Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321126520

Buah Filsafat al-Razi: Lima Kekal, Jiwa, Moral, Kenabian, dan Agama

Working Paper · September 1999


DOI: 10.13140/RG.2.2.25960.16647

CITATIONS READS

0 33,697

1 author:

Sokhi Huda
UIN Sunan Ampel Surabaya
126 PUBLICATIONS 99 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sokhi Huda on 03 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BUAH FILSAFAT AL-RAZI:
Lima Kekal, Jiwa, Moral, Kenabian, dan Agama

Makalah Dipresentasikan pada Seminar Kelas Mata Kuliah


Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam 2

Oleh:
Sokhi Huda
NIM: F0.1.4.98.42

Dosen Pembimbing:
DR. Tsuroya Kiswati, MA.

Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri


Sunan Ampel Surabaya
September 1999
BUAH FILSAFAT AL-RAZI:
Lima Kekal, Jiwa, Moral, Kenabian, dan Agama*
Oleh: Sokhi Huda

Berbahagialah, wahai binatang buas, karena engkau telah menemukan


al-Razi yang memuliakanmu dengan menyembelihmu! (Sokhi Huda)

A. Pendahuluan
Al-Razi adalah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam bagian Timur.
Rentang kehidupannya berada di posisi kedua di antara al-Kindi (pertama/809-873),
al-Farabi (ketiga/881-961), Ibnu Maskawayh (keempat/932-1030), Ibnu Sina (kelima/
980-1037) dan al-Ghazali (keenam/1058-1111).1
Meskipun dia di Barat lebih dikenal sebagai ahli kedokteran dengan sebutan
Razes 2
karena prestasi unggulannya di bidang kedokteran, akan tetapi karya
filsafatnya dapat dikata solid. Ada empat faktor yang turut memproduknya adalah: (1)
keberadaannya di bagian timur yang menjadi penyerap pertama filsafat Yunani
melalui injeksi penaklukan Alexander the Great3, (2) masa hidupnya berada pada awal
dan hangatnya semangat pertumbuhan peradaban (keilmuan) Islam atau pada
gelombang Hellenisme pertama (750-950)4, (3) dia berguru penting Hunayn bin Ishaq
(809-873) 5 , seorang Kristen Nestorian dari Hira, penerjemah pertama yang paling
terkenal dan guru ilmu kedokteran dan dokter istana6, dan (4) potensi intelektualnya.

*
Makalah dipresentasikan pada seminar kelas mata kuliah Sejarah Perkembangan
Pemikiran Islam 2, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada hari Kamis, 30
September 1999, dalam bimbingan DR. Tsurayya Kiswatin, MA.
1
Sebagai pengayaan informasi, tokoh-tokoh Filsafat di dunia Islam bagian Barat adalah:
Ibnu Bajjah (1082-1138), Ibnu Thufail (1110-1185), dan Ibnu Rushd (1126-1198). Periksa
Yunasir Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 27-
96.
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Bagian Pertama (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1985), 72; Ali, Perkembangan Pemikiran..., 35. Majid Fakhry,
Sejarah Filsafat Islam, ter. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), menyatakan
sebutan Razes terdapat dalam sumber Latin.
3
Ali, Perkembangan Pemikiran..., 4. Alexander telah mengawinkan peradaban Yunani
dan Persia yang melahirkan kebudayaan baru hellenisme.
4
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology: an Extended Survey
(Edinburg: Edinburg University Press, 1985), 33.
5
Ali, Perkembangan Pemikiran..., 34.
6
Watt, Islamic Philosophy..., 37-38.
2

Topik tulisan ini bermaksud hanya menyusuri dan menyisir khazanah histori
filsafat dalam Islam, untuk menemukan sumbangan al-Razi dalam bidang tersebut.
Sementara sejumlah persoalan yang diajukan adalah: (1) siapa sebenarnya al-Razi
itu?, (2) apa dan bagaimana buah pikirannya di bidang filsafat?, (3) bagaimana posisi
material filsafatnya di antara para filosof di dunia Islam?.
Untuk mengungkapnya –searah “jarum” perkuliahan ini—penulis menggunakan
pendekatan sejarah kritis. Pendekatan ini –atas dasar filsafatnya—menerapkan
penalaran epistemologis dan konseptual. Pembahasannya difokuskan pada dua hal,
yaitu: (1) logisitas eksplanasi historisitas dan (2) status epistemologis narasinya 7 .
Perhatian utamanya adalah fenomena objek studi yang dipahami dalam konteks latar
historisnya.
Melalui pendekatan itu, jawaban atas persoalan pertama dan terutama kedua,
diposisikan pada penemuan kedirian diri dan karya (konsep-konsep filsafat) al-Razi.
Sedangkan jawab-an atas persoalan ketiga ditempatkan pada konteks sejarah
perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam. Dalam konteks inilah dapat diketahui
konsep mana yang merupakan milik orisinal al-Razi, dan konsep mana yang
merupakan kelanjutan –dalam bentuk kritik maupun pengembangan—dari tokoh-
tokoh yang menduluinya.

B. Curiculum Vitae Al-Razi


Pertama, al-Razi bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al-
Razi. Dia lahir di Rayy, Propinsi Khurasan, dekat Teheran, pada tahun 856 M./ 251
H.8 dan wafat tahun 925 M./ 313 H9. Menjelang wafatnya, ia terkena penyakit buta,

7
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 84-85. Sebagai
perbandingan, satu lainnya adalah pendekatan sejarah spekulatif yang menekankan pada
keseluruhan proses, makna dan tujuan sejarah menurut pola tertentu, untuk memaknai
fenomena objeknya. Pendekatan ini mempunyai referensi pola garis lurus tunggal oleh Karl
Marx, dan pola siklus oleh Toynbee.
8
Zaki Najib Mahmud, al-Mausu`at al-Falsafiyyah al-Mukhtasarah (Kairo-Mesir:
Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1963), 154. Lihat juga Majid Fakhry, Sejarah..., 150; dan
Ali, Perkembangan Pemikiran..., 34.
9
Ali, Perkembangan Pemikiran..., 35. Lihat juga –sebagai perbandingan—Mahmud, al-
Mausu’at..., 154, menyebutkan tahun wafatanya 923/932 M.; dan Fakhry, Sejarah ..., 151,
menyebutkan tahun wafatnya 925/932 M.; Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia
Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, ter.Joko S, Kahar (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), 282, menyebutkannya tahun 923 M./311 H.
3

tetapi menolak untuk diobati. Sebab, pertimbangan masaknya berkeputusan: bahwa


“begitu banyak dunia yang pernah dilihatnya, ingin melihatnya lagi”.10
Kedua, pendidikan yang diperolehnya dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya
menjadi manusia produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di
bidang medis, sebagaimana poin-poin penjelasan berikut.
Ketiga, kepribadian al-Razi dilukiskan sebagai seorang yang sangat murah
hati, dermawan dan ulet.11 Oleh karena itu dapat dipahami secara logis apabila, dari
dua disiplin utama (kedokteran dan filsafat) yang ditekuninya, rentang kehidupannya
lebih banyak terkonsentrasi pada bidang medis yang berkaitan langsung dengan jasa
pelayanan sosial, daripada bidang filsafat yang bertumpu pada kepentingan elit-
intelektual/ budaya.
Keempat, kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran,
menjadikannya diangkat sebagai direktur rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang
usia tigapuluh tahun, kemudian di Baghdad. Bahkan dia berprestasi sebagai “dokter
Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, dia dijelaskan oleh beberapa ahli
telah pandai memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money
changer, sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran.12
Sedangkan karirnya di bidang intelektual terbukti pada karya tulisnya yang
tidak kurang dari 200 jilid tentang berbagai pengetahuan fisika dan metafisika (medis,
astronomi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali matematika, karena
beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis,
al-Razi menulis buku –sebagai karya terbesar-tentang penyakit cacar dan campak,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya.
Bukunya al-Hawi yang lebih terkenal dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid,
membahas berbagai cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima
abad (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh

10
Fakhry, Sejarah..., 151
11
Ibid., 150.
12
Ibid., 150.
4

perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M.13 Bahkan, al-Razi adalah
tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles.14
Kelima, khusus di bidang filsafat, hanya sejumlah kecil karya al-Razi, sekitar
100 buku yang telah ditemukan.15 Berikut ini disajikan karya-karya tersebut:
1. Sekumpulan karya logika berkenaan dengan Kategori-Kategori, Demonstrasi,
Isagoge, dan Kalam Islam;
2. Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya;
3. Materi Mutlak dan Partikular;
4. Plenum dan Vacum, ruang dan waktu;
5. Fisika;
6. Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana;
7. Tentang keabadian dan ketidakabadian tubuh;
8. Sanggahan terhadap Proclus;
9. Opini fisika: “Plutarch” (Placita Philosophorum);
10. Sebuah komentar tentang Timaeus;
11. Sebuah komentar terhadap komentar Plutarch tentang Temaeus;
12. Sebuah risalah yang menunjukkan bahwa benda-benda bergerak dengan
sendirinya dan gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka;
13. Obat pencahar rohani (Spiritual Physic);
14. Jalan filosofis;
15. Tentang Jiwa;
16. Tentang perkataan imam yang tak dapat salah;
17. Sanggahan terhadap kaum Mu’tazilah;
18. Metafisika menurut ajaran Plato; dan
19. Metafisika menurut ajaran Socrates.
Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis,
terutama dalam prinsip “lima kekal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga
pendukung pandangan naturalis kuno.

13
Nasution, Islam Ditinjau... 72. Lihat juga Ali, Perkembangan Pemikiran.., 35. Fakhry,
Sejarah..., 151.
14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 58.
15
Fakhry, Sejarah..., 151; Ali , Perkembangan Pemikiran..., 35.
5

Selain ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki
sebagai tokoh non-kompromis terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. 16 Di
antara bukti keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan
“kenabian dan agama”.
Keenam, meskipun al-Razi menulis sejumlah karya monumental dan memiliki
keberanian pemikiran, akan tetapi pamor kreasi kemedisannya lebih mencuat
dibanding dengan buah filsafatnya. Oleh karena itu dapat dipahami, apabila dalam
seleksi unggulan peta kajian filsafat –baik di panggung global maupun di ring filsafat
Islam sendiri—, ia tidak terekrut di dalamnya. Demikian ini didasarkan pada sejauh
beberapa referensi yang telah penulis periksa, sebagaimana kajian-kajian Anhari 17 ,
Collinson dan Wilkinson 18 , al-‘Iraqi 19 , Hashim 20 , Hanafi 21 , dan Aceh 22 . Kecuali
kajian-kajian berikut yang memproporsikan al-Razi sesuai dengan kadar
pendekatannya.
Kajian Fakhry 23 yang menempatkan al-Razi pada periode awal penulisan
filsafat sistematik (abad kesembilan). Kajian Madkour24 yang memposisikan al-Razi
pada sisi kecil tentang teori kenabian yang berdampingan secara aktif dengan bebera-

16
Fakhry, Sejarah..., 150.
17
Masjkur Anhari, Filsafat: Sejarah dan Perkembangannya dari Abad ke Abad (Jakarta:
Karya Remaja, 1992). Pada episode tokoh-tokoh filsafat Islam, tulisan ini mendaulat al-Kindi,
al-Ghazali dan Ibnu Rush.
18
Dian Collinson and Robert Wilkinson, Thirty-Five Oriental Philosophers (London and
New York: Rutledge, 1994). Para Filosof di dunia Islam Timur yang diunggulkannya adalah
Muhammad, Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rush, dan Iqbal
19
Mahmud `Atif al-`Iraqy, Madhahib Falasifah al-Mashriq (Mesir: Dar al-Ma'arif,
1975). Tulisan ini mengutamakan pemikiran al-Kindi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali.
20
Mahmud Hashim, Nusus Mukhtarah min al-falsafah al-Islamiyyah (Kairo-Mesir:
Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1969). Kajian ini mengedepankan al-Kindi, al-Farabi, Ibnu
Sina, al-Ghazali, Ibnu Tufayl, Ibnu Rushd dan Ibnu ‘Araby.
21
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). Tulisan ini
meluluskan al-Kindi, al-Farabi, Ikhwan al-Safa, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Bajah, Ibnu
Tufayl dan Ibnu Rush.
22
Aboebakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam (Solo: Romadhoni, 1991). Tulisan ini, dalam
analisis sub-sub bahasannya, memperhitungkan al-Kindi, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibnu
Maskawaih.
23
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, ter. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya,
1987). Tulisan ini menggunakan pendekatan historis-naratif-sekuensial; mulai warisan Yunani
sampai warna filsafat Islam abad modern dan kontemporer.
24
Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya, Bagian Pertama (Jakarta:
Rajawali Pers, 1988). Sajiannya secara topikal; mengenai masalah filsafat, tasawuf dan kalam.
6

pa tokoh dan mazhab filsafat Yunani dan Islam. Kemudian, kajian Ali25 yang secara
khusus membahas al-Razi –meskipun sangat ringkas—sebagai anggota mazhab
filsafat Dunia Islam bagian Timur.

C. Buah Filsafat al-Razi


Perhatian utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal. 26
Setelah itu, moral, kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya
kritik intelektualnya.
Jiwa merupakan titik kesamaan perhatian utama antara al-Razi dan Plato.
Untuk ini ada ilustrasi indah untuk menggambarkan substansi pokok filsafat Plato
(Platonik) sebagaimana dipresentasikan oleh Gaarder: “... suatu kerinduan untuk
kembali ke alam jiwa...”27.

1. Lima yang Kekal


Prinsip lima yang kekal (five co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-
Khamsah) menurut al-Razi adalah: (1) Sang Pencipta, (2) jiwa universal, (3) materi
pertama, (4) ruang absolut, dan (5) waktu absolut.28
Ali memberikan penjelasan secara pasrial demikian:
1) Sang Pencipta adalah Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
2) Jiwa universal adalah jiwa yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu
menemukan kebebasan yang hakiki.
3) Materi pertama adalah materi yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi
ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang
sesuai dengan kepadatannya. Tanah merupakan atom yang paling padat, kemudian
air, hawa dan api.
4) Ruang absolut adalah adalah ruang yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.
5) Masa absolut adalah masa yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir. 29
Berikut ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas.

25
Yunasir Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1991). Buku ini memaparkan bahasannya secara historis-ketokohan.
26
Mahmud, Mausu’ah..., 155; al-Ra'is Sharil Halu, Mausu`ah A`lam al-Falsafah, Juz I
(Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 155.
27
Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (Bandung: Mizan, 1996), 98.
28
Halu, Mausu’ah..., 155.
29
Ali, Perkembangan Pemikiran ..., 37.
7

Dua prinsip pertama (Sang Pencipta dan jiwa universal), dalam sistem al-Razi
dikaitkan secara erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang
mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia yang sedemikian mengganggu pikiran
para filosof sejak zaman Plato, sebagaimana dipaparkan pada bagian akhir sub tulisan
ini.
Jiwa sama-sama kekal dengan Tuhan. Oleh karena jiwa butuh materi (prinsip
ketiga), maka Tuhan terpaksa menciptakan kesatuan dengan bentuk-bentuk material.
Kemudian, materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, yang tidak lain adalah
ruang (prinsip keempat). Ruang sebagai konsep yang abstrak, tidak terbatas dan seka-
ligus kekal. Demikian ini dalam arti ruang universal/ mutlak. Sedangkan ruang
partikular/ tertentu tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi, yang merupakan
esensinya yang sejati.
Sementara itu, waktu merupakan semacam gerak. Waktu universal tidak dapat
diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang merupakan ukuran perlangsungan dunia
akali, yang berbeda dengan ukuran perlangsungan dunia inderawi, yang disebut oleh
Plato sebagai “bayang-bayang keabadian yang bergerak-gerak”. Sedangkan waktu
partikular dapat diukur dan terbatas. Berkat cahaya akal, maka jiwa, yang telah
terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan inderawi, pada
akhirnya sadar akan kedudukannya yang sejati dan terdorong untuk mencari tempat
pemukimannya kembali di dunia akali, yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.
Prinsip lima kekal itu merupakan sebuah sistem metafisika yang koheren.
Sistem ini mencerminkan daya kecerdikan al-Razi, sebagai pembenaran terhadap tesis
filosofis bahwa dunia ini diciptakan, dan sekaligus sebagai obat bagi kebingungan
para filosof. Dalam hal ini Fakhry menjelaskan bahwa persoalan yang dihadapi oleh
mereka bukan sekadar “apakah dunia ini diciptakan atau tidak?”, akan tetapi lebih
rumit ketika melewati batas-batas risalah polemik teologi dan filsafat, baik dalam
Islam maupun Kristen –apakah Tuhan menciptakan dunia, melalui “keniscayaan
alam” (necessity of nature) atau melalui tindakan bebas?. Persoalan ini pernah
dinyatakan oleh kaum Skolastik Latin.30

30
Fakhry, Sejarah..., 159.
8

Dalam pesoalan tersebut terdapat konsekuensi logis. rApabila “kemestian


alam” yang dituntut, maka konsekuensi logisnya adalah, bahwa Tuhan, yang
menciptakan dunia dalam waktu, berada dalam waktu itu sendiri. Sebab suatu produk
alamiah harus terjadi secara niscaya atas pelaku alamiahnya dalam waktu. Di sisi lain,
apabila tindakan “kehendak bebas” yang dijadikan jawaban, maka ada pertanyaan lain
yang segera muncul: “mengapa Tuhan lebih senang menciptakan dunia dalam waktu
partikular daripada dalam cara yang lainnya?”

