Anda di halaman 1dari 9

PENGANTAR FILSAFAT

DIMENSI FILSAFAT

S
U

OLEH :

KELOMPOK 1 ( satu )

ANGGOTA : M.DAMAR.D

: INAYA SALSABILA

: NAHIRA

: BEYAMIN

JURUSAN : ILMU KOMUNIKASI


KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Filsafat islam menurut al-kindi


B. Filsafat islam menurut al-razi
C. Filsafat islam menurut al-farabi

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “filsafat islam 1" ini. Sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW
yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus.

Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
pengantar filsafat dengan judul “filsafat islam 1”. Disamping itu, kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kamu selama pembuatan
makalan ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih
banyak terdapat kekurangannya.

Manding, 29 November 2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah filsafat islam tidak dapat dilepaskan dari filsafat yunani. Filsafat yunani dikembangkan
oleh Alexander Agung yang kita kenal dengan Iskandar Zulkarnain. Alexander Agung adalah
Raja Macedonia yang juga merupakan murid dari Aristoteles, dia mempunyai cita-cita ingin
menguasai Mesir karena Mesir dianggap tempat yang strategis untuk mengembangkan kekuasaan
dan peradaban. Keinginannya tercapai sehingga dia juga menguasai Syiria dan sebagian India.
Alexander mencoba memperkenalkan filsafat dan budaya Yunani di daerah jajahannya yaitu
dengan cara menganjurkan para prajurit dan intelektual Yunani untuk mengawini penduduk
setempat agar mereka betah hidup di tempat yang dikuasai. Hal inilah yang menjadi cikal bakal
perkembangan filsafat dan peradaban Yunani di luar wilayah Yunani sehingga tidak heran jika
lebih berkembang. Peradaban Yunani lebih berkembang di Mesir, Syiria, dan Yudinsapur.

Adapun perkembangan peradaban filsafat Yunani yang berada diluar Yunani disebut dengan
Hellenisme. Hellenisme memiliki pengaruh terhadap masuknya filsafat dalam Islam. Sebab,
ketika islam berhasil menaklukkan Mesir, syiria dan bagdad, wilayah tersebut sudah maju oleh
peradaban Yunani. Pada masa al-Ma’mun, Harun al Rasyid dan al-Amin, mereka berusaha
mengembangkan tradisi tersebut dengan memberikan dorongan dan intensif yang cukup besar
bagi perkembangan filsafat dan ilmu. Jadi dapat dikatakan bahwa perhatian khalifah yang begitu
besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat merupakan salah satu faktor peradaban islam maju dan
dapat dibanggakan.

B. RUMUSAN MASALAH

a.filsafat islam menurut al-kindih

b.filsafat islam menurut al-razi

c.filsafat islam menurut al-farabi


BAB III

PEMBAHASAN

A. FILSAFAT ISLAM MENURUT AL-KINDIH

Al-Kindih adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf Muslim pertama.
Secara etnis, al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah,
salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah
menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu
mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.

Al Kindi telah menulis banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu, dari metafisika, etika,
logika dan psikologi, hingga ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan
optik, juga meliputi topik praktis seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan
gempa bumi.

Di antaranya ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika,


bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat.
Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai
keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini
meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi

Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau
aritmetika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun

Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah
(irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia
membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai
sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang
menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya
jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan
oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan
babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka
diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran
wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan
wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi
menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.

Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan


pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat
memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat,
surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi
mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan
wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.

B. FILSAFAT ISLAM MENURUT AL-RAZI

Al Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya adalah
Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana keilmuan barat
dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota bernama Razy, kota tua
yang dahulunya bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran. Ia lahir pada
tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1] Beliau wafat pada Tahun 925 M.[2]

Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia
lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat
rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk
diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan
meninggal.[5]

Konsepsi filsafat al-Razi yang paling menonjol, dan karenanya menjadi ajaran pokok,
adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya
bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe¬dakannya dari
konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu)
abadi. Keduanya berte¬mu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan
aksiomatik. Konsep filsafat al-Razi tentang moral ter-breakdown oleh konsep
“transmigrasi jiwa”-nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan
hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara
membunuhnya. Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin¬tikan
penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti
keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis. Keseluruhan
konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihat¬kan bahwa dia adalah seorang ateis
sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik. Dalam peta
filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari al-Kindi yang Arestotelik
dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat antara Aristoteles dan Plato).
Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang telah memberikan solusi dalam persoalan
penciptaan dunia merupakan jasa yang berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato,
akan tetapi juga para filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi
telah membuka jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan
dunia.

