Dosen Pengampu:
Dr., Drs., Allimudin Hassan Palawa, M.Ag.
SLTP/ SLTA VI C
1
Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi Dan Filsafat Kenabian, Jurnal Kalimah Vol.
12, No. 1, (Maret 2014), 124.
2
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat Al-Farabi, Substantia, Volume 18 Nomor 1, (April
2016), 68.
3
Sudarsono, filsafat islam, (jakarta: rineka cipta, 2010), 32.
1
2|Filsafat Islam: Al-Farabi
sekali persamaan yang ada di antara berbagai jenis ilmu yang pada mulanya
diduga tidak ada persamaannya sama sekali, seperti contohnya ilmu nahwu
yang menjadi dasar penelitian soal bahasa, ilmu ukur dan ilmu pesawat
ataupun mecanics, demikian pula ilmu semantik. Iya memberi pandangan
bahwa ilmu semantik sebagai alat bagi penguasaan berbagai jenis ilmu dan
pikirannya ini mengikuti pemikiran Aristoteles. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila al-Farabi menganggap semantik adalah sebagai alat
atau sebagai sarana untuk mendapatkan atau menetapkan hukum umum guna
memperkuat kesanggupan berpikir yang dapat membawa manusia ke jalan
yang tepat menuju kebenaran.4
Kajian metafisika menurut Al-Farabi terdiri atas tiga hal, yaitu
antologi, prinsip-prinsip demonstrasi, dan wujud non materi. Pertama,
antologi yaitu segala sesuatu yang mempunyai kaitan dengan wujud dan
sifat-sifat sepanjang berupa wujud. Kedua, prinsip-prinsip demonstrasi atau
mabadi’ al barohin dalam rangka menetapkan materi subjek ilmu teoritis.
Ketiga, wujud non materi yaitu wujud-wujud yang bukan merupakan benda
atau tidak dalam benda diantaranya berupa bilang bilangan.5
Al-Farabi dikenal sebagai cendekiawan muslim yang ahli di bidang
filsafat. Selain filsafat, ternyata ia juga menguasai berbagai ilmu
pengetahuan lainnya seperti, logika, fisika, ilmu alam, kedokteran, kimia,
ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, hingga musik. Al-
Farabi sempat disetarakan dengan Plato dan Socrates. Karya di bidang
filsafatnya yang terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah yang isinya tentang
pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan berpolitik. Para filsuf Barat pun
mengakui Al-Farabi sebagai perpanjangan filsuf Yunani. Kehebatan Al-
Farabi dibandingkan dengan filsuf Yunani lain ialah kemampuannya
menggabungkan disiplin ilmu-ilmu lain.6 Dalam makalah ini, kami akan
membahas secara lebih lengkap tentang tokoh al-Farabi, Biografi,
Pendidikan, karya-karya, hingga pemikirannya. Sehingga para pembaca
dapat mengatahui pemikiran filsafat al-Farabi.
arti banyak, maha sempurna dan tidak berkiblat pada apapun. Juga demikian
adalah hakikat sifat Allah. Dasar adanya emanasi ialah karena dalam
pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan
penciptaan. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama
berfikir, yang merupakan qudrah, tentang Tuhan, mewujudkan akal kedua,
dan berfikir tentan dirinya mewujudkan langit pertama. Akal kedua juga
berfikir tentang Tuhan dan mewujudkan akal ketiga dan berfikir tentang
dirinya mewujudkan alam bintang. Akal ketiga samapi akal kesepuluh juga
berfikir tentang Tuhan dan tentang dirinya. Berfikir tentang Tuhan
menghasilkan alak-akal dan berfikir tentang diri menghasilkan planet-
planet.22
c. Jiwa
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari akal kesepuluh.
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya
merupakan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai
substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada
jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqoh, berasal dari alam
ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar,
dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasadsiap menerimanya. Bagi Al-
Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
1. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan,
memelihara, dan berkembang.
2. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa
dan berimejinasi.
3. Daya al-Nathiqot (berfikir), daya ini yang mendorong untuk berfikir
secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terbagi dalam tiga tingkat sebagai berikut:
a. Akal potensial (al-hayulany), ialah akal yang baru mempunyai potensi
berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari
materinya.
b. Akal aktual (al-„Aql bi al-fi‟l), akal yang telah melepaskan arti-arti dari
materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan
sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk
aktual.
c. Akal Mustafad (al-„Aql al-Nustafad), akal yang telah menangkap bentuk
semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai
kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
d. Metafisika
22
Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), 41.
8|Filsafat Islam: Al-Farabi
23
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 32.
24
Sudarsono, filsafat islam, (Jakarta: rineka cipta, 2010), 31.
25
A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 127-128.
10|Filsafat Islam: Al-Farabi
26
Sudarsono, filsafat islam, (Jakarta: rineka cipta, 2010), 33.
Filsafat Islam: Al-Farabi |11
bahkan mesti sejalan dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari
Akal Aktif, yang berbeda hanya cara mendapatkannya. 27
Filsafat Al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit
dari “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang
sangat menonjol dari falsafah Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan
falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme. Oleh karena itu Al-Farabi
dipandang sebagi filosof Islam yang pertama menciptakan falsafah
Taufiqqiyah. Sebenarnya usaha pemaduan ini sudah lama dimulai sebelum
al-Farabi, dan telah mendapatkan pengaruh yang luas dalam lapangan
falsafah, terutama sejak munculnya aliran neoplatonisme. Namun demikian,
usaha Al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan aneka
aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga berkeyakinan bahwa
aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda corak-
ragamnya.28
F. Filsafat Kenabian
Filsafat kenabian ini juga disinyalir sebagai jawaban atas keraguaan
filosof sebelumnya yatitu Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.925 M) yang
menolak adanya kenabian. Menurutnya,para filososf bias mempunyai
kemampuan berkomuniasi dengan ‘aql fa’al untuk mendapatkan kebenaran
yang hakiki, oleh karena itu diperlukan kehadiran seorang Nabi untuk
menjelaskan kebaikan dan keburukan. Bahkan menganggap Alquran bukan
mu’jizat, melainkan adalah semacam cerita khayal belaka. 33 Ar-Razi ingin
membebaskan pemikirannya meskipun pemikiran semacam ini cenderung
31
https://mpi-iainpalopo.ac.id/kajian-kritis-tentang-pemikiran-emanasi-dalam-
filsafat-islam-dan-hubungannya-dengan-sains-modern
32
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (cet. Ke. 12, Jakarta: Bulan
Bintang, 2014), 16-18.
33
Qosim Nursheha Dzulhadi, "Al-Farabi dan Filsafat Kenabian."Jurnal Kalimah Vol.
12, No.1, 2014, 130.
Filsafat Islam: Al-Farabi |13
elitis dan inklusif terbatas hanya para filosof yang memungkinkan untuk
melakukannya.
Al-Farabi hadir dengan konsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-
Razi dan pengikutnya. Bagi al-Farabi,Nabi merupakan gelar kehormatan
yang disematkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya
dituangkan kalam Tuhan berupa wahyu untuk disampaikan kepada makhluk
di alam ini. Menurut al-farabi,manusia bias berhubungan dengan Aql Fa’al
melalaui dua cara, yakni : penalaran atau perenungan pemikiran dan
imajinasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bias dilakukan oleh
pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya
keTuhanan. Sedangkan cara kedua hany adapat dilakukan oleh para Nabi.
Dengan cara kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa sampai
pada derajat akal kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran
dan latihan, jiwanya akan sampai pada akal mustafad untuk merespon dan
menerima cahaya ilahi sebagai puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al
mutakhayyilah). Orang yang mampu mencapai derajat ini tentu hanya para
Nabi, bukan orang biasa secara umum. Seperti pemikir-pemikir lainnya, al-
Farabi tidak menjadi pemikir yang kebal kritik, pendapatnya tentang
imajinasi tertinggi (al-quwwah al-mutakhayyilah) bisa mendekatkan diri
kepada aql fa’al sehingga nyaris sama antara filosof dengan Nabi,
mendapatkan kritik dari Ibn Taymiyah (w. 728) dengan argumen mukjizat
kauniyah seorang Nabi, seperti terbelahnya lautan oleh tongkat Musa,
turunnya manisan dan burung puyuh (manna wa salwa), memperbanyak
makanan dan minuman dari sela-sela jari, dibakar tidak terpanggang dan lain
lain tidak mungkin bisa dilakukakan semata mata dengan imajinasi.
Walaupun bisa saja mukjizat yang termaktub dalam kitab suci bisa
ditakwilkan menjadi makna lain oleh filosof.
Sebagai seorang filosof Muslim, Al-Farabi tidak sepahaman
pandangan yang menafikan kenabian. Ia adalah seorang nasionalis, tapi
bukan rasionalis yang mengingkari adanya wahyu Tuhan. Sejalan dengan
pandangan segenap ulama /umat Islam, Al-Farabi menunjukkan bahwa
kenabian itu adalah suatu yang diperoleh manusia utama yang disebut
nabi/rasul, bukan melalui upaya mereka. Ajaran yang diwahyukan Tuhan
kepada para nabi tidaklah mereka peroleh melalui upaya keras mereka
membersihkan jiwa mereka atau melalui upaya keras menguasai sebanyak
mungkin ide-ide saintifik.
Jiwa para nabi tanpa dilatih untuk membersihkan diri dan tanpa dilatih
berfikir seperti calon filosof, telah berada dalam kondisi siap menerima ide-
ide atau ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melalui Ruh al-Quds atau
Akal Aktif. Al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas soal
kenabian secara lengkap. Ia berkesimpulan bahwa para nabi/rasul maupun
para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa‟al, yakni akal
14|Filsafat Islam: Al-Farabi
34
Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam Versus Barat, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2019), 60.
35
Andri Ardiansyah, Pemikiran Filsafat Al-Farabi Dan Ibnu Sina, Tajdid: Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan Vol. 4 No. 2 Oktober 2020, 175-176.
36
Hafid, Epistemologi Al-Farabi: Gagasannya Tentang Daya-Daya Manusia, Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007, 239-240.
37
Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), 78.
Filsafat Islam: Al-Farabi |15
2. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
tawaf di Ka’bah, dan sai di Bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-
tempat lain.
3. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala
dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam
Perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak?
4. Al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa
(khariq al-adah). Orang non-Arab jelas heran dengan bala > ghah al-
Qur’an, karena mereka kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad
adalah orang yang paling fasih di kalangan orang Arab.
Justru karena hal-hal di atas, daripada membaca kitab suci, lebih
berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku
astronomi, logika, serta obat-obatan.38 Tentu pandangan Ibn al-Ruwandi di
atas tidak dapat dibenarkan, khususnya dari sisi akidah Islam. Dari sisi
pemikiran, arahnya sangat liberal dan destruktif. Dan ini sangat berbeda
dengan pandangan al-Farabi tentang kenabian (al-nubuwwah) yang menjadi
dasar dari filsafat kenabiannya. Pandangannya itu dapat dijelaskan dalam
penjabaran berikut ini.
Menurut al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Al-Farabi
melalui dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi
atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi
pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya
ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak
mengenai esensinya.39
Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘Aql Fa‘‘al itu adalah Jibril,
maka yang dapat berhubungan secara langsung hanyalah para nabi. Manusia
sekelas filosof pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika
menggunakan logika sederhana bahwa nabi adalah filosof, dan filosof bukan
nabi. Maka dari sisi tingkatannya pun antara nabi dan filosof sangat berbeda,
yakni filosof berada di bawah nabi.
Di dalam karyanya yang monumental, Ara Ahl al-madinah al-fadila,al-
Farabi mengulas konsep kenabian ini dalam dua bagian penting : Fi sabab al-
Mana al-Manamat (Sebab Terjadinya Tidur) dan bagian penting : Fi al-
Wahyi wa Ru’yut al-Malak (Masalah wahyu dan Melihat Malaikat). Kedua
38
Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi dan Kenabian,Jurnal kalimah, vol. 12, No.1,
Maret (2014).
39
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 44. Sejatinya, terdapat satu tokoh lagi yang
menolak kenabian, yaitu: Abu ‘Isa ibn Harun al-Warra q. Di mana menurut Imam ibn
alJauzi, ia mengklaim telah menulis buku yang menghujat Rasulallah SAW dan
mencacimakinya, serta menghujat al-Qur’an.
16|Filsafat Islam: Al-Farabi
sebaik-baik kepala adalah nabi dan rasul. Tugas lain kepala negara adalah
mendidik rakyat ber-akhlakulkarimah. Apabila tidak seorangpun memiliki
sefat kenabian, maka kepemimpinan diserahkan kepada orang yang berotak
filsuf.46
Di samping al-madinah al-fadhilah ada juga Al-Madinah Al-Jahilah
yang anggotanya hanya bertujuan untuk mencari kesenangan jasmani (fisik).
Kemuadian ada pula Al-Madinah Al-Fasiqah yang anggotanya mempunyai
pengetahuan yang sama dengan al-madinah al-fadhilah tetapi kelakuannya
sama seperti anggota-anggota Al-Madinah Al-Jahilah. Jiwa-jiwa yang
berbuat baik dan yang dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani tidak akan
hacur dengan hancurnya badan. Sedangkan jiwa jahilah yang tidak dapat
melepaskan diri dari materi akan hancur karena hancurnya badan dan jiwa
fasiqah tidak akan hancur dan akan kekal dalam kesengsaraan dan
kesusahan. 47
Al Farabi membagi lima macam negara yakni Al-Madinah al-Fadhilah
(Negara Utama), Al-Madinah al-Jahiliyyah (Negara Bodoh), Al-Madinah al-
Fasiqah (Negara Rusak), Al-Madinah al-Mubaddilah (Negara
Merosot/Berubah) dan Al-Madinah adh-Dhalalah (Negara Sesat). Lebih
lanjut al-Farabi menjelaskan macam-macam negara yang termasuk dalam
"negara bodoh" yaitu:
1) Negara itu bisa berbentuk Al-Madinah adh-Dharuriyyah (negara
kebutuhan dasar) yakni warga negaranya bekerja hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidup manusia.
2) Al-Madinah an-Nadzalah (negara jahat), yaitu warga negaranya bekerja
sama untuk meraih kejayaan dan kemakmuran berlebihan dan tak mau
membelanjakannya kecuali untuk keperluan jasmani.
3) Negara rendah atau Al-Madinah al-Khassah, dimana warganya hanya
memburu kesenangan belaka dengan mementingkan hiburan dan hura-
hura.
4) Timokratik (negara kehormatan). Dimana, warga Negara ingin selalu
mendapat penghormatan, puji, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa
lain. “Mereka ingin selalu diistimewakan. Bahkan, status seseorang itu
ditentukan oleh kelebihan yang dimilikinya. Dan, Negara pun diatur
berdasar tingkatan kelebihan mereka.
5) Al-Madinah at-Taghalub (negara despotik). Bentuk negara ini, jelas Hafiz
sangat buruk karena mereka ingin menguasai orang lain, dan mencegah
46
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (cet. Ke. 12, Jakarta: Bulan
Bintang, 2014), 21; lihat juga Amroeni Drajad, Filsafat Islam Buat Yang Pengen Tahu,
(Jakarta: Erlangga, 2006), 36-37; lihat juga Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam
Versus Barat, (Surabaya: Pustaka Radja, 2019), 63
47
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (cet. Ke. 12, Jakarta: Bulan
Bintang, 2014), 21-22.
Filsafat Islam: Al-Farabi |19
orang berkuasa atas dirinya. “Oleh karena itu, mereka tak segan
menumpahkan darah, memperbudak, dan berlaku kasar dan kejam.
Bahkan, yang jadi pemimpin adalah orang yang paling bisa menguasai
orang lain, paling kuat atau paling licik,
6) Al-Madinah al-Jama`iyyah (negara demokratik), tujuan dari warga negara
ini adalah kebebasan dan setiap warganya berhak dengan apa saja yang
dikehendaki. “Meski bentuk negara terakhir ini masuk kategori bodoh,
namun menurut Al Farabi justru negara ini paling terpuji diantara negara
yang bodoh lainnya.
Negara demokratik atau demokrasi yang selama ini oleh kebanyakan
orang dikategorikan sebagai sebaik-sebaiknya bentuk negara ternyata
menurut al-Farabi dimasukkan ke dalam barisan "negara bodoh". Ketika
sistem demokrasi digembor-gemborkan sebagai suatu sistem dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat ternyata oleh sebagian pemikir-pemikir islam
justru dipandang sebagai sistem yang sangat bertentangan dengan islam dan
tidak layak untuk diterapkan. Seperti Abul A’la Al Maududi, yang
mengatakan bahwa sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi
karena di dalam sistem demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya berada di
tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan Allah
SWT.48
Konsep kenabian al-Farabi ada kaitan erat dengan politik pada waktu
itu, di mana ia berpendapat bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi
atau Filosof, karena ia mempunyai kedekatan dan mampu berhubungan
dengan akal fa’al, yang merupakan sumber kebaikan. Pemimpin ideal seperti
yang digagas oleh al-Farabi memang jauh dari fakta yang terjadi, sehingga
sangat sulit untuk direalisasikan, setidaknya dengan konsep ini memberikan
bekal dalam memilih seorang pemimpin.
H. Penutup
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai
filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih
mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian
banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Namun dari beberapa ajarannya
masih terdapat banyak penyimpangan terhadap ajaran islam yang murni,
seperti teori emanasinya yang menggambarkan sosok tuhan seakan akan
hanya bagian dari suatu sistem yang terus berkelanjutan. Kemudian
pemahaman mengenai nabi dan filosof yang disamakan oleh Al Farabi,
48
Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam Versus Barat, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2019), 64-65.
20|Filsafat Islam: Al-Farabi
menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh semua
orang melalui tingkatan-tingkatan proses pembelajaran.
Adapun beberapa intisari yang dapat disimpulkan adalah:
1. Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu
Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Wasij,
Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang
jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Dalam
usia 40 tahun Al-Farabi pergi ke Baghdad, untuk belajar kaidah-kaidah
Bahasa Arab dan belajar logika serta belajar filsafat. Kemudian, beliau
pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru
kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau
kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Pada tahun 330
H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan menetap di kota ini
sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.
2. Pemikiran pendidikan Al-Farabi lebih menekankan pada pendidikan
akal budi. Pemikiran filsafat Al-Farabi terpengaruh oleh filsafat
aristoteles, Plato, dan Plotinus, namun beliau telah berhasil
mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil
pemikirannya sendiri. Dengan demikian beliau telah berhasil
menciptakan filsafat islam yang mempunyai ciri khas tersendiri. Seperti
dalam pemikiran-pemikiran yang telah dijelaskan diatas.
3. Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karangan
Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai
filsafat Yunani. Diantara karyanya yaitu: Al-Jam’u Baina Ra’yai Al-
Hakimain, Ara’u Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, serta Tahsilu As-Sa’adah
dan lain sebagainya. Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada
abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika
sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi.
DAFTAR PUSTAKA