash-Shafa’ mempelajari semua pengetahuan, tidak mengabaikan
satu buku, dan tidak fanatik terhadap salah satu madzab agama.3

3
Ibid, hlm. 120-122

3
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Filsafat Ikwan Ash-Shafa’
Menurut anggota Ikwan Ash-Shafa’, filsafat memiliki tiga taaf,
yaitu: (1) taraf pemula, yakni mencintai pengetahuan, (2) taraf
pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana manusia hakikat dari segala
yang ada, (3) taraf terahir, yaitu berbicara dan beramaldengan sesuatu
yang sesuai dengan pengetahuan. Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka
adalah menyerupaai Tuhan (at-tasyabbuh bi al-Hah) sejauh kemampuan
manusia. Untuk mencapai tujuan itu, manusia harus beritihad (berupaya
sungguh-sumgguh) menjauhkan diri dari berkata bohong dan meyakini
akidah yang batil, pengetahuan yang keliru, dan akhlak yang rendah, serta
perbuatan yang jahat dan melakukan pekerjaan secara tidak sempurna.
a. Filsafat Alam
Sebagaimana Al-Farabi, Ikwan Ash-Shafa’ juga menganut paham
penciptaan alam oleh Tuhan melalui cara emanasi. Akan tetapi, paham
emanasi mereka berbeda dengan paham emanasi Al-Farabi. Menurut
mereka, Tuhan memancarkan akal universal atau akal aktif. Akal universal
memancarkan jiwa universal. Jiwa universal memancarkan materi
pertama, yaitu bentuk dan jiwa. Dari materi pertama muncul tabiat-tabiat
yang menyatu dengan jiwa. Jiwa universal dengan bantuan akal universal
memnggerakkan materi pertama sehingga mengambil bentuk yanng
memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Dengan demikian, terwujud
tubuh yang mutlak. Dengan tubuh yang mutlak itu tersusun alam
falak/lagit dan unsur yang empat (tanah, air, udara, dan api). Karena
pengaruh geraan langit yang berputar, terjadi pencampuran unsur empat
tadi sehingga muncul mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Di
alam langit, yang lebih dulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (akal
universal, kemudian jiwa universal, dan seterusnya). Adapun di bumi,
yang paling akhirmuncul adalah yang paling mulia (didaului oleh mineral,
tumbuhan, hewan, dan manusia).

4
Apabila diurutkan, kemunculan wujud yaitu dari yang pertama sampai
yang terakhir, urutanya adalah: (1) Tuhan;(2) akal universal;(3) jiwa
universal;(4) materi pertama dan bentuk;(5) tabiat;(6) tubuh mutlak;(7)
falak/langit;(8) unsur yang empat (tanah, air, udara dan api);(9) yang
dilahirkan dai empat unsur dan/tanpa jiwa; mulai dari benda-benda
mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia.
Jika menurut Al-Farabi, penciptaan alam merupakan akibat aktivitas
Tuhan berpikir tentang diri-Nya, pada filsafat Ikwan Ash-Shafa’
penciptaan alam oleh Tuhan merupakan manifestasi kepemurahan Tuhan.
Tuhan mencip takan segenap alam rohani sekaligus, sedangkan alam raga
yang tersusun diciptakan-Nya berangsur-angsur dengan mengubahnya dari
keberadaan potensial pada keberadaan aktual. Tuhan berperan sebagai
sebab pertama dan langsung bagi keberadaan akal universal, tetapi hanya
sebagai sebab pertama dan tidak langsung bagi keberadaan dan terjadinya
perubahan pada segenap ciptaan-Nya yang lain.4
b. Filsafat dan Angka
Menurutnnya, seseorang mempelajari terlebih dahulu matematika an
bilangan sebelum mempelajari cabang-cabang pengetahuan lain (yang
lebih tinggi), seperti fisika, logika, dan ketuhanan (raisa’il, 1:49). Ikwan
memegang “keyakinan Pythagorean bahwa sifat dasar hal-hal yang di
ciptakan adalah sesuai dengan sifat dasar bilangan” dan menyatakan,
“inilah mazhab pemikiran Ikwan kami” (Netton, 1982: 10). Secara khusus,
Ikhwan memberikan pehatian khusus terhadap angka empat,
penghormatan melalui bidang matematika murni. Alasan dibalik
pemuliaan terhadap angka empat ini ditemukan dalam pernyataan, Tuhan
menciptakan “banyak hal dalam kelompok empat-empat dan ... materi-
materi alam tersusun secara empat-empat yang pada dasarnya bekaitan
atau selaras, dengan empar prinsip sepirutual yang berkedudukan di atas
mereka, yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal,
dan Materi Pertama.”(Netton, 1982: 11).

