Anda di halaman 1dari 40

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teologi Islam

Untuk mengetahui pengertian dan lapangan Teologi Islam. Terlebih dahulu harus

meninjau arti perkataan “Teologi dari segi bahasa bahwa : “Teologi” terdiri dari kata

“Theos” artinya “Tuhan”, dan “Logos” yang berarti “Ilmu”. Jadi “Theology” berarti “ilmu

tentang Tuhan” atau “ilmu Ketuhanan””. Artinya bahwa Theology adalah ilmu yang

membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkana kebenaran
wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.1

Pengertian lain dikemukakan oleh Ibnu Khaldun mengatakan bahwa ilmu kalam

(Teologi Islam) ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman

dengan menggunakan dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang

menyeleweng dari kepercayaan alirang golongan salaf dan ahli Sunnah.2

Dengan kata lain mempelajar teologi Islam akan memberikan kenyakinan-kenyakinan

yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh
peredaran zaman. Dengan demikian teologi Ilsam adalah satu nama atau sebutan untuk ilmu

yang membahas tentang ajaran dasar agama Islam.3

B. Relevansi Teologi Islam, Filsafat dan Tasawuf

1. Titik Persamaan

Teologi Islam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian

teologi Islam adalah ketuhanan dan segala sesuatau yang berkaitan dengan-nya. Objek kajian

1
A. Hanafi. Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), h. 11.
2
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
Rajawali Press, 2010), h. 3.
3
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, (Makassar: Alauddin University Press, 2014), h. 3.

4
5

filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia dan segala susuatu yang

ada.4 Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan

terhadapnya. Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahasa masalah yang

berkaitan dengan ketuhanan.5

Argumentasi filsafat sebagaimana teologi Islam, dibangun diatas dasar logika. Oleh

karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara

empiris, riset, dan eksperimental.6 Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabbkan

beragamnya kebenaran yang dihasilkannya. Baik teologi Islam, fisafat maupun tasawuf

berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Teologi Islam, dengan metodenya sendri
berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-nya. Filsafat dengan

wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun

manusia. Sementara itu tasawaufnya juga dengan metodenya yang tipikal, berusaha

menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.7

2. Titik Perbedaan

Perbedaan di antara ketiga ilmu tersebut adalah terletak pada aspek metodologinya.

Teologi Islam, sebagai ilmu yang menggnakanan logika di samping aargumentasi-


argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat

tampak nilai-nilai apologinya. Sementara itu filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan

untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode

rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menunagkan (mengembarakan atau

mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyuluruh) serta universal

(mengalam).

4
Lihat William I, Resee, Dictionary of Philosophy and Religion, (USA: Humanitas Press, 1980), 431.
Di kutip dalam bukunya Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, Makassar: Alauddin University Press,
2014), h. 11.
5
Abdul Rozak dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 39.
6
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990), h. 174.
7
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 12.
6

Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh

sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya

diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat sangat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan

pengalam seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari

aspek rasio. Hal in karena pengalaman rasa sanga sulit dibahasakan.8

C. Sejarah Timbulnya Persoalan Teologi Islam

Di zaman Nabi Muhammad saw, umat Islam dapat kompak dalam lapangan agama,

termasuk di bidang akidah. Kalau ada hal-hal yang diperselisihkan di antara para sahabat,
mereka mengembalikan persoalannya kepada Nabi Muhammad saw. Maka penjelasan beliau

itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.9

Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda

pemerintahan berjalan dengan baik dam kehidupan politik dapat dikatakan cukup tenang.

Namun, pada masa khalifah Utsman keadaan mulai berubah terutama pada paruh kedua dari

12 tahun masa pemerintahannya.10 Pada waktu itu tidak ada kesempatan bagi umat Islam

untuk mecoba membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan akidah dan juga

bidang-bidang lainnya. Mereka lebih memutuskan perhatian dan pikirannyaa untuk


pertahanan dan perluasan daerah Islam serta penyiaran Islam di bawah pimpinan khalifah.11

Semasa pemerintah Abu Bakar as-Shiddiq (11-13 H/ 632-634 M) misalnya perhatian

dipusatkan untuk memerangi orang-orang yang murtad, orang-orang yang enggan membayar

zakat dan beberapa Nabi palsu. Kemudian pada khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-

644 M), seorang bangsawan dan pahlawan berhasil menaklukan beberapa negeri secara

gemilang. Pada masa pemerintahannya adalah masa ekspansi dan pembagunan. Dia

menaklukan negeri-negeri syam (639 M0, Persia (624), irak (636 M0, dan Mesir (641 M).

Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 12-13.


8

Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 30.


9

10
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2012), h. 2.
11
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 30.
7

suatu hal yang tidak kalah pentingnya ialah penetapan “tahun hijriyah” sebagai tahun resmi

buat Islam.12

Secara pribadi, khalifah Utsman bin Affan tidak berbeda dengan dua khalifah

pendahulunya. Namun saying, keluarganya dari bani Ummayah terus meronrong dan Utsman

sendri lemah menghadapi rongrongan serta ambisi keluarga tersebut sehingga ia terpaksa

memberikan berbagai kedudukan keluaarga tersebut sehingga ia terpaksa memberikan

berbagai kedudukan dan fasilitas kepada mereka.13 Utsman mengangkat mereka sebagai

gubernur di berbagai daerah kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur pun yang sebelumnya

diangkat oleh Umar bin al-Khaththab yang tidak pernah memikirkan kepentingan
keluarganya diberhentikan oleh Utsman untuk digantikan oleh orang-orang dari pihak

keluarganya.14

Peristiwa yang menimpa khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/ 644-656 M). dia

dibunuh oleh para pemberontak dari Mesir yang tidak puas terhadap kebijakan politiknya.

Sejak peristiwa terbunuhnya khalifah yang ketiga, umat Islam terjerumus ke dalam benturan-

benturan yang menyebabkan mereka menyimpang dari jalan yang lurus yang selama in telah

mereka lalui.15

Biang keladi timbulnya fitnah dikalangan umat Islam ialah Abdullah bin Saba’,

pendeta agama Yahudi berasal dari Persia yang pura-pura masuk Islam. Sesudah masuk

Islam, dia datang ke Madinah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan pada tahun

30 H.16

12
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta; Rajawali Pers, 2010), h. 57-58.
13
Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,
(Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 24. Dikutip dalam buku M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 2.
14
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), h.
4.
15
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 32.
16
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 33.
8

Sepeninggal Utsman bin Affan, kemudian digantikan Ali bin Abi Thalib terpilih dan

dibaiat sebagai khalifah keempat. Namun, situasi politik yang dihadapi terlanjur sudah

terganggu bahkan lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Naiknya Ali sebagai khalifah

ternyata tidak disetujui oleh semua pihak. Khalifah Ali menghadapi tantangan dari dua kubu

sekalgus, dari pihak Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah dan dari pihak

Muawiyah, gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman bin Affan.

Tantangan Thalhah dan Zubair berakibat terjadinya kontak senjata dengan pihak

khalifah Ali di Irak pada tahun 656 M, dalam sejarah Islam terkenal dengan sebutan perang

Jamal. Pada peristiwa berdarah tersebut, Thalhalah dan Zubair mati terbunuh, sementara
Aisyah selamat dan dikirm kembali ke Mekkah.

Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubair, Muawiyah tidak mengakui Ali sebagai

khalifah. Ia menuntut agar Ali segera mengadili dan menghukum oknum yang terlibat dalam

pembunuhan Utsman. Karena tuntutan ini tidak mendapat tanggapan serius, akhirnya

Muawiyah lebih jauh menuduh Ali terlibat atau, paling tidak, melindungi para pelaku

pembunuhan khalifah Utsman tersebut.

Pembangkangan Muawiyah ini rupanya juga berakhir pada bentrokan senjata.


Peperangan yang terjadi antara pasukan khalifah Ali dan pasukan Muawiyah dalam sejarah

Islam dikenal dengan perang Shiffin.17

D. Sejarah Perkembangan Aliran Teologi Islam

1. Alirah Khawrij : Sejarah dan Pemikirannya

Nama Khawarij berasal dari kharaj yang berarti keluar. Nama in dilekatkan pihak lain

kepada mereka karena mereka keluar dari pasukan Ali, nama lain Huraryiah dari kata

Harura, sebuah tempat dekat kuffah, Irak. Di sini berkumpul sebanyak 12.000 orang, yang

memisahkan diri dari Ali dan mengangkat Abdullah bin Wahab ar-Rasyidi sebagi pemimpin

17
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 4.
9

mereka. Ali berusaha membujuk mereka kembali bergabung. Mereka menolak kecuali Ali

mengakui bahwa ia telah kafir dan segera harus bertaubat serta membatalkan tahkim.18

Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung saydina Ali. Akan

tetapi, akhirnya mereka membencinya karena dianggpa lemah dalam mengakkan kebenaran,

mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan sebagaimana mereka juga membenci

Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali khalifah yang sah. Mereka menuntut agar

Sayyidina Ali mengakui kesalahannya, kaarena mau menerima tahkim. Bila Sayyidina Ali

bertobat, maka mereka mau bersedia lahgi bergabung dengannya untuk menghadapi

Mu’awiyah. Tetapi bila dia tidak berhasil bertobat, maka orang-orang khwarij menyatkan
perang terhdapnya, sekaligus juga menyatakan perang terhadap Mu’awiyah. Semboyan

mereka “la hukma illa Allah” (tidak ada hukum kecuali dari Allah.19

Menurut Harun Nasution, pada saat Ali bin Abi Thalib meduduki posisi kekhalifan

menggatikan khalifah sebelumnya yakni Utsman bin Affan, ali pada masa awal

pemerintahannya mendapat tekanan yang bbegitu hebat dari rival politiknya. Tantangan

pertama muncul dari kelompok Thalhah dan Zubair yang disokong oleh Aisyah, namun

kemudian kekuatannya dapat dipatahkan oleh klan Ali bin Abi Thalib pada pertempuran di

Irak pada tahun 656 M. tantangan kedua ialah tekanan dari Mu’awiyah serta kerabat-kerabat
dekan Utsman bin Affan yang tidak mau mengakui kepemimpinannya, lalu memerintahkan

Ali untuk menghukum pembunuh Utsman bin Affan. Bahkan koalisi Mu’awiyah dan

keluarga Utsman bin Affan memberikan tuduhan bahwa Ali bin Abi Thalib menjadi dalang

dalam pembunuhan tersebut. Karena pelaku pembunuhan adalah pemberontak dari mesir

yang datang ke Madinah yang salah satu di antaranya adalah anak angkat Ali bin Abi Tholib

Muhammab bin Abi Bakar selaku eksekutor pembunuhan Utsman bin Affan, tapi kemudian

anak angkatnya ini diangkat menjadi Gubernur di Mesir20

18
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 13.
19
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 48.
20
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran,-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet. V; Jakarta: UI
Press, 1972), h. 4-5.
10

Ketegangan antara dua kelompok ini memicu lahirnya pertentangan yang berujung

pada konflik di Shiffin pada bulan Zulhijjah 36 H. dalam pandangan Ibnu Atsir bahwa perang

Siffin berkansung sejak bulan bulan Zulhijjah tahun 36 H dan berakhir pada bulan safat tahun

37 H.21

Peristiwa perang Siffin antara pengikut Ali dengan kelompok oposisi Mu’awiyah

telah menggeser persoalan politik menjadi persoalan teologis, ketika pertahanan mu”awiyah

mulai terdesak akibat gempuran pasukan pihak Ali. Pihak Mu’awiyah secara sepihak

meminta gencatan senjata (cease fire) dengan cara mengangkat Al-Qur’an dan menawarkan

tahkim (arbitrase). Permintaan ini membuat kubu pasukan Ali retak antara kelompok yang
setuju dan kelompok yang tak setuju. Namun, akhirnya, dengan segalanya keikhlasan dan

kejujurannya menyetujui arbitrase, yang merupakan siasat licik pihak lawan untuk

menjatuhkannya. Sikap ini membuat kelompok yang tak setuju keluar dari barisan Ali dan

kemudian disebut kelompok Khawarij, mereka menuduh Ali tidak menyelesaikan masalah

berdasarkan hukum Allah swt yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Karena itu Ali di cap

sebagai kafir sesuai dengan ayat Al-Qur’an, surah Al-Maidah ayat 44

          

Terjemanhnya :

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka

mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Dari ayat inilah mereka menggunakan semboyan tiada hukum kecuali dari Allah.22

Mereka memandang Ali telah bersalah, sehingga mereka keluar dari barisan Ali. Konsepsi

paradigmatik pemikiran yang dibangun oleh kaum al-Khawrij yaitu :

21
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, (Semarang: Zadahaniva, 2011), h. 5.
22
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 12-13.
11

a. Tidak menganggap persolan kepemimpinan dan politik sebagai itu utama

kekuasaan. In terindikasi dari kecenderungannya dalam kerangka pikir yang

menghasilakan penyimpangan penafsiran atas slogan “tidak ada hukum kecuali

hukum Allah.dan di antara penyokongnya ialah Itris bin Arqub Syaibani yang juga

sahabat Abdullah bin Mas’ud.

b. Iman harus ditunjukkan dengan tindakan yang baik dan bahwa tanpa menunjukkan

iman secara terbuka dalam perilaku publik, orang tidak dapat menggangap dirinya

sebagai orang muslim,

c. Orang kafir wajib diperangi atau dibunuh,

d. Semboyan hidupnya ialah “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”,


e. Pemerintah Islam harus dipilih melalui musyawarah, ini dibuktikan dari sikap

mereka menetapkan pemimpin mereka di Harurah Kufah,

f. Fanatis yang berlebihan diakibatkan oleh kekurangan pengetahuan yang dimiliki,

dan ini pula nantinya yang memicu perpecahan di antara mereka.

Khawarij yang tadinya gencar mendeklarasikan bahwa tidak ada hukum kecuali

hukum Allah, kembali digunakan dengan konflik internal yang diakibatkan karena ada

perselisihan paham di anatra mereka (konflik internal). 23 Perkembangan terminology kafir


telah menyebabkan terjadinya perpecahan dalam tubuh Khawarij. Ada yang menyebutkan

mereka terpecah ke dalam 18 sub sekte. Ada pula yang berpendapat 20 bahkan lebih dari

jumlah tersebut.24 Sekte terbagi menjadi beberapa yaitu :

a. Al-Muhakkimah, yaitu pengikut Khawarij pertama.25

b. Al-Azariqah, yaitu sekte yang paling ekstrem, nama pemimpinnya Nafi bin al-

Asraq dan pengikut barisan yang cukup besar dengan kekuatan 20.000 orang.26

23
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 8.
24
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 13.
25
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 14.
26
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 16.
12

c. Al-Najdat, tokoh kelompok ini bernama Abu Fudaik dan temannya, yang

merupakan kelompok yang ingin memisahkan diri dari al-Azariqah.27

d. Al-‘Ajaridah, kelompok ini adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad, teman al-

Hanafi tokoh yang mengasingkan diri dari al-Najdat.28

e. Al-Sufriyah, kelompok ini dipimpin oleh Ziad bin Asfar. Pemikiran kelompok ini

dekat dengan al-Azariqah yang beraliran ekstrim.29

f. Al-Ibadiyah, kelompok ini dikenal yang paling moderat. Namanya beraasal dari

Abdullah bin Ibad, yang memisahkan diri dari al-Azariqah.30

Setelah mengamati fenomena sejarah terbentuknya aliran Khawarij, Muhammad Amri


mengemukakan beberapa kejanggalan filosofis yaitu :31

a. Kelahiran khawarij merupakan tumbal dari konspirasi politis yang dimainkan oleh

baarisan Mu’awiyah terhadap barisan Ali bin abi Thalib. Hal ini dapat dilihat dari

fenomena perang Shiffin berkecamuk, dimana setelah barisan Mu’awiyah

mendapat tekanan dari pasukan Ali bin Abi Thalib, Amr Ibn al_ash (tangan kanan

Mu’awiyah) bergegas mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak dengan maksud

berdamai. Keadaan ini jelas mengundang pertanyaan bahwa, kenapa mesti nanti

stelah mendapat tekanan baru kemudian meminta damai, kenapa bukan pada saat
sebelum perang itu berlansung agar tidak ada yang menjadi tumbal ? hal ini juga

dipertegas oleh M. Ayyoub bahwa setiap permasalahan agama yang dimunculkan

konflik Shiffin dibayang-bayangi oleh kepentingan telah diliohat bahwa setiap

orang yang dipihak Mu’awiyah menginginkan diakhirinya perang, tapi bukan

karena alas an keagamaan dan moral, melainkan karena mereka hamper kalah.32

27
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 16.
28
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 18.
29
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 18.
30
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 19.
31
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 18.
32
Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam. Terj.
Munir A. Muin, The Crisis of Muslim History :Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, (Bandung:
Mizan, 2004), h. 173.
13

b. Arbitrator yang diusulkan oleh Ali bin Thalib untuk mewakili klannya (Abdullah

Ibn Abbas) ditolak sebagian kelompoknya, dimana kelak kelompok ini akan

membentuk barisan baru lepas dari barisan Ali bin Abi Thalib (Khawarij), senbari

kemudian sendiri mereka menolak keputusan yang disepakati dengan alas an tidak

sesuai dengan Al-Qur’an. Ini menandakan sikap inkonsistensi terhadap sebuah

piliham, dan sejatinya bagi mereka hanya memerangi delegator arbitrase tersebut,

karena dialah yang menjadi penyebab.33

2. Aliran Mur’jiah : Sejarah dan Pemikirannya

Kemunculan aliran Mur’jiah merupakan rekasi keras terhadap aliran Khawarij, dan
mereka paham yang sama sekali bertentangan dengan pendapat Khawarij. Bagi Mur’jiah

orang Islam yang berdosa besar, tidak menjadi kafir tetapi tetap mukmin, soal dosa besarnya

itu diserahkan kepada keputusan Tuhan kelak di hari akhirat.34

Murjiah dengan arti menunda (menangguhkan) maksudnya ialah bahwa dalam

menghadapi sahabat-sahabat yang bertentangan, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa

yang bersalah. Sikpa mereka adalah menunda dan menangguhkan penyelesaian persoalan

tersebut di hari akhirat kelak di hadapan Allah swt.35

Karena itu, dapat dipahami hal-hal yang menlatar belakangi kehadiran Mur’jiah antara

lain :

a. Adanya perbedaan pendapat antara orang-orang Syi’ah dan Khawarij

mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali mengkafirkan orang-

orang yang terlibat dan menyetuji tahkim dalam peranf Shiffin,

b. Adanya pendapat yang menjelaskan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan

terjadinya perang Jamal,

33
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 19.
34
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1986) h. 34.
35
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 24.
14

c. Adanya pendapat yang menjelaskan orang yang ingin merebut kekuasaan Utsman

bin Affan.36

Muhammad Amri memaparkan beberapa di antara pemikiran Mur’jiah adalah sebagai

berikut :

d. Mukmin ditandai dengan pengakuan orang lain akan Allah swt dan rasulnya bukan

perbuatan atau tingkah lakunya,

e. Pelaku dosa besar tidak dihukumi kafir, melainkan mukmin,

f. Bagi pelaku dosa besar tak mesti diperangi (penundaan), biarlah Tuhan yang
menyelesaikannya di hari perhitungan kelak,

g. Corak lain dari pemikiran mur”jiah ialah antitesa dari pemikiran Khawarij

khususnya pada persoalan penghakiman bagi perilaku manusia. Khawarij kontras

dengan penghakiman kafir sementara Mur’jiah menekankan pada siapa yang layak

dikatakan muslim,

h. Menjadikan persoalan kadariah dan jabariah sebagai bagian dari tema

pembahasannya.37

Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mur’jiah terbagi mejadi dua golongan/sekte,


yaitu gologan moderat dan golongan ekstrim.38 Pemaparannya sebagai berikut :

a. Golongan Moderat, berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir dank arena

tidak pula kekal dalam neraka, melainkan dia hanya dihukum berdasarkan kualitas

perbuatannya dan juga terdapat kemungkinan ia diampuni dan Allah tidak

menghukumnya sama sekali. Representasi dari kelompok ini ialah al-Hasan Ibn

Muhammad Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa Ahli Hadits.39

36
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 55.
37
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 15.
38
Afrizal M, Ibn Rusyd, 7 Peradaban Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 25.
39
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 16.
15

b. Golongan Ekstrim, diantaranya yaitu :

1) Golongan al-Jamiyah adalah para pengikut Jahm bin Shafwan. Mereka

berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan tidaklah akan

menjadi kafir meskipun menyatakan kekufuran secara lisan karena iman dan

kufur letaknya dalam hati bukan dalam bagian lain dalm tubuh manusia,

2) Golongan al-Salihiyah adalah pengikut Abi al-Hasan al-Salihi, yang

berpendapat bahwa iman adalah mengetahui secara mutlak kepada Tuhan dan

kufur adalah tidak mengetahui Tuhan,

3) Golongan al-Yunusiyah adalah pengikut, Yunus bin Aun al0-Numairi yang

berpendapat bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah


merusak iman seseorang.

4) Golongan al-Ubaidiyah adalah pengikut Ubaid al-Muktaib, berpendirian

sebagaiman al-Yunusiyah dengan menambahkan jika seseorang mati dalam

iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tiodak akan merugikan

bagi yang bersangkutan,

5) Golongan al-Ghazaniyah adalah pengikut Ghassan al-Kuffi, berpendapat bahwa

iman adalah mengenal Allah dan Rasulnya serta mengakui apa-apa yang

diturunkan oleh Allah swt dan yang dibawa Rasulnya.karena-nya iman itu tidak
dapat bertambah atau berkurang.40

Setelah mengamati aliran Mur’jiah, Muhammad Amri memberikan menguraikan

telaah kritis terhadap aliran Mur’jiah yaitu secara historis kelompok Mur’jiah adalah

kelompok yang antipasti terhadap apa yang terjadi, yakni mereka tidak hendak terjebak

dalam arus lingkaran konflik dan memilih untuk netral (tak mendukung salah satu pihak)

meski demikian, pada akhirnya nampak mereka turut mengambil bagian dalam membentuk

kelompok baru, sekaligus terlibat aktif dalam menanggapi persoalan-persoalan yang ada

(khususnya tema-tema inti yang diusung oleh Khawarij), yakni kafir mengkafirkan.

40
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 29-30.
16

Pada sisi pemikiran, kelompok ini tampil sebagai antitesa Khawarij, kalau

sebelumnya Khawarij gencar mendeklarasikan isu-isu kekafiran kepada pihak yang berbeda

dengannya, kelompok ini justru focus pada isu-isu keimanan. Tampak dari kelompok ini

(bahkan hingga pecahan-pecahannya) yang kontras ialah pendefinisian keimanan. Cuma

demikian terkesan dari proses pendefinisian yang mereka bangun justru menarik garis

demarkasi antara iman dan amal (dualisme pemahaman). Yang sejatinya menurut hasan

hanafi bahwa kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, karena amal perbuatan ialah cermin

dari keimanan.41

3. Aliran Jabariyah : Sejarah dan Pemikirannya,

Jabariyah adalah paham yang mengingkari hakekat perbuatan manusia dan

menyandarkannya kepada Tuhan. Dalam kenyakinan kaum Jabariyah, manusia tidak

mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, manusia terikat

kepada kehendak mutlak Tuhan. Hal ini sejalan dengan nama Jabariyah itu berasal dari kata

jabara, yang mengandung arti memaksa, dan menurut paham ini manusia mengerjakan

perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris, paham ini disebut fatalism atau

predestination. Perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.

Berkaitan dengan ini Al-Syahratani menyatakan bahwa aliran jabariyah yang terbai

menjadi dua yaitu jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat.

Yang pertama menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan

kekuasaan untuk berbuat dan perbuatan yang dilakukakannya tidak disandarkan pada dirinya.

Paham inilah dikenal secara umum. Adapun yang kedua berpendapat bahwa manusia

memiliki kebebasan dan kekuasaan untuk melakukan perbuatannya, dalam arti bukan karena

dipaksa. Kemampuan yang telah diciptakan dalam diri manusia memantulkan diri pada

perbuatan-perbuatannya. Inilah yang disebut kasab.

41
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 21-22.
17

Tokoh yang dikenal sebagai pencetus paham jabariyah adalah Ja’ad Ibn Dirham

(wafat 124 H) di Zandaq, kemudian paham ini disebarluasakan oleh jahm Ibn Shafwan yang

dalam perkembangannya paham jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.

Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah

dimerdekakan dari Khurazan dan bermukim di Kufah (Irak). Aliran ini lahir di Timiz (Iran

utara). Jahm Ibn Shafwan terkenal sebagai orang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya

mudah diterima orang lain.

Perlu dicatat bahwa Jahm Ibn Shafwan juga mempunyai hubungan kerja dengan al-
Harits ibn Suriah yakni sebagai sekretaris yang menentang kepemimpinan bani Ummayah di

Khursan. Perlawanan al_harits dapat dipatahkan, sehingga ia sendiri dijatuhi hukuman mati

pada tanggal tahun 128 H/ 745 M. semnetara jahm diperlakukan sebagai tawanan yang pada

akhirnya juga dibunuh.

Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang lebih dua tahun setelah kematian al-harits

yakni pada 747 M, pada saat itu pemerintah bani Ummayah dipimpin khalifah Marwan bin

Muhammad.42

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di antara tokoh penting aliran jabariyah


adalah Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan. Keduanya termasuk pemuka jabariyah

ekstrim. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran masing-masing secara

lebih rici, yaitu sebagai berikut :

a. Ja’ad bin Dirham

Ja’ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat

Islam. Ia seorang bekas budak (mawla) Bani hakam, ia tinggal di Damsyik, sampai muncul

pendapat tentang Al-Qur’an sebagai Makhluk. Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh bani

42
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 64-65.
18

Ummayah. Sejak itu ia pergi ke Kufah. Di tempay itu, ia bertemu dengan Jahm bin Shaffwan

yang kemudian mengambil pendapat-pendapatnya dan menjadi pengikuit setianya.

Pendapatnya meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat tuhan dan masalah takdir.

Menurut Ja’ad Al-Qur’an adalah makhluk. Ia merupakan orang pertama yang memajukan

pendapat itu di Damsyik. Ia juga berpendapat Tuhan tidak memiliki sifat. Artinya Tuhan

tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam

atau lawannya (bisu). Sebab kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Ja’ad berpendapat

bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia terpaksa atas

perbuatan-perbuatannya.43

b. Jahm bin Shaffwan

Jahm termasuk muslim non-Arab (mawali). Ia berasal dari Khurasan. Mula-mula ia

tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisvatkan ke Samarkand, terkadang

pula ke Tirmidz. Ia dikenal ahli pidato dan pandai berdialog.

Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Ia tidak

mempunyai daya, ia tidak mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan bebas. Jahm

juga berpendapat iman adalah mengetahui Allah dan Rasul-nya dan segala sesutau yang
diterimanya Tuhan. Pengakuan dengan lisan, tunduk dengan hati, dan mengerjakan anggota

bdan bukan bagian dari iman. Jahm juga berpendapat bahwa surge dan neraka tidak kekal.

Bagi Jahm, tidak ada sesuatu yang kekal selain Allah. Kata khulud dalam Al-Qur’an tidak

berarti kekal abadi (al-baqa al-mutlak), tetapi berarti lama sekali (thul al-muks). Dengan

demikian penghuni surge dan nerakaa tidak pula kekal.44

43
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 45.
44
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 46-49.
19

4. Aliran Qadariyah : Sejarah dan Pemikirannya

Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham Qadariyah ini timbul dalam sejarah

perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut ketetrangan ahli-ahli teologi Islam bahwa

golongan ini muncul pertama kali dalam Islam oleh Ma’bad al-Juhany di basrah. Dikatakan

yang pertama kali berbicara dan berdebat masalah qadar adalah seorang Nasrani yang masuk

Islam. Kemudian darinya paham ini diambil oleh Ma’bad al-Juhany dan temannya gahailan

al-Dimasyqi. Ma”ba termasuk tabi’in atau generasi kedua setelah Nabi. Tetapi ia memasuki

lapangan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam

menentang kekuasaan bani umayyah. Ma”bad al-Juhany akhirnya mati terbunuh dalam
pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80 H.45

Paham Qadariyah muncul sekitar pada tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran paham in

banyak persamannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama, misalnya manusia

mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya. Tuhan tidak campur tangan dalam

perbuaatn manusia, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qadha dan qadar Allah

swt.46

Qadariyah adalah satu aliran teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia
memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia

mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk memwujdkan perbuatan-perbuatannya.