2. Jiwa
Pada poin ini, ada sesuatu yang mengejutkan pendirian Aristotelianisme dan
ajaran Islam, yakni pernyataan keyakin-an al-Razi kepada Pythagorean-Platonik
tentang metempsikosis (transformasi jiwa).
Menurutn al-Razi, jiwa, meskipun asalnya hidup, tidak sabar dan dalam
keadaan bodoh. Oleh karena terpesona oleh materi, maka ia berusaha untuk
dipersatukan dengannya dan untuk dianugerahi bentuk yang memungkinkannya dapat
menikmati kesenangan-kesenangan jasmani. Tetapi, karena ada perlawanan materi
terhadap kegiatan jiwa yang sedang dalam pembentukan, maka Tuhan “bermurah
hati” untuk membantunya dan menciptakan dunia ini, dengan bentuk materialnya,
agar jiwa dapat melampiaskan nafsu syahwatnya untuk menikmati bagian
kesenangan-kesenangan material untuk sementara waktu.31
Demikian juga, Tuhan menciptakan manusia dan memberinya akal dari “esensi
ketuhanan-Nya”, sehingga akal pada akhirnya dapat menggugah jiwa dari keterbuaian
jasmaninya dalam tubuh manusia, dan mangingatkannya pada nasib (hakikat)nya yang
sejati sebagai warga dunia yang lebih tinggi (akali) dan akan tugasnya untuk mencari
dunia tersebut melalui pengkajian filsafat. Ketika jiwa sampai ke taraf ketagihan
terhadap pengkajian filsafat, ia berhak memperoleh keselamatannya dan bergabung
kembali dengan dunia akali dan dengan demikian ia terbebas –sebagaimana dikatakan
oleh kaum Pythagorean kuno—dari “jantera kelahiran”. Ketika tujuan akhir ini
tercapai dan jiwa manusia yang dibimbing oleh akal telah kembali ke tempat asalnya
yang sejati, “dunia yang lebih rendah” ini akan berhenti, dan materi, yang telah

31
Fakhry, Sejarah..., 155.
9

demikian lekat terjalin dengan bentuk, akan kembali kepada keadaannya semula yang
betul-betul murni dan sama sekali tiada berbentuk.32
Pada konsepsi jiwa tersebut, al-Razi tidak saja mengajukan sebuah teori yang
berani dan orisinal tentang jiwa, akan tetapi juga memberikan penjelasan mengenai
penciptaan dunia dalam waktu oleh Sang Pencipta. Konsepsi Pythagorean-Orphik
tentang kembalinya jiwa secara melingkar dan pelepas-annya yang terakhir dari
“jantera kelahiran” dikemukakan dengan tegas dan fungsi terapi mistik filsafat cukup
ditonjolkannya.

3. Moral
Gagasan al-Razi tentang moral beraset konsep transmigrasi jiwanya, yang
tertuang dalam karyanya Philosophical Way (Jalan Filsafat), tarutama berkenaan
dengan masalah penyembelihan hewan. Dalam hal ini Fakhry menjelaskan bahwa al-
Razi merasa terganggu oleh penderitaan hewan, terutama yang diakibatkan oleh
perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan
sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu
tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa
penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan jiwa mereka dari penghambaan
kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir
akhirnya. dengan memberikan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam tubuh lain
yang lebih baik, seperti tubuh manusia.33

4. Kenabian dan Agama


Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia.
Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan
timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk
menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan
menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.
Al-Razi tidak percaya kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya hanya
membawa kehancuran bagi manusia. Kebenaran wahyu yang didakwahkannya, tidak
benar adanya. Oleh karenanya, al-Qur’an dengan uslubnya tidak merupakan mu’jizat

