NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam
4. Sejarah
Menurut Miskawaih, sejarah merupakan cerminan struktur politik atau ekonomi masyarakat
pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau
negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan
kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik, tetapi juga menentukan
bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai pragmatis bagi kehidupan
setelahnya.[21]
5. Politik
Mengutip pendapat Azdsher[22], Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan
bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang
tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan
pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa
pengawal akan sia-sia.[23]
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang
kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan
agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja
yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan.
Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi
kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan
perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[24]
6. Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih menyinggung masalah takut mati.
Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah
mati, maka orang-orang terdahulu akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya
ruang tampung di bumi. Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk
belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin rusak, maka seharusnya
dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka dia menginginkan kerusakan pada
dirinya.[25]
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia harus memahami bahwa badan
hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara untuk hidup di dunia yang tidak kekal.
Sakit yang dirasakan badan sebelum mati merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam
badan tersebut, sehingga tidak akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika telah
memahami hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui kehidupan lain
setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena hukuman setelah mati, harus memahami
bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit sebelum kematian, akan tetapi rasa sakit akibat
hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh karena
itu, seseorang harus hidup berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat, dan mendekatkan diri
pada Tuhan. Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh kebahagiaan, jiwanya akan tenang
dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan setelah mati.[26]
Daftar Pustaka
· DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.
· Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), 2002.
· Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada),
2010.
· http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-
miskawaih.pdf
[1] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.
Hlm.47
[2] DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.
Hlm.128
[3] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.
Hlm.47
[4] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada), hlm. 127-128.
[5] M. M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan. Hlm.84
[6] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada), hlm. 128-129
[7] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 169
[8] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 170
[9] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 113.
[10] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 130.
[11] Nasution, Hasyimsyah, 2002, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), hlm.
59
[12] Mustofa, Ibid, hlm. 172-173.
[13] Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[14] Nasution, Ibid, hlm. 60.
[15] Zar, Ibid, hlm. 135.
[16] Mustofa, Ibid, hlm. 177
[17] Nasution, Ibid, hlm. 61.
[18] http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-
miskawaih.pdf
[19] Zar, Ibid, hlm. 135.
[20] Nasution, Ibid, hlm. 62.
[21] Nasution, Ibid, hlm. 66.
[22] Seorang raja dan filosof bangsa Persia. Lihat H. A. Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 186.
[23] Mustofa, Ibid, hlm.186
[24] Ibid.
[25] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
[26] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook
;;;