Anda di halaman 1dari 15

1.

Sejarah Ikhwan al-Shafa

Ikhwan as shafa muncul setelah wafatnya Al Farabi. Kelompok ini berhasil menghimpun
pemikirnnya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengethun dan fislafat yang dikenal dengan Rasail
Ikhwan as shafa. Identitas pemuka mereka tidak jelas karena memang mereka merahasiakan diri.
Sebagai klompok baru ikhwan as shafa merekrut anggota baru melalui hubungan perorangan dan
dilakukan oleh orang-orang terpercaya.

Ikhwan as shafa (persaudaraan suci) adalah nama sekelompok pemikir islam yang bergerak
secara rahasia dari sekte Syiah Isma ‘iliyah yang lahir pada abad 4H/10 M di Basrah, Irak. Kelompok ini
juga menamakan dirinya Khulan Al- Wafa’, Ahl Al- Adl, dan Abna’ Al- Hamd. Salah satu
ajaran Ikhwan Ash- Shafa adalah paham taqiyah(menyembunyikan keyakinan). Paham ini
disebabkan basis kegiatannya berada di tengah- tengah masyarakat Sunni yang notabene adalah
lawan ideologi dari Ikhwan Ash- Shafa. Ikhwan As- Shafa sering juga disebut dengan
perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya
pada bidang dakwah dan pendidikan.
Yang berpusat di basrah yang saat itu merupakan ibukota kekhalifahan Abassiyah sekitar abad
ke-10 masehi. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd
wa Abna’ al-Majd. Kelompok yang lahir kira-kira tahun 373H/983M ini terkenal dengan risalahnya,
mereka muncul dan memainkan peran penting dalam pemikiran dan kajian filsafat. Sebuah penjelasan
yang tertulis dalam risalah itu mengungkapkan, persaudaraan ini solid dan memiliki banyak anggota.
Keberadaan mereka tersebar di sejumlah negara Islam. Para ikhwan berasal dari beragam profesi, mulai
dari kalangan kerajaan, wazir, gubernur, sastrawan, pedagang, bangsawan, ulama, ahli hukum, dan
lainnya.1 Dalam upaya memperluas gerakan, ikhwan al-shafa’ mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota
tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat kepada keilmuan
dan kebenaran, terutama dari orang-orang muda yang masih segar dan cukup berhasrat agar mudah
dibentuk. Walaupun demikian kerahasiaan organisasi mereka tetap terjaga, calon anggota perhimpunan
ini dituntut keras untuk berpegang teguh satu sama lain dalam mengahadapi segala bahaya dan
kesukaran, untuk membantu dan menopang satu sama lain baik dalam perkara duniawi maupun rohani,
dan menjaga diri agar tidak bersahabat dengan persaudaraan yang tercela.

Dari beberapa buku diantaranya karangan Dr. Hasyimsyah dikatakan bahwa terdapat empat
tingkatan anggota, yaitu :

Tingkat I : terdiri dari pemuda cekatan berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang
kuat. Mereka ini berstatus murid, maka wajib petuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat II : adalah al-ihkwan al-akhyar yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu
memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan.
Tingkat III : adalah al-ikhwan al-fudhala al-kiram yang berusia 40-50 tahun. Merupakan tingkat
dewasa.Mereka sudah mengetahui namus al-ilahi sebagai tingkat para nabi.

1
https://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2010-08-31/republika_2010-08-31_020.pdf
Tingkat IV : adalah tingkat tertinggi setelah sesorang mencapai usia 50 tahun ke atas. Mereka pada
tingkat ini sudah mampu memeahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat, sehingga mereka sudah
berada di atas alam realitas.2
Nama mereka kian melambung melalui tulisan Rasa’il al-Ikhwan al-Shafa (risalah atau
ensiklopedia). Meskipun masyhur, tak terlalu banyak yang diketahui tentang Ikhwan al-Shafa, terutama
para actor intelektualnya. Para sejarawan dari masa ke masa, berusaha menyingkap tabir misteri yang
melingkupi persaudaraan ini. Informasi awal mengenai keberadaan mereka diperoleh dari buku harian
milik seorang cendekia, Abu Hayyan al-Tauhidi, seperti dikutip dari Atlas Budaya Menjelajah Khazanah
Peradaban Gemilang karya Ismail dan Lois Lamya al-Faruqi, menyebutkan lima tokoh Ikhwan. Mereka
adalah Zaid ibnu Rifa’ah, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Masyhar al-Bisti yang dikenal pula dengan
nama al-Maqdisi, Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Mihrajani, serta al-Awqii. Nama-
nama itu diyakini sebagai anggota kunci Ikhwan al-Shafa sekaligus penulis Rasa’il.
Sebagian kalangan menganggap, Rasa’il adalah karya keturunan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada
juga yang berpendapat, penulisnya merupakan para filsuf Mu’tazilah periode pertama. Lebih jauh, Philip
K Hitti dalam History of the Arabs mengungkap alas an kerahasiaan Ikhwan al-Shafa. Dia berpendapat,
dalam perkembangannya, kelompok ini sempat melancarkan gerakan oposisi terhadap penguasa.
Caranya adalah dengan mendiskreditkan sistem pemikiran dan agama yang popular.

Adapun sebutan Ikhwan al-Shafa, kemungkinan diambil dari cerita seekor merpati dalam kisah Kalilah
wa Dimnah. Ini adalah kisah tentang sekelompok hewan yang berpura-pura menjadi sahabat dekat atau
ikhwan al-shafa, satu sama lain berhasil menghindar dari perangkap pemburu.

Beberapa sumber sejarah menyebut bahwa ikhwan adalah perkumpulan para pemikir yang
menuangkan gagasan dan ide dalam ranah filsafat Islam. Kelompok ini memiliki banyak nama, antara
lain Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd, dan membangun cabang di Bagdad, ubukota
kekhalifahan Abbasiyah. Terlepas dari polemic tentang identitas Ikhwan, tak bisa dimungkiri kontribusi
mereka bagi perkembangan gerakan kajian filsafat dalam Islam pada abad pertengahan. Kelompok ini
menghimpun pemikiran dan doktrin filsafat dalam Rasa’il al-Ikhwan al-Shafa yang disusun seperti
ikhtisar atau ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan. Gaung karya mereka ini sangat luar biasa. Karya
monumental ini telah memengaruhi ensiklopedi-ensiklopedi ilmu setelahnya serta dipelajari di berbagai
negara.

Tema besar Ikhwan adalah ingin mengembalikan keutamaan etika Islam yang asli. Ikhwan
menganggap, sebagai jiwa manusia sudah terkontaminasi dengan kesesatan dunia sehingga harus
dibimbing ke jalan yang benar. Dan melalui filsafat, seseorang bisa mendekatkan diri lagi dengan Tuhan.
Oleh karena itu, Ikhwan sangat mendorong terwujudnya perpaduan antara filsafat Yunani dan syariat,
seperti pernah dirintis oleh Ibnu Sina atau al-Farabi. Bila keduanya dapat menyatu, terciptalah formula
yang sempurna. “Hanya filsafat yang dapat memberikan kebenaran doktrin dan kearifan praktis,”
demikian tulisan yang tertuang dalam Rasa’il. Tentang syariat dan filsafat, kelompok ini mempunyai
penjelasan tersendiri. Syariat dipandang sebagai obat bagi orang sakit. Begitu pula, menjadi sarana
untuk penyembuhannya. Disisi lain, filsafat sebagai obat bagi orang sehat, dimaksudkan untuk menjaga
kesehatannya. Filsafat juga bisa memungkinkan manusia meraih kebajikan serta mempersiapkan untuk
menuju keabadian. Dengan begitu, ada kaitan di antara keduanya. Filsafat menempatkan syariat dalam
skemanya walaupun syariat menolak filsafat. Ikhwan juga menaruh perhatian besar terhadap ilmu

2
http://filsafatkebingungan.blogspot.com/2015/10/makalah-filsafat-islam-ikhwan-al-shafa.html
pengetahuan. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan upaya mencarinya, berada di urutan terdepan di
antara berbagai kebajikan. Ini adalah kewajiban utama setelah pengakuan akan keberadaan Allah SWT
dan Rasulullah SAW.

Antusiasme terhadap ilmu pengetahuan, dipercaya dapat membawa pada kesempurnaan,


karena pengetahuan, kebajikan, dan kebaikan, saling terkait satu sama lain. Pengetahuan memberikan
kebajikan ataupun keuntungan moral serta material. Pengetahuan yang telah diperoleh hendaknya
diajarkan kepada saudara atau orang lain. Ini merupakan media paling penting untuk membangun
hubungan moral antarpribadi. “mengajar dan mendidik atau menyebarkan pengetahuan adalah esensi
dari segala sesuatu yang baik”. dengan alasan semacam itu, ujar Ismail dan Lois Lamya al Faqruqi,
persaudaraan ini mempelajari dan mengkaji hampir seluruh cabang ilmu. Mereka lantas menyusunnya
dengan ringkas menjadi satu struktur tunggal. Maka itu, pada risalah-risalah yang Ikhwan al-Shafa tulis
tercantum semua bidang kajian keilmuan. Mulai dari botani, genekologi, mineralogy, matematika,
geografi, music hukum, keagamaan, dan lainnya. Ikhwan al-Shafa mengelompokkan ilmu berdasarkan
makna etikanya. Dan dari semua itu, struktur penyatunya adalah syariat.

Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan
Ash-Shafa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku
dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat
menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan
agama dan ilmu pengetahuan. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi 4 kelompok :

 Kelompok pertama berisi 14 risalah “matematis” tentang angka.


 Kelompok kedua terdiri atas 17 risalah yang membahas “persoalan fisik materiil”.
 Kelompok ketiga terdiri atas 10 risalah “psikologis-rasional”.
 Kelompok keempat terdiri atas 14 risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah,
dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa.

2. Karya-karya Ikhwan al-Shafa


……………………………………………………………………………………………………………………………………

3. Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat


a. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu :
matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il pembagiannya meliputi:
 Matematika : teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, music, seni
teoritis dan praktis, etika, dan logika.
 Fisika meliputi : materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi,
kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera,
kehidupan dan kematian, mikrosmos, suka, duka, dan bahasa.
 Metafisika dibagi menjadi prikorasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme
meliputi : fisika, rasionalistika, wujud, mikrosmos, jiwa, tahun-tahun raya,
kebangkitan, kausalitas, dan cinta. Teologi meliputi keyakinan atau akidah
Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah,
ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
b. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa.
Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru,
yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan
ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam
mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang
belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun
juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang
tidak mudah dihilangkan. Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia
tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan
Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan
tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah
terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah
indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam
sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama
kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya
disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga
akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap
direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah),
bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera.
Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan
adalah markuzah (harta tersembunyi). sebagaimana pendapat Plato yang beraliran
idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia
belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan.
Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat
mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa
itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu
ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba
mengintegrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa
kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada
ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam
hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-
ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu
adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru
malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan
akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
c. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri
mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang
amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu
mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak
termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu
Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan
agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua
orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun. Ikhwan al-Shafa memandang agama
sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang
telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa,
dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah
bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah
satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama
sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-
hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan
individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa demi
kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa
menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai
penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari
Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus
dipahami secara alegoris. Hanya orang-orang awam, yang tidak dapat berpikir mandiri
secara memadai, yang memahami tema-tema ini secara harfiah.
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi
syariat Islam yang telah menjadi “barang antik”. Usaha ini gagal dan menuai banyak
kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini.
Secara implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para
kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
 Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
 Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang
mutawatir
 Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut
mereka setan itu konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di
orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak
diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
 Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
 Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan
kesucian hati.
 Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti
dia sudah terbebas dari praktek ibadah/syariat.
 Kecondongan pada keyakinan Syi’ah seperti kemaksuman Imam,
taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait
(keturunan Nabi).
 Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme
terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak diilhami dari
utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani.
Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat
bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.

Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang


dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada
lahiriyah. Bagi mereka, hanya orang-orang awwam yang tidak bisa berpikir mandiri.
Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.

d. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat


Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama
cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan
manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai
lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan
ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu:
 Mengetahui Tuhan;
 lmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
 Ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada
benda-benda langit dan benda-benda alam;
 Ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik
umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik
pribadi (akhlak);
 Ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.

Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah


berperilaku seperti Tuhan sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya,
”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala
wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku
yang selaras dengan keyakinan itu. Dalam memandang antara filsafat dan agama,
Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama.
Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”.
Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau
amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan
agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus
yang dipakai oleh keduannya. Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada
upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga
mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara
vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr),
kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran
eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan
kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan
kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang
terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam
raya”.

Sejarah Ikhwan As- Shafa


Ikhwan Ash- Shafa muncul setelah wafatnya Al- Farabi. Kelompok ini berhasil
menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat
yang dikenal dengan Rasail Ikhwan As- Shafa.Identitas pemuka mereka tidak jelas karena
memang mereka merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan Ash- Shafa merekrut
anggota baru melalui hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang- orang terpercaya.[1]
Ikhwan As- Shafa (Persaudaraan Suci) adalah nama sekelompok pemikir Islam yang
bergerak secara rahasia dari sekte Syiah Isma ‘iliyah yang lahir pada abad 4H (10M) di
Basrah, Irak. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan Al- Wafa’, Ahl Al- Adl, dan Abna’
Al- Hamd. Salah satu ajaran Ikhwan Ash- Shafa adalah paham taqiyah(menyembunyikan
keyakinan). Paham ini disebabkan basis kegiatannya berada di tengah- tengah masyarakat Sunni
yang notabene adalah lawan ideologi dari Ikhwan Ash- Shafa.[2] Ikhwan As- Shafa sering juga
disebut dengan perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan
perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar- dasar agama Islam yang didasarkan
pada persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah). Sebagai sebuah organisasi ini memiliki
semangat dakwah dan tabligh yang amat militant dan kepedulian yang tinggi terhadap orang
lain. Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan masyarakat yang terdiri dari
para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi politis.[3]
Para pemuka mereka adalah Abu Sulaiman Al-Busti (terkenal dengan gelar Al-
Muqaddas), Abu Al- Hasan az- zanjani, Abu Ahmad An-Nahrajuri (alias Al-Mihrajani), Abu Al-
Hasan Al-Aufi, dan Zaid bin Ritha’ah. Kalangan syi’ah, terutama kalangan
Syi’ah Ismailyah mengklaim bahwa Ikhwan As-Shafa adalah kelompok dari kalangan
mereka. Orang-orang ini merupakan kelompok sarjana yang menyelenggarakan pertemuan dan
menyusun risalah-risalah Ikhwan As-Shafa. Kendati identitas mereka tidak jelas, risalah
ensiklopedis yang mereka hasilkan itu, menurut Abu Hayyan At- Tauhidi dan data internal
risalah mereka, dapat disimpulkan berasal dari masa antara tahun 347H/ 958M sampai tahun
373H/ 983M.[4]
Dalam upaya memperluas gerakan, Ikhwan As-Shafa mengirimkan orang-orangnya ke
kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang berminat
kepada keilmuan dan kebenaran, terutama dari orang-orang muda yang masih segar dan cukup
berhasrat agar mudah dibentuk. Walaupun demikian militansi anggota dan kerahasiaan
organisasi tetap mereka jaga. Calon-calon anggota perhimpunan ini dituntut keras untuk
berpegang teguh satu sama lain dalam menghadapi segala bahaya dan kesukaran untuk
membantu dan menompang satu sama lain baik dalam perkara-perkara duniawi maupun rohani,
dan untuk menjaga diri agar tidak bersahabat dengan persaudaraan yang tercela.
Jama’ah Ikhwan As-Shafa terdiri atas empat kelompok yaitu : 1). Al-Ihwan Al-Abrar Ar-
Ruhama ( para saudara yang baik dan dikasihi), berusia dari 15 sampai 29 tahun, 2). Al-Ikhwan
Al-Akhyar Al-Fudalah (para saudara yang terbaik dan utama), berusia dari 30 sampai 39 tahun,
3). Al-Ikhwan Al-Fudalah Al-Kiram (para saudara yang utama dan mulia) berusia antara 40
sampai 49 tahun, dan 4). Kelompok yang berusia 50 tahun ke atas, kelompok elite yang hatinya
telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati. Karena itu, ada 4 tingkatan anggota
yaitu:
Tingkat I : Terdiri dari pemuda cekatan ( Al Ikhwan Al Abrar Ar- Ruhama’) berusia 15- 30
tahun yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid, maka
wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat II : Terdiri dari pemuda Al Ikhwan Al Ahyar Al Fudhala berusia 30 – 40 th. Pada
tingkat ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap
berkorban demi persaudaraan.
Tingkat III : Terdiri dari pemuda Al Ikhwan Al Fudhala Al Kiram berusia 40- 49 th yang
merupakan tingkat dewasa.
Tingkat IV : Terdiri dari pemuda tingkat tertinggi setelah seseorang mencapaiusia 50
thkeatas. Mereka pada tingkat ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya
malaikat Al Mukarabun, sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat, dan
wahyu.[5]
2. Karya – karya Ikhwan As Shafa
Pertemuan- pertemuan yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid Ibn
Ri’faahsecara sembunyi- sembunyi tanpa menimbulkan kecurigaan, telah menghasilkan 52
risalah, jumlah rasail tersebut adalah 50 risalah.
Dilihat dari segi isi, rasail tersebut adalah diklafisikan kepada 4 bidang yaitu :
a. 14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, music, geografi, teori dan
praktik seni, moral dan logika.
b. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi geneologi, minerologi, botani, hidup dan
matinya alam dan kemampuan kesadaran.
c. 10 risalah tentang ilmu jiwa, meliputi metafisika, mazhab phytagoreanisme dan kebangkitan
alam.
d. 11 risalah tentang ilmu- ilmu ke- Tuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan, hubungan
alam dengan hutan, keyakinan Ikhwan As-Shafa, kenabian dan keadaanya, tindakan rohani,
bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan.
3. Pemikiran Filsafat Ikhwan Ash- Shafa
Menurut anggota Ikhwan Ash-Shafa, filsafat memiliki 3 taraf, yaitu:
1. Taraf pemulaan, yakni mencintai pengetahuan.
2. Taraf pertengahan yaitu mengetahui sejauh mana manusia hakikat dari segala yang ada.
3. Taraf akhir yaitu berbicara dan beramal dengan sesuatu yang sesuai dengan pengetahuan.
Menurut mereka, filsuf atau orang bijak (hakim) adalah orang yang perbuatan, aktivitas
dan akhlaknya kukuh, pengetahuannya hakiki, tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan
bahaya dan tidak pula meletakkan sesuatu yang dilakukan pada tempatnya. Tujuan filsafat dalam
pengajaran mereka adalah menyerupai Tuhan (At-Tasyabbuh Al-Hah) sejauh kemampuan
manusia. Untuk mencapai tujuan itu, manusia harus berijtihad (berupaya sungguh-sungguh)
menjauhkan diri dari berkata bohong dan meyakini akidah yang batil, pengetahuan yang keliru,
dan akhlak yang rendah, serta berbuat jahat dan melakukan pekerjaan yang tidak sempurna,
aktivitas filsafat dikatakan sebagai upaya menyerupai Tuhan karena Tuhan hanya mengatakan
yang benar.
Dan hanya melakukan kebaikan dalam penilaian mereka, syariat telah dikotori oleh
kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya. Menurut mereka tidak ada jalan untuk
membersihkannya kecuali dengan filsafat karena filsafat mengandung hikmah dan
kemaslahatan.[7]
a. Talfiq (Memadukan)
Ikhwan Ash- Shafa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama dengan filsafat
dan juga antara agama- agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syariat
telah dikotori berbagai macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu- satunya jalan
membersihkannya adalah filsafat. Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan
antara filsafat Yunani dan syariat Arab maka akan menghasilkan kesempurnaan. Tampaknya
Ikhwan Ash- Shafa menenempatkan filsafat di atas Agama. Mereka mengharuskan filsafat
menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan
pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan Al Quran yang berkonotasi
inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang berkebudayaan
bersahaja. Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan
memakai ta’wil untuk melepaskan diri dari pengertian lafzi dan inderawi.
Untuk itulah Ikhwan berusaha dengan gigih memadukan filsafat dengan agama dan tidak
dapat dijangkau secara aktif dan praktis. Dengan demikian harus dimunculkan satu tingkatan
kepercayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada tingkat yang cocok bagi orang-
orang pilihan dan tingkat yang cocok bagi orang kebanyakan yaitu tingkatan kepercayaan yang
cocok bagi keduanya ( orang –orang pilihan dan awam), yang berakar pada akal, ditopang oleh
kitab suci dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran. Menurut filsuf, agama
adalah tepat melambangkan secara indrawi agar mudah dipahami oleh kaum awam yang
merupakan bagian terbesar dari umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama
yang mereka tolak karena mereka tidak memahami isinya.
Ikhwan Ash- Shafa memadukan agama- agama yang berkembang pada waktu itu dengan
berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi. Karena, menurut mereka bahwa
tujuan Agama adalah sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kecuali itu,
menurut Ikhwan perbedaan- perbedaan keagamaan bersumber dari faktor- faktor yang kebetulan,
seperti ras, tempat tinggal atau keadaan zaman dan dalam beberapa kasus juga faktor
temperamen dan susunan personal. Karena itu agama gabungan yang mereka maksud akan
menjadi pegangan dalam Negara yang mereka impikan, dan hal ini merupakan tujuan utama
mereka yang kedua untuk menggantikan DaulahAbbasiah yang berada pada kerusakan (al
fasad) yang harus diganti dengan negara baru.
Usaha Talfiq ini merupakan keinginan ideal yang tidak pernah ada dalam realitas. Karena
bagaimana mungkin menyatukan sifat manusia yang heterogen secara utuh dan penuh kesadaran,
kalaupun hal ini mungkin diwujudkan, tentu menghendaki pemaksaan, dan tidak akan bertahan
lama.[8]
b. Metafisika
Adapun tentang ke-Tuhanan Al Ikhwan As-Shafa melandasi pemikirannya kepada
bilangan. Ilmu bilangan adalah lidah yang mempercakapkan tentang tauhid, al-tanzih dan
meniadakan sifat dan tasbih serta dapat menolak sikap orang yang mengingkari ke- Esaan Tuhan.
Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa kepada pengakuan tentang keesaan
Tuhan, karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya. Selanjutnya mereka katakan,
angka satu sebelum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan
istilah lain, angka satu adalah angka permulaan dan ia lebih dahulu dari pada angka dua dan
lainnya. Karena itu keutamaan terletak pada yang dahulu yakni angka satu. Sedangkan angka dua
dan lainnya terjadi kemudian. Karena itu, terbuktilah bahwa yang Esa (Tuhan) lebih dahulu dan
lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.
Ikhwan Al-Shafa’ juga melakukan Al-Tanzih, meniadakan sifat dan tasbih kepada Tuhan.
Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara Al-Faidh (emanasi) dan memberi bentuk,
tanpa waktu dan tempat, cukup dengan firmannya kun fa kana. Maka adalah segala yang
dikehendakinya, Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya
angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak
serupa dengan bilangan lain, demikian pula Tuhan tidak ada yang menyamai dan menyerupai-
Nya. Tetapi, Ia jadikan fithrah manusia untuk dapat mengenal- Nya tanpa belajar.
Dari pembicaraan di atas tampak pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang dipadukan
dengan filsafat keesaan Plotinus. Tentang ilmu Tuhan, Ikhwan Al-Shafa’ beranggapan bahwa
seluruh pengetahuan (al-ma’lumat) berada dalam ilmu Tuhan sebagaimana beradanya seluruh
bilangan dalam angka satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Tuhan dari zat- Nya
sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu yang meliputi seluruh bilangan.
Demikian pula ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu yang ada.[9]
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ikhwan Al-Shafa’ merupakan perpaduan
antara pendapat Aristoteles, Plotinus, dan Mutakallimin. Bagi Ikhwan Al-Shafa’, Tuhan adalah
pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Tuhan menciptakan akal pertama atau akal
aktif (al-‘aql al-fa’al) secara emanasi. Dengan demikian, kalau Tuhan qadim dan baqi maka akal
pertama pun demikian halnya. Pada akal pertama ini lengkap segala potensi yang akan muncul
pada wujud berikutnya. Jadi, secara tidak langsung Tuhan berhubungan dengan alam materi,
sehingga kemurniaan tauhid dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Lengkapnya rangkaian proses emanasi itu adalah:
1. Akal pertama atau Akal Aktif (al-‘Aql al-Fa’al).
2. Jiwa universal (al-Nafs al-Kulliyah).
3. Materi pertama (al-Hayula al-Ula).
4. Potensi jiwa universal (al-Thabi’ah al-Fa’ilah).
5. Materi absolut atau materi kedua (al-Jism al-Muthlaq).
6. Alam planet-planet (‘Alam al-Aflak).
7. Anasir-anasir alam terendah (‘Anashir al-‘alam al-Sufla), yaitu air, udara, tanah, dan api.
8. Materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.[10]
Kedelapan mahiyah di atas bersama dengan Dzat Allah yang mutlak, sempurnalah jumlah
bilangan menjadisembilan.Angka sembilan ini membentuk substansi organik pada tubuh
manusia, yaitu tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan kuku.
c. Filsafat Alam
Ikhwan Ash-Shafa menganut paham penciptaan alam oleh Tuhan melalui cara emanasi.
Menurut mereka,Tuhan memancarkan akal universal atau akal aktif. Akal universal
memancarkan jiwa universal, universal jiwamemancarkan materi pertama, yaitu bentuk dan jiwa.
Jiwa universal dengan bantuan akal universal menggerakkan materi pertama sehingga
mengambil bentuk dimensi panjang koma lebar dan tinggi. Dengan demikian terwujud tubuh
yang mutlak, yang tersusun alam falak atau langit dan unsur empat (tanah,air,udara, dan api).
Kemunculan wujud dari unsur yang empat ( air, udara, api, tanah), 7 yang dilahirkan dari 4 unsur
dan tanpa jiwa, mulai dari benda- benda mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia yang pertama
sampai terakhir urutannya adalah (1) Tuhan , (2) Akal universal, (3) Jiwa universal, (4) Materi
dan bentuk, (5) Tabiat, (6) Tubuh mutlak, (7) Langit.[11]
Pada filsafat Ikhwan Ash- Shafa penciptaan alam oleh Tuhan merupakan manifestasi
kepemurahan Tuhan. Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan potensi alam raga yang
tersusun. Ia menciptakan segenap alam rohani sekaligus, sedangkan alam raga yang tersusun
diciptakanya berangsur- angsur dengan mengubahnya dari keberadaan potensial pada keberadaan
actual[12].
Tuhan adalah Wujud yang maha sempurna. Sejak azali, pada dirinya terdapat bentuk-
bentuk dari (pengetahuan tentang) segala wujud yang ada. Bentuk- bentuk dari segala yang ada
itu, dilimpahkan-Nya pada akal universal secara langsung, dan pada jiwa universal melalui akal
universal. Oleh sebab itulah, dikatakan bahwa Tuhan adalah guru akal universal, akal universal
adalah guru jiwa universal, jiwa universal adalah guru para malaikat, para malaikat adalah guru
para nabi dan filsuf, sedangkan para nabi dan filsuf adalah guru segenap manusia.
d. Filsafat dan Angka
Membaca selintas teks Rasa’il akan menemukan betapa besar perhatian Ikhwan pada
angka.Sebaiknya seseorang mempelajari terlebih dahulu matematika dan bilangan sebelum
mempelajari cabang- cabang pengetahuan lain ( yang lebih tinggi), seperti fisika, logika (
Rasa’il,1:9). Ikhwan memegang keyakinan Phytagorean bahwa sifat dasar hal- hal yang
diciptakan adalah sesuai dengan sifat dasar bilangan. Secara khusus, Ikhwan memberikan
perhatian khusus terhadap angka empat, suatu penghormatan yang melampaui bidang
matematika murni, misalnya : pada empat musim, empat angina, empat arah mata angina, dan
empat unsur empedecleon.
Menurut Ikhwan As- Shafa, seseorang dapat belajar tentang ke- Esaan Tuhan dengan
mengetahui hal- hal yang berkenaan dengan angka dan mereka menyatakan “ Phytagoras percaya
bahwa yang kedua menuntun ke yang pertama (Rasa’il 3: 200). Kendati mencurahkan perhatian
mereka pada bilangan, Ikhwan berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama kaum
Phytagorean, seperti dicatat oleh Aristoteteles ketika angka dan hal yang diangkakan dirancukan.
Mereka juga menolak gagasan- gagasan Phytagorean tentang perpindahan jiwa( reinkarnasi),
dan lebih berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali kehidupan di
bumilah yang dapat memasukkan manusia kedalam surga.[13]

e. Manusia dan Jiwa


Ikhwan As- Shafa memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa, yang bersifat
materi, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air, udara, dan api. Dalam salah satu
tulisannya dikatakan bahwa masuknya jiwa ke dalam tubuh merupakan hukuman kepada jiwa
yang telah melakukan pelanggaran (melanggar larangan Tuhan, seperti kisah Nabi Adam As dan
pasangannya, Hawa. Karena pelanggaran itu, jiwa diusir dari surga, yakni alam rohani dan harus
turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh. Dengan hukuman itu, jiwa yang semulanya memiliki
pengetahuan yang banyak secara actual, setelah memasuki tubuh, menjadi lupa sama sekali
dengan pengetahuannya, dan jadilah pengetahuan itu terdapat dalam jiwa secara potensial saja.
Dengan bantuan pancaindera dan bantuan tubuh sebagai alat jiwa, secara berangsur- angsur jiwa
manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara actual. Ikhwan As- Shafa juga
menambahkan bahwa manusia haruslah dididik sedemikian rupa dengan ajaran- ajaran yang
diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual pada jiwanya pandangan keyakinan
dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas maupun tentang apa yang seharusnya
dibiasakan manusia. Dengan pendidikan yang benar, jiwa manusia menjadi suci, tidak
bergelimang dosa karena memperturutkan hawa nafsu.
Bagaimana kemurahan dan kebaikan yang terdapat pada Tuhan memancar dari- Nya
melalui keniscayaan kebijaksanaan sebagaimana cahaya dan kecemerlangan memancar dari
matahari. Produk pertama emanasi (faidh) terus menerus disebut akal aktif (al- aql al fa’al), yang
darinya kemudian memancarkan akal pasif atau jiwa universal, dari yang terakhir inilah
memancar materi pertama. [14]
f. Ketuhanan
Dalam masalah keTuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka
atau bilangan. Menurut mereka, pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan
tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semua angka. Selanjutnya
mereka katakan, angka satu sebelum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian
kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka ituterlebih
dahulu dari angka dua lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni
angka satu.Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah
bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari
angka lain.
Hal ini terlihat jelas pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat ke-
Esaan Plotinus pada Ikhwan al-Shafa. Kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik
Ikhwan al-Shafa mengambilnya sebagai argumen tentang ke- Esan Allah. Tentang ilmu Allah
mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya
seluruh bilangan dalam bilangan satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-
Nya sebagaimana bilangan yang satu, meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah
terhadap segala yang ada.[15]
g. Bilangan
Adapun tentang bilangan, Ikhwan mengaku mengikuti Nicomachus dan Phythagoras.
Tujuan Ikhwan membicarakan bilangan adalah untuk mendemonstrasikan bagaimana sifat- sifat
bilangan itu menjadi prototipe bagi sifat sesuatu, sehingga siapapun yang mendalami bilangan
dengan segala hukum- hukum, sifat dasarnya, jenis- jenisnya, dan sifat- sifat khususnya akan
memahami kuantitas (jumlah) macam- macam benda yang beraneka.
Mempelajari bilangan merupakan pengantar tentang jiwa, dan mempelajari jiwa
merupakan dasar pengetahuan tentang Tuhan. Hal ini sesuatu dengan ketentuan “ Siapa yang
mengenal dirinya ( jiwanya), maka ia akan mengenal Tuhan nya”. Satu yang sejati maksudnya
sesuatu yang tidak mempunyai bagian, dan wujud yang tidak dapat dibagi. Sedangkan satu
yang majasi adalah mengacu pada jumlah atau koleksi benda- benda yang disebut sebagai sebuah
satuan unit.[16]
Bilangan atau keanekaragaman muncul dari penambahan yang progresif kepada satu.
Huruf hijaiyah yang 28merupakan hasil perkalian empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung
nilai kesucian, sedangkan angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang
tercermin pada ciptaan Allah terhadap segala sesuatu dialam ini, seperti empat penjuru angin,
empat musim, empat unsur dan lainnya. Alasan untuk ini adalah bahwa Tuhan menginginkan
empat macam entitas ilmiah tersebut dapat memantulkan atau mencontohkan entitas-entitas
adikodrati, yang sama-sama merupakan satu kelompok dari empat entitas: Tuhan, akal universal,
jiwa universal dan materi prima.[17]
h. Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan As- Shafa bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan
harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral yang dimaksud, seseorang
harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa
sampai kepada ekstase. Kesabaran, ketabahan, kelembutan, kehalusan dan kasih sayang, gemar
berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Jiwa yang telah
dibersihkan akan mampu menerima bentuk- bentuk cahaya spiritual yang bercahaya. Semakin
suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang
tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaiannya dengan data pengetahuan rasional dalam
filsafat.
Psikologi bagi Ikhan As- Shafa, menjadi pengantar bagi metafisika dan kosmologi, dan
juga bagi semua ilmu pengetahuan. Berkat renungan manusia terhadap kondisinya di dunia ini
akan tersingkaplah kepadanya, bahwa ia berada dalam posisi pertengahan antara dua yang
ekstrim, yaitu sangat kecil dan keluasan yang terbatas. Ikhwanberkesimpulan agnostik, yaitu akal
manusia tidak berkemampuan meliput secara utuh tentang Keagungan Tuhan dan esensi- Nya,
bentuk dunia sebagai keseluruhan atau bentuk murni yang telah dipisahkan dari materi.[18]
4. Studi Kritis pemikiran Ikhwan As- Shafa
Mereka lebih menekankan pada ilmu pengetahuan yang bersifat mutlak, jangan sampai
ajaran agama menjadikan manusia terkungkung pada suatu pemikiran. Mereka membolehkan
mengambil “hikmah” dari ajaran manapun juga. Dan juga selalu menempatkan segala sesuatu
pada pemikiran/akal karena menurut keyakinan mereka bahwa akal adalah bentuk emanasi dari
Allah. Dalam teori Filsafatnya Ikhwan al-Shafa memiliki perhatian besar terhadap angka. Secara
khusus, Ikhwan memberikan perhatian terhadap angka empat, suatu penghormatan yang
melampaui bidang matematika murni. Menurut Ikhwan al-Shafa seseorang dapat belajar tentang
keesaan Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan angka.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun
pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya
ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan
agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian
filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris.
Saran
Semoga saja dengan adanya makalah Filsafat Islam dengan judul “Tokoh Ikhwan As-
Shafa” dapat menjadi referensi penulis dan pembaca khususnya Mahasiswa Universitas
Islam Attahiriyah untuk mengikuti mata kuliah Filsafat Islam. Adapun saran penulis
sehubungan dengan bahasan makalah ini, kepada rekan mahasiswa agar lebih
meningkatkan, menggali dan mengkaji lebih dalam tentang hubungan tokoh tokoh Islam lainnya.

Daftar Pustaka
Nata,Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Al- Fakhuri, Tarikh al Falsafah al- Arabiyah, Beirut : Massasat li al- Thaba’ah wa al- Nasyr,
1963.

Dahlan, Abdul Azis, Filsafat dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2003.

De Boer,T.J,Tarikh al- Falsafah fi al- Islam, Kairo: Lajnah al- Ta’lif wa al-Tarjamah wa al
Nasyr,1938.

Farukh, Omar A, Aliran- aliran filsafat Islam ,Bandung : Nuansa Cendekia, 2004.

Hasan, Mustofa, Sejarah Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2015.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.

Supriyadi, Dedi, Filsafat Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2013.

Jamaah Ikhwan al-Shafa terdiri dari 4 kelompok, yaitu:


1. Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, (para saudara yang baik dan dikasihi) dengan
usia anggotanya rata-rata 15-30 tahun.
2. Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala, (para saudara yang terbaik dan utama)
denga usia 30-40 tahun.
3. Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, (para saudara yang utama dan mulia) dengan
usia antara 40-50 tahun.
4. Al-Kamal, kalangan elit yang hatinya telah terbuka bagi setiap kebenaran
dengan usia rata-rata 50 tahun ke atas.
Tingkatan Ikhwan di atas menunjukkan kepada kita bahwa betapa selektifnya
mereka memilih anggota. Dengan kata lain, tidak semua orang dapat diterima
sebagai anggota Ikwan dan yang diterima adalah mereka yang benar-benar
memenuhi syarat dan memiliki kualitas yang unggul terutama dalam bidang
ketajaman pemikiran.

Sejarah

Ikhwan al-Shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia (filosofiko-


religius) berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah
komunitas Sunni sekitar abad ke 4 H / 10 M di Basrah. Kelompok ini merupakan
gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan
pemikiran rasional umumnya di kalangan pengikutnya. Satu hal yang tampaknya
memang menjadi kebijakan Ikhwan al-Shafa ialah merahasiakan keberadaan dan
identitas diri atau kelompok serta ajarannya. Akibatnya Ikhwan al-Shafa lebih
disebut sebagai kelompok rahasia yang keberadaannya relatif sulit disingkapkan,
hampir setiap upaya pelacakan tentangnya senantiasa berujung pada timbulnya
pandangan yang berbeda-beda.
Menurut Hana al-Fakhury dan Khalil al-Jarr bahwa nama Ikhwan al-Shafa
diekspresikan dari Kisah Merpati dalam cerita Kalilat wa Dumnat yang
diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa. Tokoh terkemuka sebagai pelopor organisasi
ini ialah Ahmad ibnu Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Nashr al-Busti
yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid ibnu Rifa’ah dan Abu al-Hasan
Ali ibnu Harun al-Zanjany. Kalangan Syiah mengklaim Ikhwan al-Shafa sebagai
bagian dari kelompok mereka.
Timbulnya organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga
bertendensi politik ini ada hubungannya dengan kondisi dunia Islam ketika itu.
Sejak pembatalan teologi rasional Mu’tazilah sebagai mazhab negara oleh al-
Mutawakkil, maka kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian
diusir dari Baghdad. Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusasteraan,
ilmu, serta filsafat. Kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-
khalifah sesudahnya. Hal ini menimbulkan suburnya cara berfikir tradisional dan
meredupnya keberanian berfikir rasional umat. Pada sisi lain, berjangkit pola
hidup mewah dikalangan pembesar negara. Maka, masing-masing golongan
berusaha mendekati khalifah untuk menanamkan pengaruhnya, sehingga timbul
persaingan tidak sehat yang menjurus pada timbulya dekadensi moral.
Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan al-Shafa yang ingin menyelamatkan
masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah.
Menurut mereka, syariat telah dinodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri
keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah
filsafat.

Anda mungkin juga menyukai