C. FILSAFAT ISLAM MENURUT AL-FARABI

Nama lengkapnya Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi (870-950). Dia lahir di
Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama lain Abu Nasir al-Farabi (dalam
beberapa sumber dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan
Ibn Uzalah Al- Farabi). Di dunia barat dikenal sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi,
dan Abunasir.

Sejak kecil dia dikenal sangat cerdas dan cepat menguasai setiap bidang ilmu yang
dipelajarinya. Saat muda, dia belajar tentang Islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di
Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama
20 tahun

Al-Farabi menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof


muslim.Terbukti pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik lainnya.
Masignon memuji al-Farabi sebagai pemikir muslim pertama yang setiap kalimatnya
bermakna.Bahkan, Ibn Khulkan memujinya sebagai filosof muslim yang tidak mungkin
tertandingi derajat keilmuannya. Ia telah berhasil merekonstruksi bangunan Ilmu Logika
(manthiq) yang telah diletakkan pertama kali oleh Aristoteles. Bila Aristoteles yang telah
berjasa memperkenalkan Ilmu Logika (manthiq) dan mendapat sebutan ‘guru pertama’,
maka alFarabi atas jasa besarnya mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia
layak disebut sebagai guru kedua (al-mu’alim ats-tsāni).

Definisi filsafat menurut al-Farabi adalah al-‘ilm bi al-maujūdāt bi māhiya almaujudāt.


Ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada, termasuk menyingkap
tabir metafisika penciptaan. 5 Al-Farabi menuangkan pemikiran filsafat penciptaannya
dalam karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah yang dimulai pembahasan tentang
Tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya menyingkap tabir gelap
pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab pertama dari semua wujud yang
ada di jagat raya ini, 6 sama dengan konsep Tuhan menurut madzhab Aristoteles bahwa,
Tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang paling awal darinya dan tiada yang paling
akhir selainnya, tidak memerlukan iradah yang muaranya adalah sebuah pilihan, karena
Tuhan telah sempurna.7 Dia tidak percaya bahwa Tuhan tibatiba saja memutuskan untuk
menciptakan alam, karena hal itu akan menimbulkan pemahaman Tuhan yang abadi dan
statis tiba-tiba mengalami perubahan

adalah sebuah pilihan, karena Tuhan telah sempurna.7 Dia tidak percaya bahwa Tuhan
tibatiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal itu akan menimbulkan

pemahaman Tuhan yang abadi dan sta


Al-farabi memiliki sejumlah pemikiran di berbagai bidang. Antara lain tentang asal-usul
negara dan warga Negara. Menurutnya, manusia merupakan warga negara yang
merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena itu manusia tidak dapat
hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Manusia juga menjalin
hubungan-hubungan Tentang leadership atau kepemimpinan, al-farabi berpendapat
pemimpin adalah seorang yang disebut sebagai filsuf yang berkarakter nabi. Yaitu orang
yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).

BAB III

PENUTUP
a. Kesimpulan

Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi
ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin
membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan
aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali
dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik,
justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.

Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya


keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit
untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki
fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Demikian juga, setiap
jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.
Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu,
epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Pembahasan mengenai
epistemologi harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi. Secara jelas, tidak mungkin
bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Dalam membahas
dimensi kajian filsafat ilmu didasarkan model berpikir sistemik, sehingga harus
senantiasa dikaitkan.

b. Saran

DAFTAR PUSTAKA
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi

https://www.researchgate.net/publication/321126520_Buah_Filsafat_al-
Razi_Lima_Kekal_Jiwa_Moral_Kenabian_dan_Agama

Anda mungkin juga menyukai