Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejarah membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari


pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh
sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim merupakan
sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan Neo-Platonisme baik yang
berkembang di Athena maupun di Alexandria. Sintesa yang dilakukan pada dasarnya
bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.

Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-
Kindî. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth) dan agama
juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama
menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu
dengan lainnya. Lebih jauh dari itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang menolak
filsafat adalah orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga dikategorikan sebagai
orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam, orang yang menolak agama disebut
dengan orang kafir.

Berbicara tentang pemikiran filsuf dengan agama, khususnya agama Islam. Maka,
kita akan lebih tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang biografi dan pemikiran tiga tokoh
besar diantaranya Alfarabi, Ibnu Sina, dan Suhrawardi

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Al-Farabi dan Pemikirannya?
2. Bagaimana biografi Ibnu Sina dan Pemikirannya?
3. Bagaimana biografi Suhrawardi dan Pemikirannya?

C. Tujuan/Manfaat
1. Mengatahui biografi Al-Farabi dan Pemikiran Al-Farabi.
2. Mengatahui biografi Ibnu Sina dan Pemikiran Ibnu Sina.
3. Mengatahui biografi Suhrawardi dan Pemikiran Suhrawardi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Farabi

Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tharkan
Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij. Distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota
Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia, dan Ibunya berkebangsaan Turki1. Di kalangan orang-orang Latin
Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal sebagau Abu Nasrh (Abunaser), sedangkan
sebutan nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab. Tempat ia dilahirkan2.

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota


Baghdad. Dia belajar selama kurang lebih dua puluh tahun. Dari Baghdad Al-Farabi
mencoba pergi ke Harran sebagai salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil.
Disana ia berguru dengan Yohana Ibnu Hailan, namun tidak lama kemudian, ia
meninggalkan kota ini untuk kembali ke kota Baghdad. Di sini kembali mendalami
filsafat. Ia juga mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), kemudia ia mendapatkan
predikat Guru Kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu
logika ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya yang dialami oleh aristoteles
sebagai Guru Pertama, ia (Aristoteles) orang yang pertama yang menemukan ilmu
logika.

Pada tahun 350 H. (941 M), Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini,
kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara baik oleh Saif Al-Dullah, kholifah
dinasti Hamdan di Allepo (Hallab). Sampai wafat Al-Farabi berusia 80 tahun.

B. Biografi Ibnu Sina

Nama lengkapnya Abu ‘Ali al-Husein ibn ‘Abdullah ibn al-Hasan ibn ‘Ali ibn
Sina. Ia lahir di desa Afsyanah, dekat Bukhara. Transoxiana (Persia Utara). 3 Pada usia 10
tahun ia telah mampu menghafal al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab, dan juga hafal
kitab Metafisika karangan Aristoteles. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu
pengetahuan, seperti: Fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat, dan ilmu kedokteran. Pada
usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang, seperti: guru, penyair, filosof,
1. Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama). Hal 32
2. Poerwanto dkk, 1988, “Seluk-beluk Filsafat Islam”. (Bandung: Rosdakarya). Hal 133
3. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 66.
2
pengarang dan seorang dokter termasyhur, sehingga di undang untuk mengobati Sultan
Samanid di Bukhara, Nuh ibn Manshur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis
hubungan baiknya dengan Sultan, sehinga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-
buku yang tersimpan di perpustakaan Sultan.

Yang membuat nama Ibnu Sina terkenal ialah dua di antara buku-buku itu, al-
Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa. Al-Qanun (The Canon), suatu ensiklopedia tentang ilmu
kedokteran yang diperpegangi di Universitas-Universitas di Eropa selama lima ratus
tahun. Al-Syifa merupakan ensiklopedia tentang filsafat Aristoteles dan ilmu
pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahan-tambahan orisinil dari Ibnu Sina sendiri.

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol) dan kemasyhurannya


di Barat sebagai dokter melampaui kemasyhurannya sebagai filosof. Di dunia Islam ia
dikenal dengan nama “al-Syaikh al-Ra’is”, pemimpin utama (dari filosof-filosof). Di
akhir hayatnya, ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal pada tahun
428 H ( 1037 M) di Hamadzan dalam usia 57 tahun. 4

C. Biografi Suhrawardi al-Maqtul

Suhrawardi al-Maqtul merupakan salah seorang sufi filosof. Nama lengkap-nya


ialah Syihab Al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibnu Amirak Al-Suhrawardi. Ia
dilahirkan di desa Suhrawardi, Aleppo-Suriah sekitar tahun 548 H/ 1153 M.5  Sedangkan
meninggalnya ialah di Damsyik (Damascus). Pada tahun 587 H/ 1191 M, diusianya yang
ke-38 tahun. Meninggalnya Suhrawardi ini disebabkan hukuman mati yang ditimpakan
kepadanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi atas tuduhan kafir dari kaum fuqaha.6 Suhrawardi
dijuluki sebagai al-maqtul(terbunuh), master of illuminasionist (bapak pencerahan), al-
hakim (sang bijak), dan al-syahid (sang martir).

Di usia yang tergolong masih muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah


tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing rohaninya. Ia pergi ke Persia,
Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo. Suhrawardi mulai belajar filsafat, hukum dan
teologi kepada Majid al-Din al-Jili di wilayah Maragha, di sini terdapat observatorium
Nasr al-Din al-Thusi, kemudian mengembara lagi ke Ishfahan untuk belajar pada
Fakhr al-Din al-Mardani (W.594H/1198M).7

4. Hasyimsyah Nasution filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama). Hal. 68.


5. Majid Fakhry. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan. Hal. 129.
6. Ibid, Hal. 129.
7. Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, Hal. 30
3
D. Pemikiran Al-Farabi
1. Konsep Ketuhanan Al-Farabi

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwasanya al Farabi adalah salah seorang


filsuf Neo-Platonism. Konon, dengan hadirnya al Farabi, jadilah dirinya Filsuf pertama
yang membangun Neo-Platonism di dunia Islam.8 Bagaimanakah metode Neo-Platonism
diaplikasikan oleh al Farabi dalam membuktikan eksistensi Tuhan.

Tuhan, menurut al Farabi adalah  al Maujud al Awwal. Baginya Allah adalah


‘sebab’ pertama bagi segala sesuatu di dunia ini.  bagi al Farabi, segala sesuatu yang
bersifat  ada (maujud)  di dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud dan mumkin al wujud.

Maka sebelum kita beranjak lebih jauh untuk memahami konsep  Wajib al wujud
dan mumkin al wujud, kiranya kita untuk memahami teori gerak Aristoteles yang menjadi
dasar argumen ketuhanan al Farabi.

Menurut Aristoteles, setiap entitas memiliki potensi dan aksi.  Gerak, menurut
Aristoteles adalah perpindahan dari potensi ke aksi.  Perpindahan tersebut dilakukan
karena adanya pelaku. Dan pelaku ini tidaklah lain sebagai seorang  Penggerak Yang
Tidak Bergerak (Unmoved Mover/al Muharrik La Yataharrak) 9 Sebagai asal muasal  dari
setiap pergerakan yang ada di dunia ini.

Dan teori gerak inilah yang digunakan al Farabi untuk menjelaskan konsep
wujudnya. Bagi al-Farabi, mumkin al wujud  yang termanifestasikan di dalam ciptaan di
dunia ini membutuhkan adanya Wajib al wujud yang menggerakkan secara sistematis
perputaran alam semesta ini (mumkin al wujud).Al Farabi sebagaimana dilansir oleh
Ibrahim madkour mendefinisikan Tuhan ‘Eksistensi sebenarnya yang ada, tidak akan tidak
ada untuk selamanya, bahkan Ia selalu ada.10

Di sinilah terlihat bagaimana al Farabi berhasil memformulasikan filsafat Neo-


Platonism di dalam Islam. Kaitannya, dalam menerangkan Tuhan. 11 Allah merupakan 
Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang haru ada dan merupakan sebab pertama

8. Majid Fakhry,  al Farabi; Founder of Islamic Neoplatonism: His Life, Works and Influence,(Oxford:
Obeworld Publications, 2002), pg. 77
9. Untuk meninjau kembali konsep unmoved mover, lihat L.P. Gerson, God and Greek Philosophy,( New York:
Routledge, 1994), Aristotle’s God of Motion, pg. 88-89
10. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj.  Fi al-falasifah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al
Juz’al-Tsani, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),pg. 122-123
11. Abu Nasr ibn al Farakh al Farabi, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn, (Beirut: Daar el Masyriq), pg. 100-105
4
bagi setiap entitas. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna. Ia dengan
substansi-Nya, yang tidak terpisah dari wujud-Nya merupakan  akal dan aktual sekaligus 
(Actualis Sensus/ ‘aql bi al-fi’li) karena ia tidak bisa disamakan dengan materi yang lain
di alam. Dia juga ma’qul sebagai objek pengetahuan. Maka jadilah konsep Allah dalam
pandangan al Farabi adalah Tuhan yang Wajib al Wujud.  Tuhan yang baik secara wujud
dan esensi tidak terpisah, namun merupakan bentuk aplikasi sebagaimana aksidensi bagi
potensi.

Dengan argumen di atas ini, al Farabi  menjabarkan penjelasan mengenai konsep


penciptaan lewat filsafat Emanasi (pancaran). Argumentasi pancaran ini pulalah yang
kemudian menguatkan konsep  Wajib al Wujud –nya.  Ketika Tuhan dengan kondisi
wujud (jawhar) dan esensi (dzat) yang tidak terpisah, namun berbeda (ma hiya huwa wa la
hiya ghayruhu) berkehendak untuk menciptakan, perlu diketahui bahwa kehendaknyalah
yang  qadim. Kehendak  (iradah) Tuhan di sini, dapat dianalogikan sebagai gerak dari
esensi (dzat) Tuhan kepada wujud (jawhar)-nya. Wujud itulah yang berbentuk  iradah
inilah yang kemudian termanifestasikan menjadi 12 akal dalam penciptaan.12

2. Emanasi

Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori
Plotinus13 apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang
kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam,
sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam.
Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu
hakikat yang bertolak keluar.

Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini
dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia menemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi
dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat
Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama (prime cause), ini
telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin),
Allah adalah pencipta (Shani, Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex
nihilo).  Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin

12. Al Farabi, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn, op. cit. Pg. 100-104
13. Ismail Asy-Syarafa, , Ensiklopedi Filsafat, (Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), hal.58-59
5
ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi.
Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta,
yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah
menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan
susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim,
Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu)
bukan kepada La syai’ (nihil).

Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82.

ُ‫إِنَّ َما أَ ْم ُرهُ إِ َذا أَ َرا َد َش ْيئًا أَ ْن يَقُو َل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬
 ”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata
kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).

Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul
awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi.
Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul
wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).

Di sini yang perlu dipertanyakan, faktor apa yang mendorong Al-Farabi


mengemukakan emanasi ini? Tampaknya Al-Farabi ingin menegaskan tentang keesaan
Allah, bahkan melebihi Al-Kindi. Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian ‘aniah dan
mahiah, tetapi juga lebih jauh lagi. Allah adalah Esa sehingga tidak mungkin Ia
berhubungan dengan yang tidak Esa atau yang banyak. Andaikan alam diciptakan secara
langsung oleh Allah, maka mengakibatkan Ia berhubungan dengan yang tidak sempurna
dan ini akan menodai keesaan-Nya oleh sebab itu, dari Allah hanya timbul satu, yakni
Akal pertama berfungsi sebagai mediator antara Yang Esa dan banyak sehingga dapat
dihindarkan hubungan antara Ynag Esa dan yang banyak.

Emanasionisme Al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Platonius yang


dikombinasikan dengan sistem kosmologi Platomeus sehingga menimbulkan kesan bahwa
Al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnya ke dalam bahasa Arab.

6
Menurut Nurcholish Majid, Al Farabi mempelajari dan mengambil ramuan asing ini
terutama pada ketuhanannya memberikan kesan tauhid.14

E. Pemikiran Ibnu Sina


a) Konsep Ketuhanan Ibnu Sina

Ibnu Sina, sebagai salah seorang yang juga dipengaruhi Neo-Platonism lewat
tangan al Farabi secara umum tidak jauh beda. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan
pendekatan ontologis15 sebagaimana telah dipaparkan oleh al Farabi.

Ibnu Sina juga menganut teori al-Faydh  (emanasi). Bagi Ibnu Sina, Tuhan sebagai
akal murni memancarkan akal pertama dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal kesepuluh dan bumi. Dari akal
kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal
pertama adalah Malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril. 16

Menurut kaidah yang dirumuskan al-Farabi dan Ibnu Sina, dari “yang satu” hanya
dapat keluar “yang satu” pula. Maka yang keluar atau berasal dari Tuhan hanyalah
“sesuatu yang satu”. Dari “sesuatu yang satu” itulah, menurut al-Farabi, keluar
pergandaan secara dua-dua (istnaiyyah). Sedangkan menurut Ibnu Sina, bukan pergandaan
secara “dua-dua” melainkan secara tiga-tiga (tsulatsiyyah).

Alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Sina adalah:

1. Karena al-Aqlul-Awwal (akal pertama) berfikir akan al-Awwal (yakni Tuhan) maka 


terjadilah “akal” di bawahnya (yakni lebih rendah daripada “akal pertama”).
2. Karena akal yang lebih rendah itu berfikir akan zatnya sendiri, maka terjadilah al-
Falakul-Aqsha (cakrawala tertinggi), yang kesempurnaannya berupa an-Nafs (soul).
3. Karena waktu yang memungkinkan terjadi eksistensi yang lebih rendah (al-
Mudarijah) sebagai hasil dari pengertian akan zatnya sendiri, maka terjadilah al-
Falaqul-Aqsha (cakrawala tertinggi). 17

Dengan kata lain, dari “akal” keluarlah tiga eksistensi, yaitu : Akal, Nafs(soul),
dan Jisim (materi). Dengan demikian, jelaslah perbedaan teori emanasi (al-Faydh) antara
al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Farabi mengatakan ada dua macam ta’aqqul (proses berfikir)
14. Sudarsono, “Filsafat Islam”,(Jakarta: Rineka Cipta, 2010). Hal 74-77
15. Ontologis adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang wujud. Diambil dari bahasa Yunani;  on,
ontos (ada, keberadaan), dan logos (ilmu, studi) Lorens Bagus,  Kamus Filsafat, op. cit. Pg. 746
16. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Cet. VII;Jakarta: Bulan Bintang,1973), h. 35.
17. Ahmad Fuad al-Ahwani, op. Cit., h. 149
7
sebagai asal usul timbulnya akal yang lain dan benda-benda cakrawala. Sedangkan
menurut Ibnu Sina perlimpahanlah yang menjadi sebab timbulnya pergandaan secara tiga-
tiga, bukan secara dua-dua. Perbedaan pendapat tersebut merupakan suatu jalan keluar
yang telah ia usahakan untuk keluar dari kesulitan yang dihadapi oleh para filosof Yunani
dahulu. 18

Dari beberapa akal yang telah dikemukakan oleh Ibnu Sina, maka akal pertama
merupakan limpahan langsung dari Tuhan, akal inilah yang paling sempurna dari akal-
akal yang lain. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari pada akal pertama dan akal ketiga
lebih rendah lagi  kesempurnaannya dari akal kedua, demikianlah seterusnya.

F. Pemikiran Suhrawardi
a. Metafisika dan cahaya dalam filsafat ilmunisasi

Inti filsafat ilmuinasionis adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh
Sufi menyebutkan Allah dengan Cahaya berdasarkan Q.S Al-Nur ayat 35: Allah Nur al-
samawat wa al-Ardhi Allah menyebut dirinya sebagai cahaya langit dan bumi. Ketika ibn
Sina ditanya makna ayat tersebut, ia menjawab: cahaya mengandung dua makna yang
esensial dan metaforikal. Yang esensial, cahaya berarti kesempurnaan kebeningan,
lantaran cahaya pada dirinya memang bersifat bening. Sedangkan makna metaforikal
harus di pahami dalam dua cara yaitu cahaya cahaya sebagai sesuatu yag bersifat baik atau
sebagai sebab yang mengarahkan kepada yang baik. Allah sebagai cahaya ia maksudkan
bahwa pada diri-Nya kebaikan, ia juga merupakan penyebab untuk semua kebaikan. Al-
Ghazali mengembangkan pemahaman makna cahaya tersebut dalam bukunya Misykat al-
Anwar, Al-Ghazali mengatakan bahwa al-Nur yang sebenarnya hanyallah Allah SWT,
yang dinamakannya dengan Nur ‘Ala Nur (Cahaya di atas cahaya) sedangkan suhawardi
menyebut Allah dengan Nur al-Nur (Cahaya dari Cahaya-cahaya).

Cahaya di maksudkan oleh Suhawardi bersifat immaterial dan tidak bisa di


definisikan, karena sesuatu yang “terang” tidak memerlukan definisi, dan cahaya adalah
entitas yang paling terang di dunia. Bahkan cahaya menembus susunan semua entitas,
baik yang bersifat fisik maupun non fisik, sebagai sesuatu komponen yang esensial
daripadanya. Karena itu, esensi cahaya adalah manifestasi. Jika manifestasi adalah suatu
atribut yang di tambahkan kepada cahaya, itu berarti bahwa cahaya itu sendiri tidak
memiliki kualitas dapat dilihat, dan menjadi dapat di lihat hanya melalui sesuatu yang
lain, yang sesuatu yang lain itu sendiri dapat di lihat dan dari pernyataan ini sekali lagi
18. Ali Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara,1991), h. 64
8
timbul konsekuensi yang mustahil bahwa sesuatu selain cahaya lebih terlihat daripada
cahaya itu. Maka itu, untuk eksistensi dirinya, semua yang selain prinsip utama ini adalah
tergantung dan mungkin. “yang bukan cahaya” (kegelapan) bukanlah sesuatu yang khusus
yang datang dari suatu sumber yang mandiri. Segala sesuatu yang bukan dari “cahaya
murni”, terdiri dari yang tidak membutuhkan substratum, yang merupakan substansi
gelap. Sejauh benda-benda itu dapat menerima baik cahaya maupun kegelapan, bisa
dinamakan “ismus-ismus”. Di pandang dari dirinya sendiri, setiap ismus adalah gelap.
Cahaya apa pun yang dimilikinya, mestilah berasal dari sumber luar. Substansi-substansi
gelap ini memiliki sifat seperti figur dan ukuran yang berasal dari sifat gelap yang inheren
dalam substansi gelap. Sedangkan cahaya murni bebas dari kegelapan, jadi begitu saja
memahami sendiri tanpa agen di  luar dirinya, sementara setiap tindakan lain dari
pemahaman tergantung padanya.19

Keyakinan akan pemilihan realitas adalah cahaya dan kegelapan dalam pemikiran
suhawardi, juga di gunakan untuk melakukan pembacaan ulang atas keyakinan paganis
manu (zoroaster, zarathustra) yang juga menerima cahaya dan kegelapan sebagai sumber
realitas. Suhawardi menolak keyakinan kalangan agamawan manu yang menganggap
bahwa cahaya dan kegelapan merupakan dua realitas yang berbeda dengan pengakuan atas
tuhan cahaya dan tuhan kegelapan tuhan kebaikan dan tuhan keburukan.

Persoalan gerak dalam pandangan suhawardi bukan merupakan sebuah tempat.


Gerak lebih berhubungan dengan prinsip cinta dan pilihan entitas untuk mendekati sumber
“cahaya murni”. Semakin dekat dengan sumbernya, semakin terbuka ruang untuk
eksistensi bagi yang asalnya “gelap”. Prinsip cinta dalam pandangan ini di adopsi dari
empedokles. Selanjutnya dalam kasus penerangan yang di lakoni “cahaya”, tidak ada
batas wilayah yang tidak bisa di terpa “cahaya murni”. Semua entitas fisikal dan
metafisikal mampu menembus dan di terangi. Lalu suhawardi mengklasifikasikan
penerangan cahaya orsinil, selaras dengan proses emanasi dan di pilah dalam 2 bagian
yaitu :

1) Cahaya abstrak adalah cahaya yang tidak memiliki bentuk fisikal dan tidak akan
pernah bisa dijadikan atribut selain bagi dirinya sendiri. Contoh cahaya ini adalah
cahaya yang intelek, baik individual maupun universal. Dari cahaya ini muncul
semua cahaya lain sesuai dengan tingkat kesadaran yang beraneka. Yang
membedakan tiap intelek adalah kualitas kilauan cahaya yang menerpa

19. Hasyim Nasution filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama). Hal. 147
9
berdasarkan jarak tiap intelek dari sumber “cahaya”. Cahaya ini sering
diidentikkan dengan cahaya substansial. Cahaya abstrak ini menyadari dirinya
hanya dengan dirinya sendiri.
2) Cahaya aksidensi adalah cahaya yang sudah mempunyai satu bentuk dan mampu
di jadikan atribut bagi sesuatu yang lain. Contohnya pada kasus sinar bintang atau
dapat terlihatnya benda-benda angkasa lain. Dalam penerangan model cahaya
aksiden ini, jarak antara realitas dengan sumbernya telah terlalu jauh sehingga
dimensinya immaterial semakin menipis dan terjerat dalam kekurangan fisikal
serta kehilangan sifat asli sumber “cahaya”. Cahaya aksiden adalah bentuk cahaya
yang dapat diindera dan merupakan refleksi jauh dari cahaya abstraksi. Cahaya ini
diniliai tidak mandiri selalu tergantung dengan cahaya abstraku. Hubungan antara
cahaya abstraksi dengan aksidensi sama persisi hubungannya determinasi dalam
rangkaian sebab akibat. Dampak yang langsung terwujud dalam cahaya aksidensi
adalah perubahan bentuk.20

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farabi dan Ibn
Sina. Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak mempergunakan pemikiran
Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan filsafatnya. Keduanya cenderung mengikuti
aliran Neo-Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang
mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi. Teori emanasi yang
20. Basri,Hasan. “filsafat islam sejak klasik sampai modern”.(Bandung. Cv:Insan Mandiri, 2012) Hal.157
10
mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari
“Yang Maha Satu”. Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan
bahwa sumber dari alam materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan
sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut muncul wujud
kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama. Wujud kedua berpikir
tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua.
Proses ini berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah
alam syahâdat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia.

Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta


merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada
kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan
antara filsafat dan tasawuf.   Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan
pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdatal-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî
untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud
(wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258).

Uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî


dibandingkan dengan para filosof teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat lintas agama
dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai
yang patut dicontoh oleh setiap pemikir.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Nasr ibn al Farakh al Farabi, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn, (Beirut: Daar el
Masyriq),

Ali Yunasril, 1991, “Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam”, (Cet. I; Jakarta: Bumi


Aksara),

11
Al Farabi, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn,

Dedi Supriyadi, 2009, “Pengantar Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka Setia)

Harun Nasution, 1973, “Falsafah dan Mistisisme dalam Islam” (Cet. VII;Jakarta: Bulan
Bintang)

Abu Nasr ibn al Farakh al Farabi, Kitab al Jami’ bayna al Hukmayn, (Beirut: Daar el
Masyriq),

Hasan Basri, 2012, “filsafat islam sejak klasik sampai modern”.(Bandung. Cv:Insan Mandiri)

Hasyim Nasution, 2002, “filsafat Islam”. (Jakarta: Gaya Media Pratama)

Ismail Asy-Syarafa, 2005, “Ensiklopedi Filsafat”, (Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar


Grup)

Mustofa, 2009, “Filsafat Islam”, (Bandung: CV Pustaka Setia)

Poerwanto dkk, 1988, “Seluk-beluk Filsafat Islam”. (Bandung: Rosdakarya)

Sajudin , 2012, “filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada)

Sudarsono,2010, “Filsafat Islam”, (jakarta: Rineka Cipta)

12

Anda mungkin juga menyukai