4
Dandi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 103-104

5
Menurut Ikhwan Ash-Shafa’, seseorang dapat belajar tentang keesaan
Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan angka.
Meskipun mencurahkan perhatian pada bilngan, Ikhwan Ash-
Shafa’berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama Kaum
Pythagorean, seperti dicatat oleh Aristoteles, ketika angka dan hal yang
diangkakan dihancurkan. Mereka juga menolak gagasan Pythagorean
tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi), dan lebih berpegangan pada
gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali kehidupan di
bumilah yang dapat memasukkan manusia dalam surga (Netton, 1982: 12-
14).
c. Manusia dan Jiwa
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash-Shafa’
memandang manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jiwa, yang bersifat
imateri, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air, udara, dan
api. Terlepas dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia,
pada awalnya jiwa manusia, menurut Ikhwan Ash-Shafa’, karena berada
didalam tubuh, tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki kemampuan
untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur.
Manusia harus dididik sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran yang
diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktualkan pada jiwanya
pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas
maupun tentang apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengn
demikian jiwa manusia akan menjadi suci tidak bergelimangan dosa
karena enuruti nafsu. Jiwa yang bersih ini dikatakan oleh Ikhwan Ash-
Shafa’ sebagai malaikat dalam potensi.
Kebijaksanaan atau kebijakan filosofis menurut Ikhwan Ash-Shafa’
adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi
secara lebih terperinci adalah cinta pada wujud, yang diperoleh sedapat
mungkin, ditambah dengan keyakinan dan perilaku yang selaras dengan
keyakinan itu.

6
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan Ash-Shafa’
yakin bahwa tidak ada pertentangan serius antaa filsafat dan agama.
Sebab, sama-sama bertujuan “meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan
manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan Ash-Shafa’, dapat dicapai
melalui pengetahuan teoritis atau amal kebijakan yang menyucikan
individu bersangkutan. Perbedaan filsafat dan agama hanya berada pada
tataran yang Subdider, yakni bersangkutan bahsa khusus yang di pakai
keduanya.
Bagi Ikhwan Ash-Shafa’, nilai utama filsafat terleta pada upayanya
mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga
mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zahir)
wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa
“hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” adalah
bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternalyang bertumpu pada
kesenangan ragawi dan imbalan kasatmata.5

5
Ibid, hlm. 124-130

7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut anggota Ikwan Ash-Shafa’, filsafat memiliki tiga taaf, yaitu:
(1) taraf pemula, yakni mencintai pengetahuan, (2) taraf pertengahan,
yakni mengetahui sejauh mana manusia hakikat dari segala yang ada, (3)
taraf terahir, yaitu berbicara dan beramaldengan sesuatu yang sesuai
dengan pengetahuan. Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah
menyerupaai Tuhan (at-tasyabbuh bi al-Hah) sejauh kemampuan
manusia.
Bagi Ikhwan Ash-Shafa’, nilai utama filsafat terleta pada upayanya
mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga
mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zahir)
wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa
“hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” adalah
bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternalyang bertumpu pada
kesenangan ragawi dan imbalan kasatmata.

8
DAFTARPUSTAKA
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Supriyandi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka
Setia.

Anda mungkin juga menyukai