Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Maulana, M.A

Disusun Oleh:
EMY YUNARSIH
NIM: 201.2019.007

SEMESTER V
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM
SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN SAMBAS
TAHUN 2021 M/1443 H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Farabi menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof
muslim. Berbagai upaya penerjemahan ini akhirnya berhasil melahirkan
sejumlah filosoft muslim kenamaan yang karya dan pemikiran mereka
kemudian menjadi rujukan penting bagi ilmuwan Eropa ketika memasuki masa
Renaissance (Era Pencerahan atau kebangkitan kembali ilmu pengetahuan).
Salah satu diantaranya adalah Al Farabi yang menjadi pokok pembahasan
dalam tulisan ini. Beliau disepakati sebagai peletak sesungguhnya pondasi
piramida studi falsafah Islam yang mendapat gelar kehormatan sebagai
Mahaguru kedua (al-Mu’alim al-Tsany) setelah Aristoteles.1
Julukan guru kedua yang disematkan kepada al-Farabi antara lain
dengan alasan; Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthīq) yang
menjadi pondasi semua cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang
dibangun Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fi al-‘Ibārat,
penguasaannya terhadap Ilmu Logika dalam usia yang relatif sangat muda,
bahkan mampu mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala
itu termasuk orang termasyhur bidang logika di Baghdad. Kedua, al-Farabi
filosof terbesar setelah filosof Yunani yang berhasil mengharmoniskan
pemikiranpemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis. Ketiga, kepiawaiannya
menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga mudah dikaji orang
orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab Ihshā’ul ‘Ulūm.2
Kitab tersebut berisi lima bab dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan
yang membahas lafadz dan pedoman pengambilan dalil bayaninya, ilmu
mantiq atau silogisme, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan teologi serta ilmu fiqh
dan ilmu kalam,3 Dalam kitab tersebut Sebagaimana Aristoteles yang

1
Zar, S, Filsafat Ilmu; Filosoft dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 67
2
Irfan, A.N. "Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian Atas
Logika Dan Metafisika al-Farabi." dalam Jurnal Studi Timur Tengah. Vol.7, No.2/Thn 2014, hlm.
177.
3
Al-Farabi, Ihshā’ul ‘Ulūm , (Beirut: Inmaul Qaumiy, tt), hlm. 20

1
2

membuat rumusan filsafat dan bisa dimengerti dengan sistematis orang orang
setelahnya. Dalam Ihsha’ul Ulum al-Farabi menjelaskan beberapa kategori
ilmu dan urutan mempelajarinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dalam makalah
ini dirumuskan permasalahannya, sebagai berikut:
1. Siapa itu al-farabi?
2. Apa saja karya-karya al-farabi?
3. Bagaimana pemikiran filsafat al-farabi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biagrafi Al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan
ibn Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872. 4 selisih satu tahun
setelah wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran
menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki.
Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki.5
Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani
dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang,
sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan.
Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana Kristen
Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera
dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan
kedokteran di Alexandria.6
Pertemuan dan pergumulan pemikiran di Baghdad nantinya menjadi
konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat
Yunani Neo-Platonis,7 Al-Farabi dalam perkembangannya juga tercatat
sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang penerjemah Kristen
Nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj.8 Karir pendidikannya cukup
panjang hingga pada tahun 330/941 M. Al-Farabi meninggalkan Baghdad
menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya di

4
Ali Abdul Wahid Wafi, al-Madīnah al-Fadhīlah li al- Farabi, (Kairo: Nahdhoh
Mishri,tt), hlm. 7
5
Ahmad Halim Mahmud, at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tt), hlm.
237
6
Qosim Nurseha Dzulhadi, “Al-Farabi Dan Filsafat Kenabian”, dalam Jurnal Kalimah,
Vol. 12/ Thn 2014, hlm. 125
7
Tokoh utamanya adalah Plotinus (203 SM - 209 SM), Ajaran ini sempat dikembangkan
oleh Porpyrios namun dianggap oleh raja Justiniaus dari Byzantium sebagai ajaran sesat, karena
itu Tahun 529 M ajaran ini dilarang dan semua sekolah ditutup. Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 66
8
Sayyed Husein Nashr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I, Terj.
Penerjemah Mizan, Cet I. (Bandung: Mizan, 1424H/2003 M), hlm. 221.

3
4

Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau Desember 950
M.

B. Karya-Karya Al-Farabi
Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai
karya tulis, baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek. Di antara
karyanya adalah Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-
Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-
Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.
Karya-karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang
dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional
menisbahkan lebih dari seratus karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya
yang lebih banyak berbentuk naskah tersebut sebagiannya hanya ditemukan
dalam terjermahan tulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting
dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif
tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi.
Di antara karya-karya Al-Farabi itu adalah:
1. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hakiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-
thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),
5. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama
pemerintahan),
6. As Syiasyah (ilmu politik),
7. Fi Ma’ani Al Aqli, (makna Berfikir)
8. Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
Buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori
keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq,
matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah
pernah dibahas oleh para penulis lain. Namun yang membuat buku itu
istimewa adalah karena al-farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut
5

dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu


baru, yakni Fiqh (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer
dibicarakan pada masa itu.9
9. Isbatu Al Mufaraqat, (Ketetapan Berpisah)

10. Al Ta’liqat. (Ketergantungan).10

Terkait ketajaman karya al-Farabi, diceritakan bahwa Ibnu Sina


pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah
membacanya empat kali ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia
membaca buku “Intisari Metafisika” karya al-Farabi, barulah ia mengerti
bagian yang semula dirasa sulit.
Selain dalam bentuk buku, risalah dan manuskrip tersendiri, al-
Farabi juga sering membuat ulasan dan penjelasan terhadap karya-karya
filosof Yunani, seperti al- Burhan (dalil), Ibarah (keterangan), Khitobah
(cara berpidato), Al-Jadal (argumentasi/debat), Qiyas (analogi) dan Mantiq
(logika) yang merupakan ulasan terhadap karya-karya Aristoteles. Selain
itu juga ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq” yang merupakan ulasan terhadap
karya Platinus dan “Maqalah Fin-nafsi” sebagai ulasan terhadap karya
Iskandar Al Daudisiy.
C. Pemikiran Filsafat Al-Farabi
1. Filsafat Metafisika dan Teori Emanasi
Secara bahasa Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta
physika (sesudah fisika). Istilah ini merupakan judul yang diberikan
Andronikos terhadap empat belas buku karya Aristoteles yang
ditempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku. Aristoteles
sendiri tidak menggunakan istilah metafisika, melainkan filsafat pertama
(Proote Philosophy). Dalam bahasa Arab, istilah metafisika dikenal
dengan ungkapan ma ba’d al-thabi’ah atau segala sesuatu dibalik realitas
yang tampak.11

9
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hlm. 32
10
Mustofa, HA, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, tt), hlm. 127-128
11
Esha, MI, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang : UIN Maliky-Press, 2010), hlm. 86
6

Saat ini kata metafisika memiliki beragam arti. Bisa berarti upaya
untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan
dan bisa pula bermakna upaya untuk menyelidiki alam yang berada di luar
pengalaman, atau menyelidiki apa yang berada di balik realitas. Akan
tetapi secara umum metafisika dapat dikatakan sebagai suatu pembahasan
filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala
sesuatu yang ada.
Dalam kajian-kajian kuno, filsafat metafisika lebih banyak
bertumpu pada soal eksistensi (wujud) tuhan dan kuasa-Nya serta soal
penciptaan alam. Dalam konteks inilah pembicaraan tentang teori emanasi
menjadi populer.
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin
(alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya:
Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan
wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa
benda.
Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi) yang
oleh al-Farabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti
wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari.
Cahaya itu sendiri menurut tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak.
Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud
disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjadi
bukti adanya sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus
berakhir pada suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.
b. Wujud yang ada dengan sendirinya (wajib al-wujud). Wujud ini adalah
wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia
tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah
sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada
inilah Tuhan.
7

Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh


yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau
mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab,
sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia
memiliki zat yang agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan
mencipta dalam keseluruhan sejak azali.
Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin ayat 82.
      
   
Terjemahnya: “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia”.
(Q.S Yasiin: [36]: 82)
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan
merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan
pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga
mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang
tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud
pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis)
disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil itu dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya
hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
2) Wujud III/Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni
bintang-bintang),
3) Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat,
yakni Planet Saturnus
4) Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima,
yakni Planet Jupiter,
5) Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam,
yakni Planet Mars,
8

6) Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh,


yakni Matahari,
7) Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal
Kedelapan,yakni Planet Venus,
8) Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal
Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
9) Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal
Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada
pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau
timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi
serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur,
yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan
kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan
bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal
diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak
disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa
jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-
benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah
al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan
bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh, sembilan di
antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan,
sedangkan akal kesepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan
mengurusi kehidupan dibumi.12
2. Filsafat kenabian
Filsafat kenabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya
dengan agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit).
Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan

12
Mustofa, HA, Filsafat Islam,…hlm. 162
9

tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat
yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam,
seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan.
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai
Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal
dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya
sendiri. Allah berfirman pada Surat An-Najm ayat 3-5:
        
     
Terjemahannya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh
(Jibril) yang sangat kuat”. (Q.S An-Najm [53]: 3-5)
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi
yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta
mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab
lahirnya filsafat ke Nabi-an ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap
eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi.
Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang
keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW.
Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama,
Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui
perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.
Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak
ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan
tempat tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal
belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu
bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu
umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak.
Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang
luar biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-
10

Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan
Muhammad adalah Khalifah yang paling fasahah dikalangan orang Arab.
Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca
kitab suci, lebih berguna membaca buku Plato, Aristoteles, dan buku
Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya.
Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat
bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam
ajaran Islam, al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber
inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan,
dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu
berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan
ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada
dijelaskan:
       
    
    

Terjemahannya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib13, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Q.S Al-
Baqarah [002]: 2-3).

Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu


Ilahi, maka dari itu ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah
mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan
Akal Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk
Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al
(akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara
itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang

13
Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang
ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-
malaikat, hari akhirat dan sebagainya
11

telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-
hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.14
Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan
Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan
dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat
semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena
antara keduanya samasama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni
Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-
Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari
hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal
dari akal Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai
potensi untuk berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam
keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena
pada hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun
karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu
berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui
perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi.
Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia
lainnya. Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi
bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al,
tetapi terkadang mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut
para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka
imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan
Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi
yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan
sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok
pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di
sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al
14
Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983), hlm.
17
12

yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan
Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih
hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof
melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.
3. Filsafat Politik
Selain sebagai seorang filosof yang berkecimpung dalam dalam
kancah ilmiyah, al-farabi juga mencurahkan pemikirannya untuk ikut
berpartisipasi dalam mengurus politik dan ketata-negaraan.
Dalam konteks ini filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada
pemikiran Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, bahwa manusia adalah
makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi
segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak
lain.
Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini
adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung di dalam
tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas,
sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan,
dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal
kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat
dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka
terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati
martabat kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk
melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara
(sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi
tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya,
kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang
bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya
sampai golongan terendah.15

15
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1999), hlm. 93
13

Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi


dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia
kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang
filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum
sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya
dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat
atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia
hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga
akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama
filsafat pemerintahan al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.
Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai kepala
negara adalah Nabi/Rasul atau filosoft. Selain tugasnya mengatur negara,
juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang
dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat kepala kegara yang ideal inilah
pimpinan negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang
dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki kepala negara ideal. Sekiranya sifat-
sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam
diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan
mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat
4. Filsafat Pendidikan
Al-farabi dalam sebuah risalahnya menyebutkan bahwa yang
pertama dilakukan dalam pendidikan dan pengajaran adalah dimulai
dengan memperbaiki akhlak. Hal ini dikarenakan orang yang tidak
memiliki kepribadian yang baik tidak mungkin belajar ilmu baik. Alasan
yang dikemukan al-Farabi ini berdasarkan pendapat filsuf Plato
“Sesungguhnya orang yang tidak bersih dan suci tidak dekat dengan orang
yang bersih dan suci “.
Menurut al-Farabi, memperbaiki akhlak tidak cukup hanya dengan
menggunakan perkataan. Akan tetapi hal yang lebih penting adalah dengan
contoh dan perbuatan para pendidik (pendekatan akhlak praktis), barulah
kemudian guru dapat memperbaiki akhlak dan wawasan peserta didiknya.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pertalian pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh
karena itu untuk memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan
menyelami pemikiran filsafat Yunani. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim
yang pengetahuannya mapan, di samping ilmuwan juga ‘alim yang hidup
dalam kesederhanaan.
Dalam filsafat metafisika, al-Farabi berpendapat bahwa penciptaan
alam ini terjadi secara emanasi atau pancaran Tuhan (al faidh al ilahiy)
melalui daya akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal murni,
kemudian menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti
pada akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh ini tidak
lagi ber-emanasi karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh
ini melahirkan materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai
unsur lainnya. Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat
metafisikanya neo-platonisme.
Bagi al-Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan
makna, namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih
untuk menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui
logika berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki, sedangka
raja atau pemimpin adalah orang yang berkemampuan dan kecerdasan tinggi
serta kepribadian yang luhur untuk mempropagandakan kebaikan kepada
rakyatnya. Dari kepribadian luhur itulah negara digerakkan, anggota tubuh
sebagai menterinya, sinergisasi fungsinya akan menciptakan kebahagiaan
sebagai salah satu tujuan dibentuknya negara, konsep negaranya disebut
negara utama (al-madinah al-fadhilah).

15
16

B. Saran
Demikian makalah ini telah dibuat, semoga dapat menambah wawasan
dan pengetahuan pembaca. Penulis menyadari dalam proses pembuatan dan
penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk penulis guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada
dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Farabi. Ihshā’ul ‘Ulūm. Beirut: Inmaul Qaumiy. tt.


Darmodiharjo, Darji. Pokok-pokok Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia.
2006.
Dzulhadi, Qosim Nurseha. “Al-Farabi Dan Filsafat Kenabian”. dalam Jurnal
Kalimah. Vol. 12/ Thn 2014.
HA, Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. tt
Mahmud, Ahmad Halim. at-Tafkīr al-Falsafī al-Islamī. Kairo: Dār al-Ma’ārif. tt.
MI, Esha. Menuju Pemikiran Filsafat. Malang: UIN Maliky-Press. 2010
N, Irfan A. "Masuknya Unsur-unsur Pemikiran Spekulatif Dalam Islam: Kajian
Atas Logika Dan Metafisika al-Farabi." dalam Jurnal Studi Timur Tengah.
Vol.7 No.2/Thn 2014.
Nashr, Sayyed Husein dan Oliver Leaman. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Terj. Penerjemah Mizan. Cet I. Bandung: Mizan. 1424H/2003 M.
Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Universitas Indonesi. 1983
Sudarsono Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Supriyadi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan-Bintang. 1999
Wafi, Ali Abdul Wahid. al-Madīnah al-Fadhīlah li al- Farabi. Kairo: Nahdhoh
Mishri. tt.
Zar, S. Filsafat Ilmu; Filosoft dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Press. 2012.

17

Anda mungkin juga menyukai