32
Ibid., 155.
33
Ali, Perkembangan ..., 35-36.
10

bagi Muhammad. Ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih kongkret daripada
wahyu. Oleh karena itu, kegiatan membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan
lainnya lebih berarti daripada membaca buku-buku agama.34
Selanjutnya, dalam hubungan kenabian dan agama, al-Razi menegaskan bahwa
para Nabi tidak berhak mengklaim bahwa mereka memiliki keistimewaan khusus,
baik rasional maupun spiritual, karena semua manusia sama. Padahal keadilan dan
kemahahakiman Tuhan memastikan untuk menolak memberikan keistimewaan
kepada seseorang di atas orang lain.35
Sedangkan mukjizat dipandangnya sebagai bagian dari mitos keagamaan atau
rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran
agama saling kontradiktif, karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak
sesuai dengan pernyataan bahwa ada realitas permanen. Hal itu dikarenakan setiap
Nabi membatalkan risalah pendahulunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang
dibawanya adalah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan menusia menjadi
bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut. Semua agama
merupakan sumber peperangan yang menimpa manusia sejak dulu, di samping
merupakan musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.36
Alur pikiran di atas dapat dipahami, bahwa dalam pandangan al-Razi, agama
itu hanya warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat karena tradisi saja. Oleh
karena pandangannya yang demikian, maka al-Razi dapat disebut seorang ateis,
karena mengkritik semua agama. Tetapi di sisi lain, ia seorang monoteis sejati yang
mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga baginya, nabinya adalah akalnya sendiri.
Kritik terhadap al-Razi, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu
al-Hatim al-Razi (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan al-Razi—
dalam kitabnya A’lam al-Nubuwwah37. Di dalamnya tidak ditegaskan nama al-Razi,
akan tetapi cukup mengarahkan kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid
(sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan
orang lain selain al-Razi. Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan

34
Ibid., 35-36.
35
Madkour, Filsafat Islam ..., 115.
36
Ibid., 115.
37
Kitab ini merupakan hasil kodifikasi perdebatan-perdebatan tajam antara Abu al-Hatim
dengan al-Razi yang dihadiri oleh para ulama dan pemimpin politik. Ibid., 114.
11

oleh al-Razi kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial. Protes-protes ini, secara
global, mendekati semua protes yang sebelumnya telah dikobarkan oleg al-Rowandi.
Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama.38
Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan al-Razi—amat masyhur dan
mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar
berani memperolokkan al-Qur’an dengan meniru-nirukannya dan menertawakan
Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh al-Razi.39 Dalam hemat penulis, di antara
kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi terfokus pada arogansi
intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan al-Razi, di samping karya
filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan
maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawinya telah
menembus jaringan prestisius di Eropa selama lima abad.

E. Kesimpulan
Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol
dikenal di bidang kedokteran daripada filsafat, karena karyanya al-Hawi. Perhatian
utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya
tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi
menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa.
Konsepsi filsafat al-Razi yang paling menonjol, dan karenanya menjadi ajaran
pokok, adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi,
prinsipnya bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe-
dakannya dari konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat
(dalam waktu) abadi. Keduanya bertemu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai
pernyataan aksiomatik.
Konsepn filsafat al-Razi tentang moral ter-breakdown oleh konsep
“transmigrasi jiwa”-nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan
hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara
membunuhnya. Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berintikan

38
Ibid., 114-115.
39
Fakhry, Sejarah..., 150.
12

penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti
keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis.
Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihatkan bahwa dia
adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara
unik-pelik. Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari
al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat
antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang telah
memberikan solusi dalam persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang berharga,
tidak saja bagi para filosof sejak Plato, akan tetapi juga para filosof Islam setelahnya.
Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah membuka jalan bagi mereka untuk
mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.
13

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yunasir. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara,
1991.
Anhari, Masjkur. Filsafat: Sejarah dan Perkembangannya dari Abad ke Abad.
Jakarta: Karya Remaja, 1992.
Collinson, Dianè and Robert Wilkinson, Thirty-Five Oriental Philosophers. London
and New York: Rutledge, 1994.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam, ter. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Pustaka
Jaya, 1987.
Gaarder, Jostein. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, ter. Rahmani Astuti. Bandung:
Mizan, 1996.
Halu, al-Ra’is Sharil. Mausu‘ah A‘lam al-Falsafah, Juz I. Beirut-Libanon: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hashim, Mahmud. Nusus Mukhtarah min al-falsafah al-Islamiyyah. Kairo-Mesir:
Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1969.
Iraqi, Mahmud ‘Atif. Madhahib Falasifah al-Mashriq. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1975.
Madkour, Ibrahim. Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya, Bagian Pertama.
Jakarta: Rajawali Pers, 1988.
Mahmud, ZakiNajib, Mausu‘ah al-Falsafiyyah al-Mukhtasarah. Kairo-Mesir:
Maktabah al-Anjalu al-Misriyyah, 1963.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, ter. Joko S, Kahar. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Bagian Pertama. Jakarta:
UI-Press, 1985.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales hingga James. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990.
Watt, W. Montgomery. Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey.
Edinburg: Edinburg University Press, 1985.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai