Anda di halaman 1dari 23

AL-FARABI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat Islam

Dosen Pengampu:
Dr., Drs., Allimudin Hassan Palawa, M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 3:


Juni Kurniayati (11910122613)
Mhd. Asro’i (11910113469)
Pani Arianto (11910112734)

SLTP/ SLTA VI C

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1443 H./2022 M.
AL-FARABI
Dosen Pengampu :
Dr., Drs., Allimudin Hassan Palawa, M.Ag.
Disusun Oleh :
Juni Kurniayati
Mhd. Asro’i
Pani Arianto
A. Pendahuluan
Dalam kajian filsafat islam, nama filosof muslim al-Farabi (Latin:
Alpharabius) begitu “istimewa”. Bukan saja posisinya yang sentral karena
dapat “mengawinkan” antara filsafat dan agama, melainkan juga karena
prestasinya dalam menjelaskan dan mengulas-ngulas pandangan
Ariestoteles.1 Karena itu, ia mendapat gelar istimewa sebagai al-Mu’allim al-
Tsani (Guru kedua), karena Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika
(manthīq) yang menjadi pondasi semua cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat
dan Logika yang ditata oleh Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fi
al-‘Ibārat, penguasaannya terhadap Ilmu Logika dalam usia yang relatif
sangat muda, bahkan mampu mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin
Yunus yang pada waktu itu termasuk orang termasyhur bidang logika di
Baghdad.
Kedua, al-Farabi filosof terbesar setelah filosof Yunani yang berhasil
merumbukkan atau mengharmoniskan pemikiran pemikiran Aristoteles dan
Neo-Platonis. Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan
filsafat sehingga mudah dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam
kitab Ihshā’ul ‘Ulūm.2 Ia juga merupakan orang pertama yang memasukkan
ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab sebagaimana Aristoteles mendapat
predikat “Guru Pertama” karena ia orang pertama yang menemukan ilmu
logika. Menurut al-Farabi filsafat adalah Ilmu yang menyelidiki hakikat
sebenarnya dari segala yang ada, termasuk menyingkap tabir metafisika
penciptaan. Masalah kefilsafatan sebenarnya sudah telah dibahas dan
dicarikan solusi dan pemecahnya sejak manusia mampu menggunakan akal
pikirannya.3
Dalam menetapkan penggolongan jenis ilmu, al-Farabi menampilkan
gambaran pikirannya yang lengkap sehingga dapat dilihat dengan mudah

1
Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi Dan Filsafat Kenabian, Jurnal Kalimah Vol.
12, No. 1, (Maret 2014), 124.
2
M. Wiyono, Pemikiran Filsafat Al-Farabi, Substantia, Volume 18 Nomor 1, (April
2016), 68.
3
Sudarsono, filsafat islam, (jakarta: rineka cipta, 2010), 32.

1
2|Filsafat Islam: Al-Farabi

sekali persamaan yang ada di antara berbagai jenis ilmu yang pada mulanya
diduga tidak ada persamaannya sama sekali, seperti contohnya ilmu nahwu
yang menjadi dasar penelitian soal bahasa, ilmu ukur dan ilmu pesawat
ataupun mecanics, demikian pula ilmu semantik. Iya memberi pandangan
bahwa ilmu semantik sebagai alat bagi penguasaan berbagai jenis ilmu dan
pikirannya ini mengikuti pemikiran Aristoteles. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila al-Farabi menganggap semantik adalah sebagai alat
atau sebagai sarana untuk mendapatkan atau menetapkan hukum umum guna
memperkuat kesanggupan berpikir yang dapat membawa manusia ke jalan
yang tepat menuju kebenaran.4
Kajian metafisika menurut Al-Farabi terdiri atas tiga hal, yaitu
antologi, prinsip-prinsip demonstrasi, dan wujud non materi. Pertama,
antologi yaitu segala sesuatu yang mempunyai kaitan dengan wujud dan
sifat-sifat sepanjang berupa wujud. Kedua, prinsip-prinsip demonstrasi atau
mabadi’ al barohin dalam rangka menetapkan materi subjek ilmu teoritis.
Ketiga, wujud non materi yaitu wujud-wujud yang bukan merupakan benda
atau tidak dalam benda diantaranya berupa bilang bilangan.5
Al-Farabi dikenal sebagai cendekiawan muslim yang ahli di bidang
filsafat. Selain filsafat, ternyata ia juga menguasai berbagai ilmu
pengetahuan lainnya seperti, logika, fisika, ilmu alam, kedokteran, kimia,
ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, hingga musik. Al-
Farabi sempat disetarakan dengan Plato dan Socrates. Karya di bidang
filsafatnya yang terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah yang isinya tentang
pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan berpolitik. Para filsuf Barat pun
mengakui Al-Farabi sebagai perpanjangan filsuf Yunani. Kehebatan Al-
Farabi dibandingkan dengan filsuf Yunani lain ialah kemampuannya
menggabungkan disiplin ilmu-ilmu lain.6 Dalam makalah ini, kami akan
membahas secara lebih lengkap tentang tokoh al-Farabi, Biografi,
Pendidikan, karya-karya, hingga pemikirannya. Sehingga para pembaca
dapat mengatahui pemikiran filsafat al-Farabi.

B. Latar Belakang Sejarah Sosial-Intelektual Masa Al-Farabi


Menurut Massignon ahli ketimuran Perancis, Al-Farabi adalah seorang
filosof islam dengan sepenuh arti kata. Sebelum dia, memang al Kindi telah
membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam. Tetapi ia tidak
menciptakan sistem (madzhab) filsafat tertentu, sedangkan persoalan-
persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh
4
Ahmad Fuad, Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1950), 76.
5
A. Khoduri Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), 91.
6
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5537340/cendekiawan-muslim-al-farabi-
master-kedua-filsafat-yang-piawai-bermusik
Filsafat Islam: Al-Farabi |3

pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah dapat


menciptakan suatu sistem (madzhab) filsafat yang lengkap dan telah
memainkan peranan yang penting dalam dunia Islam. Al Farabi menjadi
guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan filofof filosof Islam lain yang datang
sesudahnya. Oleh karena itu ia mendapat gelar “Guru kedua” (al-muallim as-
tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang menedapat gelar “Guru
pertama” (al-muallim al-awwal).7
Pada abad pertengahan, Al-Farabi sangat dikenal banyak orang
sehingga orang-orang Yahudi banyak yang kagum dan mempelajari
karangan-karangan/risalah-risalahnya yang banyak diterjemahkan ke dalam
bahasa Ibrani. Sampai sekarang, terjemahan-terjemahan tersebut tersimpan
di perpustakaan-perpustakaan Eropa. Al-Farabi hidip pada zaman ketika
situasi politik dan kekuasaan Abbasiyah diguncang oleh berbagai gejolak,
pertentangan dan pemberontakan. Al-Farabi lahir pada masa pemerintahan
Al-Mu‟taadid (870-892 M) dan wafat pada masa pemerintahan Muti‟.
Periode ini adalah periode paling kacau dan kondidi politiknya tidak ada
stabilitasnya sama sekali. Pada waktu itu, banyak timbul tantangan, bahkan
pemberontakaan terhadap kekuasaan abbasiyahd dengan berbagai macam
motif seperti: agama, kekuasaan, dan kebendaan.
Dengan kondisi politik tersebut yang demikian sedang kisruh, Al
Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri dan merenung. Dalam
hidupnya Al-farabi tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah
satu jabatan dalam pemerintahan.8

C. Biografi intelektual al-Farabi


1) Biografi al-Farabi
Al-farabi mempunyai nama lengkap Abu Nashr Muhamad Ibn
Muhamad Ibn Tarkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi. Ia lebih dikenal dengan
sebutan Al-farabi. Lahir di Wasij di Distrik Farab (yang juga dikenal dengan
nama Utrar) di Transoxiana, sekitar 870 M, dan wafat di Damaskus pada 950
M.9 Ayahnya berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. 10 Sejak
masa kecilnya Al-Farabi mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam
bidang bahasa. Setelah besar, Al-Farabi meninggaalkan negerinya untuk
menuju Baghdad, yang menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan
saat itu. Di Baghdad ia belajar logika kepada Abu Bisyr bin Mattius, seorang
7
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), 82
8
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Pengantar Filsafat Islam (Konsep,
Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 82-83.
9
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat
Politik Islam, (Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2002), 51.
10
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya),
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), 80.
4|Filsafat Islam: Al-Farabi

kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar


kepada Yuhana ibn Hailam.11 Dan ilmu Nahwu kepada Abu Bakar As-
Sarraj.12 Kemudian ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunanidi Asia
Kecil, dan berguru pada Yuhana ibn Jilad. Tidak berapa lama, ia kembali ke
Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20
tahun. Selama di Baghdad ia menulis dan membuat ulasan terhadap buku-
buku filsafat Yunani dan mengajarkan kepada murid-muridnya. Diantara
muridnya yang terkenal adalah Yahya ibn Abdi, filsuf Kristen.13
Sangat sedikit sekali riwayat yang menceritakan latar belakang
kehidupannya. Secara garis besar, kehidupan Al-Farabi di bagi ke dalam dua
masa atau periode. Periode pertama, dimulai dari Al-Farabi lahir hingga ia
berusia lima tahun. Namun sayangnya masa kanak-kanak dan masa muda
Al-farabi masih bersifat samar-samar hingga sekarang, hal ini dikarenakan
sedikit sekali catatan sejarah yang menyebutkan sejarah masa kecil
kehidupan Al-Farabi. Sedangkan periode kedua, kehidupan Al-Farabi adalah
periode usia tua dan kematangan periode penuh. Karena terdorong oleh
keinginan intelektualnya, ia meninggalkan rumahnya dan mengembara
menuntut ilmu pengetahan. Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam
terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang
filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna,
sehingga filsuf yang datang sesudahnya seperti Ibnu Sina (370H/980 M-
428/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520H/1126 M-595 H/1198 M) bayak
mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.14
Al-Farabi menunjukan kehidupan spiritualnya dengan usia yang
masih sangat muda dan memperaktikkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik
terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang
masih sering didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi masuk india. Al-
Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih
dalam naskah bahas Arab, tetapi seagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa
Prancis oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari hingga
mendalam.15
Ada tiga bidang studi yang memikat Al-Farabi, ialah logika, filsafat
politik dan metafisika. Dalam bidang logika Al-Farabi menulis banyak
komentar dan parafrase atas kumpulan karya logika Aristoteles yang dikenal
dengan organon.16 Naskah-naskah Al-Farabi yang orisinal tentang logika
terutama membahas istilah-istilah logika yang bahkan jauh lebih pelik
11
Ibid,…, 81.
12
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014), 29.
13
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 198.
14
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), 82.
15
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 321.
Filsafat Islam: Al-Farabi |5

ketimbang categories karya Aristoteles dan Isagoge karya Porphyry.


Diantaranya adalah Al-Alfaz Al-musta‟malah fi Al-Manthiq (istilah-istillah
logika), Al-Fusul Al-Khansah (lima pasal logika) dan Risalah fi Al-Manthiq
(pengantar logika), semua risalah tersebut sampai sekarang masih
terdokumentasi dengan baik.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada 330 H (945 M), ia pindah ke
Damaskus, dan berkenalan dengan saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan
Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang
ulama istana. Hal yang paling menggembirakan di tempat ini adalah beetemu
dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum
cendikiawan lainnya.17 Akhirnya pada bulan Desember 950 M filosof
muslim besar ini menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus pada usia
80 tahun.18
2) Kiprah Pendidikan
Pendidikan dasar Al-Farabi adalah keagamaan dan bahasa, ia
mempelajari fiqih, Hadits dan tafsir alquran, dan ia mempelajari bahasa
Arab, Turkki dan Paris. Dinyatakan oleh Ibnu Khalikan, bahwa Al-Farabi
menguasai lebih dari tujuh puluh bahasa mendekati sebagai doengeng dari
sejarah yang sebenarnya. Dari penafsiran Al-Farabi tentang kata safsathah
(sophistry), tempak jelas bahwa Al-Farabi tidak mengerti bahasa Yunani.
Ketika ia tertarik dengan studi rasional, ia merasa tidakpuas dengan apa yang
telah didapatnya di kota kelahirannya tersebut, terdorong oleh keingintahuan
intelektualnya itu, maka ia meninggalkan rumahnya dan mengembara
menuntut ilmu pengetahuan.
Al-Farabi mempelajari ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Pada
saat itu, pendidikan dengan sistim madrasah belum diterapkan. Para penuntut
ilmu menuntut ilmu di rumah-rumah atau masjid atau di masjil ilmu lainnya.
Perpustakaan-perpustakaan besar baik milik individu atau milik istana-istana
menyambut hangat setiap orang yang hendak menuntut ilmu. Baghdad
adalah pusat belajar yang terkemuka pada 310 H/922M atau abad ke-4 H/ ke-
10 M, merupakan tempat pertama yang Al-Farabi kunjungi. Di sana ia
bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan
penerjemah. Ia terterik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli-ahli yang
terkemuka di Baghdad dalah Abu Bisyr Matta ibn Yusnus lah yang
dipandang orang sebagai ahli logika yang terkemuka pada waktu itu. Ia
mengungguli gurunya, karena Al-Farabi tinggal selama 20 tahun di Baghdad
kemudian tertarik oleh pusat kebudayaan lain di Allepo. Di sana, tempat
16
Majid Fakhari, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan,
2001), 45.
17
Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, 198.
18
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, 66.
6|Filsafat Islam: Al-Farabi

orang-orang berlian dan sarjana, Istana Saif ad-Daulah, berkumpul para


penyair, ahli bahasa, filosof dan sarjana-sarjana ternama lainnya. 19 Selama di
Baghada, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan manulis. Al-Farabi
engarang sejumlah buku tentang logika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia,
ilmu politik, musik dan lain-lain.20
3) Pemikiran Al-Farabi
a. Ketuhanan
Al-Farabi saat membahas mengenai ketuhanan mengkolaborasikan
antara filsafat aristoteles dengan Neo Platonisme, yaitu al-Maujud al-Awal
(wujud pertama) sebagai sebab pertama untuk segala sesuatu yang ada.
Sehingga ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran
syariat Islam. dalam membuktikan adanya Allah, Al-Farabi mengemukakan
dalil yaitu wajib al-wujud dan mumkin al-wujud.
Adapun wujud al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak harus ada,
ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki
wujudnya. Esensinya adalah tidak bisa dipisahkan dengan wujud, keduanya
adalah sama dan satu kesatuan. Ia adalah wujud yang paling sempurna dan
adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena hal lain. Ia ada
selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka
akan timbul kemustahilan karena wujud lain ada kerena bergantung
kepadanya. Wujud al-wujud inilah yang disebut dengan Allah.
Kemudian, yang dimaksud dengan mumkin al-wujud adalah sesuatu
yang sama antara wujud dan tidaknya. Wujud ini jika diperkirakan tidak
wujud, tidak mengakibatakan kemustahilan. Mumkin al-wujud tidak akan
berubah menjadi wujud pasti tanpa adanya wujud yang menguatkan dan
yang menguatkan adanya itu bukan dirinya, melinkan wajib al-wujud
(Allah). Contoh: wujud cahaya tidak akan ada tanpa adanya wujud matahari.
Sedangkan cahaya menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa pula tidak atau
disebut dengan mumkin al-wujud. Akan tetepi karena matahari sudah wujud,
cahaya tersebut menjadi wujud keniscayaan. Wujud yang mumkin ini
menjadi bukti tentang adanya Allah (wajib al-wujud).21
b. Emanasi
Emanasi merupakan teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin
(alam makhluk) dai zat yang wajibul wujud (Zat yang wajib adanya yakni
Tuhan). Teori emanasi disebut juga “teori urut-urutan wujud.” Menurut Al –
Farabi, Tuhan bersifat Maha satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari
19
Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1991), 56-57.
20
Amirulloh Kandu, Ensiklopedi Dunia Islam, dari Masa Nabi Adam a.s sampai
dengan Abad Modern, (Bandung: Pustaka setia, 2010), 572.
21
Moh. Rifa’i,, Pelajaran Ilmu Kalam, (Semarang: Wicaksana, 1988), 99.
Filsafat Islam: Al-Farabi |7

arti banyak, maha sempurna dan tidak berkiblat pada apapun. Juga demikian
adalah hakikat sifat Allah. Dasar adanya emanasi ialah karena dalam
pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan
penciptaan. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama
berfikir, yang merupakan qudrah, tentang Tuhan, mewujudkan akal kedua,
dan berfikir tentan dirinya mewujudkan langit pertama. Akal kedua juga
berfikir tentang Tuhan dan mewujudkan akal ketiga dan berfikir tentang
dirinya mewujudkan alam bintang. Akal ketiga samapi akal kesepuluh juga
berfikir tentang Tuhan dan tentang dirinya. Berfikir tentang Tuhan
menghasilkan alak-akal dan berfikir tentang diri menghasilkan planet-
planet.22
c. Jiwa
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari akal kesepuluh.
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya
merupakan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai
substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada
jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqoh, berasal dari alam
ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar,
dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasadsiap menerimanya. Bagi Al-
Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
1. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan,
memelihara, dan berkembang.
2. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa
dan berimejinasi.
3. Daya al-Nathiqot (berfikir), daya ini yang mendorong untuk berfikir
secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terbagi dalam tiga tingkat sebagai berikut:
a. Akal potensial (al-hayulany), ialah akal yang baru mempunyai potensi
berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari
materinya.
b. Akal aktual (al-„Aql bi al-fi‟l), akal yang telah melepaskan arti-arti dari
materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan
sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk
aktual.
c. Akal Mustafad (al-„Aql al-Nustafad), akal yang telah menangkap bentuk
semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai
kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
d. Metafisika

22
Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011), 41.
8|Filsafat Islam: Al-Farabi

Persoalan-persoalan filsafat telah dibahas oleh filosof-filosof


sebelumya baik dari Yunani, Persia atau yang lainnya, meski pemecahan
yang dilakukan mereka saling berlawanan. Al Farabi dalam usaha
memecahkan persoalan tersebut tidak lepas mutlak dari pembahasan-
pembahasan yang dilakukan oleh mereka.Filsafat Yunani membahas
persoalan ini berlandaskan pada filsafat fisika semata-mata. Sedangkan
aliran Iskandariyah (Neo Platonisme) dan filsafat Islam, persoalan ini
dipindahkan kepada landasan-landasan agama. Meskipun dua aliran terakhir
ini caranya sama, namun tujuannya sangat bertolak belakang. Aliran Islam
Iskanadiyah dan filsafat Islam bertujuan membentuk susunan alam yang
dapat mempertemukan hasil-hasil pemikiran dengan ketentuan-ketentuan
agama. Kondisi semacam ini soal Esa dan Berbilang menjadi dasar utama
bagi bangunan filsafat keseluruhan.
e. Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang amat penting adalah tentang politik
yang dia tuangkan dalam dua karyanya Al-Siyasah Al Madaniyyah
(Pemerintahan politik) dan Ara‟ Al-Madinah Al-Fadhilah (pendapat-
pendapat tentang negara utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang
menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan
anggota tubuh lainnya yang masing-masing memiliki fungsi tertentu. Yang
paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena ada kepala lah
(otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk
mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dengan negara.
Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pemimpinnya
atau pengauasnya bersama-sama dengan bawahannya sebagaimana halnya
jantung dan organ-organ tubuh yang lbih rendah secara berturut-turut.
Penguasa ini haruslah orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual
maupun moralnya diantara yang ada.
6.Logika
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar karya Al-Farabi
dipustkan pada studi tentang logika, tetapi hal ini hanya terbatas pada
penulisan kerangka Organon, dalam versi yang dikenal oleh para sarjana
arab saat itu. Ia mengatakan bahwa seni logika umumnya memberikan
aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar yang
mengarahkan manusia secara langsung kepada kebanaran dan menjauhkan
dari kesalahan-kesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang
mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-
kata dan ilmu matra dengan sya’ir. Menekankan praktik dan penggunaan
aspek logika, dengan menunjukan bahwa pemahaman dapat diuji lewat
Filsafat Islam: Al-Farabi |9

aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume dan masa ditentukan oleh


ukuran.23
f. Karya-karya Imam Al-Farabi
Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun
ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau
makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan
terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara
ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka adalah sebagai berikut:
1. Ulasannya terhadap karya Aristoteles
a. Burhan (dalil);
b. Ibarat (keterangan);
c. Khitobah (cara berpidato);
d. Al-Jadal (argumentasi/berdebat);
e. Qiyas (analogi);
f. Mantiq (logika).
2. Ulasannya terhadap karya Plotinus ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
3. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-
nafsi”.
Sedangkan karya-karya nyata dari al-Farabi lainnya :
1. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-
thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan
Aristoteles);
2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan);
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan);
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran);
5. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama
pemerintahan);
6. ‘Uyun al-masail (pokok-pokok persoalan);24
7. As Syiasyah (ilmu politik);
8. Fi Ma’ani Al Aqli;
9. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu);
10. At Tangibu ala As Sa’adah;
11. Isbatu Al Mufaraqat;
12. Al Ta’liqat.25
Ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al-Farabi dapat ditinjau menjadi
enam bagian yaitu logika, ilmu matematika, ilmu alam, teologi, ilmu politik
kenegaraan, dan bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).

23
Ayi Sofiyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 32.
24
Sudarsono, filsafat islam, (Jakarta: rineka cipta, 2010), 31.
25
A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 127-128.
10|Filsafat Islam: Al-Farabi

Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota


atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui
kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut
pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi,
khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan
rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi’ah.
Melalui karya tulisannya itu, al-Farabi memperlihatkan dirinya sebagai
muslim yang teguh memegang agama, penerus Plato dalam bidang etika dan
politik, penerus Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, dan sebagai
pengikut Plotinus dalam bidang metafisika. Dari berbagai sumber itu ia
memperoleh prinsip-prinsip yang diyakininya serasi sehingga ia dapat
membangun satu sistem filsafat yang lengkap.

D. Rekonsiliasi antara Agama dan filsafat


Al-Farabi dikenal sebagai filosof sinkretisme karena telah berhasil
merekonsiliasi beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan
Aristoteles dan juga antara Agama dan Filsafat. Ia berkeyakinan bahwa
aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakekatnya hanya satu, yaitu sama-
sama mencari kebenaran yang satu. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil
yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama
memakai cara iqnaiy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran
untuk semua orang. Karena tujuan filsafat sendiri adalah memikirkan
kebenaran, sedangkan kebenaran itu hanya satu macam dan serupa pada
hakikatnya. Oleh karena itu, semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada
perbedaan.26 Kalaupun berbeda, hanya pada tampak lahirnya saja. Upaya ini
terealisasi ketia ia mendamaikan pemikiran Aristoteles dengan Plato dalam
bukunya yang populer al-Jam’ bain al-Ra’yu al-Hakimain.
Dalam upaya mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi
menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila ia
menemui pertentangan pikiran antara keduanya. Kemudian, ia tegaskan lebih
lanjut, sebenarnya Aristoteles mengakui adanya alam rohani yang terdapat di
luar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut masih
dapat di ta’wilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya
idea-idea pada Zat Allah SWT. Al-Farabi juga berupaya merekonsiliasi
antara agama dan filsafat. ia berpandangan bahwa para filosof Muslim
meyakini dan mengimani bahwa al-Qur’an dan Hadis adalah hak dan benar,
begitu juga filsafat adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu.
Justru itu, ia menekankan bahwa antara keduanya tidak ada pertentangan,

26
Sudarsono, filsafat islam, (Jakarta: rineka cipta, 2010), 33.
Filsafat Islam: Al-Farabi |11

bahkan mesti sejalan dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari
Akal Aktif, yang berbeda hanya cara mendapatkannya. 27
Filsafat Al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit
dari “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang
sangat menonjol dari falsafah Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan
falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme. Oleh karena itu Al-Farabi
dipandang sebagi filosof Islam yang pertama menciptakan falsafah
Taufiqqiyah. Sebenarnya usaha pemaduan ini sudah lama dimulai sebelum
al-Farabi, dan telah mendapatkan pengaruh yang luas dalam lapangan
falsafah, terutama sejak munculnya aliran neoplatonisme. Namun demikian,
usaha Al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan aneka
aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga berkeyakinan bahwa
aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda corak-
ragamnya.28

E. Filsafat Wujud : Teori Emanasi


Berbeda pandangan dengan Al-Kindi yang menyatakan bahwa alam
semesta diciptakan Tuhan dari tidak ada (creation ex nihilo) menjadi ada, Al-
Farabi cenderung memahami penciptaan alam oleh Tuhan melalui proses
emanasi sejak zaman azali sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh
Tuhan bukan dari tidak ada menjadi ada. Menurut Al-Farabi, hanya Tuhan
saja yang ada dengan sendiri-Nya tanpa sebab dari luar diri-Nya, dan karena
itu ia sebut Waajib al-Wujuud li zaatih, (yang mesti ada karena diri-Nya
sendiri).29
Al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar
persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti
penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak.
Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak
dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia
memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari
Tuhan sejak zaman azali.30 Al-Farabi mendemonstrasikan dasar
persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti
penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak.
Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak
27
Aziza Aryati, Telaah Pemikiran Filsafat Al-Farabi: Rekonsiliasi Antara Filsafat
Dan Agama, Syi’ar Vol. 12 No. 2 Agustus-Desember 2018, 3.
28
Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam Versus Barat, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2019), 50-51.
29
Andri Ardiansyah, Pemikiran Filsafat Al-Farabi Dan Ibnu Sina, Tajdid: Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan Vol. 4 No. 2 Oktober 2020, 172.
30
Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam Versus Barat, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2019), 50-51.
12|Filsafat Islam: Al-Farabi

dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia


memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari
Tuhan sejak zaman azali.
Al-Farabi sangat populer dengan “teori pemancaran” yang ia
perkenalkan. Dia berpendapat bahwa dari Yang Esa itu memancarkan yang
lain, berkat kebaikan dan pengetahuan-Nya sendiri. Pemancaran itu
merupakan kecerdasan pertama. Dengan demikian, apa yang disebut
pengetahuan adalah sama dengan ciptaan-Nya. Tuhan adalah satu dalam diri-
Nya. Dari sinilah al-Farabi melangkah ke arah pelimpahan wujud dan
kesempurnaan-Nya mewujudkan seluruh tatanan yang ada di alam semesta
ini. Dan alam semesta ini tidak menambah satu apa pun terhadap wujud
tertinggi dan tidak menentukan secara finalistik. Sebaliknya, alam semesta
adalah hasil dari tindakan dan kemurahan yang melimpah dari Yang
Pertama.31
Al-farabi menjelaskan bahwa yang banyak bisa timbul dari yang satu.
Tuhan bersifat mahasatu, tidak berubah, jauh dari arti banyak dan maha
sempurna serta tidak berhajad pada sesuatu apapun. Jika demikian,
bagaimana terjadi alam materi yang banyak ini dari yang maha satu? Al-
farabi menjawab alam terjadi dengan cara pancaran/emanasi. Tuhan sebagai
akal, bertafakkur terntang diri-Nya, dan pemikiran itu terjadi sesuatu yang
lain. Tuhan sebagai wujud pertama dan dengan pemikiran ini timbul wujud
kedua yang memiliki substansi. Wujud kedua ini berpikir tentang tuhan
sebagai wujud pertama dan terjadilah wujud ketiga. Wujud kedua atau akal
pertam juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah langit pertama
dan seterusnya sampai wujud ke sebelas atau akal kesepuluh.32

F. Filsafat Kenabian
Filsafat kenabian ini juga disinyalir sebagai jawaban atas keraguaan
filosof sebelumnya yatitu Abu Bakar Muhammad Ar-Razi (w.925 M) yang
menolak adanya kenabian. Menurutnya,para filososf bias mempunyai
kemampuan berkomuniasi dengan ‘aql fa’al untuk mendapatkan kebenaran
yang hakiki, oleh karena itu diperlukan kehadiran seorang Nabi untuk
menjelaskan kebaikan dan keburukan. Bahkan menganggap Alquran bukan
mu’jizat, melainkan adalah semacam cerita khayal belaka. 33 Ar-Razi ingin
membebaskan pemikirannya meskipun pemikiran semacam ini cenderung
31
https://mpi-iainpalopo.ac.id/kajian-kritis-tentang-pemikiran-emanasi-dalam-
filsafat-islam-dan-hubungannya-dengan-sains-modern
32
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (cet. Ke. 12, Jakarta: Bulan
Bintang, 2014), 16-18.
33
Qosim Nursheha Dzulhadi, "Al-Farabi dan Filsafat Kenabian."Jurnal Kalimah Vol.
12, No.1, 2014, 130.
Filsafat Islam: Al-Farabi |13

elitis dan inklusif terbatas hanya para filosof yang memungkinkan untuk
melakukannya.
Al-Farabi hadir dengan konsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-
Razi dan pengikutnya. Bagi al-Farabi,Nabi merupakan gelar kehormatan
yang disematkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya
dituangkan kalam Tuhan berupa wahyu untuk disampaikan kepada makhluk
di alam ini. Menurut al-farabi,manusia bias berhubungan dengan Aql Fa’al
melalaui dua cara, yakni : penalaran atau perenungan pemikiran dan
imajinasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bias dilakukan oleh
pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya
keTuhanan. Sedangkan cara kedua hany adapat dilakukan oleh para Nabi.
Dengan cara kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa sampai
pada derajat akal kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran
dan latihan, jiwanya akan sampai pada akal mustafad untuk merespon dan
menerima cahaya ilahi sebagai puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al
mutakhayyilah). Orang yang mampu mencapai derajat ini tentu hanya para
Nabi, bukan orang biasa secara umum. Seperti pemikir-pemikir lainnya, al-
Farabi tidak menjadi pemikir yang kebal kritik, pendapatnya tentang
imajinasi tertinggi (al-quwwah al-mutakhayyilah) bisa mendekatkan diri
kepada aql fa’al sehingga nyaris sama antara filosof dengan Nabi,
mendapatkan kritik dari Ibn Taymiyah (w. 728) dengan argumen mukjizat
kauniyah seorang Nabi, seperti terbelahnya lautan oleh tongkat Musa,
turunnya manisan dan burung puyuh (manna wa salwa), memperbanyak
makanan dan minuman dari sela-sela jari, dibakar tidak terpanggang dan lain
lain tidak mungkin bisa dilakukakan semata mata dengan imajinasi.
Walaupun bisa saja mukjizat yang termaktub dalam kitab suci bisa
ditakwilkan menjadi makna lain oleh filosof.
Sebagai seorang filosof Muslim, Al-Farabi tidak sepahaman
pandangan yang menafikan kenabian. Ia adalah seorang nasionalis, tapi
bukan rasionalis yang mengingkari adanya wahyu Tuhan. Sejalan dengan
pandangan segenap ulama /umat Islam, Al-Farabi menunjukkan bahwa
kenabian itu adalah suatu yang diperoleh manusia utama yang disebut
nabi/rasul, bukan melalui upaya mereka. Ajaran yang diwahyukan Tuhan
kepada para nabi tidaklah mereka peroleh melalui upaya keras mereka
membersihkan jiwa mereka atau melalui upaya keras menguasai sebanyak
mungkin ide-ide saintifik.
Jiwa para nabi tanpa dilatih untuk membersihkan diri dan tanpa dilatih
berfikir seperti calon filosof, telah berada dalam kondisi siap menerima ide-
ide atau ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan melalui Ruh al-Quds atau
Akal Aktif. Al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas soal
kenabian secara lengkap. Ia berkesimpulan bahwa para nabi/rasul maupun
para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa‟al, yakni akal
14|Filsafat Islam: Al-Farabi

ke sepuluh (malaikat). Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal


kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (Al mutakhayyilah) yang
sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh
malalui akal Mustafad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam
menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia. 34
Argument yang disampaikan oleh Al-Farabi tentang adanya Nabi/rasul ialah
kenyataan bahwa pada umat manusia, akal dan potensi-potensi jiwa mereka,
terdapat ketidaksamaan keunggulan dalam aktualitas, seperti kenyataan,
bahwa seseorang mengungguli semua manusia lainnya dalam satu bidang
seni.35
Menurutnya, persoalan kenabian dan perwujudannya merupakan hasil
interaksi antara intelek dan daya imajinasi, yang membuat pengetahuan
kenabian unik bukanlah muatan intelektualnya semata-mata, karena para
filsuf juga mempunyai hal yang sama. Tetapi semua Nabi, di samping
mempunyai kemampuan intelektual, mereka juga dikaruniai daya imajinasi
yang luar biasa tajam. Dengan daya imajinasi ini memungkinkan para Nabi
menerima pancaran tentang hal yang masuk akal dari intelek agen. Namun
karena pada dasarnya imajinasi tidak mampu menerima hal abstrak yang
masuk akal, Nabi memanfaatkan kemampuan imajinatif untuk
menggambarkan hal yang masuk akal dalam bentuk simbolis yang konkret.36
Filsafat kenabian Al-farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam
kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Fa’al. Motif
lahirnya filsafat al-Farabi ini disebabkan adanya peningkaran terhadap
eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibnu Ishaq Al-Ruwandi
(w.akhir abad III H). Tokoh yang berkebangsaan yahudi ini menurunkan
beberapa karya tulisa yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan
kenabian Muhammad SAW.37 Kritiknya ini dapat dideskripsikan sebagai
berikut.
1. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan akal kepada manusia kecuali Akal manusia dapat
mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula
mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-
Nya.

34
Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam Versus Barat, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2019), 60.
35
Andri Ardiansyah, Pemikiran Filsafat Al-Farabi Dan Ibnu Sina, Tajdid: Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan Vol. 4 No. 2 Oktober 2020, 175-176.
36
Hafid, Epistemologi Al-Farabi: Gagasannya Tentang Daya-Daya Manusia, Jurnal
Filsafat Vol.17, Nomor 3, Desember 2007, 239-240.
37
Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), 78.
Filsafat Islam: Al-Farabi |15

2. Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya
tawaf di Ka’bah, dan sai di Bukit Shafa dan Marwa dengan tempat-
tempat lain.
3. Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan
manusia. Siapa yang dapat menerima batu dapat bertasbih dan serigala
dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam
Perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak?
4. Al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa
(khariq al-adah). Orang non-Arab jelas heran dengan bala > ghah al-
Qur’an, karena mereka kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad
adalah orang yang paling fasih di kalangan orang Arab.
Justru karena hal-hal di atas, daripada membaca kitab suci, lebih
berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku
astronomi, logika, serta obat-obatan.38 Tentu pandangan Ibn al-Ruwandi di
atas tidak dapat dibenarkan, khususnya dari sisi akidah Islam. Dari sisi
pemikiran, arahnya sangat liberal dan destruktif. Dan ini sangat berbeda
dengan pandangan al-Farabi tentang kenabian (al-nubuwwah) yang menjadi
dasar dari filsafat kenabiannya. Pandangannya itu dapat dijelaskan dalam
penjabaran berikut ini.
Menurut al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan ‘Al-Farabi
melalui dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi
atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi
pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya
ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak
mengenai esensinya.39
Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘Aql Fa‘‘al itu adalah Jibril,
maka yang dapat berhubungan secara langsung hanyalah para nabi. Manusia
sekelas filosof pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika
menggunakan logika sederhana bahwa nabi adalah filosof, dan filosof bukan
nabi. Maka dari sisi tingkatannya pun antara nabi dan filosof sangat berbeda,
yakni filosof berada di bawah nabi.
Di dalam karyanya yang monumental, Ara Ahl al-madinah al-fadila,al-
Farabi mengulas konsep kenabian ini dalam dua bagian penting : Fi sabab al-
Mana al-Manamat (Sebab Terjadinya Tidur) dan bagian penting : Fi al-
Wahyi wa Ru’yut al-Malak (Masalah wahyu dan Melihat Malaikat). Kedua

38
Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi dan Kenabian,Jurnal kalimah, vol. 12, No.1,
Maret (2014).
39
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 44. Sejatinya, terdapat satu tokoh lagi yang
menolak kenabian, yaitu: Abu ‘Isa ibn Harun al-Warra q. Di mana menurut Imam ibn
alJauzi, ia mengklaim telah menulis buku yang menghujat Rasulallah SAW dan
mencacimakinya, serta menghujat al-Qur’an.
16|Filsafat Islam: Al-Farabi

poros ulasannya ini dikaitkan oleh al-Farabi dengan teori kenabiannya


(nazariyyat al-nubuwwah),yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Ketika imaginasi yang dianggap sebagai kutub ruh berpisah ketika
tidur,lalu masuk kepada simpanan-simpanan nalar dan berbagai gambar,
maka ia saling mendekat lalu menyusun gambar-gambar baru dan menyatu
dengan tidur dan keadaan psikologis yang siap untuk merespon dan
dipengaruhi. Sehingga orang yang sedang tidur mengalami mimpi
berenang,kalau campuran itu basah (lembab). Dan ia dapat mengalami
mimpi perang, jika dalam kondisi psikologis yang berkecamuk. Dalam ia
dapat mengalami mimpi perang, jika dalam kondisi psikologis yang
berkecamuk. Dalam hal ini al-Farabi menyatakan : “Hubungan dengan ‘Aql
Fa’’al meskipun jarang terjadi,khususnya orang-orang besar,tetapi hal itu
dapat mudah terjadi melalui dua jalan : (1) melalui jalur akal maupun
imajinasi,atau (2) melalui jalan kontemplasi (al-ta’ammul) dan ilham
(inspirasi).”
Dengan cara padangan yang kritik (al-nazar) dan kontemplasi,
seorang manusia dapat sampai pada derajat “Akal Sepuluh”,sementara
melalui studi dan penelitian jiwanya mampu sampai kepada “ Aql Mustafad”
yang dapat menerima cahaya illahi (taqbal al-anwar al-illaiyyah).40 Ketika
dapat menerima cahaya illahi inilah jiwa telah sampai kepada derajat
kenabian,yaitu derajat paling sempurna yang dicapai oleh kekuatan imajinasi
. Dan kesempurnaan derajat ini dapat ditempuh oleh manusia melalui
kekuatan imajinasi ini (al-quwwah al-mutakhayyilah).41
Tentu saja,yang dapat mencapai imajinasikan yang tinggi seperti diatas
adalah para nabi Allah,bukan orang biasa. Karena ini berkaitan dengan
kekuatan lahir dan batin,sebagai sososk yang menerima kenabian melalui
wahyu,kata Ibn Khaldun (w.808 H) dalam al-Muqaddimah, memiliki
prasyarat berikut:
1. Ketika menerima wahyu kesadarannya hilang, sehingga orang
melihatnya tengah pingsan, padahal tidak. Itu adalah kondisinya ketika
berhubungan dengan malaikat ruhani ( al-malak al-ruhani) sesuai
dengan kekuatan mereka yang keluar dari kemampuan manusia biasa.
2. Sebelum menerima wahyu, seorang nabi telah dikenal memiliki akhlak
mulia, suci dari dosa (al-zaka), menjauhi perilaku tercela dan kotor (al-
rijs).
3. Mengajak manusia kepada agama (al-din) dan ibadah, seperti shalat,
sedekah, dan menjaga kehormatan diri (al-afaf).
40
Lihat, al-Farab, Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah, 103-108.‘Aql Mustafad (Acquired
Intellect) telah dapat menangkap bentuk-bentuk semata yang tidak dikaitkan dengan materi
dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal 10. Lihat, Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, 40
41
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah, 110.
Filsafat Islam: Al-Farabi |17

4. Dikenal ditangah kaumnya memiliki garis keturunan yang baik (dzu


hasab).
5. Mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, sebagai bukti kenabiannya.
Inilah yang disebut dengan mukjizat yang dapat melemahkan manusia,
sehingga mereka tak mampu mengikutinya.42
Dari sana semakin tampak jelas perbedaan antara nabi dan filosof.
Maka tidak mungkin bahwa wahyu atau mukjizat berasal dari kekuatan
imajinasi, sehingga ia tidak memiliki wujud di luar. Kalau demikian,
sebagaimana kritik Ibn Taymiyah (w. 728 H), maka nabi tidak memiliki
kedudukan istimewa.43 Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan bahwa laut
yang terbagi menjadi dua belas jalur, setiap jalur seperti dinding yang kuat,
berubahnya tongkat menjadi ular, turunnya manisan dan burung puyuh dari
langit (almann wa al-salwa > ), keluarnya 12 mata air dari batu,
mengucurnya air dari sela-sela jari, memperbanyak makanan dan minuman
sampai melebihi orang yang membutuhkannya, dan terbongkarnya pohon
dari akarnya kemudian kembali lagi seperti semula, ini semua terjadi di luar
kemampuan manusia dan tidak terjadi karena kekuatan jiwa atau imajinasi.44
Hanya saja konsepi kenabian (al-nubuwwah) menurut al farabi erat
kaitannya dengan pandangan politik yang dibangunnya (al-siyasah). Di sini
ia menyatukan secara ideal antara kenabian dan filsafat, kepemimpinan
religius dan politik, kebajikan moral dan intelektual dalam diri penguasa,
sehingga merupakan sesuatu yang jarang terealisasikan dalam praktik politik.
Akibatnya, keselarasan antara keyakinan filsafat dan agama yang secara
teoritis mungkin, tetapi mensyaratkan perkembangan historis yang sangat
khusus dan pemenuhan syarat-syarat ideal ini, menjadi sulit, kalau bukan
mustahil, untuk direalisasikan dalam kenyataan.45
G. Filsafat Politik
Al-farabi telah menulis sebuah buku yang berjudul al-Madinah al-
Fadhilah (kota utama). Kota digambarkan sebagai setumpuk tubuh manusia
yang mempunyai anggota dan fungsi masing-masing. Kepala memegang
posisi terpenting karena berperan mengatur anggota tubuh yang lain. Kepala
mesti bertubuh sehat, kuat, cerdas, dan cinta ilmu pengetahuan serta
keadilan. Kepala negara harus memiliki akal mustafad yang dapat
mengkomunikasikannya dengan akal sepuluh selaku pengatur bumi dan
42
‘Abd al-Rahma ibn ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub
al‘Ilmiyyah, Cet. IX, 1427 H/2006 M), 74-75.
43
Ibn Taimiyyah Kitab al-Safadiyyah, Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim,
(Diterbitkan oleh salah seorang muhsin, 1406 H), 180.
44
Ibid., 182.
45
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 238-
239.
18|Filsafat Islam: Al-Farabi

sebaik-baik kepala adalah nabi dan rasul. Tugas lain kepala negara adalah
mendidik rakyat ber-akhlakulkarimah. Apabila tidak seorangpun memiliki
sefat kenabian, maka kepemimpinan diserahkan kepada orang yang berotak
filsuf.46
Di samping al-madinah al-fadhilah ada juga Al-Madinah Al-Jahilah
yang anggotanya hanya bertujuan untuk mencari kesenangan jasmani (fisik).
Kemuadian ada pula Al-Madinah Al-Fasiqah yang anggotanya mempunyai
pengetahuan yang sama dengan al-madinah al-fadhilah tetapi kelakuannya
sama seperti anggota-anggota Al-Madinah Al-Jahilah. Jiwa-jiwa yang
berbuat baik dan yang dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani tidak akan
hacur dengan hancurnya badan. Sedangkan jiwa jahilah yang tidak dapat
melepaskan diri dari materi akan hancur karena hancurnya badan dan jiwa
fasiqah tidak akan hancur dan akan kekal dalam kesengsaraan dan
kesusahan. 47
Al Farabi membagi lima macam negara yakni Al-Madinah al-Fadhilah
(Negara Utama), Al-Madinah al-Jahiliyyah (Negara Bodoh), Al-Madinah al-
Fasiqah (Negara Rusak), Al-Madinah al-Mubaddilah (Negara
Merosot/Berubah) dan Al-Madinah adh-Dhalalah (Negara Sesat). Lebih
lanjut al-Farabi menjelaskan macam-macam negara yang termasuk dalam
"negara bodoh" yaitu:
1) Negara itu bisa berbentuk Al-Madinah adh-Dharuriyyah (negara
kebutuhan dasar) yakni warga negaranya bekerja hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidup manusia.
2) Al-Madinah an-Nadzalah (negara jahat), yaitu warga negaranya bekerja
sama untuk meraih kejayaan dan kemakmuran berlebihan dan tak mau
membelanjakannya kecuali untuk keperluan jasmani.
3) Negara rendah atau Al-Madinah al-Khassah, dimana warganya hanya
memburu kesenangan belaka dengan mementingkan hiburan dan hura-
hura.
4) Timokratik (negara kehormatan). Dimana, warga Negara ingin selalu
mendapat penghormatan, puji, dan kesenangan di antara bangsa-bangsa
lain. “Mereka ingin selalu diistimewakan. Bahkan, status seseorang itu
ditentukan oleh kelebihan yang dimilikinya. Dan, Negara pun diatur
berdasar tingkatan kelebihan mereka.
5) Al-Madinah at-Taghalub (negara despotik). Bentuk negara ini, jelas Hafiz
sangat buruk karena mereka ingin menguasai orang lain, dan mencegah

46
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (cet. Ke. 12, Jakarta: Bulan
Bintang, 2014), 21; lihat juga Amroeni Drajad, Filsafat Islam Buat Yang Pengen Tahu,
(Jakarta: Erlangga, 2006), 36-37; lihat juga Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam
Versus Barat, (Surabaya: Pustaka Radja, 2019), 63
47
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (cet. Ke. 12, Jakarta: Bulan
Bintang, 2014), 21-22.
Filsafat Islam: Al-Farabi |19

orang berkuasa atas dirinya. “Oleh karena itu, mereka tak segan
menumpahkan darah, memperbudak, dan berlaku kasar dan kejam.
Bahkan, yang jadi pemimpin adalah orang yang paling bisa menguasai
orang lain, paling kuat atau paling licik,
6) Al-Madinah al-Jama`iyyah (negara demokratik), tujuan dari warga negara
ini adalah kebebasan dan setiap warganya berhak dengan apa saja yang
dikehendaki. “Meski bentuk negara terakhir ini masuk kategori bodoh,
namun menurut Al Farabi justru negara ini paling terpuji diantara negara
yang bodoh lainnya.
Negara demokratik atau demokrasi yang selama ini oleh kebanyakan
orang dikategorikan sebagai sebaik-sebaiknya bentuk negara ternyata
menurut al-Farabi dimasukkan ke dalam barisan "negara bodoh". Ketika
sistem demokrasi digembor-gemborkan sebagai suatu sistem dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat ternyata oleh sebagian pemikir-pemikir islam
justru dipandang sebagai sistem yang sangat bertentangan dengan islam dan
tidak layak untuk diterapkan. Seperti Abul A’la Al Maududi, yang
mengatakan bahwa sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi
karena di dalam sistem demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya berada di
tangan rakyat, sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan Allah
SWT.48
Konsep kenabian al-Farabi ada kaitan erat dengan politik pada waktu
itu, di mana ia berpendapat bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi
atau Filosof, karena ia mempunyai kedekatan dan mampu berhubungan
dengan akal fa’al, yang merupakan sumber kebaikan. Pemimpin ideal seperti
yang digagas oleh al-Farabi memang jauh dari fakta yang terjadi, sehingga
sangat sulit untuk direalisasikan, setidaknya dengan konsep ini memberikan
bekal dalam memilih seorang pemimpin.

H. Penutup
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai
filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih
mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian
banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Namun dari beberapa ajarannya
masih terdapat banyak penyimpangan terhadap ajaran islam yang murni,
seperti teori emanasinya yang menggambarkan sosok tuhan seakan akan
hanya bagian dari suatu sistem yang terus berkelanjutan. Kemudian
pemahaman mengenai nabi dan filosof yang disamakan oleh Al Farabi,
48
Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam Versus Barat, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2019), 64-65.
20|Filsafat Islam: Al-Farabi

menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh semua
orang melalui tingkatan-tingkatan proses pembelajaran.
Adapun beberapa intisari yang dapat disimpulkan adalah:
1. Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibnu
Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Wasij,
Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/ 870 M. Ayahnya seorang
jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Dalam
usia 40 tahun Al-Farabi pergi ke Baghdad, untuk belajar kaidah-kaidah
Bahasa Arab dan belajar logika serta belajar filsafat. Kemudian, beliau
pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru
kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau
kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Pada tahun 330
H/ 945 M, beliau pindah ke Damaskus, Syria dan menetap di kota ini
sampai wafatnya pada tahun 337 H/ 950M pada usia 80 tahun.
2. Pemikiran pendidikan Al-Farabi lebih menekankan pada pendidikan
akal budi. Pemikiran filsafat Al-Farabi terpengaruh oleh filsafat
aristoteles, Plato, dan Plotinus, namun beliau telah berhasil
mengembangkan dan memperdalamnya sehingga dapat dikatakan hasil
pemikirannya sendiri. Dengan demikian beliau telah berhasil
menciptakan filsafat islam yang mempunyai ciri khas tersendiri. Seperti
dalam pemikiran-pemikiran yang telah dijelaskan diatas.
3. Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan yang penting. Karangan
Al-Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab, yang kebanyakan mengenai
filsafat Yunani. Diantara karyanya yaitu: Al-Jam’u Baina Ra’yai Al-
Hakimain, Ara’u Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, serta Tahsilu As-Sa’adah
dan lain sebagainya. Karya-karya Al-Farabi tersebar luas di Timur pada
abad ke-4 dan 5 H/ ke-10 dan 11 M, dan mungkin mencapai Barat ketika
sarjana-sarjana Andalusia menjadi pengikut Al-Farabi.

DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Muhammad, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia,


2011
al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah
al-Rahma ibn ibn Khaldun, ‘Abd, Al-Muqaddimah, Beirut-Lebanon:
Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, Cet. IX, 1427 H/2006 M
Filsafat Islam: Al-Farabi |21

Ardiansyah, Andri, Pemikiran Filsafat Al-Farabi Dan Ibnu Sina,


Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan Vol. 4 No. 2 Oktober
2020
Aryati, Aziza, Telaah Pemikiran Filsafat Al-Farabi: Rekonsiliasi
Antara Filsafat Dan Agama, Syi’ar Vol. 12 No. 2 Agustus-Desember 2018
Drajad, Amroeni, Filsafat Islam Buat Yang Pengen Tahu, Jakarta:
Erlangga, 2006
Fakhari, Majid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis,
Bandung: Mizan, 2001
Fuad, Ahmad, Al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1950
Hafid, Epistemologi Al-Farabi: Gagasannya Tentang Daya-Daya
Manusia, Jurnal Filsafat Vol. 17, Nomor 3, Desember 2007
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1996
Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2011
Hossein Nasr, Seyyed dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam
https://mpi-iainpalopo.ac.id/kajian-kritis-tentang-pemikiran-emanasi-
dalam-filsafat-islam-dan-hubungannya-dengan-sains-modern
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5537340/cendekiawan-
muslim-al-farabi-master-kedua-filsafat-yang-piawai-bermusik
Kandu, Amirulloh, Ensiklopedi Dunia Islam, dari Masa Nabi Adam a.s
sampai dengan Abad Modern, Bandung: Pustaka setia, 2010
Khoduri Soleh, A., Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016
Mustafa, A., Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Mustajab, Tokoh dan Pemikiran Filsafat Islam Versus Barat,
Surabaya: Pustaka Radja, 2019
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (cet. Ke. 12,
Jakarta: Bulan Bintang, 2014
Nursheha Dzulhadi, Qosim, Al-Farabi Dan Filsafat Kenabian, Jurnal
Kalimah Vol. 12, No. 1, Maret 2014
Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi dan Kenabian,Jurnal kalimah,
vol. 12, No.1, Maret 2014
Rifa’i, Moh, Pelajaran Ilmu Kalam, Semarang: Wicaksana, 1988
Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
Sofiyan, Ayi, Kapita Selekta Filsafat, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Sudarsono, filsafat islam, Jakarta: rineka cipta, 2010
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Pengantar Filsafat Islam
(Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung: Pustaka Setia, 2009
22|Filsafat Islam: Al-Farabi

Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1991


Taimiyyah, Ibn, Kitab al-Safadiyyah, Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad
Salim, (Diterbitkan oleh salah seorang muhsin, 1406 H),
Wiyono, M., Pemikiran Filsafat Al-Farabi, Substantia, Volume 18
Nomor 1, April 2016
Yamani, Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan
Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu
Islam, 2002
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014

Anda mungkin juga menyukai