Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

PEMIKIRAN AL-FARABI MASA ABBASIYAH

Dosen Pengampu : Dr. Moh. Sutrisno S.T., M.Sc

ZAHRA SALSABILA

60100122040

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dati
makalah ini adalah “Sejarah Peradaban Islam”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah
memberikan tugas kepada kami. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Oleh karena itu,
keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang
membangun senantiasa. Semoga makalah ini dapat berguna bagi saya pada
khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehadiran Islam membawa aspek-aspek peradaban dalam dimensi


yang sangat luas, termasuk sistem politik, ekonomi, budaya. Peradaban
Islam tentunya menghadirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh pada tiap
masanya. Setiap tokoh memiliki pemikiran yang berpengaruh pada
perkembangan Islam. Sebagaimana Al-Farabi yang dikenal dengan filsuf
besar Islam berkat ilmu pengetahuan dan kecerdasannya. Utamanya pada
masa bani Umayyah yang ditandai dengan puncak kejayaan Islam. Al-
Farabi adalah salah satu penerus tradisi intelektual al-Kindi tapi dengan
kompetensi dan kreativitas yang lebih tinggi lagi.

1.2. Rumusan Masalah


o Biografi dan pendidikan Al-Farabi
o Karya-karya Al-Farabi
o Pemikiran-pemikiran Al-Farabi

1.3.Tujuan
o Mengetahui kehidupan biografi/riwayat hidup Al-Farabi
o Mengetahui karya-karya Al-Farabi
o Mengetahui pemikiran-pemikiran atau filsafat Al-Farabi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi dan Pendidikan Al-Farabi

Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad


IbnTarkhan ibn Auzalagh. Lahir di Wasij, sekarang daerah tersebut dikenal
dengan kota Atrar/Transoxiana, Turkistan pada tahun 257 H /870 M.
Ayahnya adalah seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya
berkebangsaan Turki. Ia dikenal pada Abad Pertengahan dengan sebutan
Abu Nashr (Abunaser), sedangkan nama Al-Farabi yang dikenal oleh
kaum Muslim diambil dari nama ia dilahirkan yakni kota Farab.
Sedangkan di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius atau
Avennasr.
Sejak muda hingga dewasa, Al-Farabi senantiasa memperdalam
ilmunya. Awal mula pendidikan Al-Farabi yaitu mempelajari dasar-dasar
ilmu agama meliputi Al-Qur’an, hadis, tafsir, dan fikih; dan bahasa
meliputi bahasa Arab, Persia dan Turki. Ia juga mempelajari matematika
dan filsafat. Bahkan ia berkunjung ke Bagdad dan belajar pada ahli logika.
Dia juga dijuluki sebagai Guru Kedua, berkat keseriusannya
mendalami karya-karya Aristoteles. Berkat ilmu pengetahuannya, ia
mendapat panggilan ke istana. Ibnu Khalikan memujinya sebagai filsuf
muslim terbesar yang tak tertandingi pada filsafat dan sains. Sistem
filsafatnya merupakan sintesis dari Platonisme, Aristotelianisme, dan
Sufisme

2.2. Karya – Karya Al-Farabi


Karya-karya Al-Farabi diklasifikasikan menjadi logiks dan non logika.
A. Di bidang logika, ia mengomentari Organon karya Aristoteles
B. Di bidang non logika,
 Meringkas tulisan Plato, the Laws
 Mengomentari Nicomachean Ethics, Physics, Meteorology,
de Caelo at de Mundo on the Movement of the Heavenly
Spehere Aristoteles,
 Mengulas komentar Alexander Aphrodisias tentang jiwa
(de anima)
 Tulisan pribadi yaitu on the soul (tentang jiwa), on the
power of the soul (daya jiwa), unity and the one (kesatuan
dan satu), the intelligence and intelligible (aql dan ma’qul)
 Menulis makalah tentang waktu, ruang serta ukuran,
substansi, dan kekosongan
 Mengulas al-Majasta Ptolemy, dan beberapa ulasan
mengenai Echid.

2.3. Pemikiran – Pemikiran Al-Farabi

1. Filsafat Emanasi
Teori ini berdasar pada teori Plotinus. Apabila terdapat satu zat yang
kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar
yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam,
sebagaimana dianalogikan keluarnya sinar yang berkilauan dari
matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada,
maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat
yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di
mana sesuatu itu, keluar darinya. Filsafat ini berusaha menjelaskan
bagaimana yang banyak itu tercipta atau timbul dari yang satu. Dalam
arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari
energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang
menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof Muslim, Kun
(jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai
(sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).
Sebagai contoh firman Allah pada Surah Yasin ayat 82

“Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki


sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia”
(Q.S. Yasin ayat 82).

Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya.


Kemudian timbullah pemikiran bahwa Tuhan merupakan wujud
pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul
wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia
disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi.
Hal ini menegaskan bahwa Tuhan sebagai yang pertama dari segala
wujud makhluk. Maka kesempurnaan serta ke-esaan Tuhan tidak dapat
diwujudkan sebagai makhluk biasa.

2. Filsafat Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof
lainnya, yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi
membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu: pertama, membahas
segala wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua,
membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat
(paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya
tentang Wujud tertentu. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak
berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu?
Kemudian terlebih dahulu dibahas apakah Wujud serupa itu ada atau
tidak, kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa Wujud serupa itu
ada. Apakah Wujud serupa itu sedikit atau banyak? Apakah Wujud
serupa itu berketerbatasan atau tidak? kemudian dibuktikan dengan
burhan bahwa bersifat keterbatasan.

3. Filsafat Kenabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran Al-Farabi erat hubungannya pada
agama khususnya agama Samawi (langit). Pada agama Islam sendiri
Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya, yang makan minum,
memiliki rasa kantuk, buang air, dan lainnya. Akan tetapi Nabi diberi
kelebihan oleh Allah berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia
lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi di utus oleh Allah
untuk menjalankan tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang
diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab
itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah
wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Salah
satu filsafat Al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang
mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta
mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al.
Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran
terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq
Al-Ruwandi.

4. Filsafat Politik
Al-Farabi dalam karyanya al-madinah al-fadhilah (Kota Utama)
menggambarkan kota sebagaimana tubuh manusia yang memiliki
bagian dan fungsinya masing-masing. Kepala sebagai bagian
terpenting mesti bersifat kuat, sehat, cerdas serta cinta ilmu
pengetahuan agar bisa mengatur anggota badan yang lain.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah tidak


terlepas dari Al-Farabi. Al-Farabi merupakan tokoh filusuf muslim yang
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, khususnya filsafat dan ilmu
logika. Beliau menulis banyak karya dan menjadi rujukan para sarjana
Barat. Pemikiran pendidikan Al-Farabi adalah menekankan pada
pembentukan akhlak atau moralitas. Tujuan pendidikan menurut AlFarabi
adalah proses pencapaian kesempurnaan individu. Kesempurnaan yang
dimaksud adalah diukur dari ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang kemudian direalisasikan dalam menjalani kehidupan tentunya
berlandaskan moralitas atau kebaikan.

B. Saran

Terdapat berbagai pelajaran yang terkandung dalam sejarah


peradaban Islam yang dapat dijadikan sebagai nilai-nilai kehidupan. Al-
Farabi sebagai filsuf muslim dapat menjadi motivasi kita dalam mencapai
ilmu pengetahuan. Sebagaimana kecerdasan dan moralitas menjadikan
Islam mencapai kejayaannya pada masa itu.
Daftar Pustaka

Drajat Amroeni .2006.Filsafat Islam. Medan : PT Gelora Aksara


Pratama
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat
Mathaba’at Muhammad Ali,

Anda mungkin juga menyukai