Anda di halaman 1dari 77

Kamis, 15 September 2011

TEORI KENABIAN AL-FARABI


TEORI KENABIAN AL-FARABI:
SEBUAH IKHTIAR PEMADUAN ANTARA FALSAFAH DAN AGAMA
Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya
oleh Jibril yang sangat kuat. (Q.S.53:3-5)

(258 H/870 M-339 H/950 M)


Pendahuluan
Setiap agama samawi (langit)--Yahudi, Kristen, dan Islam--secara esensial
berdasarkan pada wahyu1 dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah agama langit lahir, dan karena
kemujizatannya agama ini menang serta mampu bertahan sepanjang masa. Sosok nabi tidak
lain hanyalah seorang yang dianugerahi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan
mengekspresikan kehendak-Nya di muka bumi. Inilah, barangkali, puncak
keistimewaannya.2 Seorang nabi tidak bermimpi kecuali hanya bagaikan waktu subuh tiba,
tidak melihat suatu kebaikan dan kebenaran kecuali turun dari Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji, dan tidak memutuskan sesuatu kecuali dengan seizin kehendak-Nya.
Agama Islam, bagi yang mengakuinya, sebagai agama langit yang terakhir diturunkan
di muka bumi dan tidak ada lagi agama setelah ini, sudah pasti mengambil sumber-sumber
ajarannya dari langit, dan sumber-sumber yang utamanya adalah al-Kitab sebagai wahyu
yang langsung dan al-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung. Oleh karena itu, menurut
ajaran Islam, barangsiapa mengingkari wahyu--yang langsung maupun tidak langsung-berarti menolak Islam secara total, atau minimal ia menyerang asasnya bahkan
menghancurkan sendi-sendinya yang paling utama dan fundamental.

Dengan demikian, adalah suatu kewajiban ummat Islam untuk memberikan


penghormatan yang tertinggi kepada kenabian dengan argumentasi-argumentasi yang sesuai
dengan kapasitas ruhaniah--intelektual dan intuisi--masing-masing yang, kemudian, dapat
diterima oleh penduduk bumi, dan sekaligus membantah segala bentuk pengingkaran
terhadapnya baik dari kalangan intern (dalam) atau ekstern (luar) Islam.3 Kewajiban ini
sangat kuat terasa bagi kalangan filosof Muslim yang mempunyai kapasitas intelektual yang
tinggi di kalangan ummat. Mereka ini yang, pada gilirannya, membangun suatu teori
kenabian. Teori kenabian mereka setidak-tidaknya ada dua tujuan pokok, yaitu (1) untuk
membenarkan kenabian secara (argumentasi-argumentasi) rasional, dan, sekaligus,
mematahkan argumentasi yang menolaknya; dan (2) untuk--sebagai ikhtiar-- memadukan
antara falsafah dan agama.
Penulisan ini mengambil studi pada tokoh filosof Muslim yang sangat signifikan
dalam hal tersebut, yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalaq,
yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farabi--sesuai dengan kota kelahirannya, Farab.
Signifikasi ini diajukan oleh karena Al-Farabi adalah filosof pertama (dan boleh dikatakan
orang Muslim pertama) yang mengemukakan dan merinci teori kenabian. Di samping itu
teori kenabiannya ini merupakan bagian tertinggi di dalam pandangan filosofisnya sebagai
ikhtiar pemaduan antara falsafah dan agama. Oleh karena itu, tidak salah diungkapkan bahwa
teori Al-Farabi ini yang, pada gilirannya, diikuti oleh para pemikir Islam selanjutnya dari
Ibnu Sina sampai Muhammad Abduh.
Al-Farabi dan Corak Pemikirannya
Sekilas Riwayat Hidup Al-Farabi
Al-Farabi, seperti disebut sebelumnya, mempunyai nama lengkap Abu Nasr
Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalag. Ia lahir pada 258 H/870 M di kota
Farab, yang sekarang dikenal dengan kota Atrar yang terletak di wilayah Khurasan (Turki),
dan meninggal pada 339 H/950 M di Aleppo (Syria Utara).4
Kehidupan Al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu: Periode pertama
bermula dari sejak lahir/kecil sampai ia berusia 50 tahun, dan periode kedua adalah periode
usia tua dan kematangan penuh (terutama kematangan intelektual).
Pada periode pertama ini, awal abad ke-3 H/ke-9 M di Farab berlangsung gerakan
kebudayaan dan pemikiran yang meluas bersama dengan pengenalan Islam, dan pada saat itu
pula ada seorang ahli bahasa yang terkenal bernama Al-Jauhari. Ia adalah salah seorang yang
hidup sezaman dengan Al-Farabi, dan karyanya yang terkenal adalah Al-Shihah.
Pendidikan dasar yang Al-Farabi terima--sebagaimana seorang muslim lainnya
dikuttab--adalah ilmu-ilmu keagamaan (seperti fikih, hadis, dan tafsir al-Quran), dan
beberapa bahasa (bahasa-bahasa Arab, Turki, dan Parsi). Namun, ketika ia mulai tertarik
dengan studi-studi rasional (seperti matematika dan falsafah), maka ia tidak merasa puas
dengan apa yang diperolehnya di kota kelahirannya. Maka, ia pun meninggalkan kampung
halamannya dan mengembara untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.
Pada periode kedua, Al-Farabi bermukim selama 20 tahun di Baghdad--Penguasa
ketika itu adalah Dinasti Buwaihi (320-447 H/932-1055 M), kota Baghdad dikuasai pada 334
H/945 M--suatu kota Islam yang pada abad ke-4 H/ke-10 M sebagai pusat keilmuan Islam
yang terkemuka. Di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para
filosof dan penterjemah. Ia berguru dengan ahli logika terkenal pada masa itu, Abu Bisyr
Matta ibn Yunus, yang, pada gilirannya, kemudian ia mengungguli gurunya itu sehingga
mendapat gelar sebagai Al-Muallim Al-Tsani sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang
menyandang gelar Al-Muallim Al-Awwal dalam bidang logika dan falsafah. Ia pun
mendapat posisi yang sangat terpuji di Istana Dinasti Buwaihi (Saif Al-Daulah atau Muizz

Al-Daulah?), dan merupakan orang pertama dan terkemuka yang pernah tinggal di istana
tersebut.
Akhir kehidupannya, Al-Farabi bermukim di Aleppo (Syiria Utara) kurang lebih
selama 10 tahun. Kematiannya pada 339 H/950 M membawa simpati sang Raja dan para
pengikut dekatnya, yakni dengan mengantarkan jenazahnya ke tempat pembaringan terakhir
sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka di Dunia Islam.
Karya-karya Al-Farabi yang dapat dijumpai dalam bahasa Arab, di antaranya yang terkenal
adalah:
1. Maqalah fi Aghradhi ma bada al-Thabiah
2. Ihshau al-Ulum
3. Kitab Arai Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Saadah
5. Uyun al-Masail
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jamii baina Rayay al-Hakimain: Aflathun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail al-Mutafarriqah
9. Risalah fi Itsbat al-Mufarraqat5
Corak Pemikiran Al-Farabi
Corak pemikiran falsafah Al-Farabi secara umum dapat disederhanakan dengan
istilah Al-Falsafah Al-Taufiqiyyah (Falsafah Pemaduan), karena ia sangat percaya akan
adanya wahdah al-Falsafah (Kesatuan Falsafah), sebagaimana halnya salah satu corak
yang sangat menonjol dalam Falsafah Islam.
Pemikirannya tersebut dapat dilihat dari ikhtiar Al-Farabi untuk memadukan antara
falsafah Aristoteles, Plato, dan Neo-Platonisme di satu pihak dengan pemikiran Islam
(khususnya yang bercorak Syiah Imamiyah) di pihak lain. Dalam ilmu logika dan fisika, ia
dipengaruhi oleh Aristoteles; dalam masalah etika dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato; dan
dalam masalah metafisika, ia dipengaruhi oleh Plotinus yang sudah bernuansakan
religiusitas.6 Walaupun demikian, hal itu, baginya, tidak lebih merupakan epistemologi (atau
lebih tepatnya metodologi) pemahaman atas realitas yang, pada gilirannya, menjadi kekhasan
pemikiran Al-Farabi itu sendiri.
Dalam kitabnya yang berjudul Al-Jamiu baina Rayay al-Hakimain: Aflathun wa
Aristhu, Al-Farabi sangat menyesalkan terjadinya berbagai aliran dalam falsafah, sedangkan
tujuannya, pada akhirnya, satu, yaitu: Mencari Kebenaran. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa
kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanya pada lahirnya saja tidak pada
hakikatnya. Kesimpulan serupa ini, baginya, hanya diketahui oleh para filosof dan orangorang yang dalam pengetahuannya.7 Maka dari itu, ia sangat yakin bahwa hanya ada satu
aliran falsafah, yaitu: Aliran Kebenaran.
Kebenaran falsafah itu pun--yang bersumberkan akal--, menurut Al-Farabi, adalah
satu, tidak berbeda, dengan kebenaran agama--yang bersumberkan wahyu--, meskipun secara
formal berbeda. Pendapat yang serupa ini menunjukkan kemungkinan persesuaian, atau tidak
bertentangan, antara falsafah dan ajaran Islam. Karena kedua kebenaran itu bermuara pada
satu sumber yang sama, yakni Akal Aktif yang, dalam terminologi Islam, dikenal dengan
Malaikat Jibril. Dengan demikian, Al-Farabi, setelah Al-Kindi tentunya tapi lebih sistematis,
yang membangun kerangka filosofis di atas dasar kesesuaian ini yang, pada gilirannya, para
filosof Muslim setelahnya mengikuti langkah-langkah ini, seperti Ibnu Sina dengan aspekaspek Plotinusnya dan Ibnu Rusyd dengan aspek-aspek Aristotaliannya, yang sama-sama
menunjukkan persesuaian antara falsafah dan agama.8
Corak pemikiran Al-Farabi tersebut, menurut Ibrahim Madkour, didasarkan pada dua
hal utama, yaitu : Pertama, ia memperbaiki falsafah pengikut Aristoteles dan

membungkusnya dalam bentuk Platonis agar lebih sesuai dengan ajaran Islam, dan kedua,ia
memberikan penafsiran rasional tentang kebenaran agama.9
Lebih lanjut, Madkour menilai bahwa sebenarnya Al-Farabi menerangkan falsafah
dengan cara agama dan memfalsafahkan agama, dengan demikian mendorong keduanya ke
satu arah, sehingga keduanya bisa dipahami dan selaras.10
Dari keseluruhan falsafah Al-Farabi dapat dirangkum menjadi empat teori, yaitu: (1)
Teori Kosmologi, yakni Teori Sepuluh Akal Kecerdasan, (2) Teori Psikologi, yakni Teori
Akal Manusia, (3) Teori Penafsiran Al-Quran, dan (4) Teori Kenabian. Keempat teori ini,
sebenarnya, saling berkaitan dan semuanya mengarah ke satu tujuan, yakni pemaduan antara
falsafah dan agama, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Inilah sebuah ikhtiar Al-Farabi
yang signifikan sebagai seorang filosof Muslim yang ternama.
Dalam tulisan ini, penulis hanya mengambil dan membahas teori terakhir dari empat
teori Al-Farabi di atas, yakni Teori Kenabian. Walaupun dua teorinya yang pertama tidak bisa
dilepaskan, karena keduanya itu merupakan fondasi utama dari teori kenabiannya.
Teori Kenabian menurut Al-Farabi
Teori kenabian Al-Farabi ini, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dianggap sebagai
ikhtiar yang paling berarti dalam merujukkan falsafah dan agama. Teori ini di samping
berlandaskan psikologi dan metafisika, juga berkaitan erat dengan politik dan etika. Hal itu
disebabkan bahwa Al-Farabi menafsirkan kenabian secara psikologis dan dianggapnya
sebagai salah satu sarana untuk menghubungkan alam bumi dan alam langit. Kemudian, ia
beranggapan bahwa nabi merupakan suatu keharusan bagi kehidupan suatu negeri secara
politis dan etis, karena kedudukannya tidak hanya direferensikan kepada ketinggian individu,
tetapi juga kepada pengaruh yang dimiliki di dalam masyarakat.
Dalam bukunya yang berjudul Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah (buku ini sangat
dipengaruhi oleh karya Plato yang berjudul Republic), Al-Farabi menggambarkan kotanya
sebagai satu keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu, serupa dengan organisme tubuh;
bila ada bagian yang sakit, yang lainnya akan bereaksi dan menjaganya.
Kepadasetiap individu diberikan tugas dan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan
kecakapan mereka. Aktivitas-aktivitas sosial masing-masing berbeda sesuai dengan tujuan
masing-masing; aktivitas yang paling tinggi dan mulia adalah aktivitas yang diberikan kepada
pemimpin, karena ia berada di dalam kota sebagaimana jantung di dalam tubuh manusia dan
ia merupakan sumber seluruh aktivitas, pangkal keselarasan dan keteraturan. Tugasnya tidak
hanya berkaitan dengan politik semata tapi juga berkaitan dengan moral, karena ia juga
adalah teladan yang menjadi ukuran dan kebahagiaan individu. Karena itu, diperlukan
persyaratan-persyaratan tertentu bagi penempatannya. Pemimpin, di antaranya, harus berani,
cerdas, pencinta pengetahuan, dan pendukung keadilan. Di samping itu ada satu syarat lagi-yang berbeda dengan konsep Plato dan lebih dekat kepada ajaran Islam--adalah bahwa
pemimpin negeri harus naik (mencapai) ke tingkat (derajat) Akal Faal (Akal Aktif, yang
dikenal kemudian dengan Malaikat Jibril), yang dari padanya wahyu dan ilham diambil. 11 Ini
artinya, bagi Al-Farabi, bahwa suatu negeri, setelah para Nabi/Rasul, harus dipimpin oleh
penguasa-filosof, karena, di samping mempunyai syarat-syarat seorang pemimpin yang
formal tadi, ia mempunyai kelebihan yang khas, yaitu mampu berhubungan dengan Akal
Aktif.
Akan tetapi, kota ideal Al-Farabi ini jelas merupakan kota utopia, yang tidak pernah
ada dalam tataran realitas empiris. Walaupun demikian, bukan ke-utopia-an kota itu yang
menjadi diskursus pembahasan ini (mungkin juga maksud dari Al-Farbi sendiri?), melainkan
penjelasan Al-Farabi yang mengungkapkan bahwa kontak (hubungan) antara manusia dengan
Tuhan melalui wasilah Akal Aktif bukan hanya sekedar diyakini atau diimani tetapi, bahkan,

dapat diterima oleh akal manusia, khususnya yang dipahami oleh AlFarabi.
Pada hal, sebagaimana diketahui, dalam tradisi Falsafah Islam bahwa Akal Aktif itu
adalah (1) salah satu dari Akal Sepuluh yang terakhir dan terendah dalam hierarki emanasi,
yang tugasnya mengatur dan mengelola dunia ini, (2) sebagai titik yang menghubungkan
antara manusia dan Tuhan, (3) sebagai sumber hukum dan undang-undang yang dibutuhkan
bagi kehidupan moral dan sosial, dan (4) salah satu Malaikat dalam paham Islam yang
disebut Jibril.12 Dengan melalui Akal Aktif ini, wahyu dan ilham dapat diterima oleh para
Nabi/Rasul dan kemujizatan mereka dapat terjadi. Akan tetapi, manusia tertentu pun, seperti
para filosof dan sufi, percaya dapat mencapai hubungan dengan Akal Aktif tersebut dan
menerima cahaya-cahaya Ilahiyah melalui Akal Mustafad (Akal Perolehan) atau Jiwa Suci
mereka, walaupun dalam tingkatan yang paling rendah dibandingkan para Nabi/Rasul.
Persoalannya adalah bagaimana Nabi/Rasul, menurut Al-Farabi, bisa mengadakan
kontak (hubungan) dengan Akal Aktif yang, pada gilirannya, ia dapat menerima wahyu? Apa
jalur akal atau jalur imajinasi? Persoalan ini terdapat dua pendapat yang berbeda. Pertama,
pendapat yang diajukan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya, Prophecy in Islam: Philosophy
and Ortodoxy (London:1958); dan kedua, pendapat Ibrahim Madkour dalam bukunya, Fi alFalsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh di bawah titel Al-Nubuwah (Kairo:1974).
Menurut Rahman, Nabi mengadakan kontak dengan Akal Aktif melalui akal kenabian
yang khas. Dia menjelaskan bahwa ada tiga point yang dibuat Al-Farabi mengenai teori
kenabiannya, yaitu: (1) bahwa Nabi, tidak seperti akal pikiran biasa, dianugerahi akal pikiran
yang luar biasa, (2) bahwa akal pikiran Nabi, tidak seperti akal filosof dan sufi, tidak
membutuhkan instruktur luar tetapi membangunnya sendiri dengan bantuan kekuatan Ilahi,
dan (3) bahwa perkembangan akal kenabian ini mencapai hubungan dengan Akal Aktif
(Active Intelegence) dari daya kenabian yang khusus.13
Sedangkan menurut Madkour, jalur hubungan antara Nabi dan Akal Aktif dalam
pandangan Al-Farabi adalah imajinasi kenabian bukan akal kenabian.14 Pendapat ini yang
memang penulis pahami selama ini, sedangkan jalur akal kenabian akan tampak jelas dalam
Teori Kenabian Ibnu Sina, yang disebutnya sebagai quah al-quds (daya kesucian), yang
memuat dua daya sekaligus: intelek dan intuisi.
Madkour menjelaskan bahwa imajinasi ini adalah suatu kondisi para nabi, karena
semua ilham mereka dan wahyu yang diturunkan yang ditransfer kepada kita adalah satu dari
sekian pengaruh dan hasil imajinasi.15 Lebih jauh dijelaskan, imajinasi berhubungan erat
dengan segala kecenderungan dan emosi, dan terlibat dalam semua tindakan akal (rasional)
dan kehendak. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari
hal-hal yang dapat dirasa, dan yang merupakan sumber mimpi dan visi (fantasi). 16 Bahkan,
dikatakan, di dalam daya imajinasi tercipta gambaran-gambaran mental yang sesuai dengan
pola dunia spiritual. Karena itu, orang yang sedang tidur bisa menyaksikan surga dan para
penghuninya dan bisa merasakan kenikmatan dan kesenangannya. Imajinasi bisa juga naik ke
dunia langit dan berhubungan dengan Akal Aktif sehingga bisa menerima keputusan langit
tentang masalah-masalah dan kejadian-kejadian tertentu. Melalui hubungan serupa ini--yang
bisa terjadi siang ataupun malam hari--kenabian dapat diterangkan karena Akal Aktif
merupakan sumber mimpi yang benar dan wahyu.17
Dalam Al-Madinah Al-Fadhilah, Al-Farabi mengungkapkan:
Bila daya imajinasi begitu kuat dan sempurna pada diri seseorang dan sepenuhnya teratasi
oleh perasaan-perasaan luar... maka ia dapat berhubungan dengan Akal Aktif, yang darinya
tercermin gambaran-gambaran tentang yang paling indah dan sempurna. Siapa pun melihat
gambar-gambar tersebut, ia akan menyaksikan keagungan Tuhan... Begitu daya imajinasi
manusia benar-benar sempurna--di kala jaga--mungkin ia bisa menerima pra-visi tentang apa
yang sedang dan akan terjadi dari Akal Aktif... Dengan demikian, melalui apa yang telah

diterimanya itu, ia bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan. Ini adalah tingkat tertinggi
yang bisa dicapai oleh imajinasi dan manusia dapat mencapainya melalui daya ini.18
Keistimewaan paling utama bagi seorang Nabi, menurut Al-Farabi, adalah Nabi
memiliki imajinasi yang sangat kuat yang memungkinkannya berhubungan dengan Akal
Aktif, baik di saat sedang tidur maupun sedang jaga. Dengan imajinasi ini, Nabi sampai pada
semua persepsi dan realitas yang bisa diraihnya yang nampak dalam bentuk wahyu atau
mimpi yang benar, sementara wahyu tiada lain adalah pancaran dari Allah melalui Akal
Aktif.19 Dan mujizat-mujizat kenabian dapat terjadi karena adanya hubungan dengan Akal
Aktif tersebut yang mewujudkan hal-hal yang menyalahi hukum alam dan segala kebiasaan.
Keterangan yang terakhir tadi, Al-Farabi mengungkapkan dalam Al-Tsamarah AlMardliyyah:
Kenabian di dalam ruhnya ditentukan oleh kekuatan suci yang menundukkan instink
kosmos sebagaimana instink kosmis tunduk kepada ruh Anda. Karena ia membawa mujizatmujizat yang menyalahi hukum alam dan segala kebiasaan; cerminnya tidak akan berkarat
dan tidak bisa dihalang-halangi oleh sesuatu untuk mengambil kitab yang tidak kemasukkan
kebatilan yang ada di dalam Lauh al-Mahfudz, serta mempunyai malaikat yang merupakan
para utusan, sehingga ia akan menyampaikan segala sesuatu dari sisi Allah kepada semua
manusia.20
Adapun orang-orang yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka
mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Aktif, kecuali dalam keadaan tidur, dan kadang
mereka mengalami kesulitan untuk mengungkapkan apa yang mereka ketahui. Sedang orang
awam, imajinasi mereka lemah sekali dan tidak bisa meningkat sampai ke tingkat
berhubungan dengan Akal Aktif itu, baik malam maupun siang hari. Dalam hal ini, Al-Farabi
mengungkapkannya dalam Al-Madinah Al-Fadhilah, yaitu:
Yang bukan para Nabi ada orang yang bisa melihat sebagian gambaran mulai dan
sebagian lainnya di saat ia sedang tidur. Tetapi, ada orang yang menghayalkan semua ini di
dalam dirinya namun ia tidak bisa melihatnya dengan pandangan mata. Di bawah orang ini
ada orang yang bisa melihat semua ini hanya pada waktu ia sedang tidur. Mereka itulah
kelompok orang yang ucapan-ucapannya mengungkapkan segala perkataan yang menyerupai
simbol, teka-teki, perumpamaan, dan tamsil-tamsil. Mereka banyak sekali dan bertingkattingkat.21
Di sini Al-Farabi ingin menunjuk kepada sekelompok wali dan orang-orang yang
berhubungan dengan Akal Aktif melalui imajinasi mereka, sebagaimana para filosof melalui
akal mustafad mereka, yang dalam sebagian aspek mereka ada kesesuaian dengan para Nabi
tetapi berbeda dalam sebagian aspek yang lain. Walaupun demikian, baik Nabi maupun
filosof atau wali sama-sama mendapatkan pengetahuan dari sumber yang satu, yaitu Akal
Aktif. Akal Aktif ini adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan, yang, menurut Al-Farabi,
serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam
ajaran Islam. Akhirnya, kemampuan berhubungan dengan Akal Aktif hanya terdapat pada
Nabi, filosof, atau sufi. Kalau Nabi dengan imajinasinya, sedangkan filosof dengan spekulasi
dan perenungannya, dan sufi dengan pensucian ruhaninya. Dari titik ini pula sebuah ikhtiar
Al-Farabi dalam memadukan falsafah dan agama mendapat momentumnya yang signifikan,
karena memang kebenaran agama dan falsafah merupakan pancaran pencerahan dari Tuhan
melalui imajinasi atau penerangan.
Inilah gambaran sederhana dari Teori Kenabian Al-Farabi, yang berkaitan erat dengan
persoalan-persoalan sosial-politik dan psikologis, sebagai sebuah ikhtiar pemaduan antara
falsafah dan agama. Kalau kita kaji ulang pemikiran Al-Farabi ini, ternyata akan tampak
bahwa Nabi dan filosof adalah dua pribadi saleh yang patut memimpin Negeri Utama.
Karena, baik Nabi maupun filosof, menurut pandangannya, dapat berhubungan dengan Akal
Aktif sebagai sumber hukum dan undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatur

masyarakat. Perbedaan antara Nabi dan filosof ialah bahwa yang pertama meraih hubungan
ini melalui jalur imajinasi--dalam pandangan Rahman melalui jalur akal kenabian yang
khas--sedangkan yang kedua melalui jalur studi dan analisa yang sangat ketat dan tidak
semua orang mampu mencapainya, kecuali para sufi dengan kesucian ruhaninya.
Penutup
Sebagai penutup pembahasan ini, baik kiranya diutarakan dua hal pokok yang
dianggap perlu:
Pertama, Al-Farabi sebagai seorang filosof Muslim ternama tidak kehilangan
kesempatan untuk berdakwah dalam rangka menjelaskan bahasa langit dan menerangkan
bagaimana hal itu bisa sampai kepada penduduk bumi. Ia berikhtiar untuk melandasi doktrin
kenabian dengan landasan rasional dan menginterpretasikannya secara sistematis (bisa juga
dikatakan secara ilmiah). Dalam hal Teori Kenabiannya ini, Al-Farabi ingin membuktikan
bahwa persoalan kenabian bukan hanya persoalan iman semata tetapi dapat juga dibenarkan
secara akal, dan pada gilirannya agama dan falsafat bukan persoalan-persoalan yang harus
dipertentangkan karena keduanya, sebagaimana diketahui sebelumnya, merupakan pancaran
Ilahi melalui imajinasi atau studi analisa.
Kedua, Teori Kenabian yang telah dikonstruksikan oleh Farabi, ternyata kemudian,
mempunyai pengaruh yang sangat kuat, tidak hanya di abad klasik dan pertengahan tetapi
juga abad moderen, bukan hanya di belahan Timur tapi juga di belahan Barat. Sebagai
contoh, Ibnu Sina mengikuti sepenuhnya teori Al-Farabi ini walaupun ada pengkayaanpengkayaan menurut Fazlur Rahman. Ibn Rusyd dalam bukunya yang monumental, Tahafut
al-Tahafut--sebagai counter atas buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut alFalasifah--, mengakui keabsahan teori ini dan sangat heran atas kritik Al-Ghazali, karena
teori ini jelas memperkuat ajaran agama dan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat
diperoleh hanya melalui hubungan manusia dengan Tuhan. Maimonides seorang filosof
Yahudi dalam bukunya Le Guide Des Egares, mengambil teori ini dan menunjukkan minat
yang sangat besar. Bahkan dalam Tractatus Theologico Politicus-nya, Spinoza sangat kentara
pengaruh Maimonides dalam menerangkan suatu teori tentang kenabian yang bersumberkan
teori Al-Farabi. Selanjutnya, Teori Kenabian Al-Farabi ini pun digunakan oleh para pemikir
Muslim kontemporer, seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.22

Endnotes:
1 Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy yang berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping
itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-wahy selanjutnya
mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi, kata itu lebih
dikenal dalam arti apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi. Dalam kata wahyu,
dengan demikian terkandung arti penyampaian firman Tuhan kepada orang pilihanNya agar
diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Firman Tuhan itu
mengandung ajaran, petunjuk, dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam, wahyu atau firman Tuhan
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam A-Quran.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-nabi diberikan oleh AlQuran sendiri. Berdasarkan S.42:51, ada tiga cara terjadinya komunikasi tersebut: (1)
melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, (2) dari belakang tabir seperti yang
terjadi dengan Nabi Musa, dan (3) melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat.
Firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW adalah dalam bentuk yang
ketiga, yaitu melalui malaikat Jibril sebagai utusan Tuhan, dan bukan melalui ilham ataupun
dari belakang tabir. Hal ini sesuai dengan S.26:192 s.d 195, S.16:102, dan S.2:97. (Harun
Nasution.1983. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press. Hlm.15-17).

2 Perbedaan antara Nabi Isa AS yang diyakini umat Kristiani sebagai perwujudan Kehadiran
Ilahi dan Nabi Muhammad SAW yang diyakini umat Islam sebagai perwujudan Kebenaran
Ilahi dapat dilihat dalam buku Fritjof Schoun.1993. Islam dan Filsafat Perenial. Terjemahan
oleh Rahmani Astuti dari Islam and the Perennial Philosophy (1976). Bandung: Mizan.
Hlm.15-24. Kaum orientalis mengatakan: Sabda Tuhan dalam Islam menjelma menjadi AlQuran, sedang dalam Agama Kristen sabda Tuhan menjelma menjadi Yesus. Dikutip dari
Harun Nasution.Tanpa Tahun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku I. Jakarta: UI
Press. Hlm.27.
3 Pengingkaran terhadap kenabian Muhammad pada masa awal Islam, dari kalangan luar
Islam, seperti kaum kafir Quraisy, yang diabadikan dalam S.25:7-8; dan dari kalangan Islam
sendiri yang paling terkenal adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi--sezaman
dengan
Al-Farabi--dalam
bukunya Makhariq
al-Anbiya
aw
Hail
alMutanabbiin(Keluarbiasaan para Nabi atau Tipu-daya yang Mengaku Nabi) dan Naqd alAdyan aw fi al-Nubuwwat (Kritik terhadap Agama-agama atau Kritik terhadap Teori
Kenabian).
4 Sumber utama yang dipandang paling lengkap mengenai Riwayat Hidup Al-Farabi. lihat
Ibn Khillikan.1958. Wafiyah al-Ayan. Kairo: Maktabah al-Nahdhah. Hlm.112-114. Lihat
Ibrahim Madkour. 1985. Al-Farabi dalam Para Filosof Muslim. Terjemahan oleh Ahmad
Muslim dan Yustiono dari History of Muslim Philosophy (1963). Bandung: Mizan. Hlm.5556. Lihat Majid Fakhry.1986. Sejarah Filsafat Islam. Terjemahan oleh R.Mulyadi
Kartanegara dari A History of Islamic Philosophy (1983). Jakarta: Pustaka Jaya. Hlm.162163. Dan lihat juga Harun Nasution.1983. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang. Hlm.26.
Menurut salah satu informasi, ayah Al-Farabi keturunan Persia dan kawin dengan seorang
wanita Turki, sehingga Al-Farabi pernah menjadi seorang Panglima dalam tentara Turki. Dari
itu, ia terkadang dikatakan sebagai keturunan Persia dan terkadang sebagai keturunan Turki.
5 Abdul Halim Mahmud.1984. Al-Tafkir al-Falsafy fi al-Islam. Bairut: Dar al-Maarif.
Hlm.243-244.
6 Lihat Ahmad Daudy.1992. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm.28. Dan lihat
juga Ibrahim Madkour.1985.Al-Farabi. Hlm.61-78.
7 Dikutip dari Hana al-Fakhuri dan
Arabiyah. Bairut: Dar al-Maarif. Hlm.58.

Khalil

al-Jar.1958. Tarikh

al-Falsafah

al-

8 Lihat Ibrahim Madkour.1985.Al-Farabi. Hlm.65.


9 Ibrahim Madkour.1985. Al-Farabi. Hlm.65.
10 Ibrahim Madkour.1985. Al-Farabi. Hlm.65-66.
11 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1985. Al-Farabi. Hlm.73-74. Dan Ibrahim Madkour.
1988.Filsafat Islam: Metode dan Penerapan. Bagian I. Terjemahan oleh Yudian W.A dan
A.H.Mudzakhir dari Fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh (1974?). Jakarta:
CV.Rajawali. Hlm.89-90.

12 Bandingkan dengan pendapat Ibrahim Madkour.1988. Filsafat...Hlm.90.


13 Fazlur Rahman.1958. Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy. London: George
Allen & Unwin Ltd. Hlm.31.
14 Pendapat seperti ini diperkuat oleh Harun Nasution dalam buku Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam. Hlm.31-32.
15 Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.92.
16 Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.92. Ibrahim Madkour.1985.Al-Farabi.Hlm.74.
17 Ibrahim Madkour.1985.Al-Farabi. Hlm.75.
18 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1985.Al-Farabi. Hlm.75-76.
19 Lihat
Ibrahim
Madkour.1988. Filsafat... Hlm.97,
Nasution.1983.Falsafah...Hlm.31.

dan

Harun

20 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.131.


21 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.97.
22 Lihat
Hlm.77.

Ibrahim

Madkour.1988.Filsafat... Hlm.136-166,

dan

1985.Al-Farabi.

Study Rizal Lolombulan Kontu adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Dakwah
dan IlmuKomunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

FILSAFAT KENABIAN
Diposkan oleh: Tyo Mokoagow - Friday, November 8, 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum
berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu
besar. Salah satu tokoh Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas teori kenabian ini
adalah Ibnu Sina, dalam sejarah Islam, perdebatan tentang wacana kenabian diwakili dua
kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang direpresentasikan oleh para teolog Sunni.
Dalam pandangan kelompok ini, Nabi atau kenabian merupakan sebuah anugerah dari Tuhan

kepada manusia. Oleh karenanya, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Pendapat
ini berbeda dari pendapat kelompok kedua, yakni kaum heterodoks yang diwakili para ahli
filsafat. Mereka menyatakan bahwa kenabian sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam
kehidupan ini.

Menurut Ibnu Sina, bahwa Nabi intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya
mencapai akal aktif, yakni malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan
antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang
mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab, bagi
Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga memerankan fungsi politik, dalam arti mampu
menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada
mereka untuk melaksanakannya.

Perbedaan cara pandang dua kelompok di atas terhadap kenabian, berimplikasi pada
perlakuan mereka terhadap Nabi dan ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks, ajaran
kenabian adalah ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya. Karena semuanya bersumber
dari wahyu Tuhan.

Sementara bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian adalah
ajaran manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga dimungkinkan adanya
kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan Yang Di Atas,
yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah, yaitu masyarakat. Sejalan
dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan Fazlur Rahman yang mengatakan
bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang hanya menyampaikan pesan.
Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut intervensi. Salah satu filosof klasik
yang berpandangan seperti ini adalah Ar Razi yang berpendapat bahwa tidaklah masuk akal
Tuhan mengutus para nabi padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Setiap
bangsa hanya percaya kepada nabinya dan tidak mengakui nabi bangsa lain. Akibatnya

terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan
agama bangsa yang dipeluknya.

2. IDENTIFIKASI
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat kenabian ?
2. Kenapa harus ada Nabi ?
3. Apa argumentasi tentang pentingnya kenabian ?
4. Bagaimana derajat dan penetapan kenabian ?
5. Kenapa masa kenabian berakhir ?

BAB II
PEMBAHASAN
1. FILSAFAT KENABIAN
Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina,
mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Filsafat juga adalah pandangan hidup seseorang atau
sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam
memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan
menyeluruh dengan segala hubungan. Sehingga filsafat dapat juga dikatakan sebagai mother
of science karena mempelajari suatu hakikat dari pengetahuan.
Kata Nabi berasal dari kata kerja (fiil) bahasa Arab nabbaa yanabbiu yang berarti
member kabar. Kata Nabi di petik dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab yang berkedudukan
sebagai kata benda pelaku perbuatan (isim fail) yang berarti orang yang membawa kabar
atau berita. Darii kata nabi yang bermakna harfiah sebagai pembawa berita ini kemudian

digunakan dalam istilah agama sehingga nabi berarti orang yang di utus Tuhan untuk
menyampaikan berita dan pelajaran dari Tuhan untuk manusia.
Kenabian menurut Ibnu Sina merupakan jiwa (roh) yang tinggi. Nabi merupakan
manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia lainnya. Memiliki mukjizat yang
bertujuan mengajak manusia untuk meninggalkan kemusyrikan, menetapkan peraturan untuk
kebahagiaan umat manusia, mengantar manusia untuk memahami sistem kebaikan.
Walaupun nabi dan rasul seperti halnya manusia biasa, akan tetapi ia mempunyai
keistimewaan karena ia memperoleh akal tertinggi dari Tuhan yang di sebut al-hadas. Alhadas ini mempunyai daya yang suci yang di sebut al-quwwah al-qudsiyyah. Adapun yang di
maksud al-hadas dalam penerian filosofis ialah pancaran ilahi yang diperoleh para nabi dan
rasul sehingga mereka dapat berhubungan langsung dengan aql (Allah) tanpa melalui usaha
manusia itu sendiri. (Al-hidayah li Ibn Sina,298,299,293,294). Daya inilah yang
membedakan nabi dan rasul dari manusia yang lainnya. Suatu daya yang istimewa dan hanya
diperoleh nabi dan rasul. Karena daya ini pula nabi dan rasul dapat menerima wahyu dari
Allah untuk disampaikan kepada umat manusia dan agar mereka bertindak dan berbuat sesuai
dengan wahyu itu.
Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul hanya menyampaikan
perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum pernah didengar dan dilihat.
Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia mampu melepaskan dirinya dari
keterikatan dunia materi, berpaling dari selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban
dengan mengikuti hikmah ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga
berakhir menjadi suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah
dengan tubuh.

2. KENAPA HARUS ADA NABI


Berdasarkan ketetapan Ilahi, semua keberadaan mengalami perubahan dan
perkembangan menuju kesempurnaan. Secara alami, benih yang ditanam berproses menjadi
kecambah, tanaman kecil, pohon besar, dan pada akhirnya berbuah. Puncak kesempurnaan
pohon adalah ketika dia memberikan buah-buahan segar.Sperma mengalami perubahan
menjadi segumpal darah, segumpal daging, tulang-belulang, bentuk janin, hingga akhirnya
terlahir menjadi bayi yang sempurna. Fenomena ini berlaku pada seluruh keberadaan di alam
semesta
ini.

Semua keberadaan bergerak menuju kesempurnaan masing-masing secara alami. Tiap


makhluk mengetahui jalan dan cara mencapai tujuan penciptaannya. Manusia berbeda dengan
makhluk-makhluk lain yang tidak memiliki ikhtiar (pilihan) dalam menempuh proses
perubahan menuju kesempurnaan. Manusia mampu memilih tujuan hidupnya yang dianggap
sebagai kesempurnaan. Manusia bebas menentukan pilihannya dalam meraih tujuan. Dia
menggali tanah demi mendapatkan air. Dia mengais rezeki demi mendapatkan makanan enak.
Dia melakukan eksperimen untuk mengetahui hukum-hukum alam yang berlaku. Adapun
keberadaan yang lain bergerak menuju kesempurnaan penciptaannya sesuai dengan firman
Allah : Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepadaKu. (Adz-Dzariyat:56)
Atas dasar itu, agar manusia mampu meraih tujuan penciptaannya, dia harus
menggunakan kebebasan pilihannya dengan tepat. Manusia mesti menyeimbangkan
hubungan antara hukum alam dan tujuan. Prinsip inilah yang mengatur dan menyelaraskan
ikhtiar manusia. Tujuan penciptaan manusia tidak mungkin tercapai dengan sendirinya.
Setiap manusia menentukan tujuannya sesuai dengan tuntutan kepentingan dan
kebutuhannya. Kebutuhan manusia diciptakan oleh situasi dan lingkungan yang dialaminya.
Namun keduanya (situasi interpersonal dan lingkungan) tidak mampu menggerakkan
manusia secara langsung. Jika demikian, hal ini akan memandulkan fungsi manusia sebagai
keberadaan yang memiliki pilihan(ikhtiar).
Manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya
kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia. Terdapat dua
kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang.
Pada umumnya, kepentingan jangka pendek mendatangkan manfaat secara individual.
Sedangkan kepentingan jangka panjang, kebanyakan manfaatnya terkembali kepada
masyarakat manusia. Dalam dimensi teologis, kepentingan jangka pendek ini bisa dikatakan
sebagai kepentingan duniawi atau kepentingan sosial dan kepentingan jangka panjang adalah
kepentingan ukhrawi.
Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan duniawi dan
kepentingan ukhrawi. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah seorang manusia
mengorbankan kewajiban transedenalnya untuk melengkapi kebutuhan duniawinya? Sebab
manusia adalah mahluk dengan dua dimensi utama yaitu dimensi transeden tentang hubungan
vertikal antara Tuhan dan manusia dan dimensi kemanusiaan tentang hubungan horizontal

antara manusia dan manusia. Sebagai sebuah entitas, manusia akhirnya sulit memprioritaskan
kewajiban mana yang terlebih dahulu harus dilaksanakan sehingga berpotensi terjadinya
pengorbanan kepentingan sosial atau kepentingan transedental untuk melengkapi kepentingan
pribadi manusia.
Pada dimensi horizontal atau dimensi sosial telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar
Ruum: 41). Kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah manusia yang menjadikan
kepentingan pribadi sebagai tujuan hidupnya dengan cara mengorbankan kepentingan sosial
yang akhirnya berimplikasi terhadap tanggung jawab kita kepada Tuhan.
Oleh karenanya, masyarakat manusia membutuhkan aturan dan undang-undang,
lantaran adanya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Manusia
merupakan makhluk sosial dan membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan
sosial serta beragam urusan hidupnya, agar tidak terjadi silang pendapat, pertikaian, benturan,
dan kezaliman di antara anggota masyarakat, serta demi menjaga kepentingan individu dan
sosial.
Dalam pada itu, undang-undang tidak mungkin dapat terlaksana dengan sendirinya. Hanya
dengan adanya undang-undang, persoalan sosial atau individual apapun tak akan dapat
terselesaikan. Oleh karena itu, setiap undang-undang niscaya memerlukan sosok pelaku yang
mampu menjamin pelaksanaan, penegakan, dan penerapannya secara sempurna, serta
tegaknya keadilan di atas basisnya.
Kebutuhan kepada sosok yang adil dan bijaksana yang mampu menerapkan undangundang di tengah masyarakat, merupakan keniscayaan bagi umat manusia. Dari sinilah
nampak nilai penting seorang nabi dan rasul. Yaitu pribadi-pribadi pilihan Allah Swt yang
mempunyai misi untuk menerapkan dan menjalankan aturan di tengah masyarakat manusia.
Para nabi dan rasul diutus untuk menjaga aturan dan menegakkan keadilan di tengah
masyarakat. Allah Swt berfirman: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan. (al-Hadid: 25)

Fadhl bin Syadzan meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Musa ar-Ridhasalam
sejahtera bagi keduanyamenjelaskan tentang penyebab penetapan ulil amr (pemimpin
manusia) dan adanya perintah untuk mematuhinya. Beliau berkata, Mungkin seseorang
bertanya, Mengapa Allah menetapkan pemimpin masyarakat dan memberikan perintah untuk

mematuhi mereka? Jawabannya dikarenakan banyak sebab. Antara lain: Ketika seseorang
berdiri di hadapan sebuah garis-batas dan diperintahkan untuk tidak melanggar batas itu
lantaran akan membahayakannya, maka perintah itu tidak akan dan tak dapat tegak, kecuali
jika Allah Swt menetapkan baginya sosok terpercaya yang mampu mencegahnya melanggar
batas dan memasuki kawasan berbahaya. Kalau tidak begitu, niscaya manusia tidak akan
meninggalkan kesenangan dan kepentingannya dengan mengganggu orang lain. Oleh
karenanya, Allah Swt menetapkan baginya sosok penegak hukum yang mampu mencegahnya
berbuat kerusakan serta sanksi dan hukum di tengah manusia.
Argumen lain tentang kemestian adanya nabi dan rasul yang logis, rasional dan
menggunakan argument empiris-historis dikemukakan oleh al-Jurjawi dan Hikmat al-Tasyri
wa Falsafatu. Argument tersebut adalah sebagai berikut:
Secara naluriah. Manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan yang baik dan yang
buruk dengan akalnya. Daya akal manusia belum cukup untuk mengetahui cara yang dapat
menunjukkan jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu manusia, manusia
memerlukan seorang manusia yang diutus Tuhan yang menyampaikan syariat-Nya agar
manusia dapat mencapai keselamatan tanpa melewati perbuatan dan jalan yang
membahayakannya. Kehadiran nabi dan rasul merupakan kebutuhan primer manusia karena
akal tidak dapat memenuhinya. Nabi dan rasul mengemban enam tugas utama yaitu:
1. Memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia mengetahui Allah (marifatullah).
Menyampaikan sifat-sifat Allah yang dapat memudahkan manusia memahami ke-Maha
Esaan-Nya, dengan cara yang paling mudah.
2. Menyampaikan berita bahwasannya Allah mengancam manusia yang tidak taat kepada-Nya
dan memberikan kabar gembira bagi mereka yang mentaati-Nya. Sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan,
dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang
menerangi (Al-Ahzab 33 : 45-46)
3. Mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia yang berguna bagi diri manusia itu sendiri
dan bagi sesamanya, seperti sifat jujur, tidak berdusta, dermawan dan
sebagainya. Sesungguhnya aku diutus Allah SWT, untuk menyempurnakan(memperbaiki)
akhlak manusia. (HR. Ahmad)
4. Mengajarkan tata cara mengagungkan Allah serta menunaikan kewajiban yang di bebankan
Allah kepada manusia, dan beribadah kepada-Nya dalam berbagai bentuknya secara
sempurna.
5. Menetapkan ketenutan-ketentuan hukum (hudud) dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi
seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya, seperti ketentuan hukum berzina,

pembunuhan, dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk menegakan


keadilan yang dapat menjamin keamanan negri dan penduduknya.dalam hubungannya
dengan tugas tersebut, nabi dan rasul berfungsi sebagai hakim atau pembuat hukum.
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al-Hadid; 57: 25)
6. Menjelaskan cara-cara yang benar apa yang mesti ditempuh manusia dalam kehidupan
duniawinya, seperti keharusan aktif bekerja, dan melaksanakan berbagai bentuk kewajiban.
Berdasarkan tugas-tugas nabi dan rasul di atas, dapatlah di nyatakan bahwa agama
islam adalah agama bagi seluruh umat manusia. Islam menjamin kebahagiaan hidup mereka
yang menganutnya, dan melaksanakan ajaran islam itu sepenuh-penuhnya. Kedudukan rasul
bagi manusia bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia yang dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang
salah. Bila manusia salah membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana
yang benar dan mana yang salah, maka itu terjadi karena ketidak pedulian manusia terhadap
penggunaan akal dan kalbunya yang kemudian dikuasailah dirinya itu dengan kebencian,
kerakusan, dan permusuhan. Oleh karena itu, terjadinya kekacauan, kesesatan, fanatisme
mazhab dan kelompok. Semua itu terjadi bukan karena agama, melainkan karena agama tidak
dilaksanakan dengan benar sebagai akibat kesalahan dalam pemahaman dan penghayatannya.

3. ARGUMENTASI PENTINGNYA KENABIAN

Gambaran di atas sebenarnya telah membuktikan kepada kita bahwa kenabian


adalah hal yang penting bahkan niscaya. Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian, di bawah
ini akan diuraikan secara singkat beberapa argumentasi akan pentingnya atau keharusan
diutusnya para Nabi, yaitu sebagai berikut :

1. 1. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha


Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam

mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan
hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar
terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam
materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi
penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus
tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.

1. 2. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai
dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam
kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena
dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju
derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan mengutus seseorang untuk
manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.

1. 3. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia mestilah


mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena manusia diharapkan
untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai jika sesuai atau mengikuti
jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk memberitahukan dan membimbing manusia ke
jalan yang sempurna itu, Allah mengutus Nabi atau Rasul.

1. 4. Argumentasi Keadilan. Allah Maha Adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezhaliman membiarkan ciptaan-Nya
dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan, karenanya
berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat
manusia.

Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan dengan jelas akan pentingnya posisi


kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi rasional diatas,
juga didukung banyak ayat-ayat al-Quran, yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus

para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai
kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka
tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.

4. DERAJAT DAN PENETAPAN KENABIAN

Kenabian merupakan ikhtiar dua arah, yakni ikhtiar manusia sebagai utusan dan
ikhtiar Allah swt sebagai pengutus. Inilah yang dikenal dengan istilah derajat kenabian dan
gelar kenabian.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga
memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari
Tuhan terhadap seseorang yang pantas dengan pilihan Tuhan untuk menjadi Nabi yang
diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia
sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk
mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan karena
dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan mencapai
derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi, karena gelar kenabian
sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan kebutuhan akan
pengutusan kenabian, Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.
(Q.S. al-Anam: 124). Karenanya ada saja orang yang mencapai derajat kenabian akan tetapi,
Allah tidak mengangkatnya menjadi Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu
bisa didapatkan oleh manusia atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing
oleh wahyu?
Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan
kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam filsafat
dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang diperoleh nabi
sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam dunia, yaitu alam
malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun, belajar dan penyucian diri,
berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap pancaran ilmu ilahi tersebut.

Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan persiapan


dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan
melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye aliyeh-ye ghaibiyyeh).
Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungandan
pencerapanjiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, Dan bertakwalah
kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu (Q.S. al-Baqarah: 282) dan
disabdakan hadits : pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi
melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.

5. PENUTUP KENABIAN
Meskipun tiap nabi membawa pesan-pesan yang ternyata kandungannya hanya
memiliki perbedaan yang kecil, para nabi adalah pembawa pesan yang satu dan sama, dan
mereka memiliki satu aliran pemikiran yang sama. Aliran pemikiran ini disuguhkan secara
gradual sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai mereka mencapai titik
perkembangan dimana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan dalam bentuknya yang lengkap
dan sempurna. Ketika itulah kenabian berakhir.

Versi yang sempurna dari aliran pemikiran yang mengalami kontinyuitas tersebut
disuguhkan melalui pribadi Muhammad bin Abdullah, semoga selawat dan salam
dilimpahkan kepadanya dan kepada keluarganya, dan kitab suci terakhir adalah al-Quran.

Quran Suci mengatakan: Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran


dan harmoni, tak ada yang dapat mengubah kalimatnya. (QS. Al-Anam; 6: 115)

Meskipun kenabian merupakan alur yang berkelanjutan dari pesan Ilahi, dan agama
hanya kebenaran tunggal, ada beberapa alasan bagi diperbaharuinya kenabian dan munculnya
nabi-nabi, baik yang membawa hukum Ilahi maupun hanya mendakwahkannya saja. Alasanalasan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, umat manusia pada zaman dulu tidak mampu menjaga orisinalitas Kitab
Suci yang diturunkan pada mereka disebabkan kurangnya perkembangan mental dan
kematangan berfikir mereka. Kitab-kitab suci sebelum al-Quran diubah dan didistorsi atau
bahkan dirusak sama sekali, sehingga diperlukan pembaharuan pesan (risalah). Masa dimana

al-Quran diturunkan, yaitu abad 7 Masehi adalah puncak dari masa kekanak-kanakan tersebut
karena manusia saat itu telah berhasil melampui masa kekanak-kanakannya dan akhirnya
bersedia bertanggung jawab teerhadap isi ajaran kitab suci yang terakhir, yaitu alQuran.Kaum Muslimin pada umumnya, sejak saat diturunkannya tiap-tiap ayat al-Quran
hingga kini, telah merekamnya dalam ingatan atau tulisan, dengan cara yang sedemikian rupa
sehingga kemungkinan terjadinya suatu macam distorsi, transformasi, perubahan,
penghilangan atau penambahan, dihilangkan. Karenanya, tidak ada perubahan dan kerusakan
terhadap kitab suci al-Quran. Alasan ini adalah salah satu alasan bagi pembaharuan kenabian,
menghilangkan kebutuhan atas kitab suci baru.

Kedua, alasan bagi diperbaharuinya agama dalam Kitab Suci, adalah bahwa umat
manusia pada masa sebelumnya belum mampu memahami suatu program yang umum dan
komprehensif. Dengan berkembangnya kemampaun ini, suatu program yang bersifat umum
dan komprehensif disuguhkan kepada umat manusia secara kontinyu, dan dengan cara ini
kebutuhan bagi pembaharuan kenabian dan hukum-hukum Ilahi dihilangkan.

Ketiga, para ulama umat di masa Nabi Terakhir, yang merupakan abad ilmu (the age
of knowledge), mampu mengadaptasikan ajaran-ajaran umum al-Quran terhadap masa dan
tempat serta tuntutan-tuntutan dan kondisi-kondisi yang ada. Dengan mengetahui prinsipprinsip umat Islam, dan dengan mengenali situasi dan kondisi masa dan tempat, mereka
mampu merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum Ilahi. Usaha ini
disebutijtihad (berusaha sejauh kemampuan untuk melakukan pertimbangan keagamaan yang
mandiri mengenai suatu masalah hukum).

Dari apa yang diuraikan diatas, jelaslah bahwa kematangan intelektual dan
pertumbuhan social umat manusia memainkan peran dalam berakhirnya kenabian. Peran ini
mempunyai aspek-aspek yang berbeda:

Umat manusia telah menjaga kelestarian Kitab Suci dari distorsi yang bagaimanapun

Umat manuisa telah mencapai suatu titik perkembangan di mana mereka bisa menerima dan
menggunakan program perkembangannya sebagai suatu keseluruhan dan tidak selangkah
demi selangkah

Kematangan intelektual umat manusia dan kemajuan social mereka telah memungkinkan
mereka untuk melaksanakan, menyebarluaskan dan memanfaatkan agama untuk
memerintahkan masyarakat mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mencegah

mereka dari perbuatan-perbuatan yang jahat. Kebutuhan akan nabi-nabi yang hanya berfungsi
sebagai pendakwah, yang mempromosikan dan menyebarluaskan agama nabi yang membawa
hukum Ilahi telah dihilangkan. Para ulama dan kalangan umat telah memenuhi kebutuhan ini.
-

Kematangan intelektual umat manusia telah mencapai suatu titik dimana mereka bisa
mengomentari dan menjelaskan hal-hal umum yang terkandung dalam wahyu, hingga dengan
bantuan ijtihad dalam berbagai situasi dan kondisi serta lingkungan, mereka bisa merujukkan
suatu kasus hukum yang ada kepada prinsip asalnya.

BAB III
1. KESIMPULAN

Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul hanya menyampaikan perintah
Allah secara umum dan membawa berita yang belum pernah didengar dan dilihat. Perintah
beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia mampu melepaskan dirinya dari keterikatan
dunia materi, berpaling dari selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan
mengikuti hikmah ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir
menjadi suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan
tubuh.

Tujuan utama nabi diutus dimuka bumi adalah untuk menyeimbangkan dimensi Ketuhanan
dan dimensi Kemanusiaan bagi umat.

Kedudukan rasul bagi manusia bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia yang
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan mana
yang salah.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi
syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan

terhadap seseorang yang pantas dengan pilihan Tuhan untuk menjadi Nabi yang diutus
kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia
sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk
mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

Yazdi, Mizbah,Iman Semesta, (Jakarta: Al-Huda, 2005)


Yazdi, Mizbah, Membangun Agama, (Bogor: Cahaya, 2004),
Abu Bakar Atjeh, Prof. Dr. Syiah, Rasionalisme Dalam Islam, Yogyakarta: beranda publishing,
2003
Adz-dzakiey, hamdani bakran, 2007, Psikologi kenabian, Yogyakarta: beranda publishing
Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Kenabian dan Para Nabi, terj. Arifin Jamian Maun, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1993)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Madjid, Nur Cholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1991)
Murtadha Muthahari, Islam dna Tantangan Zaman, terj Ahmad Sobandi, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1991)
Hashem, Omar, Muhammad Sang Nabi (Jakarta: Tama Publisher, 2005)
Murtadha Muthahari, Mengenal Tasawuf, terj. Mukhsin Ali, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002).
Filsafat Kenabian

PENDAHULUAN
Setiap agama langit, secara primer atau secara esensial, tentu mendasarkan ajaranajarannya pada wahyu dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah agama samawi lahir, dan karena
kemukjizatan wahyu dan ilhamlah ia menang, bahkan berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan
ilhamlah segala kaidah dan sendinya berdiri tegak. Seorang Nabi tidak lain hanyalah manusia
biasa yang diberi kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengekspresikan

kehendak-Nya. Agama Islam seperti halnya dengan agama-agama semit lainnya, mengambil
ajaran-ajarannya dari langit dan sumber-sumbernya yang utama adalah al-Kitab sebagai
wahyu yang lansung dan as-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung. Oleh karena itu,
barang siapa yang mengingkari wahyu berarti ia menolak Islam secara keseluruhannya, atau
sekurang-kurangnya merobohkan sendi-sendi yang utama dan fundamental. Bahkan tindakan
itu merupakan pelanggaran terkutuk.
Kita akan melihat bagaimana filsafat kenabian memikul tugas mengemukakan dan
menyelesaikan masalah yang muncul dari peran Muhammad Saw., sebagai Nabi dan rasul.
Untuk itu, penulis berusaha membahasnya sekuat tenaga guna mencari pengetahuan tentang
kenabian.
PEMBAHASAN
A. Signifikasi Nabi dan Kenabian
Dalam pengertian agama samawi, nabi adalah manusia yang memperoleh wahyu dari
Tuhan tentang agama dan misinya. Lebih khusus lagi terdapat istilah rasul yang dalam agama
Islam dibedakan bahwa rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan ajaran yang diterima
dari Tuhan.[1]
Ibnu Arbai dalam membedakan antara nabi dengan wali, memberikan pengertian yang
mengakar
tentang
istilah
ini
adalah: nbdiartikan
dengan
mengabarkan.
Sedangkan nbw diartikan dengan mengangkat. Berkenaan dengan nb, bentuk fail dapat
memiliki makna aktif (fail) dan pasif (maful), yaitu istilah nabi yaitu seseorang yang diberi
kabar oleh Tuhan, dan seseorang yang pada gilirannya memberi kabar kepada umat.
Berkaitan dengan akar yang kedua, ia memiliki arti pasif, yaitu istilah nabi berarti seseorang
yang diangkat oleh Tuhan. Makna ini juga berlaku untuk para Ulama, karen adikatakan dalam
al Quran, Tuhan mengangkat mereka ang beriman diantaramu dan mereka yang memiliki
pengetahuan
(QS. 58: 11).
Bentuk aktif yaitu, seseorang yang memberi berita kepada umat adalah lebih tepat
pada Rasul (mursal) daripada nabi yang bukan rasul dan wali yang menjadi pewarisnya (al
wali al warits), sementara makna pasif kedua akar itu lebih tepat bagi wali dan nabi bagi wali
dan nabi yang bukan rasul. Namun, terdapat perbedaan antara keduanya: Tuhan memberi
kabar Nabi melaui perantara malaikat, sementara wali lewat ilham secara langsung.
Selanjutnya, Ibnu Arabi mengacu cerita Khidr dan Musa, dengan mengutip kata-kata Khidir
dalam al uran, Engkau tidak akan memiliki kesabaran denganku. Bagaimana engkau dapat
menunjukkan tentang sesuatu yang diluar pengalamanmu? (Qs. 16:88). Kata-kata Khidir
kepada Musa ini jelas menunjukkan bahwa maqam para nabi dan para wali adalah berbeda.
Namun, dalam hal ini, Ibnu Arabi tiba-toba menghentikan penjelasan, dengan mengetakan
bahwa disini terxdapat rahasia yang akan menggoncangkan Arasy, jika dibuka secara paksa.
[2]
At Tirmidzi memiliki perbedaan teori tentang kewalian dengan Ibnu Arabi. Namun ini
bukan hanya teori wali saja, namun juga menyangkut dengan teori kenabian nya. Maka
menurut Ibnu Arabi, kenabian dibagi menjadi khusus, legislatif dan umum, absolut, dan
kenabian umum juga diberikan kepada para wali, sementara kenabian khusu hanya diterapkan
pada para rasul. Menurut Ibnu Arabi, dalam diri Nabi, kewaliannyaada;lah lebih tinggi dari
kenabian dan kerasulannya.[3]
Seperti Ibnu Arabi, begitu At Tirimidzi juga menyatakan pandangannya tetang
Kenabian. Menurut at Tirmidzi kenabian umum dapat diraih, sementara kenabian dengan
wewenang legislasi tidak dapat diraih dengan amalan-amalan tambahan disertai tobat secara

sungguh-sungguh. Hanya melalui kasih sayang Tuhan sebagai Karunia yang dengannya para
sufi dapat mencapai maqam kedekatan, sebagaimana kedekatan, sebagiamanadiungkapkan
dalam hadis qurb an nawafil. Manusia dapat menerima berbagai macam pengetahuan Tuhan
dengan kemampuan dan kesiapan mereka.[4]
B. Filsafat Kenabian
Pada masa al Farabi dan Ibnu Sina,teori kenabian merupakan fenomena baru yang
khas islami karena tidak ditemukan teori-teori kenabian ini. Oleh karena itu teori yang
dihasilkan oleh para filosof muslim merupakan wujud nyata dari tanggung jawab moral
mereka untuk menjelaskan secara rasional dogma-dogma ajaran islam yang mereka anut.
Filosof muslim telah memberikan sumbangan yang penting, yaitu tentang
penemuannya pancaindera batin yang ditambahkan pancaindera lahir yang terkenal. Salah
satu indera batin yang relevan dengan teori kenabian ini adalah imajinasi. Imanjinasi yang
disebut Ibnu Sina sebagai imajinasi kompositif, adalah daya mental yang dapat menggabunggabungkan bentuk fisik yang telah dicerap oleh indera lahiriah kita ke dalam bentuk-bentuk
yang unik, yang tidak ditemukannya di alam fisik.
Selain imajinasi, teori yang dapat menopang filsafat kenabian adalah teori metafisika
emanasi, khusus nya yang berkenaan dengan ittishal yang membicarakan kemungkinan bagi
akal manusia untuk mengadakan kontak dengan akal aktif, yaitu akal ke sepuluh (Malaikat
Jibril). Melalui doktrin Ittishal (kontak dengan akal aktif), para filosof menunjukkan bahwa
kontak dengan agen spiritual merupakan inti dari nubuwah.
Menurut al Farabi, Kenabian merupakan efek alamiah yang dimiliki emanasi cahaya
akal aktif atas kecakapan imajinasi reseptis. Dia membagi Nabi ke dalam dua level. Dalam
kenabian berlevel rendah, emanais akal aktif bergerak melalui kecakapan rasional, lalu
memasuki kecakapan imajinatif dari seseorang yang belum secara penuh mengembangkan
akalnya. Pada levelini, Kenabian bisa menghasilkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa
individual yangberada di luar jangkauan indera, apakah peristiwa saat ini yang terjadi di
tempat yang jauh, atau peristiwa masa depan, dan bisa memberikan pemerian figuratif dari
kebenaran teoretis. Dalam kenabian yang lebih tinggi (Wahyu), emanasi dari akal aktif
bergerak melaui akal manusia yang telah dikembangkan secara penuh, dan karena itu ia telah
mengadakan kontak dengan akal aktif.
Kenabian dalam pelbagai manifestasinya merupakan hasilinteraksi antara akal dengan
kemampuan meniru dari daya imajinasi. Pengetahuan kenabian unik, karena ahwa baik nabi
maupun filosof dapat meraih pengetahuan dari sumber yang sama yaitu akal aktif, atau
malaikat Jibril. Apa yang membuat unik, adalah kenabian sejati merupakan simbolisasi dari
kebenaran yang sama yang diketahi secara demonstratif dan intelektual dalam filsafat.
Para Nabi memiliki daya imajinasi yang sensitif, disamping intelektual yang
memungkinkan imajinasi mereka menerima arus atau emanasi entitas-entitas abstrak dari akal
aktif, sebuah emanais yang hanya bisa dicadangkan untuk daya intelektual. Namun, karena
imajinasi sesuai dengan tabiat yang tidak bisa menerima maqulat yang abstrak, nabi
memanfaatkan kemampuan meniru untuk merepresentasikan ide keagungan ke dalam bentuk
simbol yang konkret. Dengan cara itu, apa yang biasanya diperoleh hanya oleh sebagian kecil
manusia terpilih (filosof) yang telah mencapai akal mustafad, dapat dikomunikasikan oleh
nabi melalui samaran cinta indriawi kepada publik non filosofis yang lebih luas.
Filsafat Kenabian Ibnu Sina lebih halus dan ortodok.[5] Pentingnya gejala kenabian
dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun
dalam empat tingkatan: intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas
keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk jelas tentang motivasi, watak dan arah

pemikiran keagamaan.Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual,
akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah
adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil
yang besar lagi kuat, untuk hal ini, Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi.
Menurut filsafat kenabian Ibnu Sina, daya pada akal materiil begitu besar, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah berhubungan dengan akal aktif dan menerima cahaya
atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi
yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi. Jadi wahyu dalam
pengertian teknis inilah kemudian mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang
baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama
yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka
mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam
kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol-simbol.[6]
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa sebagaimana Aristoteles mendefinisikannya pada
waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya
spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan
menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina membagi daya jiwa menjadi tiga bagian, yaitu :
1.

Jiwa Tumbuh-tumbuhan

Menurut Ibnu Sina, jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu :


a.
Daya nutrisi, yaitu daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh,
dimana daya itu ada di dalamnya.
b.
Daya pembuluh, yaitu daya penambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh
yang diubah karena makanan, baik dari sisi panjang, lebar, maupun volume.
c.
Daya generativ, yaitu daya yang mengambil dari suatu bagian tubuh yang secara
potensial sama.
2.

Jiwa Hewan

Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa hewan memiliki kekuatan, yaitu :


1.
Daya penggerak, yang terdiri dari dua bagian, yaitu penggerak sebagai pemici
dan penggerak sebagai pelaku. Penggerak sebagai pemicu adalah daya hasrat. Daya
penggerak sebagai pemicu ini terbagi menjadi dua sub-bagian, yaitu daya syahwat dan daya
daya emosi.
Daya penggerak sebagai pelaku adalah daya yang muncul di dalam urat dan syaraf
untuk melakukan gerakan yang sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keinginan.
2.
Daya persepsi, terbagi menjadi dua bagian, yaitu daya yang mempersepsi dari
luar (panca indera eksternal) dan daya yang mempersepsi dari dalam (indera batin, semisal
indera kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, waham, dan memori).
3.

Jiwa Rasional

Seperti yang dilakukan al-Farabi, Ibnu Sina membedakan dua daya di dalam jiwa
rasional, yaitu :
1.
Daya akal praktis, cenderung untuk mendorong manusia memuaskan perbuatan
yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, dapat disebuat juga perilaku moral.

2.
Daya akal teoritis, adalah mempersepsi potret-potret universal yang bebas dari
materi. Ada beberapa tingkatan akal teoritis, yaitu : 1) Akal potensial (akal hayulani); 2) Akal
bakat (habitual); 3) Akal aktual; 4) Akal perolehan.[7]
Ibnu Sina percaya bahwa kanabian terjadi akibat emanasi dari akal aktif kepada daya
imajinasi, yang ia sebut Daya Imajinasi Kompositif (al Mutakhayyilah). Namun, pada tingkat
yang lebih tinggi nabi memiliki sebuah daya suci atau bahkan disebut intuisi suci (al hads al
qudsi), yaitu daya yang paling tinggi yang diperoleh manusia. Dengan daya ini, nabi nabi
mengadakan kontak dengan akal aktif tanpa usaha keras dan didikan khusus terhadap daya
rasionalnya. Ibnu Sina membagi kenabian menjadi dua. Kategori rendah (umum) berfokus
pada imajinasi manusia yang berfokus menjadi dua: daya imajinatif rentetif (khayal) dan daya
imajinatif kompositif (mutakhayyilah). Kecakapan kognitif memainkan peranan penting
dalam semua upaya yang menyeluruh untuk memperoleh pengetahuan. Namun untuk waktu
yang panjang, ketika sedang tidur atau terjaga, kecakapan imajinatif kompositif mengadakan
kontak dengan wilayah supernal (malaku), yakni jiiwa, benda langit, akal non fisik, terutama
akal aktif. Maka, kontak akal manusia dengan akal aktif menghasilkan emanasi oleh jiwa dari
akal aktif, demikian juga kontak imajinasi kompositif dengan wilayah supernal juuga
memberi jiwa sebuah emanasi. Jika peristiwa itu lama, jiwa akan mencapai sebah persepsi
tentang benda-benda yang tersembunyi, baik secara pasti seperti adanya atau dipancarkan
dalam citra figuratif. Hal tersebut merupakan pemikiran yang masuk akal, atau ramalan masa
depan.
Biasanya, imajinasi kompositif mempunyai kendali yang bebas dalam keadaan terjaga
hanya dalam kondisi yang tidak normal.. imajinasi kompositif orang ini sangat cocok untuk
mengadakan kontak dengan wilayah supernal. Ketika melakukannya, orang tersebut
mengalami kenabian yang khusus bagi kecakapan imajinatif kompositif.
Ibnu Sina mengatakan bahwa imajinasi Nabi yang menyimbolkan pengetahuan
intelektual memungkinkan nabi melihat dalam jiwanya sendiri bentuk-bentuk psikis atau
mendengarkan suara-suara gaib. Yang termasuk kategori kenabian adalah pengatahuan
teoretis sejati yang dianugerahkan akal aktif kepada akal manusia tanpa ia sendiri harus
menggunakan prosedur-prosedur ilmiah yang baku. Selain itu, nabi juga mempunyai daya
mental yang luar biasa yang mana ia dapat menghasilkan peristiwa-peristiwa aneh yang
dipandang sebagai mukjizat.
Ibnu Sina dan al Farabi mengatakan bahwa nabi harus tetao dipandang sebagai
manusia sejati, dengan keistimewaan tertentu, tidak boleh dipandang sebagai manusia super
atau spesies lain yang lebih tinggi dari manusia. [8]
PENUTUP
Kesimpulan
Filasfat kenabian adalah pemikiran atau pengetahuan yang membicarakan tentang
hakikat dan kedudukan nabi. Perbedaan filosof dengan nabi adalah filosof adalah manusia
biasa dia dapat berhubungan dengan akal kesepuluh dengan latihan dan pemikiran
atau usahanya sendiri, sedangkan nabi adalah manusia pilihan dapat berhubungan dengan
akal kesepuluh dengan daya imajinasi. Metode nabi dan filosof menerima epistemologi
adalah nabi menerima pengatahuan dengan daya imajinasi tanpa dengan akal, tapi filosof
menerima pengetahuan dengan akal mustafat mustafad.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadi, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Mizan), 2003

Takeshita, Mashataka, Ibn Arabis Theory of the Perfect Man and Its Place in the
History of Islamic Thought, (Surabaya: Risalah Gusti), 2005
Anis Syarifah, FILOSOF IBNU SINA (Kosmologi, Filsafat Jiwa, Filsafat Kenabian
dan
Filsafat
Wujudnya), diakses
pada
22
November
2013,
dari
syarifahanis.blogspot.com/2012/05/filosof-ibnu-sina-kosmologi-filsafat.html
Mushlihin al Hafizh , Falsafat Kenabian Ibnu Sina, diakses pada 21 november 2013,
dari http://www.referensimakalah.com/2012/07/filsafat-kenabian-ibnu-sina.html
Wikipedia, Nabi,
diakses
http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi

pada

22

November

2013,

dari

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
FILSAFAT DALAM ISLAM

20122012
A. Asal-usul Pemikiran Filsafat
Didalam memahami ajaran agama Islam, setiap muslim amat tergantung pada kemampuan para ulama
dalam menggali dan menarik kesimpulah hulum-hukum Islam dari sumbernya Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam perkembangannya pemikiran Islam tidak saja hanya berkisar tentang hukum-hukum Islam, akan
tetapi sudah berkembang sampai dengan Teologi, dan Filsafat. Bahkan dewasa ini sudah berkembang
sampai dengan pemikiran Liberalis.
Lahirnya filsafat dunia islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmi kalam yang mendahuluinya.
Sebelumnya, para mutakallimin telah menggunakan matiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik
untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti yang paling akurat dapat dilacak
dalam kitab al-fiqh al-aqbar, karya abu Hanifah (W. 147 H / 768 M). [1] selain menggunakan mantiq,
beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti Jauhar (Substansi) dan Aradh (aksiden), yang notabene
banyak digunakan oleh Aristoteles dalam buku-bukunya.
Ini membuktikan, bahwa mantiq sebagai tehnik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan
oleh ulama kaum muslim pada abad ke-II H / VII M hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan
bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada masa itu. Bukti diatas hanya membuktikan
pemanfaatan logika mantiq dalam menghasilkan kongklusi.kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan
untuk menarik kongklusiyang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam
oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh ibnu sina.[2]
Disamping itu, penyebaran filsafat ini semangkit meningkat khususnya sejak al-Makmun, murid abu
Hudhail al-Allaf, tokoh muktazilah Baghdad, yang mendirikan baitul Hikmah tahun 217 H/813 M, sebuah
pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Dikota ini juga Al-Kindi (w. 260 H/873).
B. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
Perkembangan pemikiran dalam Islam, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) Pemikiran Ahl Fiqh,
(2) Pemikiran Teologi Islam, (3) Pemikiran Filsafat Islam.
1. PERKEMBANGAN CORAK FIKR AHL FIQH
Perkembangan fiqh dimulai sejak zaman Rasulullah saw masih hidup, pada masa ini tidak ada masalah
yang berarti dimana hal tersebur dikarenakan Nabi saw langsung menjasi pembuat fiqh dan melakukan
ijtihad sendiri. Pada masa Sahabat perkembangan fiqh terbagi menjadi dua, yaitu : kelompok alh anNash (seperti abuu huraurah & Anas), dan ahl al-Rayi (seperti Umar bin Khattab as). Setelah berakhirnya
kepemimpinan Ali bin Abi tholib perkembangan fiqh dinamakan Fiqh Tabiin, yang mana pada masa ini
fiqh terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Ahl an-Nash (para Fuqoha al-Sabaah / Madinah), dan Ahl alRayi (Fuqoha al-Shittah / Kuffah). Lebih lanjut berikut perkembangan fiqh serta corak yang
mempengaruhinya :
a.

Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Madinah

Corak pemikiran banyak dipengaruhi oleh kebuadayaan syiria dan kekuasaan Umayyah. Tokoh-tokohnya
antara lain : al-Awzai. Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-madinah adalah thesa atau dalam arti bahwa
fikih ahl al-madinah masih murni yang bersumberkan dari Al-Quran dan Hadits.
b.

Manhaj al-Fikr Fikih Asy-Syafii

Corak pemikirannya lebih banyak dipengaruhi (didominasi) al-Quran dan As-Sunnah. Toko-tokohnya
antara lain : Asy-Syafii, Ibn Hambali, dan Malik Ibn Abbas / Dawud Ibn Khalaf (keduanya cenderung juga
kepemikiran Fikih al-Madinah). Sedang sifat pemikiran fikiq Asy-Syafii adalah anti-thesa. Ini berarti juga
bahwa pemikiran ahl asy-Syafii sudah mengarah pada penggabungan antara fikih ahl al-madinah
(murni) dengan fikih ahl al-Iraq (yang sudah menggunakan rasional).
c.

Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Iraq

Corak Pemikiran yang digunakan adalah dengan menggunakan analogi dan dipengaruhi oleh kekuasaan
Abbasyiyah. Tokoh-tokohnya antara lain : Abu Hanifah, Asy-Syaibani (cendrung juga ke pemikiran AsSyafii). Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-Iraq adalah sinthesa. Pemiiran ahl al-Iraq sudah mengarah
kepada penggunaan akal secara berlebihan walau tidak mengenyampingkan Al-Quran dan As-Sunnah.
2. PERKEMBANGAN GOLONGAN TEOLOGI ISLAM
Tumbuh dan berkembangnya golongan-golongan teologi Islam, muncul setelah peran kepemimpinan
(Kekhalifahan) dalam Islam pindah dari Rasullah saw ke para Sahabat (Khulafaur Rasyidin). Dan
pembembangannya semakin bertambah besar setelah terbunuhnya Ali bin Abi Tholib dan pindahnya
kepemimpinan kepada Muawiyyah (yang menerapkan sistem kepemimpinan dengan model
monarkhi/kerajaan)
Theologi merupakan usaha pemahaman yang dilakukan para ulama (teolog muslim) tentang akidah
Islam yang terkandung dalam naqli (al-Quran dan As-Sunnah). Tujuan usaha pemahaman tersebut
adalah menetapkan, menjelaskan atau membela akidah Islam, serta menolak akidah yang salah dan
atau bertentangan dengan akidah Islam. Dengan demikian fungsi Teologi adalah bertugas menjelaskan
dan memberikan pemahaman terhadap kebenaran parrenial Islam dengan bahasa Kontekstual.
Adapun aliran-aliran Teologi Islam dapat dijabarkan antara lain sebagai beikurt :
a.

Golongan Khowarij (Teologi Eksklusif)

Khowarij ini muncul setelah perang siffin antara Ali dan Muawiyyah. Inti dari pokok pikirannya adalah :
(1) Bahwa, Ali, Usman dan orang-orang yang turut dalam peperangan Jamal, dan orang-orang yang
setuju adanya perundingan antara Ali dan Muawiyyah, semua dihukumkan orang-orang Kafir, (2)
Bahwa, setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar, hingga matinya belum
taubat, orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka, dan (3) Bahwa, boleh keluar dan tidak
mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu seorang yang zalim atau khianat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teologi golongan khowarij bahwa orang yang berdosa besar
dicap sebagai orang kafir, lawan dari orang kafir adalah orang yang beriman, orang yang beriman wajib
berijtihad memerangi orang kafir, karena orang kafir halal darahnya. (yang disebutkan orang kafir disini
adalah sebagaimana disebutkan diatas).
b.

Golongan Murjiah (Teologi Inklusif)

Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijrah. Aliran ini berpendapat bahwa, orangorang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar, hingga matinya tidak juga taubat, orang itu belum
dapat dihukum sekarang. Terserah atau ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada Allah kelak
setelah hari kiamat. Pendapat ini adalah kebalikan dari faham Khawarij. Selain itu faham ini berpendapat
bahwa Tidak akan memberi bekas dan memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap
keimanan.Demikian pula sebaliknya, Tidaklah akan memberi manfaat dan memberi faedah ketaatan
seseorang, terhadap kekafirannya (artinya : tidaklah akan berguna dan tidaklah akan memberi pahala
perbuatan baik yang dilakukan oleh orang yang telah kafir).
c.

Golongan Khowarij (Teologi Rasional)

Tokohnya adalah Abu Huzdaifah washil bin Atha Al-Ghazali. Aliran ini berpendapat bahwa, manusia
adalah merdeka dalam segala perbuatan dan bebas bertindak. Sebab itu mereka diazab atas perbuatan
dan tindakannya. Tentang ketauhidan, mereka menafikan dan meniadakan sifat-sifat Allah. Artinya
Tuhan itu ada bersifat. Karena seandainya bersifat yang macam-macam, niscaya Allah Taala berbilang
(lebih dari satu). Inilah yang dimaksud mereka Ahli Tauhid, menafikan sifat-sifat Allah.

d.

Golongan Asyariyah

Golongan ini muncul pada abad ke 11, yang berkembang di Baghdad dengan salah satu tokohnya adalah
: Hakim al-Baqailani dan al-Juwaini. Pokok pemikirannya cenderung pada pemikiran Rasional, hampir
sama dengan pemikiran golongan Mutazilah.
3. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (TOKOH-TOKOH FILSAFAT ISLAM)
a.
Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1050-1111 M (Tahafutut al-Falasifah), Pokok pemikiran dari
al-Ghozali adalah tentang Tahafutu al-falasifah (kerancuan berfilsafat) dimana al-Ghazali menyerang
para filosof-filosof Islam berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga diantaranya, menutur alGhazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan,
dan Kebangkitan jasmani.
b.
Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M (Teori Kebenaran Ganda), Salah satu
Pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalahmasalah tersebut pada porsinya dari seranga al-Ghazali.Untukitu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut
al-Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazalilah yang kacau dalam
berfikirnya.
c.
Pemikiran Filsafat Suhrawardi / 1158-1191 M (Isyraqiyah / Illuminatif), Pokok pemikiran
Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu
adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq) yaitu Tuhan itu sendiri. Yang kemudian memancar menjadi Nuur al-Awwal,
kemudian memancar lagi mejadi Nuur kedua, dan seterusnya hingga yang paling bawah (Nur yang
semakin tipis) memancar menjadi Alam (karena semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat).
Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari Ilmu dan atau kebenaran adalah Allah, alam dan
Wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh manusia untuk mengetahui keberadaan Allah.
Sehingga keduanya, antara Alam dan Wahyu adalah sama-sama sebagai ilmu.
d.
Pemikiran Filsafat Islam Lainnya, Disanping ketiga tokoh pemikir filsafat Islam tersebut diatas,
berikut tokoh-tokoh pemikir filsafat Islam lainnya, antara lain :
1)

Al-Kindi (806-873 M)

Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Relevansi agama dan filsafat, fisika dan metafisika
(hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan Kenabian.
2)

Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M)

Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama (penolakan terhadap kenabian dan
wahyu), prinsip lima yang abadi, dan hubungan jiwa dan materi.
3)

Al-Farabi (870-950 M)

Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat, metafisika (hakekat Tuhan), teori
emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal), dan teori kenabian.
4)

Ibnu Maskawih (932-1020 M)

Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : filsafat akhlaq, dam filsafat jiwa.
5)

Ibnu Shina (980-1036 M)

Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika, filsafat emanasi, filsafat jiwa
(akal), dan teori kenabian.
6)

Ibnu Bajjah (1082-1138 M)

Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : metafisika, teori pengetahuan, filsafat akhlaq,
dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup secara sendiri).
7)

Ibnu Taufal (1082-1138 M)

Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : percikan filsafat, dan kisah hay bin yaqadhan.

[1] Abu Hanifah, Matan al-Fiqh al-akbar, hal. 323.


[2] Ibnu Sina, Risalah fi aqsam al-ulum al-aqliyah, hal. 27

Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani (3sempurna)


Definisi dari Epistemologi
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos.
Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori
tentang pengetahuan. Dan juga merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal,
metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan.
Istilah epistemologi terkait dengan :
a. Filsafat, yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b. Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh
pengetahuan.
c. Sistem, yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistimologi :
1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan
bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pilkiran kita?
Dan kalau ada apakah kita bisa mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari
yang salah?
Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistimologis menyangkut dua macam, yakni
epistimologi kefilsafatan yang erat hubungannnya dengan psikologi dan pertanyaanpertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek
pengetahuan tersebut.
Epistimologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pemgetahuan. Perbedaan
mengenai pemilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan
yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi, atau sarana yang lain. Ditunjukan bagaimana kelebihan
dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas dari suatuyang diperoleh
melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme,
rasionalisme, dan positivisme. Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan
penyelidikan ilmiah secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki
kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera
diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja.
Sedangkan metode positivisme yang dikemukakan August Comte menyatakan bahwa
hasil penginderaan menurut rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis.

Aliran positivisme menganggap bahwa penginderaan itu harus dipertimbangkan oleh akal,
kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan.
Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa
pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari
epistemologi adalah manusia sendiri. Didalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada
manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya.
Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah,
dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun, bukan
berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia,
dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan.
Seperti telah disebutkan pada bagian awal dari pembahasan ini, setidaknya ada tiga
model berfikir yang umum dipaakai oleh banyak kalangan manusia. Berikut akan kami
uraikan tiga model berpikir yang umum dipakai dalam studi (kajian) islam, oleh al-Jabiri
yakni :
1.Model Linguistik atau tekstual (bayani),
2.Model Demonstratif (Burhani), dan
3.Gnostik atau intuitif (`Irfani).
A; Epistemologi Bayani
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber
epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan
menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks nonnash berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini
cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik
yang muncul terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari
epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1) Epistemology ini menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma)
yang harus dipatuhi, diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh
dipertanyakan apalagi ditolak.
2) Teks yang dikaji pada epistemology bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya,
barangkali historitas aslinya berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post industry
dan informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk
diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3) Kajian dalam model epistemology bayani ini tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan
konstektualisasi (relevansi).
Sebenarnya model berpikir semacam ini sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha',
mutakallimun dan ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan
untuk :
a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang
dikandung dalam (atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan
untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan
b) mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.

Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, epistimologi bayani dapat diartikan


sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang
memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai
pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Untuk itu epistemologi bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu
bahasa dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai
metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci yang sering dijumpai dalam pendekatan ini
meliputi asli, far'I, lafz ma'na, khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf).
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan :
Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi :
a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat
yaqin maupun tasdiq;
Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna
muasyabbih fih, dan makna bathil;
Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b)
al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib
khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam epistemologi bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran
akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul
fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki
kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik kelemahan dari epistemology bayani yang kami
sebutkan di atas, kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan
dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena
otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah
teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani
menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini
muncul suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan kurang lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam konteks ini tentu diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama saya).
B. Epistemologi Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum
logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan
komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci,
yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas
dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh
sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di

alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social. Corak model berpikir yang digunakan
adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Mengenai model berpikir bayani dan burhani Van Peursen mengatakan bahwa akal
budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu.
Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa
dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan.
Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri
pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses,
dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan
hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Dari pendapat tersebut kita seharusnya bisa mengambil sikap terhadap kedua
epistemology bayani dan epistemology burhani, bukan berarti harus dipisahkan dan hanya
boleh mengambil atau memilih salah satu diantara keduanya. Malah untuk menyelesaikan
problem-problem social dan dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan
keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif, yakni mencoba untuk memadukan model
berpikir deduktif dan model berpikir induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat
konstektual terhadap nash dan hasil penelitian-penelitian empiris justru kelak melahirkan
ilmu islam yang sempurna dan lengkap (konprehensif), luar biasa, dan kelak dapat
menuntaskan problem-problem masa kini khususnya di Indonesia.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut
Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qiraah
talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada akhirnya akan
mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter
(Authoritharian hermeneutic).Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks
ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan
mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah
(tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam
pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling
mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi
dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada
maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata
kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam
pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1. Ilmu al-lisan, yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya
dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara
merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang
dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. dan
2. Ilmu al-mantiq, yang membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat
menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara
segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan

hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan


untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh
darinya.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan
falsafat al-thani.
Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir
(jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah, dan asbab
yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku
pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia).
Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1)
hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (al-sunnah al-alamiyah)
maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah
qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi'ah).
Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau
berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai
pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound
reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia
berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan
humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi
pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosialkeislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi
(sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah
(tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas
sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode
ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan
metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan
dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta
budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya
dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia
Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta
masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi
ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks sejarah masa lalu, kini
dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan
perubahan). Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan
lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.

Kelemahan dan kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan burhani ini
adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika
dalam permasalahannya ada yang diutamakan antara teks atau konteks. Sebagaimana kita
ketahui bahwa masyarakat lebih banyak memenangkan tekstualitas daripada
kontekstualitasnya, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
C. Epistimologi Irfani

Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham
dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan
diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya
mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas
'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan
yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk
mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah
al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang
dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga
manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah
dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk
menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam
manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst;
b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian,
al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga
menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi,
bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula
mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang
batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah).
Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan
dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqimajazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi
mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada
pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan
pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna
kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan
nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an
bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya
mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan
warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna
batinnya.

Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif
harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut
pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai
al-hikmah
al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh
konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini,
mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang
dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan
kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal
bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap
sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan
melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima
"pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir
ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan
dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang
lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah
mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan
mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang
lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan
esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural,
dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan
setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan,
pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Berikut ini adalah tabel perbandingan antara ketiga epistemologi Islam yang telah
dijelaskan sebelumnya, epistemologi bayani, irfani, dan burhani :
Tabel 1. Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani
Bayani

Irfani

Burhani

Sumber

Teks Keagamaan/
Nash

Ilham/ Intuisi

Rasio

Metode

Istinbat/ Istidlal

Kasyf

Tahlili (analitik),
Diskursus

Pendekatan

Linguistik

Psikho-Gnostik

logika

Tema sentral

Ashl Furu
Kata Makna

Zahir Batin
Wilayah Nubuwah

Essensi Aksistensi
Bahasa Logika

Validitas kebenaran

Korespondensi

Intersubjektif

Koherensi
Konsistensi

Pendukung

Kaum Teolog,
ahli Fiqh,
ahli Bahasa

Kaum Sufi

Para Filosof

D. Kesimpulan
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan
kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka
menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf)
yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme
atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi
bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al
tajribah wa muhakamah 'aqliyah) [6]
Sikap terhadap ketiga epistimologi diatas yaitu, bayani, burhani, dan irfani bukan
berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk
menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan
ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu islam yang lengkap (komprehensif),
dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keindonesiian.

DAFTAR PUSAKA
1. Nasrah, Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam,
Universitas Sumatera Utara
2. Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi islam.
Yogyakarta: Tazzaff dan ACAdeMIA, 2009.
3. Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam.
Yogyakarta : Bayu Media, 2003.
4. http://agustianto.niriah.com/2008/03/11/epistemologi-ekonomi-islam
/waktu akses : 1 november 2009.
5. http://khudorisoleh.blogspot.com/2008/07/modelmodel-epistemologi-islam.htm
/waktu akses : 1 november 2009.
6. http://muhammad-kurdi.blogspot.com/2008/10/pendekatan-bayani-burhani-dan-irfani.html
/waktu akses : 10 oktober 2009.

Filsafat dan Metodologi Pemikiran Islam


Muhammad Syariyansah Jumat, 10 Oktober 2014 03.00 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Banyak kalangan yang telah salah faham tentang filsafat Islam, ia masih sering dilihat dari aspek
sejarahnya disamping sedikit kajian metafisika. Hal tersebut tidak hanya terjadi dikalangan
pesantren di Indonesia dan Madrasah di Pakistan yang memang masih diselimuti trauma-filsafat,
namun juga di berbagai perguruan tinggi Islam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin

Abdullah (kata pengantar dalam Wacana Baru Filsafat Islam:2003) hal serupa juga saya rasakan di
IIU Islambad, kajian filsafat masih banyak terfokus pada aspek historis tanpa ada perhatian berarti
terhadap aspek metafisika, etika, estetika dan terutama logika dan epistemologi. Akibatnya
menurut saya- dengan hal tersebut kajian filsafat Islam tidak mengalami perkembangan yang
berarti. Yang dimaksud dengan filsafat Islam sesungguhnya bukan sekedar bahasan tentang
ismeisme atau aliran-aliran pemikiran apalagi sekedar uraian panjang lebar tentang sejarah
perkembangan pemikiran Islam beserta tokoh-tokohnya, tapi lebih merupakan bahasan tentang
proses berfikir. Filsafat adalah metode berfikir, yaitu berfikir kritis analitis dan sistematis. Filsafat
lebih mencerminkan 'proses' berfikir dan bukan sekedar 'produk' pemikiran. Dalam hal ini Fazlur
Rahman menegaskan bahwa filsafat merupakan alat intelektual yang terus menerus diperlukan. Ia
harus berkembang secara alamiah, baik untuk filsafat itu sendiri maupun disiplin ilmu yang lain.
Hal ini dapat difahami karena filsafat melatih akal pikiran untuk bersikap kritis analitis dan mampu
melahirkan ide-ide yang segar sehingga ia menjadi alat intelektual yang sangat penting bagi ilmuilmu lain, termasuk ilmu agama dan teologi. Oleh karena itu orang yang menjauhi filsafat telah
melakukan bunuh diri intelektual (Fazlur Rahman, Islam and Modernity : 1982) Kelesuan berfikir
dan berijtihad dikalangan umat Islam sampai saat ini, salah satunya disebabkan oleh keengganan
mereka dengan filsafat. Bahkan, menurut Al-Jabiri, sejak pertengahan abad ke-12 M, hampir semua
khazanah inelektual Islam selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah
pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan (Bunyah al Aql al Araby:1990). Karena itu kita
tidak boleh lagi berpaling dan menghindar dari filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan
kekuatan spiritual Islam akan sulit untuk menjelaskan identitasnya dalam lingkungan dunia global.
Namun filsafat yang saya maksud disini bukan hanya sekedar uraian sejarah dan tokoh-tokohnya
yang merupakan 'produk' pemikiran, melainkan lebih pada sebuah metodologi atau epistemologi.
Metodologi Bayani, 'Irfani dan Burhani
Dalam khazanah filsafat Islam dikenal tiga buah metodologi pemikiran, bayani, 'irfani, burhani.
Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks. Teks suci al qur'anlah
yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran, sedangkan
rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas
teks tersebut. 'Irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman
langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat
eksoteris, sasaran bidik 'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan
sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. Sedangkan burhani
adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar
runtutan nalar logika, bahkan dalam tahap tertentu, teks dan pengalaman hanya bisa diterima
apabila tidak bertentangan dengan aturan logis. Masing-masing dari ketiga model metodologi
berfikir tersebut dalam lembaran sejarah telah menorehkan prestasinya masing-masing. Nalar
bayani telah membesarkan disiplin fiqh dan teologi (ilmu kalam), irfani menelurkan teori besar
dalam sufisme dan burhani telah membawa filsafat kepada puncak kegemilangannya. Namun
bukan berarti ketiga metodologi tersebut bebas cacat. Kelemahan bayani adalah ketika
berhadapan dengan teks yang berbeda milik komunitas atau bangsa lain. Karena otoritas terletak
ditangan teks sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal, sementara sebuah teks belum
tentu diterima oleh komunitas lain, maka pada saat berhadapan dengan pertentangan tersebut
nalar bayani biasanya cenderung mengambil sikap dogmatik, defensif dan apologetik, ia demikian
tertutup sehingga kadang sulit untuk bisa diajak berdialog yang sehat. (untuk lebih lanjut lihat
Farid Esack, Qur'an, Liberation and Pluralism: 2006). Sedangkan dalam metode 'irfani bisa lihat dari
ter'baku'kannya term-term semisal ilham, kasyf dan dlamir dalam tarekat-tarekat dengan berbagai

wiridnya. Hal inilah yang kemudian dikritk oleh Fazlur Rahman sebagai religion within religion
(Islam:1979) sementara itu, metode burhani, meskipun ia rasional tapi masih lebih berdasar pada
model pemikiran induktif-deduktif. Kedua metode tersebut sangat tidak memadai dalam
perkembangan pemikiran kontemporer. (al Mantiq al Aristhi kama Shawwarahu al Ghazali: 1980)
Melihat kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masing-masing metodologi tidak bisa
digunakan secara mandiri untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Untuk
mencapainya. Ketiga hal tersebut harus disatukan dalam sebuah jalinan sirkuler. Maksudnya,
ketiga model tersebut diikat dalam sebuah jalinan kerjasama untuk saling mendukung dan mengisi
kekurangan masing-masing sehingga terciptalah Islam yang 'shalih li kulli zaman wa makan', Islam
yang aktual dan kontekstual dalam semua tingkat peradaban. Kita harus mengambil filsafat, bukan
sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologinya dengan dibantu ilmuilmu
kontemporer sehingga ia mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap
perngembangan keilmuan Islam ke depan
Sumber: http://id.scribd.com/doc/99205312/Filsafat-Dan-Metodologi-Pemikiran-Islam
Filsafat

etodologi dalam Pemikiran Islam (Sebuah Pengantar)

Terminologi Filsafat Islam, tak sedikit yang mengkritik dan


meragukannya, benarkah ada yang disebut filsafat Islam itu?. Ataukah yang disebut filsafat Islam itu
tak lebih sekedar sejarah pemikiran dari para filosof yang kebetulan beragama Islam tentang tematema filsafat yang sebetulnya telah dibahas dalam filsafat Yunani?. Beragam asumsi diajukan oleh
para pemikir muslim untuk membuktikan bahwa yang disebut dengan filsafat Islam itu benar-benar
ada dan berbeda dengan corak filsafat yang lain, khususnya filsafat Yunani. Dalam catatan singkat
ini, penulis mencoba membahas karakteristik filsafat Islam dengan melihat karakteristik khas dari
metodologi berpikirnya.
Filsafat bukanlah sekedar kumpulan produk pemikiran yang pernah tersaji dalam sejarah pemikiran
para tokoh. Dan filsafat juga bukan sekedar isme-isme atau aliran pemikiran yang digagas oleh para
pemikir. Tapi filsafat adalah metodologi berpikir, yaitu berpikir kritis-analitis, radikal, universal,
sistematis. Dan reflektif. Filsafat lebih mencerminkan sebagai proses berpikir dan bukan sekedar
produk pemikiran, oleh karena itu berbeda antara filsafat dan sejarah filsafat.
Dalam pembelajaran filsafat Islam yang umumnya dilakukan di ranah akademik maupun non
akademik, filsafat Islam lebih sering dibahas dari sudut pandang sejarahnya dan juga lebih sering
berkutat pada aspek-aspek pembahasan seputar metafisika. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof.

Amin Abdullah, kajian filsafat Islam cenderung tidak mengalami kemajuan yang berarti, apalagi
memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal apa yang ada
dalam cakupan filsafat tidak hanya sekedar aspek sejarah, melainkan tema-tema pokok yang
menjadi bagian penting dalam studi filsafat itu sendiri. Tema pokok yang menurut penulis paling
penting, namun jarang disentuh adalah aspek karakteristik epistemologi dan metodologi berpikir yang
ada dalam pembahasan filsafat Islam.
Dalam khasanah keilmuan Islam, filsafat sering tidak mendapatkan tempat yang layak, bahkan sering
diserang dan dipojokkan, baik filsafat sebagai pendekatan, metodologi, maupun keilmuan. Bahkan
stigma mengenai filsafat pun acapkali dilontarkan. Filsafat sering dianggap sebagai momok pemikiran
dan bahkan sebagai virus akidah yang akan merusak keimanan umat Islam. Padahal, sebagaimana
dikatakan oleh Prof. Osman Bakar; kemunduran umat Islam lebih disebabkan karena umat Islam
menjauhi filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, ajaran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit bahkan
mustahil- untuk menjelaskan jati dirinya dalam era keilmuan global. Namun, yang perlu ditekankan di
sini, filsafat yang dimaksud bukan sekedar sejarah pemikiran saja tapi lebih pada epistemologi dan
metodologi.
Dalam khasanah filsafat Islam, dikenal ada tiga model metodologi berpikir, yakni bayani,
burhani, dan irfani. Metode berpikir bayani adalah model berpikir yang didasarkan pada teks. Teks
sucilah yang memiliki otoritas penuh untuk memberikan arah dan arti dari kebenaran yang dicari,
sedangkan rasio berfungsi sebagai pengawal untuk memahami kebenaran di balik otoritas teks
tersebut. Metode berpikir burhani adalah metode berpikir yang tidak didasarkan pada teks ataupun
pengalaman spiritual, melainkan atas dasar keruntutan logika. Bahkan, pada tahap tertentu,
keberadaan teks suci bahkan pengalaman spiritual baru dapat diterima jika sesuai dengan aturan
berpikir logis. Sedangkan metode berpikir irfani adalah metodologi berpikir yang berbasis pada
pengalaman batin yang bersifat langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan.
Karena itu, nalar irfani menyasar pada dimensi esoteris dari kebenaran, dan dalam hal ini rasio
digunakan untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual tersebut secara logis dan sistematis.
Idealnya ketiga model berpikir tersebut bekerja secara sinergis dan berjalin-kelindan dalam mengurai
makna tiap-tiap kebenaran berdasarkan disiplin ilmu dan perspektif yang berbeda.
Nalar bayani digunakan untuk memahami teks dalam pendekatan kebahasaan dan aspek
normatifnya, sedangkan nalar burhani menuntun untuk memaksimalisasi kerja rasio dalam
memahami teks dan sumber ilmu lainnya dengan berdasarkan hokum-hukum logika, dan
nalar irfani yang menyasar aspek batin dari teks dan pengetahuan berfungsi untuk memahami
kebenaran secara langsung dengan kehadiran (knowledge by presence).
Nalar bayani digunakan dalam lapangan ilmu fiqh (yurispredensi Islam), nalar burhani digunakan
untuk mengembangkan lapangan keilmuan rasional, sperti filsafat, humaniora, sains, dan lain-lain,
sedangkan nalar irfani digunakan dalam memahami bidang sufisme dan kajian esoterisme Islam.
Ketiga model berpikir tersebut masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya sendiri-sendiri,
yang jika digunakan secara parsial maka akan sangat rentan pada kelemapahan pengembangan
keilmuan dan sangat mustahil untuk bisa menghasilkan khasanah ilmu Islam yang holistik. Ketiganya
membentuk gugus epistemologi Islam yang komprrehensif-integratif dalam bingkai keilmuan yang
ilmiah-intuitif-normatif.
Dengan mengambil filsafat Islam, bukan sekedar sejarahnya melainkan lebih pada aspek metodologi
berpikirnya dan diaplikasikan secara maksimal sinergis. Maka kiranya pencapaian Islam yang shalih
li kulli zaman wa makan (senantiasa actual pada tiap ruang dan waktu) akan bisa terwujud.
Mengulang pernyataan pemikir Islam kontemporer kelahiran Pakistan, Ziauddin Sardar; umat Islam
sekarang sedang mengalami krisis epistemologi, maka untuk mengatasi krisis yang dimaksud oleh

Sardar tersebut, telaah mendalam dan aplikasi maksimal yang sinergis mengenai ketiga metodologi
berpikir tersebut bias menjadi solusi.
I.
Epistemologi Bayani
A. Mukaddimah
Nalar bayani merupakan salah satu dari tiga metodologi berpikir yang diperkenalkan oleh para
pemikir muslim. Akar nalar bayani menurut alm Abed al-Jabiri adalah tradisi berpikir Arab pra Islam.
Sebagaimana dikatakan oleh al-Jabiri, yang dimaksud berpikir dalam tradisi Arab adalah tindakan
atau penjelasan tentang bagaimana seseorang harus berbuat. Hal ini berbeda dengan model berpikir
dalam tradisi Yunani yang menjadikan pemikiran berkaitan erat dengan upaya mencari sebab dari
sesuatu. Model berpikir Yunani inilah yang kelak akan mempengaruhi tradisi pemikiran Islam yang
kemudian disebut dengan istilah nalar burhani(demonstratif)
B. Defenisi
Secara
etimologis, bayani berarti
penjelasan
atau eksplanation,
sedangkan
secara
terminologi, bayani mempunyai 2 arti aturan-aturan penafsiran wacana dan syarat-syarat
memproduksi wacana. Bayani merupakan pemikiran khas Arab (menurut al-Jabiri) yang menekankan
otoritas teks (nash), baik secara langsung maupun tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal
kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Jadi nalar bayani merupakan metode berpikir yang
menjadikan teks sebagai rujukan primer. Dalam perspektif keislaman, sasaran bidik dari nalar bayani
adalah aspek eksoteris dari Islam (syariat). Oleh karena itu, tradisi pemikiran Islam, epistemologi
bayani banyak dipakai oleh ulama dalam studi fiqh atau yurisprudensi Islam. Tokoh-tokoh pertama
yang memperkenalkan epistemologi bayani dalam sejarah pemikiran Islam antara lain, Maqatil bin
Sulaiman, Ziyad al-Fara, Imam Muhammad bin Idris al-Syafii (Imam Syafii), dan
ulama mutakallim danfuqaha salaf lainnya.
C. Metodologi
Epistemologi bayani berpijak pada teks, dan yang dimaksud di sini adalah Alquran dan hadis atau
riwayat keagamaan lainnya. Karena itu, epistemologi bayanimenaruh perhatian besar dan sangat teliti
pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Hal ini menjadi sangat urgen, karena benar
tidaknya transmisi teks sangat menentukan benar tidaknya pengetahuan yang didapatkan. Jika
proses transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, maka teks tersebut benar dan bisa dijadikan
sumber kebenaran. Dan sebaliknya jika proses transmisi teks tidak bisa dipertanggungjawabkan,
maka dengan sendirinya kebenaran dari teks tersebut pun diragukan.
Karena epistemologi bayani sangat menekankan otoritas teks sebagai sumber kebenaran, namun
pada praksisnya ada yang memahami teks secara langsung sebagai sumber pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah hingga perlu penafsiran dan penalaran. Meski menggunakan penalaran
dan penafsiran dalam memahami teks, posisi teks sebagai otoritas kebenaran tetaplah tidak terganti,
dalam artian rasio tidak bebas menentukan makna dan maksud dari teks, tetapi tetap harus
bersandar pada teks, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan
pada teks.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, yaitu; berpegang teguh
pada
redaksi
(lafaz)
teks
dengan
menggunakan
kaidah
bahasa
Arab,
seperti nahwu dan sharaf sebagai perangkat analisa. Serta menggunakan metode qiyas (analogi) dan
inilah prinsip utama dalam epistemologi bayani yang kemudian diterapkan dalam ushul fiqh yaitu

dengan memberikan keputusan hukum atas suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada
kepastian hukumnya dalam teks karena ada kesamaan illat.
Menurut Abed al-Jabiri, nalar bayani berkaitan erat dengan hubungan antara teks dan realitas, maka
persoalan pokok yang dihadapi adalah relasi teks dan makna yang mencakuptentang makna suatu
kata, apakah didasarkan pada konteks ataukah makna katanya serta persoalan seoutar analogi
bahasa yang sering digunakan dalam istimbath hukum, misal antara kata nabidz (perasan gandum)
dan khamr (perasan
anggur),
apakah nabidz bisa
dianalogikan
dengan khamr?
Ataukahnabidz dan khamr bisa dianalogikan dengan narkoba sehingga melahirkan kesimpulan
hukum yang sama?
D. Khatimah
Epistemologi bayani telah memberikan sumbangsih besar dalam disiplin ilmu fiqh atau yurisprudensi
Islam, namun penggunaan nalar bayani secara ketat dan an sichakan melahirkan kejumudan dalam
pola pikir. Pola pikir akan menjadi sangat tertutup karena dikerangkeng oleh teks. Sehingga dari
penggunaan nalar bayani akan sangat sulit diharapkan munculnya dialog yang sehat demi
tercapainya sikap saling memahami seperti yang dituntut dalam kehidupan modern. Lokus
nalar bayaniyang sangat terbatas akan sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan
sejarah ilmu pengetahuan dan sosial manusia yang begitu cepat perubahannya. Hal ini terlihat
dengan masih dominannya nalar bayani-fiqhiyah sebagai mindset paradigmatik umat Islam ternyata
kurang bisa merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Namun, terlepas dari
kekurangannya, epistemologi bayani telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks keislaman.
II. Epistemologi Burhani
A. Mukaddimah
Nalar burhani (demonstratif)
merupakan
pengaruh
dari
tradisi
pikir
Yunani,
nalar burhani (demonstratif logic) sebagaimana dikatakan oleh Abed al-Jabiri merupakan hasil dari
tradisi berpikir Yunani yang memposisikan pemikiran manusia pada upaya untuk mencari sebabsebab dari sesuatu. Masuknya pengaruh nalarburhani dalam pemikiran Islam ditandai dengan
penerjemahan besar-besaran karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab di masa khalifah alMakmun. Menurut al-Jabiri hal ini merupakan tonggak pertemuan antara nalar rasional Yunani
dengan nalar teks Arab.Berbeda dengan epistemologi bayani yang mendasarkan kebenaran pada
teks, epistemologi burhani sangat menekankan pada kekuatan rasio yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.
Epistemologi burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian epistemologi burhani memberikan
porsi yang sangat besar pada kekuatan rasio manusia dalam mencapai kebenaran.
B. Defenisi
Nalar burhani (demonstratif) secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk
menerapkan kebenaran proposisi (qadliyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintaj) dengan
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara
aksiomatik (badhihi). Prinsip-prinsipburhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles dengan didasarkan
pada silogisme dan 10 kategori substansi dan aksiden. Pemikir muslim pertama yang mengenalkan
dan menggunakan metode burhani dalam pemikiran Islam adalah al-Kindi. Dengan menggunakan
pendekatan nalar ini al-Kindi merumuskan konsep-konsep filsafatanya tentang Tuhan, penciptaan
alam, dan keabadian jiwa. Metode Burhani akhirnya benar-benar mendapatkan tempat setelah al-

Farabi, filosof paripatetik yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles menggunakan totallitas
nalar burhani dalam pemikiran filsafatnya. Dengan demikian nalar burhani dalam sejarah pemikiran
Islam diterima dan dikembangkan oleh kalangan filosof dari mazhab paripatetik.
C. Metodologi
Metode berpikir burhani didasarkan pada pendekatan analitik-deduktif dengan menggunakan
silogisme. Namun sebelum sampai pada tahapan silogisme, harus dimulai dengan 3 tahapan, yaitu;
pengertian (maqulat), pernyataan (ibarat), dan penalaran (tahlilat). Tahap pengertian adalah proses
abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran dengan merujuk pada 10 kategori
Aristoteles. Tahap pernyataan adalah tahap pembentukan kalimat atau proposisi (qadliyah) atas
pengertian-pengertian yang ada. Dalam proposisi ini harus memuat unsur subjek dan predikat serta
adanya relasi di antara keduanya (kopula). Untuk mendapatkan suatu pengertian yang tidak
diragukan, proposisi harus mempertimbangkan lima kriteria (kulliyatul khamsah), yakni species (nau),
genus (jins),differensia (fashl), propium atau sifat khusus (khas) dan aksidentia (sifat umum
atau aradl). Tahap penalaran adalah tahap pengambilan kesimpulan berdaarkan atas hubungan dari
premis-premis yang ada.
Karena premis-premis burhani haruslah premis-premis yang benar, dan premis yang benar adalah
premis yang memberikan keyakinan yang meyakinkan (tasdhiq al-yaqin). Al-Farabi membagi materimateri premis itu ke dalam empat bentuk sesuai dengan tingkat keshahihannya. Yang tertinggi adalah
pengetahuan primer yang bersifat aksiomatik, pengetahuan indera, opini-opini yang umumnya
diterima (masyhurat), dan opini-opini yang ditterima (maqhulat). Suatu premis bisa dianggap
meyakinkan
bila
memenuhi
syarat-syarat prima
principia Aristoteles.
Metode
berpikir burhani menggunakan pengetahuan primer sebagai premisnya. Namun jenis-jenis
pengetahuan indera juga bisa dijadikan dalil aksioma selama pengetahuan indera tersebut harus
sama saat diamati d mana pun dan kapan pun, dan tidak memungkinkan pernyataan yang
sebaliknya. Sedangkan masyhurat dan maqhulat lebih cenderung tidak diterima sebagai kebenaran
yang bisa dijadikan dasar dalam silogisme.
D. Khatimah
Dengan menggunakan kekuatan rasio, epistemologi burhani telah berjasa mengembangkan
pemikiran filsafat Islam yang merambah pada pengembangan ilmu-ilmu rasional lainnya dalam tradisi
dan sejarah pemikiran Islam dan cukup membantu upaya fleksibilitas epistemologi bayani yang telah
ada sebelumnya namun cenderung dipahami secara rigid. Namun epistemologi burhani bukan berarti
tidak menyisakan ruang bagi catatan epistemologis. Oleh kaum arifin, epistemologi burhanidikritik
karena tidak mampu mengantarkan manusia untuk mengetahui hakekat dari pengetahuan, karena
epistemologi burhani lebih bersifat deskriptif-analitik hingga tidak bakal mampu mengantarkan
manusia dalam menyingkap kebenaran yang sesungguhnya yang hanya bisa didekati dengan
pendekatan intuitif melalui pengetahuan kehadiran (hudhuri atau knowledge by presence). Karena
coraknya yang analitik, maka nalar burhani adalah epistemologi yang meneropong realitas sebagai
kenyataan yang berada dalam ruang (spasial) dan waktu (temporal), sehingga epistemologi burhani
akan gagal memahami kenyataan sebagai suatu fakta yang utuh. Nalar burhani sebagaimana yang
dikritik oleh Suhrawardi bahwa nalar burhani sesungguhnya tidak memberikan apa-apa dan tidak
menghasilkan pengetahuan baru. Namun, terlepas dari segala catatan epistemologisnya,
nalar burhani telah berkontribusi besar bagi pengembangan dua metode berpikir lainnya,
yaitu bayani danirfani. Dengan pendekatan burhani, makna teks bisa didekati dengan pendekatan
rasional serta pengalaman intuitif-irfani bisa dipahami oleh rasio manusia

III. Epistemologi Irfani


A. Mukaddimah
Salah satu corak berpikir sebagai warisan dari sejarah pemikiran Islam adalah nalar irfani. Sebuah
model epistemologi yang didasarkan pada kasyf setelah melalui proses riyadhah kepada Allah.
Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik dari epistemologi irfani adalah aspek esoterik dari
syariat. Dan berkebalikan dengan epistemologi burhani yang menghadirkan pengetahuan melalui
perantara konsepsi (knowledge by represence atau ilmu hushuli), epistemologi irfanimenghadirkan
pengetahuan dengan kehadiran (knowledge by presence atau ilmu hudhuri). Banyak pendapat
mengenai tradisi apa yang memberikan sumbangsih bagi terbentuknya sendi-sendi
epistemologi irfani. Dhozy dan Tholk menyebutkan epistemologi irfani dipengaruhi oleh tradisi
mistisisme Persia atau Majusi. Van Krener dan Ignaz Goldziher menyebutkan irfan dipengaruhi oleh
sumber-sumber Kristen didasarkan pada asumsi mengenai interaksi antara orang Arab Islamdan
kaum Nasrani serta adanya kesamaan praktek riyadhah dengan tradisi para rahib (minus celibet).
Horten dan Hartmann menyebutkan irfani ditimba dari India salah satunya didasarkan pada asumsi
mengenai konsep keluasan hati dan penggunaan tasbih yang mirip dengan ajaran India. Selain itu,
Reynold Nicholson dan Oleary menyebut bahwa irfan dipengaruhi oleh sumber-sumber Yunani,
khususnya neo-platonisme dan Hermenisme. Namun, terlepas dari mana ia digali dan berasal,
epistemologi irfani adalah salah satu varian nalar Islam yang menarik untuk dicermati sebagai salah
satu khasanah kekayaan pemikiran Islam.
B. Defenisi
Irfan berasal dari kata dasar bahasa Arab arafa yang semakna dengan marifat atau pengetahuan.
Dalam literatur Barat, kata irfan sering diartikan dengan katagnosis atau pengetahuan yang telah
melampaui konwoledge dan science. Irfan adalah kecenderungan menguak rahasia mengenai
pengetahuan-pengetahuan batiniah yang diperoleh secara langsung tanpa perantara (knowledge by
presence). Secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh melalui penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambaNya (kasyf) setelah adanya latihan
(riyadhah) yang dilakukan atas cinta (mahabbah). Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan
dimensi spiritualisme Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan spiritualitas, akal dengan
hati, serta mensinergiskan antara pencapaian pencerahan mistikal dengan pemahaman rasionalfilosofis mengenai pengalaman-pengalaman spiritualitas atau batiniah tersebut.
Oleh para pakar, irfan dikatakan mulai muncul di dunia Islam sekitar abad kedua Hijriyah ditandai
dengan karya Riayat Huquq Allah karya Hasan al-Basri yang dianggap sebagai tulisan pertama
tentang irfan. Menurut Murtadha Muthahhari, irfan sebagai sebuah disiplin ilmu terbagi ke dalam dua
cabang, yaitu irfan ilmi atauirfan teoritis dan irfan amali atau irfan praktis. Sebetulnya pembagian
kedua jenis irfan diatas hanyalah untuk sekedar memudahkan saja. Sebenarnya jika seseorang ingin
menggeluti dunia irfan sebagai jalan menuju pendekatan diri kepada Allah, mesti menggabungkan
kedua jenis irfan tadi. Antara irfan ilmi dan irfan amali keduanya merupakan dua hal yang tak dapat
dipisahkan. Irfan ilmi memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah wujud (ontologi),
mendiskusikan Tuhan, manusia, serta alam semesta, dengan demikian irfan ilmi mirip dengan
pandangan teosofi. Berbeda dengan filsafat yang hanya mendasarkan pemikirannya pada prinsipprinsip argumenatsi rasional (dalil burhani), sedangkan irfan mendasarkan diri pada ketersibakan
mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. Atau lebih
jelasnya, kaum arif (ahli irfan) ingin menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata kalbu dan
segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional. Sedangkan Aspek
praktis Irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap
dirinya, dunia, dan Tuhan. Irfan amali memiliki kemiripan dengan konsep akhlak dalam Islam, namun,

dalam irfan amali aturan-aturan akhlak yang mesti ditaati sangat ketat. Dengan kata lain, itfan
amali adalah akhlak yang secara khusus bersifat keagamaan (spiritual) dan membuat serta
mengelola hubungan dengan prinsip keberadaan (Modus Existence atau Prime Causa) dalam urutan
teratas. Dengan demikian tingkatan akhlak yang ditempuh oleh seorang yang menempuh
jalan irfan (salik) jauh berbeda dengan kategori akhlak bagi kalangan awwam. Bagi
seorang salik kategorisasi akhlak yang mesti dilaksanakan adalah kategori akhlak yang sangat
khusus (akhlak al-khas al-khas).
C. Metodologi
Pengetahuan irfani tidak
didasarkan
pada
teks
seperti
pada bayani atau
rasio
seperti burhani melainkan pada kasyaf atau tersingkapnya realitas alam-alam suci oleh Allah. Karena
itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh melalui analisis teks atau keruntutan logika, melainkan dengan
ruhani di mana kesucian hati, Allah akan melimpahkan pengetahuan kepdanya Dari sini kemudian
dikonsep atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Dengan demikian
secara metodologis, seperti dikatakan oleh Suhrawardi, pengetahuan ruhani setidaknya melalui tiga
tahapan, yaitu; persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, untuk bisa
menerima limpahan pengetahuan (kasyf) seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus
menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah
jenjang yang harus dilalui, tapi setidaknya ada tujuh jenjang yang harus dilalui, yaitu;
taubat, wara, zuhud, faqir, sabar, tawakkal, dan ridha. Tahap kedua adalah tahap penerimaan, jika
telah mencapai tingkat tertentu seseorang akan memperoleh limpahan pengetahuan secara langsung
dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahapan ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlak (kasyf) sehingga dengan kesadaran tersebut ia mampu melihat realitas dirinya
sendiri (musyahadah) sebagai realitas yang diketahui. Dalam hal ini realitas kesadaran dan realitas
yang disadari tersebut tidaklah terpisah, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri. Dengan demikian secara epistemologis pengetahuan irfanitidak
didapatkan melalui representasi pikiran atau data-data indra. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui
univikasi eksistensial yang disebut Mehdi Hairi Yazdi sebagai ilmu hudhuri. Meminjam istilah
Wittgenstein dalam teori permainan bahasanya, pengetahuan irfani tidak lain adalah bahasa wujud
itu sendiri. Tahap terakhir adalah tahap pengungkapan dari pencapaian pengetahuan irfani, di mana
pengetahuan mistik atau irfani direpresentasikan atau diungkapkan kepada orang lain melalui ucapan
atau tulisan. Untuk mampu menjelaskan pengalaman intuitif tersebut ke dalam bahasa rasional, tentu
saja sangat dibutuhkan pahaman tentang logika dan filsafat sebagai acuan untuk menjelaskan
pengalaman intuitif tersebut. Hal ini meniscayakan seorang arif terlebih dahulu mesti menguasai
logika dan filsafat, sebelum menuangkan pengalaman spiritualnya ke dalam kerangka teoritis yang
bersifat rasional.
D. Khatimah
Epistemologi irfani adalah proses penyibakan realitas kesadaran diri yang objeknya bersifat swaobjektif (self-objek knowledge) melalui tahapan-tahapan laku spiritual yang dimulai dari taubat
sebagai fase awal penyucian diri (tazkiyatun nafs) dan pada fase puncaknya adalah salik akan
mencapai kesadaran tertinggi akan realitas diri dan realitas alam-alam suci melalui illuminasi untuk
mampu memahami dan menjelaskan rahasia-rahasia alam-alam suci. Dengan demikian
pengetahuanirfani bukanlah pengetahuan yang diperoleh dari hasil abstraksi atau kontemplasi
belaka, melainkan lebih dari itu adalah penyingkapan pengetahuan melalui pensucian diri guna
menelisik pada relung terdalam dari kesadaran diri. Epistemologi irfani adalah proses transendensi
melampaui alam fenomena menuju alam noumena, realiats noumena adalah realiats yang lebih sejati

dan merupakan dasar dari fenomena. Dengan demikian jika dikembangkan lebih jauh
epistemologi irfani akan sangat berkontribusi tidak hanya pada pengetahuan tentang hal-hal metafisis
saja, tapi juga dapat digunakan untuk memahami kunci-kunci rahasia alam fenomena sehingga bisa
digunakan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Mengutip pernyataan Inayat
Khan, Jika di Barat induk ilmu pengetahuan adalah filsafat, maka di Timur induk ilmu pengetahuan
adalah mistik (gnostik atau irfan).
(Catatan ini adalah sebuah catatan pengantar untuk materi kajian Metodologi Pemikiran Islam di
Akademia Filsafat LDSI al-Muntazhar Makassar).
Oleh: Sabara, M. Fil
Sumber: Facebook
Diposkan oleh Azis syahb

METODE BERFIKIR DALAM FILSAFAT


ISLAM
Oleh : Arifin Zakaria Ahmad
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Filsafat adalah seni bertanya, mengapa ini begini dan kenapa itu begitu. Pertanyaan
dengan demikian adalah spirit dan inti dari filsafat. Tapi, tidak juga dapat dianggap secara
sederhana jika filsafat hanya diletakkan sebagai rentetan pertanyaan-pertanyaan tanpa solusi
dan penyelesaian. Filsafat mengajarkan banyak hal. Paling tidak, ia mengajarkan ketelitian
dalam berfikir dan disiplin dalam menjalankan kehidupan.
Al-Quran menjelaskan salah satu identitas kedirian sebagai kitab hikmah dan AlQuranulhakim yaitu buku yang berarti kearifan, ilmu, dan kebijaksanaan yang sepadan
dengan arti filsafat, yaitu cinta ilmu dan cinta kebijaksanaan Allah SWT. Dengan kesadaran
ini, Al-Quran harus dipandang sebagai panutan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak
hanya mencakup ajaran dogmatis tetapi juga ilmu pengetahuan. Allah yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana berfirman dalam QS. An-nisa ayat 203 yang berbunyi:

Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari
mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu.
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat
besar atasmu. (An-nisa: 113).
Berdasarkan ayat di atas, maka keberadaan filsafat dakwah telah diisyaratkan dalam AlQuran. Dengan demikian filsafat dakwah adalah filsafat Al-Quran dan filsafat Al-Quran

adalah filsafat dakwah, dan dapat pula disebut filsafat Nubuwah. Oleh karena itu, segala
persoalan filsafat tidak dapat dirumuskan tanpa bersumber pada Al-Quran.
Berpikir adalah cara khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Di
kalangan ahli mantiq sangat masyhur istilah yang mendefinisikan manusia sebagai hayawannatiq (hewan yang berpikir). Karena kemampuan berpikir itu pulalah manusia merupakan
makhluk yang dimuliakan Allah SWT, seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an QS. Al-Israa ayat
70 yang berbunyi:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan." (Al-Israa':
70).
Bahkan, amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam)
pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia itu. Sebab, dengan
kemampuan berpikir, manusia akan dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mentransfernya.
Peristiwa dialog antara malaikat, Adam, dan Allah SWT memberikan gambaran yang jelas
kepada kita betapa pemuliaan itu berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu,
seperti yang difirmankan Allah dalam al-baqarah ayat 31-33 yang artinya:
"Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu seluruhnya,
kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata, 'Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang benar.' Mereka
menjawab, 'Maha Suci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang Engkau
ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana.' Allah berfirman, 'Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini.' Maka setelah diberitahukannya, Allah berfirman, 'Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi
dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan'."(AlBaqarah: 31-33).
Islam memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami
fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan diri
kepada Allah SWT dengan beribadah. Dengan berpikir juga, manusia mengetahui betapa
kuasanya Allah menciptakan alam semesta dengan kekuatan yang maha dahsyat, dan dirinya
sebagai manusia sangat kecil dan tidak berarti di hadapan Allah Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur'an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak
memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu,
manusia akan mampu mengenal kebenaran
(al-haq), yang kemudian untuk diimani
dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, "Hanyalah orang-orang yang
berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." (Ar-Ra'd: 19)..

PEMBAHASAN
A. Prinsip dasar dan metode berfikir yang diturunkan dalam Al-Quran
Secara etimologis, ulul albab adalah golongan manusia yang menggunakan akal pikiran
dan ketundukan hatinya, (ashhab al-ukul), sedangkan insan nathiq adalah manusia yang

berpikir.[1] Untuk memahami makna ulul albab dan insan nathiq, dapat ditelusuri melalui
penjelasan pencipta insan, yaitu Allah Swt dalam firman-firmannya. Pemahaman ini akan
menyadarkan manusia akan hakikat dan jati dirinya, bagaimana hubungan dirinya sendiri
dengan penggunaan potensi nalar (akal) dalam memikirkan dirinya dan segala sesuatu di luar
dirinya, serta fungsi kehadirannya di persada bumi ini. Termasuk kedalam golongan Ulul
Albab adalah orang yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah Swt.
Prinsip dasar metode berfikir yang diturunkan dari Al- Quran berpegang teguh pada
etika Ulul Albab yang terdiri dari 16 prinsip, yaitu:[2]
1. Bertaqwa dan menegakan hak asasi manusia.
2. Menjalankan ibadah haji dan menyiapkan bekal taqwa dalam kehidupannya.
3. Mengambil pelajaran dari hikmah dalam mencari kebaikan.
4. Memahami Al-Quran dan memehami ayat- ayatnya baik yang muhkamat maupun yang
mustasyabihat.
5. Menjadikan ruang angkasa, geografi, meteorologi dan geofisika sebagai objek berpikir.
6. Bisa membedakan antar kebenaran dan keburukan, tidak tergoda oleh keburukan dan selalu
bertaqwa.
7. Mengimani dan mengambil pelajaran dari kisah para Nabi dan Rasul.
8. Memahami kebenaran mutlak yang datang dari Allah Swt.
9. Meyakini ke-Esaan Allah dan member peringatan kepada umat manusia dengan dasar AlQuran.
10. Mendalami kandungan Al-Quran dengan mengambil berkah dan nilai- nilai kebaikan.
11. Menggunakan pendekatan sejarah dari nabi Zakaria dan nabi Yusuf.
12. Mensyukuri ilmu dengan sujud atau shalat diwaktu malam dalam upaya mendapatkan rahmat
Allah Swt.
13. Meneyeleksi informasi terbaik dengan tolak ukur hidayah dan norma agama.
14. Memiliki pengetahuan tentang flora dan fauna.
15. Mengambil pelajaran dari kitab taurat.
16. Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki kesadaran tinggi serta takut terhadap
siksanya yang dahsyat.
Tiga aspek yaitu aqal, indra dan qolb adalah merupakan objek berpikir yang berprinsip
pada ulul albab. Keseimbangan diantara akal, indra dan qolb tersebut, dapat menghindarkan
manusia dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.[3]
1. Akal
Kata akal berasal dari bahasa arab al-aql, arti kata tersebut adalah sama dengan alIdrak (kesadaran) dan al-Fikr (pikiran, al- Hirj (penahan). Kata tersebut maknanya sama.
Dalam bahasa arab kata tersebut disebut mutaradif atau sinonim. Sementara menurut Ibnu
Manzur aqala bermakna pula habasa berarti mengkaji, disamping itu dengan kata- kata
sejenis itu aqala dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk mengikat fakta terutama
digunakan untuk mengikat nafsu. Jadi akal adalah kemampuan khas yang diberikan pencipta
kepada manusia untuk mampu mengikat realita yang dicerap dan diolah oleh otak dengan
menggunakan informasi sebelum kemudian dimaknai, mengolah dan mengendalikan dalam
bentuk konsep berupa perkataan, pikiran dan perbuatan.
a.
Sifat-sifat akal

Pertama, kedudukannya adalah sesuatu yang pertama dan keesaan yang pertama dari
segala segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya akal (pikiran), maka ada
lagi yang menjadi objek pemikiran (maqul). Kedua, akal keluar dari yang pertama bukan
dalam proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud lainnya. Ketiga, keluarnya akal dari
yang pertama tidak mempengaruhi kesempurnaannya, demikian pula keluarnya yang kurang
sempurna dari yang lebih sempurna. Keempat, akal keluar dari yang pertama dengan
sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan atau perobahan padanya, bukan pula karena
kehendak dan pilihannya karena penetapan kehendak (iradah) berarti merusak keesaannya,
sebab dengan sendirinya (natural necessity), maka keesaan yang pertama tetap terpelihara
tanpa menimbulkan bilangan. Kelima, kedudukan akal diantar semua wujud ialah sebagai
pembuat alat. Akal ini juga mengandung ide-ide dari plato, yang bukan idea of the good,
karena idea of the good ini adalah yang mengeluarkan akal tersebut.
b. Letak Akal
Ada beberapa pemikir yang berpendapat menegnai keberadaan atau letak akal, sebagian
pemikir mengatakan bahwa, akal terdapat di dalam otak (kepala), sedangkan menurut pemikir
lainnya letak akal terdapat dalam hati. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa akal
terdapat di dalam otak dan di dalam hati, akal dan hati merupakan kesatuan. Dalam salah satu
sabdanya Rasulullah SAW bersabda : Bahwa akal adalah cahaya (nur) yang terdapat di
dalam hati yang dapat membedakan antara benar dan tidak benar.
2. Indrawi (jasmani)
Jasmani terdiri dari badan kasar, berupa wujud fisik, sifatnya tergantung pada materi
dan memiliki kecenderungan biologis-primitif, dapat hancur dan rusak, tetapi merupakan
tempat penting bagi eksistensi wadahnya unsure kehidupan.
3. Qolb (nafs)
Dalam Mujam al- Wasit disebutkan bahwa salah satu makna Qolb adalah jantunng
yang enjadi pusat peredaran darah. Letak jantung berada di dada sebelah kiri. Qalb berasal
dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik, kata qalb berari hati atau
jantung. Secara fisik jantung selalu berdetak dan naik turun, bolak- balik memompakan
darah. Sedangkan secara fisik qalb berarti bolak- balik antara ya dan tidak, yakin dan ragu
ataupun tenang dan gundah.
Qolb atau nafsani merupakan unsur penghubung antara jasmani dan rohani, karena itu
ia dapat bersifat dan berkecenderungan seperti jasmani tetapi disisi lain juga memiliki
kecenderungan dan sifat seperti ruhani. Karena itu seperti disebutkan dalam QS.Al-Syams:
8-9, nafs adalah potensi dari Allah yang diilhami dengan dua kecenderungan baik dan buruk,
ilham fujur dan ilham taqwa yang sama-sama memiliki tarikan yang kuat. Pada saat
mengaktualkan dirinya maka nafs memiliki tiga potensi ghorizah dan tiga pola kerja, yaitu :
[4]
a. Yang berkecenderungan kepada hal-hal yang baik, pola kerjanya bersifat bolak-balik, lebih
dekat kepada ruh, ialah qolbu, wujud fisiknya Al-Dhimagh atau jantung, ia disebut hati atau
qolb karena sifat kerjanya yang qolaba atau bolak-balik. Qolb ini kecenderungannya pada
rasa atau afektif dalam psikologi bara.
b. Yang berekcenderungan kepada hal buruk, pola kerjanya menyuruh sebagai daya dorong
terutama dalam eksistensi hidup, ialah nafs dalam arti sehari-hari disebut nafsu. Meskipun
begitu, sesuai potensi nafs itu sendiri memiliki kecenderungan kepada kebaikan. Menurut

TQN ada tujuh nafsu potensial, yaitu : ammarah, lawwamah, sawiyah, muthmainnah,
mardhiyah, rodhiyah, kamilah.
c. Yang bersifat memutuskan, mengikat, menimbang dan senantiasa berpikir, inilah yang
disebut akal. Ia disebut akal karena pola kerjanya yang akala, yaitu mengikat, menimbang,
dan memutuskan. Wujud fisiknya ialah otak sebagai organ penting untuk berpikir. Akal ini
bersifat di tengah karena itu ia dapat saja cenderung kepada nafs atau qolb tergantung siapa
yang memimpin pada diri manusia itu.
Kaidah-kaidah Al-Quran agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir,
antara lain: [5]
1.

Tidak melampaui batas

Segala sesuatu yang tidak dimengerti dan tidak masuk akal tidak harus dipikirkan karena hal
itu bukan tugas akal untuk memikirkannya.
2.

Membuat perkiraan dan penetapan

Sebelum memutuskan suatu keputusan, terlebih dulu dilakukan penetapan dan perkiraan
tentang persoalan yang dipikirkan dengan teliti dan tidak tergesa- gesa.
3.

Membatasi pesoalan sebelum melakukan penelitian

Melakukan pembatasan sebelum melakukan pembahasan adalah langkah yang penting


karena kemampuan akal itu sangatlah terbatas. Akal tidak akan mampu memikirkan sesuatu
diluar jangkauannya tanpa ada batasan.
4.

Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran

Kebohongan terhadap kebenaran bertentangan dengan etika islam. Jika suatu kegiatan
disertai dengan kebohongan maka kebenaran yang hakiki tidak akan tercapai dan akan
merusak pula tatanan ukhuwah islamiyah.
5.

Melakukan check dan richek

Dalam mencari kebenaran yang hakiki maka perlu dilakukan pengkajian ulang pada objek
fikir dengan teliti.
6.

Berpegang teguh pada kebenaran hakiki

Akal harus tunduk pada kebenaran yang mutlak dan ditopang oleh dalil- dalil yang qathi.
7.

Menjauhkan diri dari tipu daya

Kepalsuan yang lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan menipu kejernihan
dalam berfikir. Maka, upaya menjauhkan diri dari nafsu adalah hal yang sangat penting.
8.

Mewujudkan kebenaran hakiki

Akal adalah suatu kenikamatan yang harus disyukuri, maka cara mensyukurinya yaitu
dengan cara memperjuangkan kebenaran hakiki dalam kegiatan ilmiah.
9.

Menyerukan kebenaran hakiki

Al- Quran memberikan pedoman agar akal digunakan untuk menyeru umat manusia pada
kebenaran agar memperoleh kemenangan dalam perjuangan hidupnya.
10. Mempertahankan kebenaran hakiki
Setiap perjuangan maka akan selalu berhadapan dengan tantangan dan rintangan yang datang
dari dirinya sendiri ataupun dari luar dirinya. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk

mempertahankan kebenaran hakiki. Karena apabila tidak di perjuangkan maka kebenaran


hakiki itu akan terkalahkan oleh ketidakbenaran.

1.

2.
3.
4.

1.

2.
3.

4.

1.
2.
3.
4.

Mazhab-mazhab berpikir
Empiricism (mazhab Tajribi), yaitu pemikiran yang didasarkan hanya pada penggunaan
potensi indra saja dalam memikirkan objek pikir. Pengetahuan yang dihasilkannya adalah
pengetahuan indra.
Rasionalism (mazhab Aqli), yaitu pengetahuan yang hanya didasarkan pada pengunaan
potensi akal. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan rasional.
Criticism (mazhab Naqdhi), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggabungan potensi
indra dan akal dalam memikirkan objek pikir.
Mysticism (mazhab Shufy), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggunaan potensi nurani
dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan mistis. [6]
B. Langkah-Langkah Berfikir Filosofis Berdasarkan Al-Quran
Karena kedudukan dan peranan berfikir sangat penting, Al-Quran tidak saja
memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan pedoman,
langkah-langkah metodologis, serta teknik penggunaan akal dengan metode dan teknis yang
lurus dan meluruskan kearah kebenaran yang hak. bahkan, jika kandungan Al-Quran diteliti
dan dikaji akan di temukan langkah-langkah sebagai berikut: [7]
Al-taharrur min quyud al urf wa al takhalush an aghlal al- taqlid, yaitu upaya menbebaskan
pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai dengan prinsipprinsip pengetahuan, langkah yang demikian itu disebut metode ilmiah praktis.
Al taamul wa al musyahadah yaitu langkah meditasi dan pencarian bukti atau data ilmiah
empirik.
Al baths wa al muwajanah wa al istikro yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi.
Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip- prinsip penalaran
untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang ditemukan.
Al hukm mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat keputusan ilmiah yang
didasarkan pada argument dan data empirik.
Ada pula metode berpikir filsafat islam yang sudah di kembangkan oleh para filosof
muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat islam. Paling tidak terdapat
empat macam metode yang telah mereka gunakan dan dapat di gunakn bagi filsafat dakwah
yaitu sebagi berikut:
Metode deduktif, metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demontrasi(burhan)
Metode iluminasi, metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan demontrasi juga
pada usah penyucian jiwa(nafs)
Metode pencapaian irfani untuk menempuh jalan tuhan dan mendekati kebenaran,
Metode kalam, metode ini memiliki prinsip kelembutan dan mendahulukan sesuatu yang
baik. [8]
Model pemikiran filosofis dari hakikat ilmu dakwah itu adalah ilmu yang
membangunkan dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia,
serta meneguhkan fungsi khilafah, manusia menurut al-quran dan sunnah.

Selain itu, ia juga menegaskan ilmu dakwah adalah ilmu perjuangan bagi umat islam
dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam. Maka metode pemikiran filosofis
dakwah dibangun dengan berdasarkan pada konsepTauhidulloh. Dari konsep ini dibangun
aksiologi, epistimologi, dan metodologi keilmuan dakwah yang mengacu pada hukum-hukum
yang terdapat pada ayat kauniyah. Oleh karena itu filsafat dakwah dapat dipahami sebagai
sub sistem dari klasifikasi ilmu dalam islam.

a.

b.
c.

d.
e.
f.

Langkah-langkah berfikir filosofis berdasarkan Al-Quran dapat dirumuskan prinsipprinsip sebagai berikut: [9]
Karena kedudukan dan peranan berfikir begitu penting, Al-Quran tidak saja memerintahkan
manusia menggunakan akalnya tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah
metodologis, serta teknis penggunaan akal dengan metode yang lurus dan meluruskan ke arah
pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq)
Agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berfikir Al-Quran pun meletakan
kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal.
Mengenai al haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan dalam
kegiatan berfikir filosofis Al-Quran banyak meyebutkannya. bahkan penyebutan kata al-haq
tidak kurang dari 227 kali.
Manusia mesti menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek fikir
sehingga, tak jarang terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan berfikir.
Mazhab berfikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat di iqtibas (adopsi) secara terpadu,
tidak parsia dalam berfikir filosofis.
Menggunakan metode filsafat Islam yang sudah dikembangkan oleh para filosof muslim,
sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat Islam.

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Prinsip dasar metode berfikir yang diturunkan dari Al- Quran berpegang teguh pada
etika Ulul Albab yang terdiri dari 16 prinsip yang intinya merupakan prinsip dasar yang
membangunkan dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia,
serta meneguhkan fungsi khalifah manusia menurut al-quran dan sunnah. Orang yang
beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah SWT adalah termasuk kedalam golongan Ulul
Albab. Terdapat tiga aspek yaitu aqal, indra dan qolb yang merupakan objek berpikir yang
berprinsip pada ulul albab. Keseimbangan diantara akal, indra dan qolb tersebut, dapat
menghindarkan manusia dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.
Adapun langkah-langkah berfikir filosofis berdasarkan Al-Quran adalah sebagai
berikut: Al-taharrur min quyud al urf wa al takhalush an aghlal al- taqlid,yaitu upaya
menbebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai
dengan prinsip-prinsip pengetahuan, langkah yang demikian itu disebut metode ilmiah
praktis. Al taamul wa al musyahadah yaitu langkah meditasi dan pencarian bukti atau data
ilmiah empirik. Al baths wa al muwajanah wa al istikro yaitu langkah analisis, pertimbangan
dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsipprinsip penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang

ditemukan. Al hukm mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat keputusan
ilmiah yang didasarkan pada argument dan data empirik.
B. SARAN
Al-Qur'an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak
memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu,
manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian untuk diimani dan
dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman,"Hanyalah orang-orang yang berakal saja
yang dapat mengambil pelajaran." (Ar-Ra'd: 19).
Islam memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu sangat erat. Dalam arti,
semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada Allah SWT. Disebutkan di dalam
Al-Qur'an, "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah SWT adalah orang-orang yang
berilmu dari hamba-Nya." (Faathir: 28).
Menurut kacamata Al-Qur'an, orang-orang yang mendurhakai Allah itu karena
disebabkan "cacat intelektual". Betapapun mereka berpikir dan bahkan sebagian mereka ada
yang turut bersaham untuk mengembangkan peradaban manusia, namun selama proses
berpikir tidak mengantarkan mereka ke derajat "bertakwa", maka selama itu pula mereka
tetap berada dalam kategori orang-orang yang "tidak mengerti" atau meminjam istilah AlQur'an "laa yafgahuun", "laa ya'lamuun", "laa ya'qiluun".
Ilmuwan sejati ialah ilmuwan yang konsekuen dengan ilmunya. Siap mengubah
pendirian, sikap, kepribadian, bahkan idiologi, sesuai dengan tuntutan dan konsekuensi
pengetahuannya. Jika seorang ilmuwan bersikap jujur dengan ilmunya, ia akan sampai pada
konklusi bahwa ilmu apa pun--khususnya ilmu-ilmu empirik dan eksperimental--yang
didalami seseorang akan sampai pada kesimpulan mentauhidkan Allah dan mengimani-Nya.
Sikap ilmiah sejati tidak hanya berhenti pada pengakuan pasif, tetapi menuntut keberanian
untuk menyikapi keyakinan itu dan mempertahankannya dari segala bentuk serangan yang
dapat mengganggu stabilitas dan eksistensinya.

DAFTAR PUSTAKA

Faizah dkk. Psikologi Dakwah. Jakarta.kencana.2009.


Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung, KP Hadid.1999.
http://ucanmencarimakna.blogspot.com/2011/10/filsafat-dakwah.html, diakses tangga13
Desember 2013

[1] Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung, KP Hadid.1999. h, 14


[2] Ibid, 17
[3] Ibid, 21
[4] Faizah dkk. Psikologi Dakwah. Jakarta.kencana.2009, h. 33
[5] Ibid., 34
[6] Ibid, 37
[7] http://ucanmencarimakna.blogspot.com/2011/10/filsafat-dakwah.html, diakses tangga 13 Desember 2013
[8] Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung, KP Hadid.1999.h 25

[9] Ibid, h 37
Diposkan oleh Zaenal Arifin di 00.35

PENDAHULUAN
Dalam islam tumbuh pemikiran filsafat. Filsafat islam itu tumbuh dan berkembang
dibawah naungan islam dan dipengaruhi oleh ajaran-ajaranya kemudian dalam ilmu kalam
juga terdapat filsafat yang benar-benar menukik dan dalam.
Pandangan para ahli, secara modern Kajian Pemikiran Islam belum tertuju kepada
filsafat islam kecuali di tahun-tahun pertama abad ini. Sebagian orientasi dan sekelompok
sejarawan mengulas, tetapi tidak memperdalam kajian Filsafat Islam, karena mereka tidak
mengetahui sumber-sumbernya dan secara khusus mereka bertumpu pada sebagian rujukan
berbahasa latin yang ada. Kemudian, ada empat model cara berpikir yang berkembang dalam
sejarah, dan sekaligus menjadi tolak ukur sebuah kebenaran (benar tidaknya sesuatu), yakni :
1) Model berpikir repetitif
2) Model berpikir rasional
3) Model berpikir empirikal
4) Model berpikir intuitif
Adapun model berpikir yang umun dipakai dalam kajian Islam yaitu :
a) Epistemologi bayani
b) Epistemologi burhani
c) Epistemologi irfani
PEMBAHASAN
1.

MODEL BERPIKIR SECARA UMUM


Setidaknya ada empat model berpikir yang berkembang dalam sejarah, dan sekaligus
menjadi tolok ukur kebenaran, model tersebut adalah sebagai berikut :

a) Model berfikir repetitif merupakan model berpikir yang dilakukan dengan pengulangan.
b) Model berpikir rasional berpendapat bahwa akal sebagai sumber ilmu pengetahuan.maka
untuk menemukan kebenaran dan sekaligus menjadi tolak ukur kebenaran dapat dilakukan
dengan menggunakan akal secara logis. Objek kajian epistemologi rasional adalah hal-hal
yang bersifat abstrak-logis.
c) Model berpikir empirikal berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengamatan dan
pengalaman indrawi manusia. Dalam model ini indra manusia yang menjadi tolak ukur
sesuatu . objek kajian epestemologi empirikal adalah sesuatu yang dapat diamati, diukur dan
dibuktikan ulang.

d) Model berpikir intuitif (irrasional) berpandangan bahwa kebenaran dapat digapai lewat
pertimbangan-pertimbangan emosinal. Objek kajian epistemology intuitif adalah hal-hal yang
abstrak dan mempunyai paradigm mistik / ghaib.
Perbedaan rasional dan irrasional :
a) Rasional : penalaran logis, metode rasional, ukuran logis
b) Irasional : paradigm ghaib, latihan dan kepuasan hati.
2. MODEL BERFIKIR KAJIAN ISLAM
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan, dan logos berarti
teori. Epistemology dapat diartikan sebagai mempelajari asal usul pengetahuan, epistemology
filsafat hokum islam adalah metode dan cara yang digunakan untuk menngkap pengetahuan
ilmiah tentang nilai-nilai filosofis hokum islam. Dibawah ini ada beberapa penggolongan
epistimologi adalah :
a. Epistimologi bayani
Adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Sumbernya adalah teks nash (al-quran
dan sunnah) dan teks non nash (karya ulama). Objek kajian dengan pendekatan ini adalah
gramatika dan sastra (nahwu dan blaghah), hokum dan teori hokum (fikih dan usul fiqh),
filologi, teologi, dan dalam beberapa kasus dibidang ilmu-ilmu al-quran dan hadist.
b. Epistimologi burhani
Adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan
berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa
dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian,
hasil percobaan, hasil eksperimen, baik dilaboratorium maupun dialam nyata, baik yang
bersifat social maupun alam.
Untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam studi islam untuk
memadukan keduanya yaitu bayani dan burhani.
c.

Epistimologi irfani
Adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi. Langkah-langkah penelitian irfaniah adalah
takhliyah, tahliyah, dan tajliyah. Tiga teknik penelitian irfaniah adalah riadah, tariqoh, dan
ijazah.
Alasan mengapa ajaran (hokum) islam perlu bagi kita penganut islam di Indonesia.
Dapat dipastikan bahwa sejak ada kehidupan manusia lebih dari satu orang, sudah ada hokum

yang mengatur kehidupan mereka, demikian juga sejalan dengan itu, pada masyarakat yang
paling tertinggal sekalipun pasti ada hokum yang mengatur kehidupan mereka.
Hukum yang digunakan kelompok masyarakat tertinggal biasanya apa yang dikenal
dengan hokum adat (hokum yang mereka akui / sepakati bersama, tertulis atau tidak tertulis).
Terbentuknya hokum dimasyarakat ini adalah atas dasar kesepakatan, lepas dari proses
mencapai kesepakatannya demokratis atau tidak. Dari fakta ini dapat ditarik kesimpulan,
bahwa hukum tertulis muncul setelah mengalami perkembangan dari hokum tidak tertulis.
Dengan begitu sebelum adanya tradisi tulis menulis, hokum sudah ada, yang disebut
hokum tidak tertulis. Sejalan dengan adanya tradisitulis inilah munculnya konsep hokum
tertulis.
3. PRODUK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM.
Di bawah ini kami mencoba menguraikan secara singkat sejumlah produk hokum
islam, yang dimulai dengan fikih, diteruskan fatwa, kemudian kompilasi dilanjutkan
jurisprudensi, dan akhirnya undang-undang.
I.

Fiqih
Fiqih dari sisi bahasa berarti al-fahmu (pemahaman), dari sisi istilah fiqih
didefinisikan kumpulan hokum yang bersifat praktis dan rinci, yang bersumber pada dalil
yang rinci. Fiqih adalah hasil atau produk pemikiran dibidang hokum islam sebagai hasil
pemahaman terhadap nash. Ciri dan sifat fiqih adalah bersifat praktis, bersifat rinci,
merupakan hasil pemahaman perorangan (individu).
Praktis berarti dapat di praktekkan langsung, rinci berarti detail sehingga tidak
membutuhkan penjelasan, merupakan hasil pemahaman perorangan, pemikiran atau pendapat
tersebut merupakan hasil pemahaman (pendapat) individu.
Proses lahirnya fiqih ada tiga unsur pokok didalamnya :

a) Faqih (ahli hokum islam) yang melakukan ijtihad, berarti faqih adalah mujtahid.
b) Nash (sumber ajaran islam, berupa al-quran dan sunnah nabi Muhammad SAW).
c) Fikih (hasil pemahaman atau pemikiran seorang faqih terhadap nash).
II.

Fatwa.
Fatwa adalah pendapat ulama tentang satu masalah tertentu, yang prosedurnya diawali
dengan pertanyaan. Prosedur lahirnya fatwa ada tiga unsur yaitu

i.

Mufti, seorang atau sekelompok ahli yang mengeluarkan pendapat (fatwa),

ii.

Mustafti, orang yang bertanya,

iii.

Fatwa, pendapat atau jawaban dari mufti

III.

Kompilasi.

Kompilasi secara etimologi, berarti kumpulan atau himpunan, kumpulan yang tersusun
secara teratur dan dikaitkan dengan hukum, himpunan undang-undang. Dalam definisi lain
kompilasi adalah mengumpulkan bahan bahan yang tersedia kedalam bentuk yang teratur dan
baik, seperti dalam bentuk sebuah buku, dapat pula berarti mengumpulkan berbagai macam
data.
Maka secara bahasa kompilasi adalah aktifitas pengumpulan dari berbagai bahan tertulis
yang diambil dari berbagai buku atau tulisan mengenai suatu persoalan tertentu yang dibuat
oleh beberapa penulis berbeda untuk dikumpulkan dalam suatu buku tertentu.
Selain kompilasi ada juga Kodifikasi adalah pembukuan suatu jenis hokum tertentu
secara lengkap dan sistematis dalam suatu buku hokum. Perbedaan antara kompilasi dengan
kodifikasi terletak pada adanya kepastian dan kesatuan hokum.
Kompilasi hokum islam adalah rangkuman dari berbagai pendapat hokum yang diambil
dri beberapa kitab yang ditulis oleh para ulama fiqih yang biasa digunakan sebagai referensi
di pengadilan agama untuk diolah, dikembangkan dan dihimpun dalam suatu kumpulan.
IV.

Jurisprudensi.
Jurisprudensi dari sisi bahasa adalah ilmu atau filsafat hokum, secara istilah jurisprudensi
diartikan kumpulan keputusan hakim dipengadilan yang dapat digunakan oleh para hakim
sebagai dasar putusan, khususnya terhadap kasus kasus yang hukumnya belum ditemukan
secara tertulis dalam kitab kitab hokum.

V.

Undang-undang.
Undang undang adalah kesepakatan para ilmuwan dalam berbagai bidang dan pimpinan
ummat. Undang undang adalah hasil kesepakatan antara ulama (ahli diberbagai bidang;
bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosiologi, bidang antropologi, bidang psikologi dan
lain lain) dan pimpinan masyarakat ; pimpinan berdasarkan etnis, pimpinan berdasarkan
suku, pimpinan berdasarkan wilayah, dan lain lain.
Di Indonesia proses pembentukan undang undang dimulai dari catatan yang diajukan oleh
DPR untuk dibahas. Pada badan DPR adalah wakil wkil rakyat dari berbagai profesi,
berbagai tempat, berbagai suku, berbagai ahli, dan sejenisnya. Undang undang adalah hasil
kesepakatan yang lebih konprehensif disbandingkan dengan hasil pemikiran hokum islam
lainnya seperti fatwa, fiqih, dan sejenisnya.

EPISTEMOLOGI DALAM STUDI ISLAM.


Pendekatan epistemologi adalah mengkaji islam dengan ilmu pengetahuan untuk mencari
kebenaran dengan menggunakan akal manusia dan menggunakan wahyu. Epistemologi
secara umum bercorak rasionalisme yang dicari pembenarannya dalam Al Quran. Tetapi
epistemology di era modern problem problem yang kita jumpai dalam tulisan tulisan

Descartes dan Leibnitz (1646-1716) untuk aliran rasionalis dan Locke (1632-1704), Berkeley
(1658-1753) dan Hume (1711-1776) untuk golongan empiricist, atau bahkan juga dengan
Immanuel Kant

Q.S Al Hujurat
10. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu
lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman[1410] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim.
[1409] Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin
karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[1410] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir
dan sebagainya.
Q.S At Taubah : 60
* $yJR) Ms%y9$# !#ts)=9 3|yJ9$#ur
t,#Jy9$#ur$pkn=t px9xsJ9$#ur Nk5q=% ur
>$s%h9$# tBt9$#urur @6y !$# $#ur
@69$# ( Zps iB !$# 3 !$#urO=t O6ym
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana[647].

[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya,
tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang
yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang
yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang
ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5.
memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orangorang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan
maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara
persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu
membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan
kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup
juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT DALAM


ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat Islam muncul pada awalnya adalah diorong oleh sebuah cita-cita terciptanya
keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati, agama dan logika. Geliat pemikiran yang
semacam ini muncul tatakala Islam mulai bersentuhan dengan tradisi filsafat Yunani klasik
yang berkembang di abad pertengahan.Tokoh filsof Islam pertama kali yang berusaha untuk
menyelaraskan atau mempertemukan antara akal dan wahyu adalah Al-Kindi (801-873). Di
adalah tokoh yang pertama kali merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam.
Meskipun, pemikiran Al-Kindi sendiri sebenarnya masih berbaur secara lekat dengan debu
teologi.
Memang, meskipun dalam ajaran Islam, aqal mendapatkan porsi yang cukup besar,
namun dalam praktiknya umat Islam justru banyak yang meninggalkan aqal. Kehendak umat
Islam untuk jauh dari tradisi rasionalitas itu justru dengan alasan untuk praktik keberagamaan
itu sendiri. Secara umum umat Islam mempunyai asumsi kuat bahwa Islam adalah wahyu
yang keberadaannya harus diterima secara taken for granted, sebuah produk yang sudah
sempurna sehingga pengimplementasiannya ke dalam ranah empirik tidak memerlukan
sentuhan rasionalitas lagi. Menggunakan akal atau rasionalitas dalam praktik keberagmaan
ini justru akan berpotensi mendistorsi ajaran-ajaran suci Islam itu sendiri. Pola keberagamaan

semacam ini akhirnya menimbulkan sebuah persepsi yang timpang. Agama akhirnya
diposisikan sebagai antitesis akal atau sebaliknya akal diposisikan sebagai lawan dari agama.
Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat
Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan
penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup
digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah
Abu Ishaq al-Kindi.
B. Rumusan Masalah
1) Aliran-aliran apa saja yang ada dalam islam ?
2) Siapa-siapa saja tokoh aliran-aliran parepatetik ?
C. Tujuan Permasahan
1. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam islam
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam islam

BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM
1. Isyraqiyyah (Illuminisme)

Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar
epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah
sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya
mempunyai perbedaan yang mendasar.
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama
lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia
dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut
juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada
waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstreampemikiran pada
waktu itu.
Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w.
1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya
dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satusatunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
Aliran filsafat ini muncul dalam rangka merespon dan mengkritisi sejumlah gagasan
aristoteles yang dianggap menyimpang, khususnya sebgaimana yang tercermin dalam filsafat
ibnu sina, kalangan iluminasionis mengembangkan sebuah pandangan tentang realitas dimana
esensi lebih penting ( mendasar ) ketimbang eksistensi, dan pengetahuan intuitif lebih
signifikan ketimbang pengetahuan saintifik. Aliran ini merumuskan gagasan tentang

pencahayaan sebagai cara memahami hubungan antara tuhan, cahaya diatas cahaya, dan
maakhluknya.[1]
Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat
peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina,
Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filsof Timur (masyriqi).
Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawankawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara
filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih
merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina
sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina
bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya
dengan menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwaKararis merupakan filsafat baru atas
dasar sepasang argumen berikut:Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi
menciptakan
filsafat
iluminasi. Kedua,
Suhrawardi
bersikeras
menunjukkan
bahwa Kararissesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah
Peripatetik (qawaid al-masyasyain) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah
yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia
generalis (al-hikam al-ammah).
Epistemologi Isyraqiyyah
Dalam bagian dari jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah
bagian dari pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu yang
didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya. Dalam
pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama sekali tidak dapat
dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan ini adalah
istanta (instance/mishdaq) paling sempurna dari kehadiran obyek pengetahuanb pada subyek
pengetahuan. Karena prinsip dasar illuminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti
memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinandeterminan sesuatu. Apa yang ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah
pengalaman pribadinya sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu
ia bisa mencapai realitas puncak tertinggi(ultimate reality).
Dengan demikian, metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui
cerapan indera, tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam
ini, saran yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang
mencapai kebersihan hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan pengalaman tentang
realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa atau hati (qolb)mengalami
keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan terlimpahi oleh pancaran cahaya dari sumber
cahaya itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suhrawardi sendiri bahwa prinsip
filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian
mengelaborasi dan memverivikasinya secara logis rasional.

Kemudian bagaimana gambaran atau bentuk dari penegtahuan iluminasi yang masuk
kategori klhudluri ini? Secara umum sebenarnya hampir sama dengan filsafat emanasi. Di
situ terdapat tangga-tangga wujud (existence) mulai dari wujud satu hingga sebelas. Jadi
secara formal bentuknya sama dengan filsafat emanasi dalam parepatatisme yang
mendahuluinya, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hirarki-hirarki, dari yang paling atas
sampai terbawah. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan
intelek, maka dalam filsafat Isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur
(cahaya).
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu
bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam
paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini
merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat
wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan
begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama
maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan
cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha
cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama
mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya
hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam
materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat
iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama
dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan
lokal (local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada prinsipnya
secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam,
tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul
Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada
sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini
merupakan wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya
dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term Hikmatul
Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini adalah filsafat
yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia
diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman
spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak
terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan,
didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk
mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahappertama, seseorang harus
membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima
pengetahuan duniawi. Kedua,setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap

iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur


Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham(Al-Anwarus
Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika
diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
2. Peripatetik

Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu


berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara
metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan
penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya
yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), dan Ibn
Rusyd (w. 1196).
Ini disebut era kedua sebagai era kematangan filsafat perepatetik ( masyayyah ) yang
cenderung berporos pada mazhab Aristotelian ketimbang platonian, karakteristik filsafat ini
adalah penggunaan argumentasi yang bersifat rasional ( burhani ) atau teologikal ( kalami ),
kendati secara pribadi, keduanya juga mempraktikan gaya hidup zuhud dan tekun dalam
beribadah.
a) Al-kindi
Nama lengkapnya abu Yusuf yakub ibnu ishak ibnu Al-shabbah ibnu imran ibnu
Muhammad ibnu Al-Asyas ibnu qais Al-kindi, alkindi dinisbahkan kepada kabilah
terkemuka pra islam yang merupakan cabang dari bani kahlah yang menetap diyaman.
Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesustraan arab,
sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan kindah
setelah pembunuhan ayahnya.
Karena linkup pengetahuan ilmiahnya yang luar biasa , atau mungkin juga karena
alasan lain, misalnya kesesuaian pahamnya dengan ide-ide mutazila, Al-makmun lalu
mengajaknya bergabung dengan kalangan cendikiawan yang bergiat dalam usaha
pengumpulan dan penerjemahan karya-karya yunani. Agaknya Al-kindi termasuk orang yang
beruntung, ketika dibagdad ia dengan cendikiawan Persia dan suria, yang diduga dari
merekalah ia mendapat bimbingan sehingga ia menjadi seorang diantara sedikit orang islam
Arab yang menguasai bahasa yunani dan siryani, atau kedua-duanya sekaligus.
Al-makmun menjadikan mutazilah sebagai mazhab Negara dan Al-kindi juga menulis
beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaan tuhan dan perbuatannya, bahkan lebih jauh
dari itu, ia ikut pula membantah paham-paham yang bertentangan dengan mwzhab Negara ini
berdasarkan pemikirannya. Sungguhpun demikian, kita tidak bisa menetapkan secara pasti
bahwa bahwa Al-kindi adalah seorang mutazili. Hal ini disebabkan persoalan-persoalan
tentang keadilan dan kemahakuasaan Tuhan bukan hak mutlak atau monopoli mutazilah
saja.. seain itu seorang baru bisa disebut mutazili apabila ia menerima dan meyakini lima
ajaran pokoknya.
Alkindi memperoleh kedudukan yang terhormat di sisi Al-makmum dan mustasim dan
bahkan ia diangkat sebagai guru bagi Ahmad putra al-mutasim, kepada siapa ia banyak

memperhambakan karyanya. Betapa pun juga Al-kindi sudah dinobatkan sebagai filosof
muslim berkebangsaan Arab yang pertama, ia layak disejajarkan dengan filosof-filosof
muslim non Arab.
Ada dua kisah menarik yang di hubungkan dengan Al-kindipertama,kisah tentang
kekikirannya sama terkenalnya dengan kegeniusannya,kedua kisah kepiawaiannya tentang
music.Menurutnya rasa seni bukan hanya dimiliki oleh manusia,tetapi juga hewan.Bila
seruling di tiup dengan baik,maka hewan seperti ular dan buaya akan keluar dari tempat
persembunyian dan ikut mengikuti irama seni tersebut.Begitu pula dengan pengembala
dengan suara terompetnya yang khas akan dapat memanggil dan mengumpulkan hewan
gembalanya,seperti sapi,kambing,domba,dan lainnya.Dengan seni music ini ia telah berhasil
mengobati anak tangga pedagang kaya yang ditimpa penyakit syaraf dan tiba-tiba
lumpuh,padahal tidak seorang dokterpun di Baghdad yang mampu menyembuhkannya.[2]
MEnurut Majid Fakhri,Al-kindi memeng seorang filosof pribumi awal,namun ia lebih
merupakan seorang teolog yang punya minat terhadap filsafat,barangkali kita dapat
mengatakan bahwa al-kindi masih berdiri digaris batas antara filsafat dan teologi,yang oleh
kalangan filsuf setelahnya berusaha lebih keras untuk diseberangi.[3]
Karya Tulisnya
Telah disebut bahwa al-kindi aktif terlibat dalam kegiatan penerjemahan buku-buku
Yunani dan sekaligus ia melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang
lain.Sebagai penerjemahan terkemuka,tidaklah aneh sekiranya ia mendapat penghargaan dan
khalifah al-mamun membayar siapa saja yang sanggup menerjemahkan buku-buku kedalam
bahasa arab dengan emas seberat buku buku yang diterjemahkan.Hal ini palingbtidak dapat
dijadikan indikasi maraknya kegiatan ilmiah dan juga sebagai motivasi pendorong bagi
orang-orang untuk melakukan kegiatan tersebut.
Menurut George Atiyeh karya-karya tulis Al-kindi dalam berbagai bidang
ilmupengetahuan mencapai sebanyak 270 risalah.Risalah-risalah itu baik oleh Ibnu Nadim
maupun Qifthi,dikelompokkan dalam 17 kelompok,yaitu:
1) Filsafat
2) Logika
3) Ilmu hitung
4) Globural
5) Musik
6) Astronomi
7) Geometri
8) Sperikal
9) Medispertama
10) Astrologi
11) Dialektika
12) Psikologi
13) Politik
14) Meteorologi

15) Dimensi
16) Benda-benda pertama
17) Spesies tertentu logam dan kimia
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-kindi:
Fi al-falsafat al-Ula
.Kitab al-Hassi ala Taallum al-Falsafat
Risalat ila al-mamun fi al-lat wa Malul
Risalah al-falsafat al-dakliat wa al-Masail al-munthiqiyyat wa al-mutashah wa ma fauqa alThabiiyyat.
Kamiyyat kutub Aristoteles
Fi al-Nafs
Pemaduan Filsafat dan Agama
Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia islam dengan cara
mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana
sumbernya.Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja
sumbernya.Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi
nilainya selain kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu
sendiri dan tidak pernah meremehkan martabat orang yang menerimanya.
Al-kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filsof terhadap Al-quran,sehingga
menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal,antara filsafat dan agama.lebih lanjut ia
dikemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama di dasarkan pada tiga alasan
berikut:
1) Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat
2) Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian
3) Menurut ilmu,secara logika,di perintahkan dalam agama.
Al-kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang tidak
senang terhadap filsafat dan filosof.Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak
perlu,mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya.Usaha pemberian argument
tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat.Untuk sampai pada
yang di maksud,secara logika,mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat,kesimpulannya
bahwafilsafat harus dimiliki dan dipelajari.
Filsafat Ketuhanan
Tujuan akhir dalam filsafat Islam adalah untuk memperoleh pengetahuan yang
meyakinkan tentang Allah.Allah dalam filsafat Al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti
aniah dan mahiah.Tidah aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik.Dalam
bentuk mahiah karena Allah tidak merupakan genus dan species.
Berdasarkan uraian diatas ternyata al-kindi lebih mengesahkan Allah dibandingkan
dengan kaum mutazilah yang selama ini dianggap demikian rasioanal.Pada penafiannya
terhadap aniah dan mahiah dari kemahaesaan Allah.Akan tetapi,ketika mutazilah

b)

a.
b.
c.
d.
e.
f.

menyatakan bahwa tuhan itu mengetahui dengan ilmunya dan zat-zatnya,berkuasa dengan
kekuasaannya dan zatnya.[4]
Al-Farabi
Al-farabi nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu
Tarkhan ibnu Auzalagh,yang bisa di singkat saja menjadi Al-farabi.Ia dilahirkan di
Wasij,Distrik farab,Turkistan pada tahun 257 H/870 M.ayahnya seorang jendral kebangsaan
Persia dan ibunya berkebangsaan Turky.[5] Oleh sebab itu terkadang ia di katakana keturunan
Persia dan terkadang ia disebut keturunan turkey.Akan tetapi sesuao dengan ajaran
islam,yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah,lebih tepat ia disebut keturunan Persia.
Sebagaimana filosof yunani,Al-farabi menguasai berbagai disiplin ilmu.Keadaan
inimemungkinkan karena didukung oleh kekuatan dan kerajihannya serta ketajaman
otaknya.Pada pihak lain dimasa itu belum ada pemilihan dalam buku-buku antara sains dan
filsafat.Oleh sebab itu,membaca satu buku akan bersentuhan secara langsung dengan kedua
ilmu tersebut.Berdasarkan karya tulisnya,filosof muslim keturunan Persia ini menguasai
Matematika,kimia,astronomi,music,ilmu alam,logika,filsafat,filsafat,bahasa dan lainlain,khusus bahasa menurut riwayatnya,Al-farabi menguasai 70 bahasa.
Al-farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles,yang dijuluki al-Muallim alAwwal (guru pertama),sehingga tidak mengherankan bila ibnu sina,yang menyandang
predikat al-syeik al-rais (kiyahi utama),mendapatkan kunci dalam memahami filsafat
aristoteles dari buku al-farabi,yang berjudul fi aghradhi ma bad al-thabiat.
Pandangan Al-farabi mengenai daya imajinasi layak mendapat perhatian khusus
karena peran imajinasi dalam soal kenabian dan ketuhan, menurut Al-farabi imajinasi
merupakan daya penyimpan dan penimbang, yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra
atau kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap dari indra maupun
pengontrolan atas citra tersebut dengan menyusun dan mengurainya untuk kemudian
membentuk citra yang baru.[6]
Karya-karya Al-farabi
Diantara karya tulis Al-farabi yang terpenting adalah:
Al-jamban Rayai al-hakimain
Tashil al-saadat
Maqalat fi aghradh ma bad al-thabiat
Risalat fi isbat al-almufaraqat
Uyun al-Masail
Ara Ahl al-Madinat al-fadhiat
Filsafatnya
Al-farabi telah berhasil mereonsiliasikan beberapa ajaran filsafatsebelumnya,seperti
Plato san aristoteles dan juga antara agama da filsafat,seperti Plato dan aristoteles dan juga
antara agama dan filsafat.Oleh karena itu,ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai
kesatuan filsafat.
Al-farabi berkeyakinan bahwa filsafat yang bermacam-macam itu hakikat yang
satu,yaitu sama-sama mencari kebenaran yang satu,karena tujuan filsafat adalah memikirkan
kebenaran sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya.Justru itu

semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan,kalaupun berbeda hanya pada
lahirnya.Upayanya ini terealisasi ketika ia mendamaikan pemikiran aristoteles dengan plato
dalam bukunya yang popular al-jambain al-rayai al-hakimain,dan antara filsafat dan agama.
Cara Al-farabi menyatukan kedua filosof di atas adalah dengan memajukan pikiran
masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya.Seperti dalam membicarakan
masalah idea yang menjadikanbahan polemic antara aristpteles dan plato.filosof yang
pertama tidak dapat membenarkannya karena,menurutnya alam idea hanya ada dalam
pikiran.Sedang filosof yangdisebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Al-farabi telah keliru menganggap tidak terdapat perbedaan antara aristoteles dengan
plato.Letak kekeliruannya adalah ketika ia menduga bahwa buku theologia (al-rububiyat)
merupakan karangan aristoteles,padahal sesungguhnya buku tersebut adalah karya
Plotinus,yang berisikan penetapanpenetapan alam idea yang terletak bukan pada benda.[7]
Ketuhanan
Al-farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan antara filsafat
Aristoteles dan Neo-Platonisme,yakni al-maujud al-awwal (wujud pertama) sebagai sebab
pertama bagi segala yang ada konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak
dalam ajaran islam.
Dalam membuktikan adanya Allah Al-farabi mengemukakan dalil wajib alwujud.Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative
yang ketiga yakni wajib alwujud dan mumin alwujud.
Adapun yang dimaksud dengan wajib al-wujud wujudnya tidak bolehtidak mesti
ada,ada dengan sendirinya karena naturnya sendiri yang menghendaki wujudnya.Esensinya
tidak dapat di pisahkan dari wujud,keduanya adalah sama dan satu,ia adalah wujud yang
sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya.
Sementara itu yang dimaksud dengan mumin al wujud ialah sesuatu yang sama
antara berwujud dan tidaknya.Wujud ini jika diperkirakan tidak wujud,tidak mengakibatkan
kemustahilan.Mukmin alwujud tidak akan berubah kepada wujud actual tanpa adanya wujud
yang menguatkan dan yang menguatkan adanya itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud
(Allah).
c) Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Alial-Husain ibnu abd Allah ibnu hasan ibnu Ali
ibn Sina.Dibarat popular dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorphose
Yahudi-Spanyol-Latin.Dengan lidah spanyol kata ibnu diucapkan aben atau Aven.Terjadinya
perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan nashah-nashah Arab kedalam bahasa latin
pada pertengahan abad kedua belas di spanyol.
Ibni Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu,seperti
Matematika,fisika,kedokteran,astronomi,hukum dan lain-lain.Bahkan dalam usia sepuluh
tahun dia telah hafal alquran seluruhnya.
Atas keberhasilannya ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga
dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah mencapai puncaknya,dank arena prestasinya
itu,ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan Al syeik ar rais (kiyahi ulama).

I.
II.
III.
IV.

Karyanya
Al-Syifa,berisikan tentang uraian filsafat yang terdiri atas empat bagian:ketuhanan,fisika,
matematika dan logika.
Al-Najat,berisikan keringkasan dari kitab al-syifa.Karya tulis ini ditunjukkan khusus untuk
kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
Al-qanun fi al-thibb,berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai
ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya.
Al-irsyat wa al-tanbihat,isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmahnya.

d) Ibnu Rusyd
Abu Al-walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn rusyd dilahirkan di
cordova,Andalus pada tahun 510 H/1126 M,sekitar lima belas tahun wafatnay Al-ghazali ia
lebih popular dengan Ibnu Rusyd.Orang barat menyebutkan dengan nama Averrois,sebutan
ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya,keturunannya bersasal dari keluarga terhormat
yang terkenal sebagai tokoh keilmuan.
Dalam bukunya manahij al-addillah ibnu Rusyd berusaha membuktikan adanya Allah
dengan apa yang disebutnya dalil inayah, pembuktian adalah sebagai berikut , bahwa tatanan
alam dibuktikan melalui harmoni yang bisa dilihat pada bagian-bagiannya dan pada bendabenda yang ada didalamnya. Ia tidak hanya harmoni permukaan dan alhir saja tetapi juga
harmoni dalam batin dan intinya, yang mengingatkan kita kepada tujuan internal yang
dikatakan oleh kant, harmoni ini bukan kebetulan sich, tetapi merupakan ciptaan tuhan yang
maha pengatur dan bijak.[8]
Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupya ia bergunakan
untuk belajar membaca.Menurut Ibnu abrar,walaupun rasanya terlalu funtastis sejak mulai
berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berfikir dan membaca,kecuali pada malam
ayahnya meninggak dan malam perkawinannya.[9]
Kesibukan Ibnu rusyd sebagai pejabat Negara,ketua mahkamah agung,guru besar,dan
kedokteran istana menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua,tidak menghalanginya dalam
menulis,bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiyah dalam beberapa bidang ilmu
pengetahuan.[10]
3.

Aliran Irfani
Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat suprarasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu
pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi
ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang
diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada
pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, irfan
bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar
cinta. Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat,

apa yang ada dibalik teks. Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan
yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara
logis.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga
didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasiarahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep
tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi
dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan
kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh
melalui tiga tahapan.
a. Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai
dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
subhat),Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir
(mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan SWT), Sabar,
Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya
gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan
limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyhadah) sebagai objek
yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya
bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang
diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya,
yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut Ilmu Huduri' atau pengetahuan swaobjek (self object
knowledge).
c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat
ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan
kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua
pengalaman ini bisa diungkapkan.Hal ini dibenarkan pula oleh Ali Issa Othman.
"Pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya
dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya
akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya
diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara
sepakat".
4.

Aliran hikmah mutaaliyah

1.
2.
3.

4.
5.

Aliran Filsafat hikmah mutaaliyah (filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang


filosof Syiah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal
dengan nama Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil
mensintesiskan ketiga aliran filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini
yaitu Peripatetik, Iluminasi dan Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di masukkan
ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631), dengan anggotaanggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-Amili dan Mir Fendiriski. Tetapi
karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui para filosof madzhab Isfahan termasuk
gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra
dalam aliran tersendiri yang di sebut Hikmah Mutaaliyah, Atau aliran Hikmah saja.
Al-Hikmah al-Mutaaliyah bukan saja menampilkan sintesa pemikiran, tetapi juga
memahkotai pemikiran itu dengan bukti-bukti nash, baik al-Quran maupun Hadis. Karena
itu, memahami pemikiran Mulla Shadra, terutama karya monumentalnya tersebut, terlebih
dahulu harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagaimana
diutarakan di atas, meliputi :
Filsafat Islam Peripatetis-Neo Platonisme yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan para
pendukungnya.
Teosofi Isyraqi (Iluminasi) Suhrawardi dan para pengikutnya, seperti Qutb al-Din Syirazi dan
Jalal al-Din Dawani
Doktrin gnostis (irfan) Ibn Arabi dan mereka yang bertanggung jawab dalam penyebaran
doktrin Ibn Arabi, seperti Sadr al-Din Qunyawi serta karya-karya tokoh sufi terkemuka,
antara lain Ayn Qudat Hamadani dan Mahmud Syabistari.
Ilmu Kalam Syiah Imamiyah
Wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi SAW. Dan para Imam Syiah.
Karakteristik/ciri khas Hikmah Mutaaliyah
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, Filsafat Hikmah Mutaaliyahtentu memiliki
beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari
sudut Epistemologis, ontologis dan kosmologis.
A;

Epistemologis

Seperti aliran Iluminasionis, filsafat hikmah juga percaya bukan hanya pada akal
diskursif , tetapi juga pada pengalaman mistik. FilsafatIsyraqi seperti telah disinggung
didasarkan pada pengalaman mistik, baru kemudian disampaikan dalam bahasa filosofisdiskursif. Namun lebih dari itu, filsafat hikmah, seperti dikatakan Dr. Haidar Baqir, dalam
bukunyaBuku Saku Filsafat Islam, menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya
mungkin untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan harus diungkapkan seperti
itu untuk keperluan verifikasi public.
B;
Ontologis
Atas pengaruh Ibn Arabi, Mulla Shadra juga menciptakan ajaranwahdat alwujud, tetapi dengan perbedaan yang cukup sidnifikan Namun sebelum kita membahas
tentang konsep kesatuan wujudnya, marilah kita bicarakan terlebih dahulu tentang keutamaan

wujud, atau apa yang disebutishalat al-wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan
bahwa yang utama (prinsipil) adalah esensi (mahiyyah), Mulla Shadra mengatakan bahwa
yang real, yang utama adalah wujud (eksistensi). Wujudlah yang real, sedangkan esensi
(mahiyyah) hanya ada dalam pikiran manusia saja, tidak betul-betul ada di luar pikiran, yakni
pada benda-benda eksternal.
Konsep keesaan wujud ini mirip sekali dengan, atau barang kali diadopsi dari konsep
cahaya Suhrawardi. Cahaya menurut Suhrawardi pada hakikatnya hanyalah satu. Perbedaan
cahaya yang ada tidaklah karena perbedaan kecahayaannya. Tetapi karena pebedaan
intensitasnya. Seperti Suhrawardi, Mulla Shadra juga percaya bahwa wujud-sebagai ganti
cahaya- hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka ini
bukanlah kewujudannya, tetapi gradasi mereka yang berbeda-beda. Jadi wujud Tuhan, dan
wujud batu kerikil, tidaklah berbeda dari sudut kewujudannya, tetapi berbeda dalam derajat
dan gradasinya. Dan sementara Suhrawardi menjelaskan perbedaan intensitas cahaya karena
hadirnya barzakh-barzakh (barazikh) yang menyekat di antara cahaya, maka Mulla Shadra
mengatakan gradasi wujud-atau yang terkenal dengan istilah tasykik al-wujud terjadi karena
perbedaan esensi (mahiyyah) yang dimiliki oleh tiap-tiap entitas yang ada di alam semesta
ini.
C;
Kosmologis
Ajaran Mulla Shadra yang berkaitan dengan alam yang disebut perubahan transsubstansial ( al-harakah al-jauhariyah) adalah teori yang menurut para ahli merupakan
penemuan Mulla Shadra yang paling orisinal karena belum pernah dikemukakan sebelumnya
oleh filosof manapun, baik Yunani (Aristoteles) maupun Muslim (misalnya Ibn Sina).
Menurut ajaran ini, perubahan bias terjadi bukan hanya pada tingkat aksidental, tetapi juga
substansial. Padahal selama ini substansi dipahami sebagai sesuatu yang fixed sehingga
tidak mungkin akan berubah. Misalnya substansi hewan telah fixed sehingga tidak
mungkin akan berubah menjadi yang lain. Tetapi menurut Mulla Shadra, seperti juga
Suhrawardi, substansi tidaklah begitu fixed dan ia dapat berubah secara signifikan. Berbeda
dengan para pendahulu filosofisnya, Mulla Shadra bahkan mengatakan bahwa perubahan
pada level aksidental bias terjadi hanya apabila ada perubahan pada substansi.[11]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
a. Isyraqiyyah (Illuminisme)
Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar
epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah
sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya
mempunyai perbedaan yang mendasar.
b. Peripatetik

Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu


berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara
metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan
penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya
yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), dan Ibn
Rusyd (w. 1196).
c. Aliran irfani
Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat suprarasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu
pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
d. Aliran hikmah mutaaliyah
Aliran Filsafat hikmah mutaaliyah (filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang
filosof Syiah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal
dengan nama Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil
mensintesiskan ketiga aliran filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini
yaitu Peripatetik, Iluminasi dan Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di masukkan
ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631), dengan anggotaanggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-Amili dan Mir Fendiriski. Tetapi
karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui para filosof madzhab Isfahan termasuk
gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra
dalam aliran tersendiri yang di sebut Hikmah Mutaaliyah, Atau aliran Hikmah saja.

Tokoh-tokoh peripatetik
Ibnu sina
Ibnu rusyd
Al-farabi
Al-kindi

[1] Muhsin labib, para filosof , ( Jakarta : Al-huda, 2005 ), hal. 38


[2] M,M.Syarif,Alam pemikiran islam,peranan Umat islam dalam pengembangan ilmu

pengetahuan,Terj.Fuad Muh,Fakhruddin,(Bandung:Dipenogoro,1979),cet II,hlm.81


[3] Muhsin Labib,Para Filosof Sebelum dan sesudah Mulla Shadra (2005).hlm.36
[4] Harun Nasution,Filsafat dan Misticme dalam islam,(Jakarta:Bulan Bintang,1973),hlm.16
[5] Muhammad Ali Abu Rayyan,Al-Falsafat al-islamiyah syakhiyatuhu wa mazahibuha,
(tt:Mk.Iskandariyat)hlm.367
[6][6] Seyyed hossein nasr oliver leaman, ensiklopedi tematis filsafat islam, ( bandung : mizan, 1996
), hal. 231
[7] Hana Al-fakhury dan khalil Al-Jarr,Tharik al-falsafat al-arabiyah,(Berikut:Muassasat li al-tabaat
wa al-nasyr,1963).cet.II,hlm 387
[8] Dr. Ibrahim madkour, aliran dan teori filsafat islam, ( Jakarta : bumi aksara, 2004 ) hal, 119
[9] Ahmad fuad Al-Ahwany<al-Falsafat al-islamiyah,(Kairo:Maktabat al-Saqafiyyat,1992)hlm.100
[10] Prof.dr.H.Sirajuddin zar,M.A.Filsafat islam (padang:Rajawali Pers,2004) hlm 222
[11] www.google.com,Aliran-aliran Filsafat dalam Islam,(Banda Aceh,2012),sabtu tgl.03
november 2012.

Mengapa muncul aliran-aliran filsafat? Apa saja aliran filsafat Islam itu?
Pertanyaan

Mengapa muncul aliran-aliran filsafat? Apa saja aliran filsafat Islam itu?
Jawaban Global

Sebab munculnya aliran-aliran filsafat adalah lantaran perbedaan pandangan para filosof
terkait dengan definisi filsafat yang berbuntut pada perbedaan beberapa prinsip
sehingga

menyebabkan

berdirinya

beberapa

aliran

filsafat.

Secara teori, aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik
(Massy) dan Iluminasionis (Isyrq). Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari
Yunani kuno. Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional
yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode pemikiran
Plato

yang

merupakans

sebuah

metode

inspirasional

disebut

sebagai

metode

Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani yang dapat
ditelusuri

hingga

filosof

Yunani

yaitu

Phytagoras.

Setelah buku al-Syif karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu
literatur terpenting filsafat adalah buku al-Asfar al-Arbaah karya Mulla Sadra. Setelah
tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat
Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan
pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikiran Sadrian dan dewasa ini aliran
filsafat yang tersebar adalah aliran filsafat Hikmah Mutaliyah (Filsafat Hikmah) Mulla
Sadra.
Jawaban Detil

Untuk menjawab mengapa banyak aliran filsafat yang muncul, pertama-tama harus
diperhatikan pandangan para filosof terkait dengan apa itu filsafat yang menyebabkan
munculnya perbedaan dalam prinsip-prinsip dan sebagai hasilnya lahirnya banyak aliran
filsafat.
Pada peradaban Yunani Kuno setiap aliran memiliki definisi tersendiri terkait dengan
filsafat. Bahkan Plato yang berpandangan Iluminasionis, memiliki definisi yang berbeda
dengan

gurunya

Sokrates

atau

dengan

muridnya

Aristoteles.

Ragam definisi ini disertai dengan prinsip-prinsip filosofis aliran-aliran Yunaninya telah
memasuki peradaban Islam memberi pengaruh pada munculnya aliran-aliran filsafat
dalam

Islam.

Definisi filsafat yang disebutkan sebagai ilmu yang membahas tentang esensi, sifat,
hukum-hukum dan kondisi-kondisi universal wujud sebagaimana adanya ia (yang
dilakukan) sesuai dengan kemampuan manusia[1] merupakan definisi Peripatitek terkait
dengan

filsafat.[2]

Demikian juga definisi filsafat sebagai ilmu yang memunculkan perubahan dalam diri

manusia yang secara perlahan memasuki alam akal dan mirip dengan alam luaran.
Definisi ini dapat disaksikan pada tuturan-tuturan Farabi dan Mulla Sadra.[3] Definisi
filsafat ini sepertinya merupakan definisi yang diadopsi dari aliran Phytagoranisme atau
aliran etika Stoikisme yang berdasarkan pada definisi tersebut tujuan filsafat adalah
penyempurnaan

jiwa

pada

sisi

ilmu

dan

amal.

Akan tetapi amal yang menjadi obyek perhatian filosof Ilahi adalah penyucian jiwa yang
merupakan tujuan pertama filsafat yaitu mengetahui realitas-realitas seluruh entitas dan
setelah beramal sesuai dengan ilmu sehingga dengan demikian wajarlah filsafat terdiri
menjadi dua bagian. Bagian teori dan bagian praktis yang tentu saja bagian praktis
filsafat tujuan utamanya adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang dapat menata
masyarakat dengan baik dan benar, kemudian bagian teorinya, dapat meraih sukses
pada

peradaban

filsafat

Islam.[4]

Namun filosof Islam kurang menaruh perhatian pada sisi-sisi filsafat praktis Yunani dan
yang menjadi obyek perhatian kaum Muslimin pada filsafat praktis Yunani adalah hal-hal
umum yang berkaitan dengan dasar-dasar etika praktis; karena hukum-hukum fikih Islam
dan

akhlak-akhlak

praktisnya

telah

mencukupi

bagi

kaum

Muslimin.

Dari sudut pandang teori aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua
yaitu Peripatetik (Massy) dan Iluminasionis (Isyrq). Sumber dua aliran ini pada
dasarnya berasal dari Yunani kuno.[5]Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang
merupakan metode rasional yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik
sementara metode pemikiran Plato yang merupakans sebuah metode inspirasional
disebut sebagai metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban
Yunani

yang

dapat

ditelusuri

hingga

filosof

Yunani

yaitu

Phytagoras.[6]

Ibnu Sina menjadikan aliran filsafat Aristoteles[7] sebagai metode dasar filsafatnya
sementara Suhrawardi menjatuhkan pilihan pada sistem filosofis Plato.[8] Namun hal ini
secara mutlak tidak sepenuhnya tepat karena tiada satu pun filosof dalam peradaban
filsafat

Islam

yang

Peripatetik

murni

dan

Iluminasionis

murni.[9]

Dengan mengkaji literatur-literatur filsafat Islam kita sampai pada kesimpulan bahwa
filsafat Islam dalam pembahasan teologis tidak terlalu berkukuh menetapkan batasan
dan cakupan aliran-aliran. Secara prinsip hal ini bukan menjadi tujuan mereka belajar
filsafat.
Tujuan yang mereka ingin capai dalam filsafat Ilahi dan urusan-urusan metafisikal adalah
melahirkan sebuah sistem sipil yang tepat berdasarkan ilmu dan amal. Dengan
merealisasikan tujuan ini sistem pemikiran Aristotelian dapat diwujudkan dan juga sistem
pemikiran

Platonian

serta

gabungan

dari

kedua

metode

pemikiran

ini.

Atas dasar itu, Farabi berusaha menggabungkan pendapat-pendapat Aristoteles dan


Plato dan pada dasarnya pandangan ini (menggabungkan dua pandangan filsafat) adalah

pandangan Farabi sendiri yang ingin mendamaikan pemikiran-pemikiran Peripatetik dan


Iluminasionis,

murid

aliran

ini,

Ibnu

Sina

kurang

lebihnya

melakukan

hal

ini.

Qasidah Ainiyyah karya Ibnu Sina sepenuhnya bercorak neo-Platonisme dan pada alIsyart wa

al-Tanbiht dalam

pembahasan-pembahasan

dua

dengan

pertiga namath, Ibnu

menggunakan

metode

Sina

mengemukakan

Peripatetik-Iluminasionis.

Syaikh Maqtul Syihabuddin Suhrawardi (Syaikh al-Isyraq),[10] yang merupakan filosof


yang

menghidupkan

filsafat

Iluminasi

Iran-Yunani,

berkata

bahwa

untuk

menyempurnakan jiwa pada sisi ilmu dan amal maka setiap orang harus menguasai
prinsip-prisip filsafat teoritis Peripatetik dan juga pada tataran amal harus beramal sesuai
dengan

spirit

filsafat

Iluminasionis.

Pasca Ibnu Sina, kita dapat mengecualikan Khaja NasiruddinThusi dan Ibnu Rusyd alAndalusi di sini dan selainnya kita hitung sebagai aliran eklektik atau gabungan yang
pada dasarnya berhubungan dengan abad ketiga, keempat dan awal-awal abad kelima.
Aliran terpenting dari aliran eklektik ini adalah aliran Ikhwan al-Shafa dan Khillan al-Wafa
serta pada masa yang sama aliran filsafat Ismailiyyah yang berdasarkan pandanganpandangan

khusus

Abu

Hatim

al-Razi

dan

Hamiduddin

Kermani.[11]

Dalam aliran Ikhwan al-Shafa seluruh mazhab diterima dan seluruh peradaban
dimanfaatkan. Dengan bersandar pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat, mereka
melahirkan aliran gabungan yang bisa jadi merupakan sebuah aliran toleran. Adapun
aliran filsafat Ismailiyah yang didirikan oleh Abu Hatim al-Rai dan Hamiduddin Kermani
sejatinya tidak bertujuan demikian dan melanjutkan aliran ini yang berpindah ke dinasti
Ayyubi

dan

menarik

puluhan

filosof

lainya

seperti

Suhrawardi.

Aliran-aliran ini di samping aliran teologi filsafat Hasani Zaidi yang merupakan pemikir
mazhab Zaidiyah yang sezaman dengan Hamiddudin Kermani, melotarkan pemikiran
baru

dimana

segala

sesuatu

dapat

ditafsirkankan

dan

ditakwil.

Beranjak dari situ, aliran lainnya berdiri yang mengedepankan zuhud, tasawuf dan
ketakwaan oleh Hasan Basri dan Rabiah al-Adawiyyah yang kemudian disusul oleh
Abdurrahman al-Sulami, Junaid al-Baghdadi, Hallaj yang diteruskan oleh Muhyiddin Ibnu
Arabi dan Ibnu Faridh. Muhyiddin Ibnu Arabi menyempurnakan langkah pendahulunya
dan khususnya ia menilai dirinya sebagai pembawa berita gembira agama Muhammad.
Aliran Ibnu Arabi tidak ada yang menandinginya dari sisi keluasan pengaruhnya pada
masa itu dan setelahnya tiada satu pun aliran irfan yang dapat menyainginnya.
Apa yang telah disampaikan di atas merupakan ringkasan dari aliran-aliran dan
pandangan-pandangan filsafat yang membangung fondasi pemikiran sosok yang
bernama Shadruddin Syirazi yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra. Setelah buku alSyifa karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur terpenting
filsafat adalah buku al-Asfar al-Arbaah karya Mulla Sadra yang pada masanya orangorang tidak begitu dapat memahami pentingnya filsafat yang dibangun oleh Mulla Sadra.

Apa yang pasti adalah bahwa buku al-Asfar ini telah dikenal dengan baik semenjak masa
dinasti Qajar dan ulama telah mengakui signifikansinya. Pada masa itu dan masa-masa
setelahnya

sangat sedikit ulama yang

membahas,

menelaah dan mengajarkan

karya magnum opus Mulla Sadra ini. Salah satu sebabnya adalah sangat sukar
memahami pandangan-pandangan penulisnya dan sebab lainya adalah bahwa buku alAsfar bukanlah

buku

filsafat

biasa.

Terdapat beberapa alasan terkait sebab penamaan buku al-Asfar al-Arbaah ini sebagai
Hikmah Mutaaliyah. Sebagian meyakini bahwa Mulla Sadra menyebut filsafatnya
sebagai Hikmah Mutaaliyah karena berbicara dengan bahasa yang lebih tinggi dari
filsafat

biasa

Peripatetik

dan

Iluminasionis.[12]

Mulla Sadra berbeda dengan filosof lainya menjadikan fokus filsafatnya pada entitas
(qua entitas) dan memandang bahwa yang hakiki adalah entitas (wujud) bukan kuiditas
(mhiyyah). Ia memecahkan banyak persoalan filsafat Ilahi dengan pandangan tipikalnya
dalam bab kehakikian wujud (ashlat al-wujud) dan kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
Dalam pandangan Mulla Sadra segala sesuatu memiliki gradasi wujud; nama-nama, sifatsifat

dan

perbuatan-perbuatan

Tuhan

merupakan

bagian

dari

gradasi

wujud.

Sebagian lainnya berdasarkan inklusifitas filsafat Mulla Sadra menjelaskan mengapa


disebutmutaliyah karena merupakan gabungan antara Peripatetik dan Iluminasi, ayatayat dan riwayat-riwayat. Nampak jelas filsafat Mulla Sadra merupakan gabungan antara
hikmah dzauqi (iluminasi), aqli(rasional), irfan, ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Dengan
demikian,

sebagian

memandangnya

sebagai

kenyataannya

filosof

eklektik

sementara

tidak

pada

demikian.

Mulla Sadra mengambil manfaat dari hikmah dzauqi dari cabang Yunaninya yaitu
pemikiran-pemikiran Plato, Phytagoras, Stoikisme dan juga dari pemikiran-pemikiran
baru neo-Plato dan neo-Stoikisme demikian juga cabang-cabangnya di Iran yaitu dari
pemikiran-pemikiran

Syihabuddin

Suhrawardi.

Dari sisi lain, juga ia mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Aristoteles pendiri aliran


filsafat Peripatetik dan para pengikutnya di Yunani serta pada peradaban Islam yaitu
pewaris utama filsafat Peripatetik, Farabi dan Ibnu Sina. Demikian juga dari tuturantuturan para arif besar seperti Hallaj, Bayazid, Muhyiddin dan yang lainnya serta
menaruh

perhatian

ekstra

pada

ayat-ayat

al-Quran

dan

riwayat.

Setelah mengutip pemikiran-pemikiran besar filosof dan arif serta teolog hal itu tidak
bermakna bahwa filsafat Mulla Sadra adalah filsafat eklektik. Tidak demikian. Lantaran
Mulla Sadra pada setiap pembahasan ia terlebih dahulu menyampaikan pandanganpandangannya

kemudian

mengutip

dan

mengkritisi

atau

terkadang

menyokong

pandangan pemikir lainnya di samping itu menggunakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat


untuk

mendukung

pendapatnya.

Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah

pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan
uraian dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikirannya. Dewasa ini
aliran filsafat yang tersebar di dunia Islam adalah aliran filsafat Hikmah Mutaliyah Mulla
Sadra. [iQuest]

[1].

Maula Abdullah bin Syihabuddin al-Husain Yazdi, al-Hsyiah ala Tahdzib al-Mantiq, hal.

392,

Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1412 H; Sayid Jafar

Sajjadi, Farhangg Ishtilhat Falsafi Mulla Sadr, hal. 103, Wizarat Farhang wa Irsyad
Islami, Teheran, Cetakan Pertama, 1379 S.
[2].

Farhangg Ishtilhat Falsafi Mulla Sadr,hal. 6.

[3].

Ibid. Silahkan lihat, Abu Nasir Farabi, Abu Nasir Gazani Sayid Ismail, Fushush al-Hikmah

wa Syarhuhu, Pendahuluan dan riset oleh Ali Aujabi, hal. 129, Anjuman Atsar Mafakhir
Farhanggi, Teheran, Cetakan Pertama, 1381 S; Shadr al-Mutallihin, al-Hsyiah ala alIlahiyyah al-Syif,hal. 5, Intisyarat Bidar, Qum, Tanpa Tanpa; Shadr al-Mutaallihin, alHikmah al-Mutaliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arbaah, jil. 2, hal. 34, Dar Ihya al-Turats,
Beirut, Tahun Ketiga, 1981 M.
[4].

Farhangg Ishtilhat Falsafi Mulla Sadr, hal. 6.

[5].

Farhangg Ishtilhat Falsafi Mulla Sadr, 6-7.

[6]

. Ibid, hal. 7.

[7].

Mir Qiwamuddin Muhammad Razi Tehrani, Du Rislah Falsafi ain al-Hikmah wa

Taliqt, edit dan annotasi oleh Ali Aujabi, Mukaddimah, hal. 16, Intisyarat Farhang wa
Irsyad Islami, Teheran, 1378 S;Farhangg Ishtilhat Falsafi Mulla Sadr, hal. 7.
[8].
[9]

Farhangg Ishtilhat Falsafi Mulla Sadr, hal. 7.

. Ibid.

[10].

Silahkan lihat, Syaikh Isyraq, Syiah atau Sunni, Pertanyaan 27003.

[11].

Farhangg Ishtilhat Falsafi Mulla Sadr, 8-9.

[12].

Ibid., hal. 11.

Anda mungkin juga menyukai