Anda di halaman 1dari 11

Epistemologi Hikmah al-

Muta’aliyyah
• Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam
substansi pengkajian dan sistematika pembahasan
konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam.
Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik,
Iluminasi, Irfan dan Teologi Islam sebelum abad
kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain
dan masing-masing berpijak pada teori dan
gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke
sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan
dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga
melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang
dia sebut al-Hikmah al-Muta'aliyah.
Biografi Mulla Shadra
• Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim
bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Sadr
al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mullâ
Shadrâ atau Sadr al-Muta’alihin, dan dikalangan
murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Âkhûnd’.
Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/
1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup
berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam.
Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-
Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan
dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur
Propinsi Fars. Secara sosialpolitik, ia memiliki
kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.
• Para sejarawan membagi biografinya ke dalam tiga
periode: Periode pertama, pendidikan formalnya
berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya.
Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima
pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis,
tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan
Baha‘uddin al-‘amali (1031 H/1622 M), yang meletakkan
dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada
filosof peripatetik Mir Finderski (w. 1050 H/1641 M)
namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof,
Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041
H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir
papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki
Sang Guru Ketiga (setelah Aristoteles dan Al-Farabi).
• Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Shadra
terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit
terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah
dogmatis. Dalam periode kedua, dia menarik diri dari
khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil
dekat Qum. Selama periode ini, pengetahuan yang
diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin
utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah
kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar
alArba’ah disusunnya pada periode ini. Dalam periode
ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak
tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di
Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam
periode ini.
Karya-karya Mulla Shadra
• Berdasarkan sumber-sumber yang ada, karya-karya Mulla Shadra antara
lain:
• 1. Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah: kitab ini adalah
magnum opusnya dan induk dari semua karya-karyanya serta paling
lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filosof.
• 2. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini
mengulas seluruh pikiranpikiran Mulla Shadra secara luas atau hanya
memuat doktrin-doktrin aliran filsafat muta’aliyah.
• 3. Al-mabda’ wa al-ma’ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai
ilmu tentang alam akhirat.
• 4. Al-Masyâ’ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud
dan hal-hal partikular tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan
tentang wujud dalam kitab ini.
• 5. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari
al-Quran, antara lain: alHadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-
Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum’ah, al-Waqi’ah, at-Thariq, al-‘Ala dan
az-Zalzalah.
Hikmah Muta’aliyah
• Mulla Shadra secara eksplisit tidak menyebut
mazhabnya sebagai Hikmah Muta’aliyah. Istilah ini
ia gunakan untuk menunjuk dua buah karyanya
yang merupakan magnum opus-nya Al-Hikmah
Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah dan salah satu
karyanya yang terakhir berjudul Al-Hikmah al-
Muta’aliyah.
• Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang
al-Hikmah al-Muta’aliyah, harus dipahami bagaimana ia
mendefinisikan hikmah atau falsafah. Menurutnya, kedua istilah
tersebut adalah identik, dan ketika dia berbicara tentang hikmah
atau falsafah dalam perspektifnya sendiri, yang dimaksudkan tidak
lain adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah. Dalam pespektif ini, setelah
melakukan sintesis terhadap berbagai pandangan terdahulu, Mulla
Shadra mendefinisikan falsafah sebagai: kesempurnaan jiwa
manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu
yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap
keberadaan mereka, yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang
jelas, bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti
pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia.
Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia
melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai
tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki,
dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan.
• Berdasarkan definisi falsafah atau hikmah tersebut, bisa dilihat
bagaimana Mulla Shadra berusaha mengkombinasikan dan
mengharmoniskan berbagai pandangan terdahulu dengan
pandangannya sendiri, melalui kreatifitas serta kejeniusan
berpikirnya. Seluruh unsur penting yang terdapat di dalam
berbagai definisi yang dikemukakan oleh Ibn Sina, Ikhwan al-
Safa’, maupun Suhrawardi, disentesiskannya menjadi satu
kesatuan yang utuh, sehingga terlihat sebagai sesuatu yang baru.
• Dalam mazhab Mulla Shadra, banyak titik perselisihan antara
peripatetik dan iluminasi, antara filsafat dan ‘irfan, atau antara
filsafat dan kalam, menemukan penyelesaiannya. Namun
demikian, filsafat Mulla Shadra bukan sekedar sinkretisme,
tetapi sebuah sistem filsafat yang unik, yang sekalipun berbagai
metode pemikiran Islam memberi pengaruh pada
pembentukannya, harus diakui sebagai mazhab yang berdiri
sendiri.
• Secara epistemologis al-Hikmah al-Muta’aliyah
didasarkan pada tiga prinsip : intuisi intelektual
(dzawq atau isyraq), penalaran pembuktian rasional
(‘aql atau istidlal) dan agama atau wahyu (syar’i).
Sehingga hikmah menjadi kebijaksanaan (wisdom)
yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi
intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional
dengan menggunakan argumen-argumen rasional.
Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan
kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud
penerima pencerahan itu. Merealisasikan pengetahuan
sehingga terjadi transformasi wujud hanya dapat
dicapai dengan mengikuti syari’at.
• Implikasi penting al-hikmah al-muta’aliyah terhadap
filsafat Islam secara khusus dan pemikiran Islam pada
umumnya adalah bahwa kehadirannya telah membuka
rantai-rantai belenggu dan menembus tembok-tembok
pemisah antara satu disiplin keislaman tertentu
dengan yang lainnya, yang selama berabad-abad
terpisah secara tajam. Disamping itu, aliran ini telah
berhasil dalam mengatasi hambatan-hambatan atau
keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada disiplin-
disiplin sebelumnya, melalui daya transendensi-nya,
sehingga patut dipertimbangkan untuk dijadikan
model atau tipe ideal pemikiran Islam dewasa ini dan
di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai