Anda di halaman 1dari 13

Mendeskripsikan Pemikiran Filsafat Ikhwan Al-Shafa

Intan Listianti, Masnah


STAI Al-Azhary Cianjur
Email: intanlistianti29@gmail.com,
wasulasahwarubaah@mail.com

ABSTRAK
Dalam pandangan dunia modern, sains selalu terpisah dengan agama. Sains
merupakan ilmu yang bersifat ilmiah, sementara agama bersifat non-ilmiah
berasal dariTuhan. Sains dapat di cari keberadaan nya dengan cara sebuah
penelitian terhadap sesuatu. Sementara agama sudah tercantum dalam suatu
rangkaian tulisan yaitu kitab suci yang memuat firman-firman Tuhan. Dari sini
terjadilah pengecualian dengan pemisahan antara sains dengan agama. Penelitian
ini menjelaskan tentang hubungan antara ilmu pengetahuan atau sains dengan
agama menurut sebuah kelompok filosof di daerah Timur yakni Ikhwan al-Safa.
Dalam pemikiran Ikhwan al-SafaSains dan agama adalahdua aspek Ketuhanan
yang memiliki kesamaan dalam tujuan tertinggi yaitu Tuhan yang Maha Esa.

PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan pada dasarnya sangatlah luas dalam berbagai macam
persoalan yang meluas serta didasari oleh pemikiran dan karakterisktik yang
berbeda. Hal ini sangat berarti dan oenting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia, khususnya bagi perjalanan panjang ilmu pengetahuan di
Islam itu sendiri.
Seperti halnya filsaat, sudah sangat sering kita dengar dan kita ketahui
bahwa awal mula munculnya filsafat adalah berasal dari Yunani, akan tetapi para
filosof, para ahli agama, atau orang-orang muslim semasanya yang senantiasa
berpikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan ini untuk kemajuan bagi umat
muslim. Kemudian dikemas dan dipahami sedemikian rupa serta dikaitkan dengan
hal-hal atau ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
lahirlah filsafat Islam sebagai ilmu pengetahuan yang baru serta cukup popular
yang dikembangkan dan diajarkan secara turun temurun oleh para filosof kepada
generasi-generasi selanjutnya, dapat diartikan murid-muridnya.
Kemudian muncul salah satu filosof dari kelompok yang
menamaikelompoknya dengan nama Ikwan al-Shafa yang mewarnai dunia filsafat
di Islam pada masa itu. oleh sebab itu, pada makalah ini penulis coba memaparkan
tentang Ikhwan al-Shafa dan bagaimana pemikirannya.

1
PEMBAHASAN
A. Biografi Ikhwan al-Safa

Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah nama yang disematkan


pada sekelompok pemikir yang berwawasan liberal yang aktivitasnya
menggali dan mengembangkan sains dan filsafat dengan tujuan tidak semata-
mata hanya untuk kepentingan sains itu sendiri, melainkan untuk memenuhi
harapan-harapan lainnya, seperti terbentuknya komunitas etika-religius dan
mempersatukan berbagai kalangan dalam sebuah wadah yang selalu siap
memperjuangkan aspirasi mereka. Komunitas etikaspiritual ini merupakan
pembauran dari berbagai kalangan muslim yang heterogen. Heterogenitas yang
mewarnai kelompok ini, mencerminkan ciri mereka yang pluralistis, karena
beranggotakan dari unsur- unsur dan lintas sekte atau madzhab.
Para pemikir Islam yang bergerak secara rahasia ini lahir pada abad ke-4
(10M) di Basrah. Kerahasiaan kelompok ini yang juga menamakan kelompok
dirinya Khulan Al- Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ Al Hamdi, atau juga
Auliya’ Allah boleh jadi karena tendensi politis, dan baru terungkap setelah
berkuasanya dinasti Buwaihi di Baghdad pada tahun 983M. Ada
kemungkinan kerahasiaan organisasi ini dipengaruhi oleh paham taqiyah,
karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas Sunni. Boleh
jadi juga, kerahasiaan ini karena mereka mendukung faham Mu’tazilah yang
telah dihapuskan oleh khalifah Abbasiyah, Al-Mutawakil, sebagai madzhab
negara. Menurut Hana Al Farukhi nama Ikhwan al-Shafa diekspresikan dari
kisah merpati dalam cerita Kaliilah wa Dhummah yang diterjemahkan Ibn
Muqaffa. Sesuai dengan namanya Ikhwan al-Shafa berarti “persaudaraan yang
suci dan bersih”. Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar
agama Islam yang didasarkan pada persaudaraan Islamiyah (Ukhuwah
Islamiyah) yaitu sikap yang memandang sikap seorang uslim tidak akan sempurna
kecuali jika ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri,
persaudaraan yang dilakukan secara tulus ikhlas, kesetiakawanan yang suci
murni serta saling menasehati antara sesama anggota organisasi dalam menuju
ridha illahi. Oleh sebab itu di dalam risalah yang mereka kumpulkan para
penulis yang selalu memulai nasehatnya dengan kalimat “ya ayyuhal akh!
(wahai saudara!) atau “yaayyuhal akh alfadhil!” (wahai saudara yang budiman!)
suatu tanda kesetia kawanan antar anggota. Sebagai sebuah organisasi ia
mempunyai semangat da’wah dan tabligh yang amat militan dan kepedulian
yang tinggi terhadap orang lain.
Kelompok Ikhwan al-Shafa bergerak dalam bidang filsafat yang
banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang da’wah dan pendidikan.
Mereka berkumpul untuk menyalakan kembali obor ilmu pengetahuan di

2
kalangan kaum muslimin agar mereka tidak terperosok dalam kejahilan dan
fanatisme.Kemunculan Ikhwan Al-Shafa dilatar belakangi oleh keprihatinan
terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar
Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta ilmu pengetahuan di
kalangan umat Islam.Mereka bekerja danbergerak secara rahasia disebabkan
kekhawatiran akan ditindak penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas
gerakan-gerakan pemikiran yang timbul. Kondisi ini antara lain yang
menyebabkan Ikhwan Al-Shafa memiliki anggota yang terbatas. Mereka sangat
selektif dalam menerima anggota baru dengan melihat berbagai aspek. Diantara
syarat yang mereka tetapkan dalam merekrut anggota adalah: memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, loyalitas yang tinggi, memiliki kesungguhan, dan
berakhlak mulia dan semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan
mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di masyarakat.
Lahirnya Ikhwan al-Shafa adalah ingin menyelamatkan masyarakat
dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah.Menurut
mereka, syari’at telah dinodai bermacam-macam kejahiliyahan dan dilumuri
beraneka ragam kesesatan. Dalam kelompok ini ada empat tingkatan
anggota, yaitu:
1. Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, kelompok yang berusia 15-30 tahun yang
memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid,
karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
2. Al-Ikhwan al-Akhyar, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada
tingkatan ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah,
kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
3. Al-Ikhwan al-Fudhala’ al-Kiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun.
Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sulthan dan hakim.
Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
4. Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut
dengan tingkatan al-Muqarrabin min Allah, karena mereka sudah mampu
memahami hakikat sesuatu sehingga mereka sudah berada di atas alam
realitas, syari’at dan wahyu sebagaimana Malaikat al-Muqarrabun.
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat ilmu bertingkat-tingkat. Pertama-
tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud meunurut
kesanggupan manusia dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan
ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat yaitu
matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan.
Ilmu ketuhanan mempunya bagian-bagian, yaitu:
1. mengetahui Tuhan;
2. ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;

3
3. ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa yang ada pada benda-
benda langit dan benda-benda alam;
4. ilmu politik yang mencakup politik kenabian, politik pemerintahan, politik
umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi
(akhlak);
5. ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.
Dari pembagian tersebut, kita dapat melihat bahwa golongan Ikhwan al-
shafa tidak membagi filsafat amalan, melainkan bagian amalan ini keseluruhannya
dimasukkan dalam bagian ketuhanan. Mereka juga memasukkan bagian-bagian
baru dalam filsafat, yaitu politik kenabian dan ilmu keakhiratan (Hanafi, 1996: 8).

B. Karya Ikhwan al-Shafa


Pertemuan-pertemuan yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid
ibn Rif’ah –ketua—secara sembunyi-sembunyi tanpa menimbulkan kecurigaan
telah menghasilkan 52 risalah –jumlah rasail tersebut adalah 50 risalah dengan
satu ringkasan dan satu lagi ringkasan dari ringkasan--, kemudian mereka
menamakan karya tersebut dengan Rasail Ikhwan al-Shafa’. Rasail ini merupakan
ensiklopedia popular tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditilik
dari segi isi, rasail tersebut dapat diklasifikasikan kepada empat bidang, yaitu:
1. 14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, music,
geografi, teori dan oraktek snein, moral, dan logika,
2. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi geneologi, minerologi, botani,
hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan
kemampuan kesadaran,
3. 10 risalah tentang ilmu jiwa, meliputi metafisika mazhab Pytagoreanisme dan
kebangkitan alam,
4. 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan,
hubungan alam dengan tuhan, keyakinan Ikhwan alShafa’, kekuasaan Tuhan,
magic, dan jimat.
Ringkasan ilmu-ilmu filsafat ini diibaratkan oleh orang Arab pada abad
ke-X dengan sebuah kebun mewah, dan pemiliknya seorang bijak dan pemurah,
bahkan meminta setiap orang yang lewat untuk singgah sebentar dan menikmati
buah-buahan dan naungan hijau di kebun tersebut. Tetapi, sebagian kecil saja
yang benar-benar mengambil keuntungan dari kesempatan ini, karena keraguan
dan kebodohan mereka. Agar hilang rasa ragu mereka, pemilik kebun itu
memperlihatkan contoh-contoh dari buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan tersebut,
dan dengan begitu terpikatlah orang-orang yang lewat di dekatnya untuk
memasuki dan berbagai kesenangan yang ada di dalamnya (Nasution, 1999: 46).

4
C. Pemikiran Ikhwan Al-Safa
1. Talfiq
Ikhwan Al-Shafa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama
dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari
ungkapan mereka bahwa syari’at telah dikotori bermacam-macam kejahilan
dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan membersihkannya adalah
filsafat. Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara
filsafat Yunani dan syari’at Arab, maka akan menghasilkan kesempurnaan.
Tampaknya Ikhwan Al-Shafa menempatkan filsafat diatas agama
(Nasution, 1999: 47). Mereka mengharuskan filsafat menjadi landasan agama
yang dipadukan dengan Ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan pendapat
mereka dalam bidang agama. Menurut mereka Ungkapan Al-quran yang
berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang
arab badui yang berkebudayaan bersahaja.Sedangkan bagi yang memiliki
pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan memakai takwil untuk
melepaskan diri dari pengertian Lafzi dan inderawi. Untuk itulah ikhwan
berusaha dengan gigih memadukan filsafat dengan agama dengan menurunkan
metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat
dijangkau secara aktif –praktis.dengan demikian,harus dimunculkan satu
tingkatan kepercayaan yang menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada
tingkat yang cocok bagi orang orang pilihan dan tingkat yang cocok bagi orang
kebanyakan yaitu tingkatan kepercayaan yang cocok bagi keduanya (orang –
orang pilihan dan awam), yang berakar pada akal, ditopang oleh kitab suci, dan
dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran.(Rasail III, 452-3
dalam Ahmad Nasution (1999)).
Sebenarnya pendapat mereka untuk mepergunakan ta’wil dalam
memahami ayat-ayat yang mutasyabihat merupakan pendapat yang sama di
kalangan para filsuf. Menurut filsuf, agama adalah tempat melambangkan
secara inderawi (Amtsal wa rumuz) agar mudah dipahami oleh kaum awam
yang merupakan bagian terbesar umat manusia.jika tidak demikian, tentu
banyak ajaran agama yang mereka tolak karena mereka tidak memahami
isinya. Sebaliknya, kaum filsuf harus mengambil makna metaforis terhadap
teks Al-Quran yang bernada antropomorphisme. Jika tidak, tentu banyak pula
ajaran agama mereka tolak karena tidak masuk akal. Dengan cara seperti
ini,para filsuf menempatkan nabi sebagai pendusta untuk kepentingan manusia
(Al-Kidzb li mashlahah Al-Nas).
Di samping itu, Ikhwan Al-Shafa juga memadukan agama-agama yang
berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Ilam, Kristen,
Majusi, Yahudi dan lain-lain (Nasution, 1999: 47). Karena menurut mereka
tujuan agama adalah sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

5
Kecuali itu, menurut Ikhwan Al-Shafa perbedaan-perbedaan keagamaan
bersumber dari faktor-faktor yang kebetulan, seperti ras, tempat tinggal atau
keadaan zaman, dan dalam beberapa kasus juga faktor temperamen dan
susunan personal.Karena itu agama gabungan yang mereka maksud akan
menjadi pegangan dalam negara yang mereka impikan, dan hal ini merupakan
tujuan utama mereka yang kedua untuk menggantikan Daulah Abbasiyah yang
berada pada kerusakan (al-Fasad) yang harus diganti dengan negara baru.
Demikian juga penduduknya telah menjadi ahl al-syar (jelek). Negara baru
yang mereka idamkan, bagaikan laki-laki yang satu dalam segala urusan dan
jiwa yang satu dalam segala pengaturan, sedangkan penduduknya adalah ahl
al-khair (baik)yang terdiri dari kaum Ulama, Filsuf, dan orang-orang pilihan,
dimana mereka semua sepakat atas pendapat yang satu, mazhab yang satu dan
agama yang satu pula.
Usaha talfiq pemikiran-pemikiran Persia, Yunani, India dan semua agama,
serta menetapkan Nabi-nabiNya, Nuh a.s, Ibrahim a.s, Socrates, Plato,
Zoroaster, Isa a.s, Muhammad SAW dan Ali adalah keinginan ideal yang tidak
pernah ada dalam realitas. Karena bagaimana mungkin menyatukan sifat
manusia yang heterogen secara utuh dan penuh kesadaran, kalaupun hal ini
mungkin diwujudkan, tentu menghendaki pemaksaan,dan tidak akan bertahan
lama (ingat halnya negara komunisme di Rusia).

2. Metafisika
Adapun tentang ketuhanan, Ikhwan al-shafa melandasi pemikirannya
kepada bilangan. Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang
mempercakapkan tentang tauhid, Al-Tanzih dan meniadakan sifat dan tasybih,
serta dapat menolak sikap orang yang mengingkari keesaan tuhan. Dengan kata
lain pengetahuan tentang angka membawa kepada pengakuan tentang keesaan
tuhan, karena apabila angka 1 rusak, maka rusaklah semuanya. Selanjutnya
mereka katakan, angka 1 sebelum angka 2 dan dalam angka dua terkandung
pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka permulaan
dan ia lebih dahulu dari angka dua dan lainnya.karena itu keutamaan terletak
pada yang dahulu, yakni angka satu sedangkan angka dua dan lainnya terjadi
kemudian.karena itu terbuktilah bahwa yang esa (Tuhan) lebih dahulu dari
lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.
Ikhwan Al-Shafa juga melakukan Al-Tanzih, meniadakan sifat dan tasybih
kepada Tuhan. Tuhan pencipta segala yang ada dengan cara Al-Faidh
(emanasi) dan memberi bentuk, tanpa waktu dan tempat, cukup dengan
firmannya kun fa kana. Maka adalah segala yang dikehendakinya.ia berada
pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu
tiap-tiap bilangan.sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak

6
serupa dengan bilangan lain, demikian pula dengan tuhan tidak ada yang
menyamainya dan menyurupainya.tetapi,ia jadikan fitrah manusia untuk dapat
mengenaknya tanpa belajar.
Dari pembicaraan diatas tampak pengaruh Neo-pythagoreanisme yang
dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus (Nasution, 1999: 49)
Tentang ilmu tuhan, ikhwan Al-Shafa’ beranggapan bahwa seluruh
pengetahuan (al Ma’lumat) berada dalam ilmu tuhan sebagai mana beradanya
seluruh bilangan dalam angka satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu
Tuhan dari zat-Nya sebagaimana yang banyak dari bilangan yang satu yang
meliputi seluruh bilangan.demikian pula ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu
yang ada.
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ikhwan al Shafa merupakan
perpaduan antara Aristoteles, Plotinus dan Mutakallimin. Bagi Ikhwan al
Shafa, Tuhan adalah pencipta dan mutlak dengan kemauan sendiri tuhan
menciptakan akal pertama atau akal aktif (al-Aql Al fa’al) secara emanasi.
Dengan demikian kalo tuhan Qodim dan baqqi maka akal pertama pun
demikian halnya. Pada akal pertama ini lengkap segala potensi yang akan
mucul wujud berikutnya. Jadi, secara tidak langsung tuhan berhubungan alam
matri,sehingga kemurniaan tauhid dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Lengkap nya rangkaian proses emanasi itu adalah:
1. Akal pertama atau akal aktif (al-‘Aql al-Fa’al).
2. Jiwa universal (al-Nafs al-Kulliyah).
3. Materi pertama (al-hayula al-ula).
4. Potensi jiwa universal (al-thabi’ah al-fa’ilah).
5. Materi absolute atau materi kedua (al-jism al-muthlaq)
6. Alam planet-planet (‘alam al-aflaq)
7. An nashirr alam terendah (‘annashir al-A’lam Al shufla) yaitu air, udara,
tanah, dan api.
8. Materi gabungan yaitu terdiri dari mineral,tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah diatas bersama dengan zat Allah swt yang mutlak,
sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan.angka. Sembilan ini
membentuk substansi organic pada tubuh manusia, yaitu tulang sumsum,
daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan kuku.
Segala sesuatu dialam ini adakalanya berupa materi, bentuk, jauhar atau
aradh. Jauhar yang pertama adalah materi dan bentuk. Sedangkan aradh yang
pertama adalah tempat, gerak dan zaman. Ikhwan Al shafa juga menerima
tidak hanya spesies-spesies yang bermacam-macam, tetapi juga organ-organ
dari hewan-hewan yang lebih maju disusun secara hierarkis; tiap-tiap organ
yang lebih rendah ditempatkan dibawah organ yang ada diatasnya dan
membantu mengembangkan pemeliharaan dan kesempurnaannya. Oleh karena

7
itu otak merupakan organ tertinggi pada manusia dan tempat kedudukan
pemikiran, pengindraan, dan ingatan. Jantung sebagai tempat persimpangan
jalan darah dimana pembuluh darah berkembang,dan sumber panas yang vital
bagi hewan,merupakan bawahan otak atau pembantunya,dan ia sendiri dibantu
oleh tiga organ yang lebih rendah lagi, yaitu, hati, pembuluh darah, dan paru-
paru.
Menurut Ikhwan Al-Shafa, yang dalam ini dipengaruhi kaum Stoik, tubuh
manusia merupakan miniatur alam semesta sebagai keseluruhan
(mikrokosmos). Dengan Sembilan buah bola langit yang menyusun dunia
(Jupiter, Saturnus, Mars, Matahari, Venus, Merkurius, Bulan, Atmosfir, dan
Bumi) dapat disamakan Sembilan substansi organik yang membentuk tubuh
manusia, Yakni tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan
kuku dan ini semua ditata seperti Sembilan bola (langit) konsentrik. Dengan
dua belas tanda zodiac, dapat disamakan dua belas lubang tubuh, yaitu dua
mata, dua telinga, dua hidung, dua puting, satu mulut, satu pusat, dan dua
saluran perlepasan. Dengan daya-daya fisik dan daya spiritual dari tujuh buah
planet, juga dapat disamakan tujuh daya-daya fisik, yaitu menarik, meraih,
mencerna, mendorong, makan, tumbuh, dan melukiskan. Dan tujuh daya
spiritual, yakni melihat, mendengar, merasa, mencium, menyentuh, berbicara,
dan berpikir; masing-masing dapat disamakan dengan salah satu dari ketujuh
planet itudengan empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah, dapat disamakan
kepala, dada, kantung makanan, dan perut,mengingat hubungan antara masing-
masing bagian tubuh tersebut dan unsur-unsur yang dapat disamakan. Juga
dikonfigurasi bola dunia dan juga gejala-gejala meteorologist mempunyai
analogi tertentu dengan tubuh manusia; tulang-tulangnya sama dengan
pegunungan, sumsumnya dengan biji-biji logam, perutnya dengan laut,
ususnya dengan sunga-sungai, pembuluh-pembuluhnya dengan anak-anak
sungai, dagingnya dengan tanah, rambutnya dengan tumbuh-tumbuhan,
nafasnya dengan angin, ucapannya dengan halilintar, tertawanya dengan siang,
air matanya dengan hujan, tidurnya dengan kematian, dan jaganya dengan
kelahiran kembali.
Ilmu bilangan berkaitan dengan planet-planet. peredaran planet memberi
pengaruh terhadap kehidupan manusia, baik terhadap tubuh maupun terhadap
jiwa. Masing-masing planet mempunyai tugas dan sifat sendiri. Jupiter, Venus,
dan matahari beredar membawa kebahagiaan, Saturnus, Mars, dan bulan
beredar membawa kesengsaraan. Sedangkan matahari percampuran antara
senang dan celaka. Matahari pula lah yang memberikan kepada manusia ilmu
dan mengenal baik dan buruk. Selain itu, masing-masing planet mempunyai
tugas khusus. Bulan bertugas membuat tubuh manusia tumbuh dan
berkembang. Merkurius bertugas mencerdaskan akal, Matahari bertugas

8
member nikmat kepada manusia, berupa keturunan, kekuasaan, dan harta. Mars
memberikan sifat keberanian, keperkasaan, dan kemuliaan. Sedangkan Jupiter
membimbing manusia dalam pengembaraanya sampai kehidupan akhirat.
Pengiriman Nabi ke bumi untuk membimbing manusia, juga berhubungan
dengan planet-planet tersebut. Tentang logika, ikhwan al shafa’ mengajukan
konsep alur yang berfikir yang lurus, yaitu urutan berfikir sistematis bagi: (1)
analisis (al tahlil), untuk mengetahui objek inderawi secara rinci, (2) difinitif
(al-had), untuk mengetahui hakikat spesies (Naw’), (3) deduktif (al burhan),
untuk mengetahui (Al jins).
3. Hukum
Adalah keyakinan Ikhwan al-Shafa bahwa hukum-hukum agama berbeda
satu sama lain, sesuai dengan kebutuhan dan watak bangsa-bangsa yang
bersangkutan. Seperti Mu’tazilah, mereka berpendapat bahwa semua tema
keagamaan, seperti Penciptaan, Adam, Syaitan, Pohon Pengetahuan,
Kebangkitan Kembali, Hari Kiamat, Neraka dan Sorga, harus dipandang
sebagai simbol-simbol dan dipahami secara alegoris. Mereka juga berpendapat
bahwa dalam agama tidak boleh ada paksaan, oleh karena agama adalah soal
hati dan bertumpu pada keyakinan (Basari, 1989: 59).
4. Politik
Mengenal politik, Ikhwan al-Shafa tampaknya tidak peduli, walaupun
sebenarnya mereka tidak puas dengan keadaan di zaman mereka, membantu
gerakan-gerakan yang menentang kekuasaan Abbasiyyah (Basari, 1989: 62).
Dari segi doktrin, mereka berpendapat bahwa negara bertumpu kepada
kerajaan dan agama. Diperlukan seorang raja untuk menegakkan disiplin,
hukum dan ketertiban dalam negeri, dan jika tidak ada raja, haruslah ada
sebuah majelis yang terdiri dari orang-orang terbaik, untuk menguasai dan
memerintah, sebab jika tidak, akan timbul anarki, pertumpahan darah dan
kekacauan.
5. Pendidikan
Teori mereka tentang pendidikan didasarkan atas gagasan Yunani. Mereka
berpendapat bahwa setiap anak lahir dengan bakat, artinya dengan potensi-
potensi yang harus diaktualkan. Oleh sebab itu, guru tidak perlu menjejali otak
muridnya dengan ide-idenya sendiri melainkan harus mengangkat apa yang
terdapat secara laten di dalamnya. Selama empat tahun pertama, anak secara
tidak sadar menyerap semua ide dan perasaan dari lingkungan sosialnya.
Setelah itu, ia mulai meniru orang-orang di sekitarnya. Orang dewasa biasanya
mengikuti orang-orang yang lebih tua, terutama yang punya wibawa. Anak
kecil sering mengikuti guru dan orang-tuanya. Oleh sebab itu, guru dan orang-
tua harus memberi contoh yang terbaik dalam hal tabiat dan perilaku (Basari,
1989: 62).

9
6. Ilmu Pengetahuan
Dalam hal ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa jelas sekali bersimpati
dengan aspek ajaran Pythagoras-Hermes dari warisan Yunani, yang khususnya
tampak pada teori-teori matematika mereka. Seperti kaum Pythagoras mereka
menekankan aspek simbolik dan metafisika dari Ilmu Hitung dan Ilmu Ukur.
Di dalam Risallat al-Jamiah Ikhwan al-Shafa tertulis, bentuk-bentuk bilangan
dalam jiwa dapat dipersamakan dengan bentuk-bentuk makhluk dalam materi
(atau hyle). Bilangan merupakan, contoh dari dunia atas dan melalui
pengetahuan tentangnya murid dibimbing ke ilmu-ilmu matematika lainnya,
dan ke fisika serta metafisika. Ilmu bilangan merupakan “akar” ilmu-ilmu
pengetahuan, landasan kebijaksanaan, sumber pengetahuan dan sokoguru
makna. Ilmu bilangan merupakan Eliksir Pertama dan alkemi besar Basari,
1989: 63). Mereka berpendapat bahwa melalui latihan, daya ukur mengangkat
jiwa dari dunia fisis ke dunia kerohanian. Dalam daya ukur ditemukan semua
gambar bilangan yang misterius, yang terkecil di antaranya terdiri dari
sembilan segi empat dalam tiga baris. Dengan naik, jiwa yang sudah terlatih
dalam ilmu-ilmu matematika dan fisika, akan diangkat ke dunia spiritual dan
orang yang bersangkutan akan bergabung dengan orang-orang yang hidup
kekal dalam keluasan alam semesta yang tidak terbatas. Di dunia materi, suatu
proses evolusi sedang berlangsung. Yang berada di bawah naik ke tingkat
yang lebih atas, sebagaimana mineral berevolusi menjadi tumbuhan dan
tumbuhan menjadi hewan. Yang bawah jauh lebih dulu adanya dibandingkan
dengan yang atas; oleh sebab itu, sebelum ada manusia, tentunya sudah ada
ribuan obyek yang tergolong dunia mineral dan tumbuhan, dan bahkan dunia
hewan. Bersamaan dengan evolusi materi berlangsung pula evolusi roh. Roh
anak kecil tumbuh menjadi matang, sampai usia 50 tahun, ia memperoleh
kemampuan untuk menerima ilham dan bertindak sebagai pembawa antara
akal dan dunia (Basari, 1989: 63).
Dalam risalah-risalah mengenai ilmu-ilmu pengetahuan Ikhwan al-Shafa
memperlihatkan pengetahuan mereka yang luar biasa mengenai ilmu-ilmu
pengetahuan, baik yang dulu maupun di zaman mereka. Mereka meringkaskan
pengetahuan yang ada pada mereka, akan tetapi disamping itu apakah mereka
telah memberikan sumbangan untuk memajukannya, karena tidak semua
risalah itu sampai kepada kita. Seperti telah dikatakan Ikhwan al-Shafa
merupakan ‘sekumpulan sarjana yang bekerja memiliki rahasia dan tidak
menyingkapkan identitas mereka kecuali kepada rekan terdekat atau murid
yang setia dan terpercaya. Oleh sebab itu, kita tidak mengetahui mereka semua
(Basari, 1989 : 64). Menurut Al-Sijistani, dalam tulisannya Vessel of Wisdom
(Bejana Kebijaksanaan) (Suwan al-Hikmah), para sarjana terkemuka di

10
kalangan Ikhwan al-Shafa adalah Abu Sulayman al-Busti, Abu ‘l-Hasan al-
Zanjani, Abu Ahmad al-Nahrajuri, al-Aafi dan Zaid ibn Rif’ah.
7. Jiwa
Tentang jiwa manusia, bersumber dari jiwa universal. Dalam
perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang
mengitarinya. Agar potensi jiwa itu tidak kecewa dalam perkembangannya,
maka jiwa dibantu oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya seperti kertas
putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan
tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak
bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah),
dari sini meningkat kepada daya berfikir (al-quwwah al-mufakkirah) yang
terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup
membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah
itu,disalurkan ke daya ingatan (al-quwwah al-hafizhah) yang terdapat pada
otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan
hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berfikir. Tingkatan terakhir
adalah daya berbicara (al-quwwah al-nathiqqah), yaitu kemampuan
mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna
kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.
8. Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-shafa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu
suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat
moral dimaksud,seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada
materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya
tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan
ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih sayang, keadilan, rasa syukur,
mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya
harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan,
penipuan, kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul
kesucian perasaan, kecintaan, yang membara sesama manusia, dan keramahan
terhadaap alam, binatang liar sekalipun.
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya
spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak
terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang
tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaiannya dengan data pengetahuan
rasional dalam filsafat. Sebaliknya,selama jiwa terperosok dalam daya pikat
tubuh dan terpikat oleh keingian-keinginan dan kesenangan-kesenangannya, ia
tidak dapat mengetahui makna kitab suci, dan ia tidak akan dapat beranjak
kepada bola-bola langit dan secara langsung merenungkan apa yang ada
disana. Demikian juga setelah peristiwa kematian, ia tak dapat terbebas dari

