Anda di halaman 1dari 7

Nama : Erlangga nur Al Farizi karyadhara

NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam

Materi 6 “pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih`”


· Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih atau Abu Ali Al- Khazin memiliki nama lengkap Ahmad Ibn
Muhammad Ibnu Ya’kub lahir sekitar tahun 941 masehi. Meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar
421 Hijriah atau 16 Februari 1030 Masehi.[1]Belum bisa dipastikan apakah Miskawaih itu putra
(Ibn) Muskawaih atau Miskawaih itu dia sendiri.
Miskawaih merupakan penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya
pada sultan dan wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 M).
Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, dia menduduki
jabatan yang penting, seperti Khazin, yaitu penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara
negara.
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian memeluk Islam.
Tetapi barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang tercermin
pada namanya ialah putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Ibnu Miskawaih adalah
seorang ahli fisika filsafat dan sejarah, beliau juga merupakan seorang bendahara dan teman dari
Adud al- Daullah.[2]
Miskawaih merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai
dengan ilmu alat lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain. Yang terdahulu dipelajari
adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika teori pengetahuan dan ilmu
metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang menguasahi secara sempurna
filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.[3]
Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh al Thabari kepada Abu Bakr
Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari Ibnu
al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih menyerap ilmu
kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran,
bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang filosof akhlak daripada
filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat pada masanya.[4]
Dari beberapa pernyataan Ibn Sina dan al-Tauhidi bahwa mereka menyatakan ia tak
mampu berfilsafat sebaliknya Iqbal menganggapnya sebagai salah seorang pemikir teistis,
moralis dan sejarawan Parsi paling terkenal.[5]
· Karya – Karya Ibnu Miskawaih
Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir, tetapi juga sebagai penulis yang
produktif. Dalam buku The History of The Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya
tulisnya, yaitu:
1. Al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam
4. Uns al-Farid
5. Tartib al-Sa’adat
6. Al-Mustaufa
7. Jawidan Khirad
8. Al-Jami’
9. Al-Siyab
10. On the Simple Drugs
11. On the Composition of the Bajats
12. Al-Ashribah
13. Tahzib al-Akhlaq
14. Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15. Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18. Thaharat al-Nafs.[6]

· Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih


1. Hikmah dan Falsafah
Miskawaih membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah
(filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu
membeda-bedakan (mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya. Dengan
hikmah, seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara
insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu mengetahui kebenaran-
kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang
wajib ditinggalkan.[7]
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu bagian
teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang digunakan untuk
dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya benar, dan tidak ragu-
ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempuarnaan manusia yang
mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemauan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-
perbuatan itu dapat sangat sejalan dengan analisa bagian teori. Pada akhirnya, kesempurnaan
moral dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup
bersama. Sehingga, jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, maka dia telah
memperoleh kebahagiaan yang sempurna.[8]
2. Metafisika
Metafisika Miskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan, jiwa, dan
kenabian (nubuwwah). Secara lengkap, metafisika Miskawaih dituangkan dalam kitab al-Fauz
al-Ashghar;
A.Ketuhanan
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar
Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf Yunani)
tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika mempertemukan
pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan antara pandangan bahwa
Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus Neoplatonisme.
Dia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan
“Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan argumen kuat
tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama.[9] Menurut De Boer, Miskawaih menyatakan
bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan jelas karena Tuhan
adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan
akal pikiran manusia untuk menangkap-Nya, karena banyak dinding-dinding atau kendala
kebendaan yang menutupi-Nya.[10]
Mengenai emanasi, Miskawaih mengatakan bahwa entitas pertama yang memancar dari
Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal,
sempurna, dan tidak berubah. Dari akal aktif ini, timbul jiwa; dan dengan perantaraan jiwa,
timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan alam
ini. Jika pancaran tersebut terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam ini.[11]
Berdasarkan pendapat Miskawaih tersebut, dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan
al-Farabi, sebagai berikut:
1. Bagi Miskawaih, Tuhan menjadikan alam secara emanasi dari tiada menjadi ada.
Sedangkan menurut al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran daru sesuatu yang sudah
ada menjadi ada.
2. Bagi Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi al-
Farabi, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal pertama, sedangkan akal aktif adalah akal yang
kesepuluh.
B. Jiwa atau Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat
diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material dibuktikan
oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang
banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih dalam
waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat menerima
gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.[12]
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan
inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan
yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara
membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta
membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan
membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera.[13]
C. Kenabian
Dalam hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih dengan
al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat
kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan antara Nabi dan para
filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas:
dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir, sehingga dapat berhubungan dan menangkap
hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal
aktif sebagai rahmat Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi untuk mengetahui hal-hal yang
bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D. Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara mendasar sama dengan Ikhwan
al-Shafa. Teori itu terdiri atas empat tahapan evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kombinasi substansi-substansi primer menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral), menjadi
rerumputan, tanaman, pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia hewan—
sampai mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu. Di antara dunia tumbuhan dan dunia
hewan terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan hewan dan bukan
kehidupan tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya koral/batu karang). Langkah
pertama di luar tahap kehidupan antara keduanya adalah perkembangan daya gerak, dan indra
peraba pada cacing-cacing kecil yang merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi, indra peraba
mengembangkan bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang lebih tinggi, yang
di dalamnya intelegensi mulai menyatakan dirinya dalam sebuah skala yang meninggi.
Kemanusiaan terbentuk dari kera yang mengalami perkembangan lebih jauh, dan berangsur-
angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan daya pemahaman yang serupa manusia. di sini
kehewanan berakhir, dan kemanusiaan bermula.[14]

3. Etika atau Akhlak


Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan
tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof Muslim
—seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi—dan dikombinasikan dengan pemikiran filosof Yunani—
seperti Aristoteles, plato, dan Galen—sebagai pelengkap. Jadi, Miskawaih lebih memilih untuk
mendasarkan etikanya pada ajaran agama Islam (al-Qur’an dan hadits), mengambil pemikiran
dari sumber lain jika sejalan dengan agama Islam, serta menolaknya jika bertentangan.[15]
Miskawaih mengartikan akhlak (jamak dari khuluk) sebagai keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan
sebelumnya. Dengan kata lain, akhlak merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya
perbuatan-perbuatan secara spontan.[16] Keadaan jiwa ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang
berasal dari watak, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[17] Kedua watak tersebut pada
hakekatnya tidak alami.[18]
Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak
manusia tidak dapat berubah. Bagi Miskawaih, akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak
yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan.[19] Pemikiran ini sejalan dengan ajaran
agama Islam yang menyatakan bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia.[20]

4. Sejarah
Menurut Miskawaih, sejarah merupakan cerminan struktur politik atau ekonomi masyarakat
pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau
negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan
kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik, tetapi juga menentukan
bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai pragmatis bagi kehidupan
setelahnya.[21]

5. Politik
Mengutip pendapat Azdsher[22], Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan
bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin), yang
tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan merupakan
pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan segala sesuatu tanpa
pengawal akan sia-sia.[23]
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam yang
kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga keselamatan
agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib). Karena seorang raja
yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan dan kerusakan.
Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan berbalik menjadi
kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya untuk diadakan
perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang adil.[24]

6. Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih menyinggung masalah takut mati.
Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah
mati, maka orang-orang terdahulu akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya
ruang tampung di bumi. Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk
belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin rusak, maka seharusnya
dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka dia menginginkan kerusakan pada
dirinya.[25]
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia harus memahami bahwa badan
hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara untuk hidup di dunia yang tidak kekal.
Sakit yang dirasakan badan sebelum mati merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam
badan tersebut, sehingga tidak akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika telah
memahami hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui kehidupan lain
setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena hukuman setelah mati, harus memahami
bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit sebelum kematian, akan tetapi rasa sakit akibat
hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang pernah dia lakukan semasa hidupnya. Oleh karena
itu, seseorang harus hidup berhati-hati, tidak mudah melakukan maksiat, dan mendekatkan diri
pada Tuhan. Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh kebahagiaan, jiwanya akan tenang
dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan setelah mati.[26]
Daftar Pustaka
· DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.

· M. M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan.

· Mustofa, H. A., Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.

· Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), 2002.

· Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), 2009.

· Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.

· Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada),
2010.

· http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-
miskawaih.pdf

[1] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.
Hlm.47
[2] DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.
Hlm.128
[3] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung;DIMAS, 1993.
Hlm.47
[4] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada), hlm. 127-128.
[5] M. M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan. Hlm.84
[6] Zar, Sirajuddin, 2010, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada), hlm. 128-129
[7] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 169
[8] Mustofa, H. A., 2009, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 170
[9] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 113.
[10] Supriyadi, Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm. 130.
[11] Nasution, Hasyimsyah, 2002, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), hlm.
59
[12] Mustofa, Ibid, hlm. 172-173.
[13] Mustofa, Ibid, hlm. 173.
[14] Nasution, Ibid, hlm. 60.
[15] Zar, Ibid, hlm. 135.
[16] Mustofa, Ibid, hlm. 177
[17] Nasution, Ibid, hlm. 61.
[18] http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-
miskawaih.pdf
[19] Zar, Ibid, hlm. 135.
[20] Nasution, Ibid, hlm. 62.
[21] Nasution, Ibid, hlm. 66.
[22] Seorang raja dan filosof bangsa Persia. Lihat H. A. Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 186.
[23] Mustofa, Ibid, hlm.186
[24] Ibid.
[25] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
[26] Mustofa, Ibid, hlm. 183-185.
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook

;;;

Anda mungkin juga menyukai