Dengan demikian Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau

kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, bukan berasal dari pengertian bahwa manusia

terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan. Dalam istilah Inggris paham ini dikenal dengan nama

free will dan free act.

45
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 38.
46
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 66
20

Paham free will dan free act beranggapan bahwa manusia mempunyai kemampuan

untuk bertindak (qudrah) dan memilih kemampuan untuk berkehendak (iradah). Dia yang

melakukan, dia pula yang bertanggung jawab di hadapan Allah swt. Dari segi politik,

Qadariyah merupakan tantangan bagi Dinasti Umayyah, sebab dengan paham yang

disebarluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham itu maka setiap

tindakan bani Umayyah yang negative, akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Karena

kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadapa politik pemerintaha bani

Umayyah, walaupun diteruskan oleh pemerintah tetapi ia tetap berkembang. Paham ini

tertampung dalam mahzab Mu’tazilah.47

Ghailan al-Dimasyqi berpendapat bahwa manusia sendrilah yang berkuasa atas

perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan

kekuasaan sendiri dan manusia sendri pulalh yang melakukan atau menjauhi perbuatan-

perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.

Al-Nazam, salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan manusia hidup itu

mempunyai istitha’ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istitha’ah (daya) maka dia

berkuasa atas segala perbuatannya. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk

melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri. Sebab itu, dia berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak

memperoleh hukuman kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.48

Paham Qadariyah ini mulai pertama dicetuskan oleh Ma’bad al-Junay dan Ghailan al-

Dimasyqi. Paham ini digelarkan sebagai sanggahan terhadap paham jabariyah yang dibina

oleh Ja’ad bin Dirham dan jahm bin Shaffwan. Tepatnya bila dibuatkan perbandingan,

menurut Harun Nasution sebagai berikut: “kedua cocok teologi ini, liberal dan tradisional,

tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Dengan demikian, orang yang memilih

47
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 39.
48
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 193.
21

aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya, tidaklah pula menyebabkan ia menjadi keluar

dari Islam.49

5. Aliran Mu’tazilah : Sejarah dan Pemikirannya

Mu’tazilah adalah aliran yang membawa persoalan-persoalan teologi Islam yang lebih

mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawah oleh Khwarij

dan Mur’jiah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakia akal sehingga mereka mendapat

nama “kaum rasionalis Islam”.50

Mu’tazilah adalah satu aliran dalam teologi islam yang dikenal bersifat rasional dan
liberal, yang muncul pada awal abad ke-8 (abad 2 H).51 ciri utama yang membedakan aliran

ini dari aliran teologi islam lainnya adalah pandangan teologi lebih banyak ditunjang dari

dalil-dalil aqliyah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis

Islam. Pemikiran rasional itu hanya terikat kepada Al-Qur’an dan Hadis Mutawattir, atau

minimal hadis yang diriwayatkan oleh 20 sanad. Mu’tazilah ini didirikan oleh Washil bin

Atha’ pada tahun 100 H/718 M, di kota Basrah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan

peradaban di kala itu, juga tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan

bermacam-macam agama.

Ada beberapa analisis tentang sejarah timbulnya aliran teologi Mu’tazilah. Berikut

sebagian dari hal tersebut, yaitu :

a. Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan

aliran Mur’jiah mengenai persoalan orang mukmin yang berdosa besar,52

b. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Mu’tazilah karena mereka menjadian

orang yang berdosa besar (murtakib al-kabir) berpisah dengan orang-orang

mukmin dan juga orang-orang kafir,


49
Harun Nasutio, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. v.
50
Harun Nasutio, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 40.
51
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 53.
52
Arif Halim, Aliran-aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer, (Makassar: UMI, 2008), h. 59.
22

c. Ada yang berpendapat bahwa kata I’tazala lebih dahulu muncul dari kata

Mu’tazilah, yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam perang Jamal dan Siffin.53

d. Menurut al-Baghdadi, Washil dan temannya “Amr bin Ubaid Ibn Bab diusir oleh

Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai

persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.54

Mu’tazilah yang timbul pada pada masa pemerintahan Bani Ummayah, bukanlah

aliran pertama dalam ilmu Kalam. Tetapi, peranannya dalam mempertahankan Islam dari

serangan-serangan musuhnya tidak dapat dipisahkan dari sejrah perkembangan ilmu itu

sendiri. Pada fase pertama, Mu’tazilah muncul dan berkembang di bashrah di bawah
pemikiran Washil bin Atha dan kawan-kawannya.

Pada fase kedua Mu’tazilah pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah dan ketika itu

filsafat Yunani telah masuk ke dalam tubuh Islam. Kaum Mu’tazilah pun ambil bagian dalam

mendalami filsafat itu. Para pemimpin dan tokoh Mu’tazilah mempertahankan agama dan

senjata filsafat pula. Pada fase ini muncul nama-nama besar, seperit Abu al-huzail al-Allaf

(135-226H/753-840 M), Ibrahim al-Nazzam ( wafat 231 H/ 845 M), Muammar al-Sulmi

(wafat 220 H/ 835 m), Bisyr al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M), dan al-Jahiz (wafat 225 H/

838 M).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan Mu’tazilah hingga aliran ini

berkibar menjadi salah satu aliran yang besar dalam ilmu kalam. Faktor-faktor antara lain,

yaitu :

a. Pemecahan problem perselisihan umat Islam,

b. Pengaruh agama-agama lain,

c. Kerja sama dengan Bani Abbas


53
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 54.
54
Harun Nasutio, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, 38.
23

d. Pembelaan terhadap agama Islam,

e. Memperdalam filsafat.55

Dengan munculnya Mu’tazilah ini, umat Islam telah mengalami perkembangan pesat

bersamaan dengan kian luasnya wilayah kekuasaanya sehingga menyebabkan terjadinya

persentuhan dengan kebudayaan luar yang lebih dahulu maju seperti Bizantium, Persia, dan

Yunani. Ini menjadikan Mu’tazilah banyak menggunkan filsafat Yunani dalam landasan

mereka, oleh karena mereka menemukan ke-serasiannya dengan kecenderungan

pemikirannya. Di sisi lain mereka juga mempergunakan filsafat Yunani untuk mengalahkan

filosof dan pihak luar yang berusaha untuk meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam dengan
argumentasi logika.56

Adapun beberapa tokoh Mu’tazilah yang terkenal beserta pemikirannya, yaitu sebagai

berikut :

a. Washil bin ‘Atha

Nama lengkapnya Abu Huzafyah Washil bin Atha’ al-Gazali, lahir pada tahun 81 H

(699 M), di Madinah dan meniggal pada tahun 131 H (784). Ia termasuk keluarga Bani

Makhzum. Wasil hidup pada masa Dinasti Ummayah, kahalifah Abd al-Malik bin Marwan,
khalifah al-Walid bin Abd. Al-Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam.57

Washin bin ‘Atha’ adalah murid yang cerdas dan berani mengemukakakn

pendapatnya kepada siapapun sekalipun di hadapan gurunya (Hasan Basri) dan akhirnya

berpisah dengan gurunya karena berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar lalu membentuk

aliran baru yakni Mu’tazilah yang beliau sendiri pemimpin utamanya. 58 Adapun pokok-pokok

pikiran Washil bin ‘Atha’ dalam ilmu kalam, yaitu :

55
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 60-63.
56
Jalaluddin Rahmat, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan bintang, 1992),
h. 5. Dikutip dalam buku Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 57.
57
Arif Halim, Aliran-aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer, h. 59-60.
58
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet, XII; Jakarta: PT Bulan Bintang, 20010, h. 7.
24

1) Pelaku dosa besa (Murtakib al-Kabir)

Washil membawa paham al-manzilah bayn al-manzilatayn, posisi antara dua posisi,

dalam artian posisi menengah. Menurut paham ini, orang yang berdosa besar bukan kafir,

bukan pula mukmin, melainkan fasik, yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan

kafir.

2) Peniadaan sifat-sifat Allah (Nafy al-Shifat)

Ajaran Washil mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Allah swt melainkan sifat itu

merupakan esensi Allah swt. Mu’tazilah memandang bahwa ke-Mahaesaan Tuhan. Mereka
menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik atau politeisme.

3) Kebebasan manusis (free will)

Allah swt bersifat bijaksana. Ia tidak berbuat jahat dan berbuat zalim. Tidak mungkin

Allah swt menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentagan dengan perintah-

perintah-nya. Dengan demikian, menurut paham ini bahwa manusia sendirilah yang

mewujudkan perbuatan baiknya dan perbutan jahatnya, iman dan kufurnya.

4) Penilaiannya terhadap persoalan politik

Kaum Mu’tazilah juga membincangkan soal-soal yang ada hubungannya dengan

politik. Washil berpendapat, antara kedua golongan yang bertentangan, umpamanya Ali dan

pengikut-pengikutnya di satu pihak dan Mu’awiyah dan pengikut-pengikutnya di lain pihak,

mesti ada yang salah antara salh satu pihak. Tetapi pihak yang mana yang betul-betul salah

dan menjadi fasik.59

b. Abu al-Huzayl al-‘Allaf

59
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 58-64.
25

Nama lengkapnya Abu Huzail hamdan ibn Huzayl al-‘Allaf (135-226 H). ia berguru

pada Usman al-Tawil, yang juga sebagai murid Wasil. Ia adalah pemimpin Mu’tazilah yang

terkemuka dan memiliki andil besar dalam memasukkan dasar-dasar filsafat ke dalam aliran

tersebut. Ia adalah seorang yang luas pandangannya, banyak menghafal syair Arab, fasih

ucapannya, mahir dalam berdebat dan berdiskusi.

Adapun pokok-pokok pikiran Abu al-huzayl al-‘Allah yang dikutip oleh arie halim

dalam bukunya, yaitu :

1) Nafy al-Shifat, atau yang dikenal dengan peniadaan sifat-sifat Allah


2) Wajib mengetahui Allah swt

3) Al-Shalah wa al-Ashlah, perbuatan-perbuatan Allah dilakukan hanyalah untuk

memberi manfaat dan kemaslahatan bagi manusia.

4) Allah swt wajib mengutus Rasul, tujuannya untuk memberi petunjuk dan

pengetahuan kepada manusia, agar manusia berbuat kebaikan dan taat kepada

perintah Allah swt.60

c. Al-Nazzam

Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-Nazzam. Ia lahir di basrah tahun 185 H dan

meninggal dlam usia muda di tahun 221 H. literature mengenai al-nazzam memberikan

gambaran tentang dirinya sebagai orang yang mempunyai kecerdasan yang lebih tinggi dari

gurunya Abu al-Huzail.61

Al-Nazzam menyangkut masalah tentang keadilan Tuhan berbeda dengan Abu al-

Huzail. Al-huzail mengatakan bahwa Tuhan berkuasa untuk bersikap zalim, tetapi mustahil

bagi Tuhan bersikap zalim, sehingga akan membawa kepada kurang kesempurnaan sifat

tuhan dan bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak zalim.

60
Arif Halim, Aliran-aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer, h. 64.
61
Harun Nasutio, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, 48.
26

Bahkan al-Nazzam berbeda dengan golonganb Mu’tazilah yang berkenaan dengan

yaitu dia keluar dari sikap golongan Mu’tazilah pada umumnya “qadar (kekuasaan yang

menentukan), yang berkenaan dengan baik dan buruk, menjadi milik manusia”. Dia

mengatakan bahwa kita tidak dapat menisbahkan kekuasaan yang berkenaan dengan

kejahatan dan dosa kepada Tuhan, lagipula, hal ini tidak berada dalam kekuasaan-nya.62

d. Abu Hasyim al-Jubbai

Al-Jubbai adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mu’tazilah yang dilahirkan dan

dibesarkan di Basrah pada tahun 235 H dan wafat pada tahun 303 H. sebutan al-Jubbai
mengambil nama satu tempat, yaitu (Jubba, di propinsi Chuzestan, Irak) tempat kelahirannya.

Al-jubbai adalah guru iman al-Asy’ari, tokoh utama aliran Ahlussunnah. Ia membantah buku

karangan Ibn al-Rawandi, yang menyerang mu’tazilah dan juga membalas serangan iman al-

Asy’ari ketika terakhir ini keluar dari barisan Mu’tazilah.63

Pemikiran al-Jubbai tidak jauh berbeda dengan pemikiran tokoh Mu’tazilah lainnya.

Yang berbdeda adalah pendapatnya bahwa terdapat al-syari’ah al-nabawiyah disamping al-

syari;ah al-aqliyah.64

Ia mengenal gerakan filsafat sewaktu berpindah dari bahdag dengan teorinya tentang
kondisi-kondisi, al-ahwal, merupakan saksi terbaik yang membuktikan anggapan itu. Ia

berpendapat bahwa ilmu (sifat maha mengetahui) dan qudrat (maha kuasa) adalah kondisi-

kondisi, al-Hal, adalah tidak ada dan tidak diketahui, dan tidak eternal dan temporal, tetai

sebenarnya berhubungan dengan zat.65

Adapun ajaran-ajaran pokok dalam pemahaman Mu’tazilah yang dikenal dengan Al-

Ushul Al-Khamzah yang merupakan inti poko ajaran yang diakui oleh para tokoh dan

pengikut aliran Mu’tazilah, adapun pokok ajarannya yaitu al-Tauhid, al’Adl, al-Wa’du, al-
62
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 76-78.
63
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet, XII; Jakarta: PT Bulan Bintang, 20010, h. 72.
64
Arif Halim, Aliran-aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer, h. 69.
65
Afrizal M, Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 32.
27

Wa’id, al-Manzilah Bayn al-manzilatain dan al-Amru bin al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-

Munkar.66

Latar belakang lahirnya Ushul Al-Khamzah itu tidak terlepas dari faktor-faktor yang

menyebabkan lahir dan berkembang aliran Mu’tazilah. Adapun faktor-faktor yang dimaksud

ada yang bersifat intern dan ada yang bersifat entern. Faktor intern umat Islam antara lain

paham-paham yang dianut umat Islam itu sendiri, misalnya masalah dosa besar, sifat-sifat

Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan perbuatan manusia, serta masalah Al-Qur’an.

Sedangkan, faktor ekstern antara lain terjadinya perluasan wilayah Islam sehingga

terbentuknya wilayah baru, yang menyebabkan terjadinya pertemuan dan pemanduan


pemikiran yang bersumber dari berbagai agama seperti Yahudi, nasrani, dan masuknya

pengaruh filsafat Yunani dikalangan ummat Islam.67

Untuk lebih jelasnya, berikut ini diuraikan dari prinsip Ushul Al-Khamzah yaitu

sebagai berikut :

a. Al-Tauhid (Ke-Maha Esa-an Allah)

b. Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)

c. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)


d. Al-Manzilah Bayn al-Manzilatayn (Tempat diantara Dua Tempat)

e. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahi ‘an al-Munkar (Perintah Berbuat Baik dan

Larangan Berbuat Jahat)

6. Aliran Asy’ariyah : Sejarah dan Pemikirannya

Teologi Asy’ariyah muncul tidak terlepas dari, atau malah dipicu oleh situasi politik

yang berkembang pada saat itu. Teologi Al-asy’ariyah muncul sebagai teologi tandingan dari

66
Harun Nasutio, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, 52.
67
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 64.
28

aliran Muktazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam terutama dari

golongan Hanbali.

Pada tahun 827 Khalifah Abbasiyah, al-Makmun, menerima doktrin Muktazilah

secara resmi, dan dilanjutkan pada pemerintah dua khalifah setelahnya. Pada masa khalifah

Al-makmun, serangan Muktazilah terhadap para fuqaha dan muhaddisin semakin gencar. Tak

seorang pun fiqh yang popular dan pakar hadits yang mahsyur luput dari gempuran mereka.

Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dalam dengan penyiksaan fisik dalam bentuk

suasana al-mihnah (inkuisisi)68

Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian masyarakat terhadap Muktazilah, dan

berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan mereka

untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadits yang bertaqwa. Isu

sentral yang menjadi topic mihnah waktu itu adalah tentang “Alqur’an sebagai makhluk

bukan Qalamullah yang qadim”.

Pada akhir abad ke 3 Hijriyah muncul dua tookoh yang menonjol, yaitu Abu Hasan

al-Asy’ari di Basrah dan Abu Musa al-Maturidi di Samarkand. Keduanya bersatu dalam

melakukan bantahan terhadap Muktazilah, kendatipun diantara mereka terdapat pula


perbedaan.

Aliran teologi baru yang dibawah oleh Abu Hasan al-Asy’ari tersebut dikenal dengan

nama Al-asy’ariyah, salah satu sekte dalam aliran Sunni (Ahl al-Sunni Sunnah Wal al-

Jama’ah).

a. Abu Hasan Al-Asya’ari dan Doktrin Teologinya

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim

bin Abdullah bin Musa Abdillah bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Abdillah bin Qais al-

68
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Ilmu Kalam, h. 97.
29

Asy’ari. Ia lahir di Basrah tahun 260 H/873 M dan wafat di Baghdad tahun 935 M. Ia adalah

cucu Abu Musa Al-asy’ari, sahabat Nabi. Abu Musa dikenal sebagai juru damai yang

mewakili pihak Ali dalam peristiwa Arbitrasi yang mengoncangkan umat Islam. Pada

mulanya Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah penganut paham al-Mu’tazilah. Dia adalah murid

al-Jubba’I, seorang tokoh al-Mu’tazilah yang terkemuka di Bashrah.69

Al-Asy’ari belajar ilmu kalam kepada Abu ‘Ali al-Jubbai selama 40 tahun, sehingga

al-Asy’ari pun termasuk salah satu tokoh Mu’tazilah. Dan karena kepintaran dan

kemahirannya, ia sering mewakili gurunya itu dalam berdiskusi. Namun perkembangan

selanjutnya, al-Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah dan selanjutnya condong
kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadits.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah? Ada

bermacam-macam dugaan, namun menurut Prof. Dr. Harun Nasution, sulit menentukan sebab

mana yang membuat al-Asy’ari berpaling dari al-Mu’tazilah, karena para pengarang tidak

dapat mengemukakan alasan yang memuaskan.70 Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari

al-Subki dan Ibn ‘Asakir, ialah bahwa suatu malam al-Asy’ari bermimpi: dalam mimpi itu

Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Haditslah yang benar,

dan mazhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya al-
Jubba’I dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.

Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, sebagai berikut. :

Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut:

Mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat?

Al-Jubba’I : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk

Neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.

M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 101.
69

Harun Nastuion, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Dikutip dalam bukunya M.
70

Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 101.
30

Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surge,

mungkinkah itu?

al-Jubba’I : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena

kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan

yang serupa.

Al-Asy’ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan : itu bukanlah salahku. Jika

sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan

perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.

Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “ Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup

engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka
untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai

umur tanggung jawab”.

Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan : “ Engkau ketahui masa depanku

sebagaimana Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau

ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga

kepentinganku?”71

Adapun beberapa tokoh Al-Asyariyah yang terkenal beserta pemikirannya, yaitu


sebagai berikut :

a. Abu Hasan Al-Asy’ari

Ajaran-ajaran dan pemikiran Al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-bukunya

yaitu: Al-luma’ dan Al-Ibanah’ an Ushul al-Diniyah. Sebagai penentang Mu’tazilah, tentu

saja ajaran pemikirannya berbeda. Adapun pemikiran kalamnya Asy’ari sebagai berikut:

1) Sifat-sifat Tuhan

Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi berusaha menghindar dari paham

antropomorphisme dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu tidak sama dengan sifat-

sifat manusia. Tuhan mengetahui dengan sifat Pengetahua-Nya. Berkehendak dengan sifat

71
Harun Nastuion, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 66-67.
31

Kehendaknya, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut bukanlah Zat nya, tetapi bukan pula lain

dari ZatNya. Menurut Al’Asy’ari, ayat-ayat al-qur’an tentang sifat-sifat Tuhan dan bahwa

Tuhan punya muka, tangan, mata, dan sebagainya tidak dapat di pahami sebagaimana

hakikatnya (bila kasyf).

2) Kekuasaan Tuhan

Mengenai kekuasaan Tuhan, Asy’ariyah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan

bersifat mutlak dan absolute tidak terbatas. Mereka menolak konsep keadilan Tuhan seperti

yang di ajarkan Mu’tazila, sehingga mereka pun berpendapat bahwa dengan kekuasaan

mutlak-Nya, Tuhan dapat saja memasukkan segenap mukmin ke dalam neraka. Dengan

demikiian Asy’ ariyah menolak paham Mu’ tazila tentang al-wa’ad wa al-wa’id.
3) Perbuatan Manusia

Bagi Asy’ariyah, perbuatan manusia bukanlah diwujudkan olehManusia sendiri, tetapi

diciptakan oleh Tuhan, manusia hanya memperoleh perbuatannya sendiri.perbuatan kufr

adalah buruk,tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur itu sebenarnya bersifat baik.

Apa yang dikehendaki orang kafir ini tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat

baik,tetapi berat dan sulit. Orang Mukmin ingin supaya perbuatan Iman itu janganlah berat

dan sulit,tetapi apa yang dikehendakinya itu tidak dapat diwujudkannya.Dengan demikian

yang diwujudkan perbuatan kufur itu bukanlah orang kafir yang tidak sanggup berbuat kufur
bersifat baik. Tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak

supaya kufur bersifat buruk.

4) Keadilan Tuhan

Asy’ariyah menentang paham keadilan Tuhan seperti yang di yakini Mu’tazila.

Menurut Asy’ariyah,Tuhan berkuasa mutlak dan tidak satupun yang wajib baginya . Tuhan

berbuat sekehendaknya, sehingga kalo ia memasukkan seluruh Manusia ke dalam Surga

bukanlah ia bersifat tidak adil, danjika ia memasukkan seluruh Manusia kedalam

Neraka,maka tidaklah ia bersifat zalim.

5) Al-Qur’an
32

Al-Asy’ariyah berpendapt bahwa Al- Qur’an bukanlah makhluk Tuhan, melainkan

kalam (perkataannya). Seandainya Al-Qur’an itu adalah makhluk, niscaya di dahului oleh

penciptaan kun (jadilah), padahal Al-Qur’an tidak di dahului oleh kata penciptaan,sebab Al-

Qur’an itu sendiri adalah perkataan Tuhan.

6) Melihat Tuhan di Akhirat

Asy’Ariah mengatakan bahwa Tuhan dapat di lihat di Akhirat. Alasannya bahwa

sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa

kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat Tuhan dapat di lihat, tidak mesti mengandung arti

bahwa ia mesti bersifat diciptakan.jadi kalau di katakana Tuhan dapat di lihat, itu tidak mesti

berarti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.72


b. Al-Baqilani

Nama lengkapnya Muhammad Ibn Thayyib Ibn Muhammad Abu Baqar al-Baqillani,

lahir di Bashrah tahun 338H/950 M, dan wafat tahun 403 H/1013 M. Dalam usia 63 Tahun.

Al-Baqillani sebagai tokoh teologi dalam Islam mempunyai keilmuan dibidang ini cukup

mendalam dan sejalan dengan konsep Aliran Al-Asy’ariiah. Meski menjadi salah satu

eksponen Asy’ariyah terpenting, Al-Baqillani dianggap berbeda pendapat dengan al-Asy’ari

pada beberapa hal.

Pertama, mengenai sifat Tuhan, tidak seperti al-Asy’ari, al-Baqillani mengganggap


bahwa apa yang kita anggap sebagai sifat Allah bukanlah tetapi modus (hal), akan tetapi

pengertian modus Al-Asy’ari ditolak oleh Al-Baqillani. Ia berkeyakinan bahwa, mengetahui

bagi Tuhan bukanlah melalui sifat dan bukan pula melalui zat. Apabila Tuhan mengetahui

dengan Sifat-Nya, maka berarti Tuhan bergantung pada sifat dan segala kemampuan sifat.

Jikalau Tuhan mengetahui melalui Zat-Nya, maka sudah barang tentu zat-Nya terbagi-bagi,

dalam hal itu tidak mungkin terjadi. Jika al-Asy’ari menganggap bahwa sifat-sifat Allah

adalah modus dimana setiap kata yang menggambarkan sifat tersebut hanya merefleksikan

satu makna dalam pikiran, bagi al-Baqillani sifat-sifat tersebut adalah entitas-entitas yang ada

dalam Zat Tuhan, bukan Modus.

72
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 110-112.
33

Kedua, tentang perbuatan manusia, tidak seperti al-Asy’ari yang dengan teori kasb-

Nya berhasil mempertahankan kehendak mutlak Allah atas ciptaan, al-Baqillani memilik

sejenis revisi terhadap teoro kasb gurunya. Menurut al-Baqillani ada perbuatan yang terjadi

berdasarkan pilihan manusia dan ada perbuatan yang terjadi berdasrkan pilihan manusia dan

ada perbuatan yang manusia terpaksa melakukannya. Manusia hanya mampu berbuatv

dengan qudrah atau daya yang diciptakan padanya. Manusia hanya mampu berbuat ketika

terjadi perbuatan, sebab ia tidak diberi daya sebelumnya.

Menurut Al-Baqillani, Allah memberikan daya untuk berbuat kepada manusia yang

sebelumnya belum ada. Daya itu ada, bersamaan dengan terlaksananya perbuatan,

sebagaimana cincin bergerak bersamaan dengan gerakan tangan. Air memancar bersamaan
dengan terceburnya batu kedalam satu bejana. Seseorang mengetahui rasa sakit bersamaan

dengan adanya rasa sakit. Al-Baqillani mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk menegaskan

tidak adanya daya sebelum perbuatan, misalnya dalam Q.S Al-Baqarah (2):286.

c. Imam al-Haramain’ ‘Abd al-Malik al-Juwaini

Nama lengkap ialah Abdul Malik Bbn Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-juwaini

an-nisaburi,lahir di Bustanikan, Nisabur 18 Muharram 417/12 Februari 1028 dan wafat 23

Rbiul akhir 475/20 Agustus 1085 yang terkenal dengan julukan Imam Haramain. Ahli fikih,

ahli ushul fikih, dan ahli ilmu kalam (teologi), guru besar di madrasah Nizamiyah.
Al-Juwaini juga tidak menerima mentah-mentah ajaran Asy’ariyah. Setidaknya ada

dua poin revisi al-Juwaini terhadap Asy’ariyah. Pertama, tentang antromorphisme

(menyerupakan tuhan dan manusia) di mana al-Juwaini,tidak seperti al-asy’ari,membolehkan

ta’wil atas ayat-ayat “antroprofiesme” seperti “istana” ditakwilkan menguasai, “tangan

Tuhan” mesti ditakwilkan kekuasaan Tuhan, “mata Tuhan” sebagai penjagaan/pengawasan

Tuhan, dan “wajah Tuhan” sebagai wujud Tuhan. Kedua, al-Juwaini berpaling jauh dari teori

kasb al-asy’ari tentang perbuatan manusia,suatu kenyataan yang teramati dengan baik sebagai

“ekses muktazilah”. Sebagaimana pandangan Asy’ariyah bahwa perbuaatan manusia

sepenuhnya perbuatan Tuhan dengan jalan manusia “memperoleh” perbuatannya dari Tuhan.
34

Bagi al-Juwaini adalah tidak logis jika mempertahankan kekuasaan (pada manusia)

yang tidak memiliki efek sama sekali, ini sama saja dengan menolak kekuasaan tersebut

semuanya. Perbuatan manusia, menurut al-Juwaini mestilah dipandang besasal dari

kekuassaan sendiri dalam pengertiannya yang hakiki, meskipun manusia tidak mewujudkan

dan menciptakan pebuatannya. Alasannya sangat etimologis, penciptaan adalah tindak

kemandirian yang mengadakan sesuatu dari ketiadaan, sedangkan manusia tidaklah mandiri

meskipun ia merasakan kekuasaan dalam dirinya.

Asas epistimologis teori Kasb al-Juwaini adalah prinsip kausalitas. Akibat diciptakan

oelh suatu sebab, yang pada gilirannya sebab tersebut diciptakan oleh sebab yang lain, begitu

seterusnya hingga rantai sebab akibat tersebut berhenti pada sebab Hakiki, Allah Swt.
d. Abu Hamid Al-Ghazali

Lahir di Thus, Khurasan 450-505 H/1058-1111 M, memperoleh kemasyuran sebagai

pengikut sekaligus sebagai pengembang ajaran-ajaran Asy’ariah.banyak peneliti yang

menempatkan posisi paham Al-Asy’ariyah dikalangan ummat Islam Sunni hingga saat ini.

Berlainan dengan gurunya al-Juawaini dan Al-baqillani, paham teologi yang

dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Al-Ghazali,

seperti Al-Asy’ari tetap mengakui bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak

identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud diluar zat. Juga al-Qur’an, dalam
pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia juga

perpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan; dan daya untuk

perbuatan yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi. Selanjutnya

al-Ghazali mempunyai paham yang sama dengan al-Asy’ari tentang Tuhan dapat dilihat di

hari kemudian, karena tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat.

Dengan demikian Al-Ghazali mampu memadukan pendapat Asy’ari dengan

perkembangan pemikiran mayoritas umat Islam yang hingga kini masih tetap diikuti oleh

kebanyakan umat Islam, sehingga ilmu Tauhid /Aqidah menurut konsep Ahlu Sunnah Wa al-

Jama’ah, tidak lain adalah berpangkal kepada karya Al-Ghazali. Karena itu ia mendapat gelar
35

“Hujjatul Islam” (tokoh atau pembela Islam). Ia tetap setia kepada pokok persoalan yang

telah dibicarakan dan dibela oleh al-Asy’ari.

7. Aliran Maturidiyah : Sejarah dan Pemikirannya

Munculnya aliran teologi al-Maturidiyah tidak lepas dari jasa Abu Mansur al-

Maturidi. Harun Nasution menyebutkan bahwa Abu Mansur al Maturidi lahir di Samarkand

pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M. tidak banyak

diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham

teologinya banyak persamaanya yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi Ahli

Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah.73

Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu padad pertiga akhir dari abad ketiga Hijrah, di

mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemunduruannya, dan di anatara gurunya adalah

Nahsr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). 74 negeri Samarkand pada saat itu merupakan

tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang fiqh berlansung anatara

pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.75

Selain, itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal

jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi

kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum
rasional yang di amana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun

ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum

Hanabillah (para pengikut Iman Ibnu Hanbal).76

Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah

lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan

73
Harun Nastuion, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 76.
74
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), h. 210.
75
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Poltik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1996), h. 212. Lebih lanjutnya dalam bukunya Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran
Islam, h. 135.
76
Yudian Wahyu Assmin, Aliran dan Teologi Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 2004.
Lebih lanjut dalam bukunya Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Islam, 138.
36

pendapata antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat memetingkann akal dan dalam

memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu)

sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-maturidi melibatkan diri dalam

pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan

tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Karena itu juga, aloran Maturidiyah sering

disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.77

Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-

Bazdawi (421-493 H). nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi

mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuannya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai


murid-murid dan salah seorang Dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-

537 H).78

Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi berseumber dari pemikiran al-Maturidi,

tetapi terdapat pemikiran-pemikran al-Bazdawi yang tidak sepaham dengan al-Maturidi.

Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbebdaan paham sehingga boleh

dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan : golongan Samarkand

yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara yaitu pengikuit-pengikut

al-Bazdawi.79

Adapun beberapa tokoh Maturidiyah yang terkenal beserta pemikirannya, yaitu

sebagai berikut :

a. Al-Maturidi

Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi.

Al-Maturidi dilahirkan di kota kecil “Maturid” dekat kota Samarkand wilayah Transixiana di

Asia tengah. Sebagaian penulis menyebutkan bahwa al-Maturidi dari keturuna Abu Ayub Al-
77
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Islam, 138.
78
Harun Nastuion, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h. 78. Lihat pula
dalam bukunya Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Islam, 138.
79
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Islam, 138.
37

Anshari, seorang sahabat Rasulullah di Madinah. Ia lahir diperkirakan pada pertengahan abad

3 H dan hidup semasa khalifah Al-Mutawakkil memerintah dan wafat pada tahun 333 H.80

Sebagai orang pemikir penentang paham-paham Mu’tazilah serta membela Ahl al-

Sunnah, al-maturidi banyak berpegang kepada atsar. Sebagian pemikirannya cocok dengan

pemikiran al-Asy’ari dan sebagian lagi cocok dengan pemikiran al-Mu’tazilah.81

8. Aliran Syi’ah : Sejarah dan Pemikirannya

Syi’ah berarti kelompok yang mempunyai ikatan kebersamaan mendukung ide,

prinsip atau tokoh. Munculnya istilah Syi’ah, ada beberapa pendapat; sebagian orang
menganggap bahwa sejak Rasulullah saw. Wafat, Ali bin Abi Thalib memang mempunyai

pendukung yang memperjuangkan kursi kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang disebut

dengan Syiah Ali, antara lain:

1) Sebagian menganggap bahwa pada peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan, kaum

muslimin terbagi menjadi dua golongan, sebagian besar menjadi Syiah Ali dan

sebagian kecil menjadi Syiah Muawiyah.

2) Sebagian lain mengatakan bahwa munculnya Syiah akibat gagalnya perundingan

antara pihak khalifah Ali dengan pemberontak Muawiyah yang disebut dengan
peristiwa Tahkim. Akibat kegagalan itu, maka sejumlah pasukan Ali berontak

terhadap pimpinanya atau keluar dari barisan Ali yang disebut Khawarij. Dan

sebagian besar tetap setia kepada Khalifah Ali, mereka inilah yang disebut Syiah

Ali.82

Secara historis, awal mula lahirnya Syiah adalah pada peritiwa saqifah, segerah

setelah terbetik berita kematian Rasulullah, sekelompok muhajirin memaksakan kehendak

mereka kepada kaum Anshar untuk menerima Abu Baqar sebgai pemimpin tunggal umat.

80
Muhammad Amri, Khazanah Pemikiran Islam, 139.
81
M. Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam: Teologi-Ilmu Kalam, h. 139.
82
Marhaeni Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 72
38

Pada saat itu ada sebagian suara diajukan dalam menuntut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,

sebab bagi mereka Ali lebih berhak menjadi Khalifah dengan berbagai pertimbangan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa Abu Baqar, istilah Syi’ah telah

ada, tetapi belum menampakan diri sebagai sesuatu kekuatan politik yang dapat

diperhitungkan sebab baru sebagai satu tahapan perasaan simpatik kelompok kecil para

sahabat. Demikian pada masa Umar, akan tetapi, keadaan ini berubah setelah pemerintahan

Usman bin Affan, lebih-lebih pada enam tahun terakhir masa pemerintahanya, ia membuat

tindakan-tindakan keliru yang tidak pernah diperbuat oleh Khalifah sebelumnya. Tindakan ini

telah menyulut rasa ketidak puasaan dan kekecewaan dikalangan rakyat.

Kebencian terhadap Usman dan pendukung Ali tumbuh berdampingan, sehingga

klimaks ketidak puasaan yang membara itu meledak dalam pemberontakan dan penyerbuan

Madinah yang menewaskan Usman. Kematian Usman memberikan peluang bagi Ali untuk

naik diatas kursi kekhalifahan, Ali adalah satu-satunya kandidat yang diterima oleh Anshar,

Muhajirin dan para pemberontak. Akan tetapi, dalam kondisi peralihan kekhalifaan ini,

Mu’awiyah Gubernur Damaskus yang diangkat pada masa Usman mempunyai ambisi

menjadi Khalifah kaum Muslimin, maka dengan semboyan menuntut balas atas kematian

Usman dijadikan alsan untuk menolak kekhalifahan Ali.

Melihat kondisi seperti itu, tentu sulit bagi Ali untuk menghukum pembunuh Usman

yang sekaligus sebagai pendukungnya. Karena itu, terjadilah konflik antara Ali dan

Mu’awiyah, dimana Shiffin adalah arena pertempuran kedua golongan ini sampai akhirnya

konflik ini menghasilkan arbitrase (tahkim), akibatnya terjadi kemelut antara sesama pasukan

Ali yaitu antara pasukan yang keluar dari barisan Ali karena tidak setuju adanya arbitrase dan

pasukan Ali yang tetap setia pada Ali, karena berpendapat bahwa tak seorang pun yang

berhak menjadi Khalifah dibanding Ali.


39

Dari uraian diatas tampaknya istilah Syiah sebagai suatu kekuatan politik tampil pada

akhir masa pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali

bin Abi Thalib, sehingga Abu Zahrah mengungkapkan bahwa Syi’ah adalah mazhab politik

yang pertama lahir dalam Islam. Adapun sekte-sekte Syi’ah dan ajaranya sebagai berikut:

1) Syi’ah Imamiyah (Itsna’ Asyariyah)

Syi’ah Imamiyah adalah nama yang dititikberatkan pada pandangannya tentang

Imamah. Syi’ah Imamiyah ini sangat berpengaruh dan menjadi paham resmi di sebagian

besar wilayah Persia (Iran) semenjak permulaan abad ke 10 H/16 M. Mereka disebut Itsna’
Asyariyah (Imam dua belas) karena mempunyai 12 Imam yang dianggap mulia, yaitu;

1. Ali bin Abi Thalib

2. Hasan bin Ali bin Abi Thalib

3. Husain Ali bin Abi Thalib

4. Ali Zainal Abidin bin Hasan

5. Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin

6. Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir

7. Musa Al-Khazim bin Ja’far Shadiq


8. Ali al-Ridha bin Musa al-Khazim

9. Muhammad al-Jawwad Ali al-Ridha

10. Ali bin Muhammad bin Ali al-Ridha

11. Hasan bin Ali bin Muhammad

12. Muhammad bin Hasan al-Askari al-Mahdi.

Imam terakhir inilah yang terkenal dengan Imam Mahdi yang diyakini menghilang

pada tahun 205 H. Syiah 12 ini dinamakan pula Syi’ah Imamah, karena yang menjadi poko

perkaranya dalah masalah Imamah. Golongan ini dianggap ekstrim karena mereka

berkeyakinan bahwa yang patut menjadi khalifah setelah meninggalnya Nabi Muhammad
40

saw adalah Sayyidina Ali ra. dan seterusnya kepada kerabatnya. Oleh karena itu, Abu Baqar

dan Umar bin Khattab, keduanya dianggap berbuat zhalim karena merampas kedudukan

khalifah.

9. Aliran Ahmadiyah : Sejarah dan Pemikirannya

Ada satu golongan yang muncul di Qadiyan, India (sekarag daerah Pakistan),

bernama golongan/aliran Ahmadiyah.Aliran Ahmadiyah merupakan ajaran Mirza Ghulam

Ahmad. Dia dilahirkan di Qadiyahn, distrik Gusdapur, Punjab wilayah India, pada tahun

1836 M dan meninggal dunia pada tahun 1908. Pada tanggal 4 Marte 1899 M. Ghulam
Ahmad mengaku dan mengumunkanbahwa dirinya menerima wahyu lansung dari Tuhan,

menunjukkan sebagai Al-Mahdi Al-Ma’ud, artinya Imam Mahdi yang dijanjikan, agar

masyarakat berbaiat (sumpah setia) kepadanya.83

Pendiri aliran ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, setelah ia berusia 54 tahun, yaitu

pada tahun 1950 M. mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan, bahwa ia adalah nabi sesudah

nabi Muhammad sawdan pula nabi yang paling terakhir. Bukan saja nabi, tetapi juga Imam

Mahdi yang ditunggu, Mujaddid da Juru selamat.84

Sudah terang bahwa Mirza Ghulam Ahmad ini terpengaruh Si’ah Isma’iliyah yang
ketika itu banyak didaerah Punjab, yang mempercayai bahwa akan lahir pada hari akhir

zaman Imam Mahdi yang adil, yang akan membawa keadilan untuk seluuh dunia, yang

pangkatnya tidak kalah dari nabi dan juga menerima wahyu dari Tuhan. Memang kaum

Syi’ah berpaham bahwa ke nabian dan ke Rasulanbelum putus, imam-imam mereka

dianggapnya masih menenrima wahyu lansung dari Tuhan.

Mirza Ghulam Ahmad bertindak lebih jauh, ia bukan lagi imam, bukan saja imam

Mahdi, tetapi nabi benar-benar yang mendapat wahyu dari Tuhan, tetapi ajaran bahwa ada

83
Marhani Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 146.
84
Sirajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995), h. 341.
41

nabi sesudah nabi Muhammad, bertentangan pula dngan kaum Syi’ah. Bagi mereka yang ada

adalah Imam, bukan karena nabi baru, sedang imam itu harus dari keturunan Saidina ‘Ali ra.85

Pada tahun 1891 M, Mirza Ghulam ahmad membuat pengakuan yang mengejutkan

dan menghebohkan masyarakat. Selain telah mengaku sebagai Al-Mahdi Al-Mau’ud,

kemudian mengaku sebagai Al-Masih Al-Mau’ud artinya sebagai penjelmaan Nabi Isa al-

masih yang dijanjikan. Dalam ajarannya, dia beranggapaan bahwa nabi Isa al-Masih yang

menyelematkan diri dari salib yangdilakukan oleh laskar Romawi.86 Ajaran Ahmadiyah

mengakui bahwa kenabian dan kerasuan nabi Muhammad saw, juga diakui sebagai Khatam

an-Nabiyyin, bahkan menurut ajaran ini mengingkarinya berarti kafir. Tetapi Khatama an-
nabiyyin diartikan sebagai nabi, sedangkan dalam keiamanan Islam pada umumnya diartikan

sebagai nabi terakhir, tidak akanada manusia yang menerima wahyu sesudah nabi

Muhammad saw.

Ajaran Ahmadiyah yang paling kontroversial ialah tentang nabi Isa a.s, dalam

bukunya Masih Hindustan Man (seorang Hindustan yang suci) , Ghulam Ahmad mengatakan

bahwa Nabi Isa a.s (Yesus) tidak mati di tiang salibdi bukit Golgota itu, melainkanhanya

pingsan. Dia memang dikubur dalam keadaan demikian, lalu para sahabatnya pada malam

hari segera mengambilnya dan dengan penuh kasih sayang mengobati luka-luka itu dengan di
olesi salepramuan mereka sampai sembuh. Kuburannya, menurut Mirza Ghulam ahmad,

terdapat di Khan Yar, Srinagar, ketika di Kashmir, nabi Isa a.s di sebut Yus Asaf.Tujuan

dikemukkakannya teori perjalanan hidup nabi Isa as ialah unutk menguatkan penempatan

posisinya dirinya sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi87.

Setelah Ghulam Ahmad meninggal pada tahun 1908. Gerakan Ahmadiyah terpecah

menjadi dua golongan yaitu :

85
Marhani Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 147.
86
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 327.
87
Sahilun A. Nasir,Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, h. 327.
42

1) Ahmadiyah Qadiyan ; menegaskan bahwa Ghulam Ahmad itu nabi sesudah

nabi Muhammad. Da adlaah nabi penggiring bagi beliau, bagaikan nabi

Harun, penggiring bagi nabi Musa a.s, mereka tinggal di daerah Gulf,

berdampingan dengan orang-orang muslim lainnya yang tetap tidak mengakui

Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Mereka yang tidak percaya terhadap kenabian

Mirza, dipandangnya sebagai orang kafir. Golongaan sunni menolak ajaran

tersebut, dengan mengeluarkan pernyataan resmi pengadilan agama yang

menetapkan bahwa pengikut Qadiyan bukanlah termasuk golongan muslim.

2) Ahmadiyah Lahore : tidak terlalu menyimpang jauh seperti Qai’ani, tetapi

tetap heterodox artinya menyimpang dari paham sunni. Mereka beranggapan


sebagai mujaddid atau pembaru.88

Ahmadiyah Qadiyan masuk ke Indonesia pada tahun 1925, dibawah oleh Rahmat Ali,

ahli dakwah Ahmadiyah.Mula-mulatinggaldi Tapak Tuan (Aceh), kemudian pindah ke

Padang hingga tahun 1930, dan akhirnya di Jakarta.Ajarannya banyak mendapatkan

tantangan. Serangan paling keras bagi Rahmat Ali datang dari Ahmad hassan, tokoh pembaru

Islam dari Bandung. Mereka berdebat secara terbuka pada tahun 1933 di Bandung dan 1934

di Jakarta mengenai beberapa ayat Al-Qur’an terutama surah Al-Imran, ayat 55) yang
menjadi dasar kepercayaan Ahmadiyah tentang Yesus. Ajaran Ahmadiyah Lahore di bawah

ke Indonesia oleh Mrza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad pada tahun 1924.Kedua

muballig, ini pertama kali tinggal di Yogyakarta.Maulana Ahmad kemudian kembali ke

Lahore, tetapi Mirza Ghulam Ahmad baig, tetap tinggal di Jawa hingga tahun 1936.Dialah

yang dianggap berjasa mengembagkan ajaran ahmadiyah Lahore di Indonesia.89

Berita terakhir Halaqah dan Rapat Pleno PBNU pada tanggal 7 s/d 10 September

2005, di Hotel Salak bogor Jawa Barat memandangnya sebagai ajaran sesat dan di luar Islam.

Persoalannya sekaran adalah bagaimana menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang

88
Marhani Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 150.
89
Marhani Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 152.
43

lurus (Sunni) dan sekolompok masyarakat tertentu tidak bersikap arogan, bertindak diri-

sendiri, anarkis dan melakukankekerasan dalam menyikapi mereka, tetapi bersikap secara bil

hikmah diajak kembali ke jalan yang lurus dan kala perlu dilakukan mujadalah bil ihsan.90

I’tiqad kaum Ahmdiyah mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad diutus oleh Allah

swtuntuk menyempurnakan agama Islam. Agama Islam masih kurang, karena itu ia diutus

menyempurnakannya. Nabi Muhammad saw kalua disbanding dengan Mirza Ghulam Ahmad

adalah sebagai hilal (bulan sabit), sedang ia adalah badar (bulan purnama).pada lambing

bendera kaum Ahmadiyah dicantumkan :

1) Hilal (bulan sabit)

2) Badar (bulan purnama)

3) Menara.

Hilal bagi mereka artinya Muhammad, Badar artinya Mirza Ghulam Ahmad dan

Menara artinya Damsyik, dimana Nabi Isa turun di akhir zaman. Tentang menyempurnakan

syariat Islam ia menfatwakan bahwa :

1) Jihad dengan senjata tidak ada lagi,

2) Melawan pemerintahan Inggris yang berkuasa di India ketika itu adalah


haram,

3) Jihad yangdiakui oleh syariat ialah jihad bersama Inggris melawan

pemberontak-pemberontak yang terdiri dari orang Islam.

Itulah yang dinamakan menyempurnakan syariat Islam oleh Ahmadiyah. Fatwa

semacam ini ditentang keras oleh kaum Ahlussunnah Wal jamaah, karena dalam fatwanya ini

terselip penghinaan terhadap Islam dan juga terhadap nabi Muhammad saw.

Islamdianggapnyabelumsempurna dan nabi Muhammad saw diangganpnya lebih rendah dari

dia.nabi Muhammad saw hilal dan ia bulan purnama.91


90
Marhani Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 154.
91
Marhani Saleh, Pengantar Teologi Islam, h. 145.

Anda mungkin juga menyukai