Anda di halaman 1dari 6

Nama : Erlangga nur Al Farizi karyadhara

NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam

Materi 5 “pemikiran filsafat Ikhwan al-Shafa`”


A. Biografi Ikhwan Al-shafa
ikhwan al-shafa’ (persaudaraan suci) adalah nama sekelompok pemikir islam yang
bergerak secara rahasia dari sekte syi’ah isma’iliyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di
basrah. Ada kemungkinan kerahasiaan organisasi ini ini dipengaruhi oleh taqiyah, karena basis
kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas sunni. Menurut Hana Al-Fakhuri nama
ikhwan al-shafa’ diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita kahillah wa dunnah yang
diterjemahkan ibn Muqafa. (Al- Fakhuri halaman 165 ).

Identitas yang tidak jelas ini di di kemukakan atas informasi dari As-sijistani (w.391
H/1000 M) para pemuka mereka adalah Abu Sulaiman Al-Busti (terkenal dengan gelar Al-
muqaddas),Abu Al-Hasan Az-Zanjani,Abu Ahmad An-nahrajuri (alias Al-Mihrazani),Abu Al-
hasan Al-Aufi, dan Zaid bin Rita’ah. Kalangan syiah,terutama syi’ah isma’iliyah mengklaim
bahwa ikhwan al-shafa adalah kelompok dari kalangan mereka. Kendati identitas mereka tidak
jelas karena Risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan itu, menurut Abu Hayyan At-Tauhidi
(w.414/1023) dan data internal dalam risalah mereka, dapat di simpulkan berasal dari masa
antara tahun 347 H/958 M sampai tahun 373 H/983 M atau dari perempat ketiga abad ke-4 H.
Pusat kegiatan mereka di kota Basrah, tetapi di baghdad juga terdapat cabang dari kelompok
rahasia itu. (Abdul Aziz Dahlan, 2003 : 192)

Pemikiran mereka sangat layak di kaji karena lebih dari sekedar kajian artifisial,di
samping ikhwan sangat di kenal di timur tengah, sebagaimana Hegel, Kant, dan Voltaire yang
sangat di kenal di barat. Menyebutkan diri mereka sebagai “orang-orang yang tertidur dalam
gua adam” sebagaimana dalam kitabnya Rasa’il yang di ambil dari Al-qur’an dan tujuh orang
yang teridur dalam legenda Ephesus, mencerminkan misteri identitas mereka. Pengaruh gagasan
Plato,Aristoteles dan terutama, Plotinus, ada dalam filsafat ikhwan. (Dedi supriyadi, 2009 :100)

Pelopor perhimpunan politico-religius ini yang terkenal antara lain Ahmad ibn Abdullah,
Abu Sulaiman Muhammad ibn Nashr al-Busti dll. Dalam upaya memperluas gerakan, ikhwan al-
shafa’ mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan
mengajak siapa saja yang berminat kepada keilmuan dan kebenaran, terutama dari orang-orang
muda yang masih segar dan cukup berhasrat agar mudah dibentuk. Walaupun demikian
kerahasiaan organisasi mereka tetap terjaga,calon anggota perhimpunan ini dituntut keras untuk
berpegang teguh satu sama lain dalam mengahadapi segala bahaya dan kesukaran, untuk
membantu dan menopang satu sama lain baik dalam perkara duniawi maupun rohani, dan
menjaga diri agar tidak bersahabat dengan persaudaraan yang tercela. Dari beberapa buku
diantaranya karangan Dr. Hasyimsyah dikatakan bahwa terdapat empat tingkatan anggota, yaitu :
Tingkat I : terdiri dari pemuda cekatan berusia 15-30 tahun yang memiliki jiwa yang suci dan
pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid, maka wajib petuh dan tunduk secara sempurna
kepada guru.
Tingkat II : adalah al-ihkwan al-akhyar yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah
mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi
persaudaraan.
Tingkat III : adalah al-ikhwan al-fudhala al-kiram yang berusia 40-50 tahun. Merupakan tingkat
dewasa.Mereka sudah mengetahui namus al-ilahi sebagai tingkat para nabi.
Tingkat IV : adalah tingkat tertinggi setelah sesorang mencapai usia 50 tahun ke atas. Mereka
pada tingkat ini sudah mampu memeahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat, sehingga
mereka sudah berada di atas alam realitas.
Pemikiran mereka sangat layak dikaji karena lebih dari sekedar kajian artifisial.
Penyebutan mereka sebagai “orang-orang yang tertidur dalam gua adam” sebagaimana
dalamkitab rasail yang diamabil dari al-quran dan tujuh orang yang tertidur dalam legenda
Ephesus, mencerminkan misteri identitas mereka. (Dr. Juhaya S. Praja, MA, 2010)
Ikhwan Ash-Shafa’menghasilkan sebagai magnum opus (master piece)-nya yang
terhimun ke dalam sebuah kumpulan tulisan yang terdiri 52 Risalah dengan keluasan dan
kualitas beragam yang mengkaji subjek-subjek berspektrum luas yang merentang dari musik
sampai sihir. Tekanannya bersifat amat didaktik, sedangkan kandungannya sangat eklektik. Ini
memberikan cerminan pedagogis dan kuktural zaman mereka serta beragam filsafat dan kredo
masa itu. (Dedi Supriyadi, 2009: 101)
Pertemuan yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid ibn Ri’faah(ketua) secara
sembunyi-sembunyi tanpa menimbulkan kecurigaan telah mengahasilkan 52 risalah. Rasail
merupakan ensiklopedi popular tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditilik dari
segi isi, rasail tersebut dapat diklarifikasikan kepada empat bidang :
a. 14 risalah tentang matematika, mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, teori
dan praktek seni, moral dan logika.
b. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi geneologi, minerologi, botani, hidup
dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.
c. 10 risalah tentang jiwa, meliputi metafisika mahdzab Pytagoreanisme dan kebangkitan
alam.
d. 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan,
hubungan alam dengan tuhan, keyakinan ikhwan al-shafa’, kenabian dan keadaannya, tindalkan
rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan tuhan dan magic. ( Drs. Hasan Basri M. Ag dan
Zaenal Mufti )

B. Pemikiran Filsafat Ikhwan Al-Shafa


Menurut Majid Fakhry, 2001 dalam bukunya mengenai sejarah filsafat islam menyatakan
bahwa golongan Ikhwan Al-Shafa’ adalah golongan dalam filsafat yang menyatakan bahwa
filsafat itu bertingkat-tingkat, yaitu :
Pertama : cinta ilmu
Kedua : mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia.
Ketiga : berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.
Mengenai lapangan filsafat, dikatakannya ada 4 yaiatu :
a. Matematika
b. Logika
c. Fisika
d. Ilmu ketuhanan. Ilmu ini mempunyai emapat bagian :
1. Mengeanai tuhan
2. Ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat tuhan
3. Ilmu kejiwaan, yaitu mengenai ruh-ruh dan jiwa-jiwa yang ada pada benda-benda alam.
4. Ilmu politik, yaitu politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum, politik khusus(rumah
tangga) dan lain-lain.
Dapatlah disimpulkan bahwa golongan ikhwan al-shafa tidak membagi filsafat amalan,
melainkan bagian amalan ini keseluruhannya dimasukkan dalam bagian ketuhanan.Disamping
itu mereka juga memasukkan politik kenabian dan ilmu keakhiratan pada pertikel-partikel yang
baru
Di samping itu, Ikhwan Al- Shafa’ juga memadukan agama-agama yang berkembang
pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Kristen, majusi, yahudi dan lain-lain. Karena
menurut mereka tujuan agama adalah sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Menurut
ikhwan perbedaan-perbedaan keagamaan ikhwan bersumber dari faktor-faktor yang kebetulan
seperti ras, tempat tinggal, atau keadaan zaman dan dalam beberapa kasus juga faktor tempramen
dan sususnan personal. Karena itu agama gabungan yang mereka maksud akan menjadi
pegangan dalam Negara yang mereka impikan.
Lebih jelasnya ada beberapa pemikiran filsafat dari Ikhwan Al-shafa sebagai berikut:

1. Talfiq (Pemaduan Filsafat dan Agama)


Ikhwan Al-Shafa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama dengan filsafat
dan juga agama dengan agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa
syari’at telah di kotori dengn berbagai macam kejahilan dan di lumuri dengan berbagaimacam
kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat. Kemudian mereka
mengklaim bahwa apabila di pertemukan antara filsafat yunani dan syari’at arab, maka akan
menghasilkan kesempurnaan.

Sebenarnya pendapat mereka untuk mempergunakan ta’wil dalam memahami ayat al-
qur’an yang mutashabih merupakan pendapat yang sama dikalangan para filsuf. Menurut filsuf
agama adalah tepat untuk melambangkan secara inderawi agar mudah dipahami oleh kaum
awam. Jika tidak demikian,tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak kerena mereka tidak
memahami isinya. (al-kidzb li mashlahah al-nas)

Menurut Dr. Hasyimsyah dalam bukunya filsafat ilmu Ikhwan al-shafa’ berusaha
memadukan antara agama dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada.Tampaknya
ikhwan al-shafa’ menempatkan filsafat diatas agama.Mereka mengharuskan filsafat menjadi
landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Menurut mereka ungkapan al-qur’an yang
berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang arab badui.
Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi diharuskan memakai ta’wil dari
pengertian lafzi dan inderawi. (Risail III, 452-3)

2. Filsafat Metafisika
Adapun tentang ketuhanan mereka melandasi pemikirannya kepada bilangan.Menurut
mereka ilmu bilangan adalah lidah yang mempercakapkan tentang tauhid dan meniadakan sifat
serta dapat menolak sikap orang yang mengingkari keesaan tuhan. Dengan kata lain,
pengetahuantentang angka membawa pengakuan tentang keesaan tuhan, karena apabila angka
satu rusak maka rusaklah semuanya. Dengan istilah lain, keutamaan itu terletak pada yang
dahulu yakni satu. Karena itu terbuktikah bahwa yang esa (Tuhan) lebih dahulu dari lainnya
seperti dahulunya angka satu dari angka lain. (Al- Fakhuri hal 187)
Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara emanasi dan memberi bentuk, tanpa
waktu dan tempat, cukup dengan firman-Nya kun fa kana, ia berada pada segala sesuatu tanpa
berbaur dan bercampur, tidak ada yang menyerupai dan menyamainya, tetapi ia jadikan fitrah
manusia untuk dapat mengenalnya tanpa belajar.
Tentang ilmu tuhan, ikhwan al-shafa’ beranggapan bahwa seluruh pengetahuan berada
dalam ilmu tuhan.Berkaiatan dengan penciptaan alam, pemikiran ikhwan al-shafa’ merupakan
perpaduan antara pendapat Aristoteles, Plotinus, dan Mutakallimin.Bagi ikhwan al-shafa’ tuhan
adalah Pencipta dan Mutlak Esa.Dengan kemauan sendiri tuhan menciptakan akal pertama atau
akal aktif.Jadi, secara tidak langsung tuhan berhubungan dengan alam materi sehingga
kemurnian tauhid dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Lengakapnya rangkaian proses
emanasi itu adalah :
1. Akal pertama atau akal aktif
2. Jiwa universal
3. Materi pertama
4. Potensi jiwa universal
5. Materi absolut atau materi kedua
6. Alam planet-planet
7. Anasir-anasir alam terendah, yaitu air, udara, tanah, api.
8. Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah di atas bersama dengan zat Allah yang mutlak, sempurnalah jumlah
bilangan menjadi Sembilan.Angka Sembilan ini membentuk substansi organic pada tubuh
manusia, yaitu tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut dan kuku.

3. Filsafat Jiwa
Tentang jiwa manusia bersumber dari jiwa universal.Dalam perkembangan jiwa manusia
banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya.Agar potensi jiwa itu tidak kecewa dalam
perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal.Pada tingkat ini, manusia sanggup membedakan
antara benar dan salah, antara baik dan buruk.Setelah oitu disalurkan ke daya ingatan yang
terdapat pada otak bagian belakang.Pada tingkat ini seseorang telah mampu menimpan hal-hal
yang abstrak yang diterima oleh daya berfikir.Tingakatan terakhir adalah daya berbicara yaitu
kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada
pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan al-Shafa’ memandang manusia
terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat imateri, dan tubuh yang merupakan campuran dari
tanah, air, udara, dan api. Lepas dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh
manusia,menurut Ikhwan al-Shafa’, karena berada di dalam tubuh, awalnya tidak mengetahui
apa-apa, tetapi memiliki kemampuan untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur.
(Dedi Supriyadi, 2009: 107-108)

4. Filsafat Moral
Adapun tentang moral, ikhwan al-shafa’ bersifat rasionalistis.Dalam mencapai tingkat
moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi.Harus
memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa
berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih sayang,
keadilan, rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya
harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan,
kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian persaan, kecintaan yang
membara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam, binatang liar sekalipun. (Dr.
Hasyimsyah Nasution 1998)
Moralitas diperuntukan sebagai pelatihan bagi jiwa agar tetap bersih dan terjaga dari
kotoran-kotoran material. Jiwa yang bersih dinilai mampumenangkap kilatan-kilatan cahaya Ilahi
dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin bersih jiwa, makin dekat manusia pada pemahaman
atas makna-makna yang dikandung kitab suci. Pemahaman atas makna-makna tersebut, pada
akhirnya benar-benar membantu manusia untuk mengakui persamaan dan keselarasan antara
agama dan tindakan rasional dalam filsafat. Sekali lagi, jika jiwa terpengaruh oleh permintaan
ragawi material, semakin sulit menemukan jalan menuju pengethauan. Ikhwan al-Shafa’
menyatakan bahwa pengetahuan apapun yang ditangkap manusia tidak lebih berguna ketimbang
pengetahuan diri. Pengetahuan akan diri merupakan pengetahuan utama dalam hubungannya
dengan prinsip moralitas. (Hasan Basri, Zaenal Mufti, 2009: 115-116)
5. Filsafat Angka / Bilangan
Adapun tentng bilangan,ikhwan mengakui nichomacus dan pyhtagoras. Tujuan ikhwan
membicarakan bilangan adalah untuk mendemontrasikan bagaimana sifat-sifat bilangan itu
menjadi prototife bagi sifat-sifat sesuatu sehingga siapapun yang mendalami bilangan dengan
segala hukumnya,sifat dasarnya, jenis-jenisnya sepsis-sepesisnya,dan sifat-sifat khususnya akan
memahami kuantitas (jumlah) macam-macam benda yang beraneka, spesis mereka dan
kebijaksanaan yang mendasari kuantitas-kuantitas mereka yang khusus serta alasan mengapa
mereka tidak lebih dan tidak kurang (Hasyimsyah Nasution,1999 hal 54)
Menurut Ikhwan al-Shafa’, seseorang dapat belajar tentang keesaan Tuhan dengan
mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan angka dan mereka menyatakan, “Pythagoras percaya
bahwa yang kedua menuntun ke yang pertama. Kendatipun mencurahkan perhatian mereka pada
bilangan, ikhwan berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama kaum Pythagoras, seperti
dicatat oleh Aristoteles, ketika angka dan hal yang diangkakan dirancukan. Mereka juga menolak
gagasan-gagasan Pythagorean tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi), dan lebih berpegang teguh
pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali kehidupan di bumilah yang dapat
memasukkan manusia ke dalam surga. (Dedi Supriyadi, 2010: 105-106)
DAFTAR PUSTAKA

 Madjid Fakhri. 2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung : Mizan


 Hasan Basri dan Zaenal Mufti. 2009. Filsafat Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri
 A. Mustofa. 2004. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
 Juhaya S. Praja dan Dedi Supriadi. 2010. Pengantar Filsafat Islam.Bandung: Pustaka Setia.
 Zar, Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. PT. Raja Grafindo Persada.
 Hasyimsyah Nasution. 2009. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
 Sudarsono. 2010. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta
 Abdul Azis dahlan. 2003. Filsafat dalam Ensiklopedi. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve

Anda mungkin juga menyukai