11
beban atau bergabung dengan ”rombongan Malaikat” di surga. malah ia akan
tetap melayang-layang di langit hingga hari kiamat dan pada akhirnya akan
diseret oleh ”roh-roh jahat” yang mengembalikannya ke dunia pembentukan
dan kehancuran (sama halnya dengan neraka) dan “penjara bagi eksistensi
jasmani”. Bagi Ikhwan, neraka dipahami sebagai ”dunia pembentukan dan
kehancuran yang terletak di bawah bulan”, dan surga sebagai ”tempat
bersemayam roh-roh dan ruang langit-langit yang sangat luas”. Jiwa yang
telah mencapai lingakaran samawi akan merasakan kebahagiaan abadi dan
akan terbebas dari kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi bagian tubuh
untuk selama-lamanya. Kondisi yang demikian merupakan konsekuensi
kekufuran, kesalahan, kebodohan, dan kebutaan terhadap makna dasar kitab
suci.
Petunjuk utama manusia bagi pengenalan tentang dunia haruslah
merupakan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Karena itu psikologi bagi
ikhwan al-shafa menjadi pengantar bagi metafisika dan kosmologi, dan juga
bagi semua ilmu pengetahuan. Berkat renungan manusia terhadap kondisinya
di dunia ini akan tersingkaplah kepadanya, bahwa ia berada dalam posisi
pertengahan antara dua yang ekstrim, yaitu sangat kecil dan keluasaan yang
tak terbatas, tubuhnya tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, masa hidupnya
tidak terlalu lama dan tidak pula terlalu singkat, demikian juga
kemunculannya didunia tidak terlalu dini dan tidak terlalu terlambat. Dalam
hal pengetahuan manusia ini, Ikhwan pun berkesimpulan agnostik, yaitu akal
manusia tidak berkemampuan meliputi secara utuh tentang Keagungan Tuhan
dan esensinya, bentuk dunia sebagai keseluruhan, atau bentuk murni yang
telah dipisahkan dari materi. Dalam hal itu, Ikhwan menawarkan solusi agar
tunduk kepada para nabi, yang merupakan penyambung lidah tuhan, dan
mengakui ajaran mereka tanpa ragu-ragu.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak
secara rahasia yang mayoritas bergolonga Syi’ah yang lahir pada abad ke 4H
(10M) di Basroh. Ikhwan al-Shafa menghaislkan sebuah kumpulan tulisan yang
terdiri dari 52 Risalah dengan menekankan aspek kuat dalam keluasan berpikir
dan keluasan serta kualitas beragam yang mengkaji subjek-subjek bersektrum
luas.
Ikwan al-Shafa dalam usahanya berfilsafat masig tetap ingin memadukan
antara agama dan filsafat. Namun ikhwan al-shafa lebih menempatkan filsafat di
atas agama dan mereka mengharuskan berfilsafat dan membuat filsafat menjadi

12
landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Dan mereka memadukan agama
dengan agama lainnya.

B. Saran
Setlah membaca dan memahami tentang Ikhwan al-Shafa dan
pemikirannya, diharapkan pembaca dapat mengambil ibroh dan mengedepankan
aspek logika dalam bertindak di kehidupan sehari-hari dengan memadukan antara
agama dan filsafat.

REFERENSI
A. Mustofa. 2004. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nasution, Hasyimsah. 2009. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Callatay, Godefroid de. 2005. Ikhwan Al-Safa’. England: Oneworld Publications
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT. Karya Unipress.
Basari, Hasan. 1989. Filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai