DIMENSI FILSAFAT
S
U
OLEH :
KELOMPOK 1 ( satu )
ANGGOTA : M.DAMAR.D
: INAYA SALSABILA
: NAHIRA
: BEYAMIN
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “filsafat islam 1" ini. Sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW
yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus.
Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
pengantar filsafat dengan judul “filsafat islam 1”. Disamping itu, kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kamu selama pembuatan
makalan ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih
banyak terdapat kekurangannya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah filsafat islam tidak dapat dilepaskan dari filsafat yunani. Filsafat yunani dikembangkan
oleh Alexander Agung yang kita kenal dengan Iskandar Zulkarnain. Alexander Agung adalah
Raja Macedonia yang juga merupakan murid dari Aristoteles, dia mempunyai cita-cita ingin
menguasai Mesir karena Mesir dianggap tempat yang strategis untuk mengembangkan kekuasaan
dan peradaban. Keinginannya tercapai sehingga dia juga menguasai Syiria dan sebagian India.
Alexander mencoba memperkenalkan filsafat dan budaya Yunani di daerah jajahannya yaitu
dengan cara menganjurkan para prajurit dan intelektual Yunani untuk mengawini penduduk
setempat agar mereka betah hidup di tempat yang dikuasai. Hal inilah yang menjadi cikal bakal
perkembangan filsafat dan peradaban Yunani di luar wilayah Yunani sehingga tidak heran jika
lebih berkembang. Peradaban Yunani lebih berkembang di Mesir, Syiria, dan Yudinsapur.
Adapun perkembangan peradaban filsafat Yunani yang berada diluar Yunani disebut dengan
Hellenisme. Hellenisme memiliki pengaruh terhadap masuknya filsafat dalam Islam. Sebab,
ketika islam berhasil menaklukkan Mesir, syiria dan bagdad, wilayah tersebut sudah maju oleh
peradaban Yunani. Pada masa al-Ma’mun, Harun al Rasyid dan al-Amin, mereka berusaha
mengembangkan tradisi tersebut dengan memberikan dorongan dan intensif yang cukup besar
bagi perkembangan filsafat dan ilmu. Jadi dapat dikatakan bahwa perhatian khalifah yang begitu
besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat merupakan salah satu faktor peradaban islam maju dan
dapat dibanggakan.
B. RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
Al-Kindih adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf Muslim pertama.
Secara etnis, al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah,
salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah
menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu
mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Al Kindi telah menulis banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu, dari metafisika, etika,
logika dan psikologi, hingga ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan
optik, juga meliputi topik praktis seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan
gempa bumi.
Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau
aritmetika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah
(irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia
membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai
sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang
menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya
jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan
oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan
babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka
diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran
wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan
wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi
menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
Al Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya adalah
Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana keilmuan barat
dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota bernama Razy, kota tua
yang dahulunya bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran. Ia lahir pada
tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1] Beliau wafat pada Tahun 925 M.[2]
Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia
lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat
rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk
diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan
meninggal.[5]
Konsepsi filsafat al-Razi yang paling menonjol, dan karenanya menjadi ajaran pokok,
adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya
bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe¬dakannya dari
konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu)
abadi. Keduanya berte¬mu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan
aksiomatik. Konsep filsafat al-Razi tentang moral ter-breakdown oleh konsep
“transmigrasi jiwa”-nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan
hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara
membunuhnya. Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin¬tikan
penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti
keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis. Keseluruhan
konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihat¬kan bahwa dia adalah seorang ateis
sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik. Dalam peta
filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari al-Kindi yang Arestotelik
dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat antara Aristoteles dan Plato).
Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang telah memberikan solusi dalam persoalan
penciptaan dunia merupakan jasa yang berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato,
akan tetapi juga para filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi
telah membuka jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan
dunia.
Nama lengkapnya Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi (870-950). Dia lahir di
Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama lain Abu Nasir al-Farabi (dalam
beberapa sumber dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan
Ibn Uzalah Al- Farabi). Di dunia barat dikenal sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi,
dan Abunasir.
Sejak kecil dia dikenal sangat cerdas dan cepat menguasai setiap bidang ilmu yang
dipelajarinya. Saat muda, dia belajar tentang Islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di
Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama
20 tahun
adalah sebuah pilihan, karena Tuhan telah sempurna.7 Dia tidak percaya bahwa Tuhan
tibatiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal itu akan menimbulkan
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi
ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin
membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan
aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali
dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik,
justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi
https://www.researchgate.net/publication/321126520_Buah_Filsafat_al-
Razi_Lima_Kekal_Jiwa_Moral_Kenabian_dan_Agama