Anda di halaman 1dari 13

Al Farabi (Makalah Filsafat Islam)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelahiran ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa tokoh filsafat
Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles dan sebagainya telah menjadi sebab
lahirnya para filsuf muslim, diantaranya adalah al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-
lain. Mereka adalah orang-orang terbesar dalam dunia kefilsafatan Islam. Meskipun diantara mereka
banyak terjadi perbedaan-perbedaan dalam berargumen, namun pada hakikatnya tujuan mereka tetap
sama yakni mencari dan menemukan kebenaran dengan akal yang berpedomankan pada al-Quran
dan as-Sunnah. Namun di sini pengkajian hanya difokuskan pada sejarah pemikiran salah seorang
filsuf muslim besar yang terkenal dengan sebutan Guru Besar Kedua setelah Aristoteles, beliau
adalah Abu Naser atau al-Farabi.

Beliau adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreatifitas,
kebebasan berpikir, dan tingkat sostifikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai
seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan
tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles.
Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles.
Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai
Abu Nashr atau Abu Naser.

1.2. Rumusan Masalah

Siapa sosok al-Farabi itu?

Apa saja karya-karya yang berhasil beliau kumpulkan semasa hidupnya?

Bagaimana pemikiran metafisika dan politik al-Farabi?

1.3. Tujuan

Untuk mengetahui riwayat hidup al-Farabi

Untuk mengetahui karya-karya yang berhasil beliau kumpulkan semasa hidupnya

Untuk mengetahui pemikiran metafisika dan politik al-Farabi.


BAB II PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup al-Farabi

Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada
tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Ia
berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang panglima perang Persia
yang kemudian menetap di Damsyik. Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut
orang Persia atau orang Turki.

Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membuktikan diri untuk berkontemplasi,


menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia
meninggalkan risalah penting. Filasafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan
Timur, lama sepeninggalnya al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.
Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada dalam kekacauan di bawah pimpinan
khalifah-khalifah Radli, Muttqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang
mengambil alih kekuasaan. Al-Farabi dengan hati cemas melihat perpecahan khalifah dan
kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas ia tidak aktif dalam bidang
politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memeperbarui
tata negara. Pembaharuan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi
filsafat. Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafisika Islam yang pertama terkemuka namun ia
lebih dikenal di kalangan kaum muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik. Para ahli
sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan
juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika kepada Yuhanna ibn Hailan di
Baghdad. Ia memperbaiki studi logika yang masyhur, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit
yang telah ditinggalkan al-Kindi.

Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula sejak lahir sampai umur
lima tahun. Pendidikan dasarnya adalah keagamaan dan bahasa: ia mempelajari fiqh, hadits dan
tafsir al-Quran. Ia juga mempelajari bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah periode
usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka ppada
abad ke-4 H/10 M. di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof
dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika paling terkemuka kepada Abu Bisyr Matta ibn
Yunus. Untuk beberapa lama ia belajar. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya.
Di sini ia berada selama sepuluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan
dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi,
lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Kota
kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan
tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham
menulis buku-buku filsafat. Begitu mendalam penyelidikannya terhadap filsafat Yunani terutama
mengenai filsafat Plato dan Aristoles, sehinga ia digelari julukan Muallim Tsani ( guru kedua ),
karena guru pertama diberikan kepada Aristoles, disebabkan usaha Aristoles meletakkan dasar ilmu
logika yang pertama dalam sejarah dunia.

Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan
mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis
beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India.
Orde Maulawiyah dari Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang. Al Farabi
telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa
Arab, akan tetapi sebagiannya telah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh DErlenger. Teorinya
tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan
dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.
B. Karya-karya al-Farabi

Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu
diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan
bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu
daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu atau temporal maupun dari sudut logika.
Dikatakan lebih dahulu dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa
permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir kuno dan
Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena
semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan pada mulanya lewat cara-cara yang
rasional serbelum kebenaran itu diambil oleh para nabi. Karya al-Farabi tentang logika menyangkut
bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan
panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagian besar naskah-naskah ini belum
ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat,
fisika, matematika, dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat
berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Dianatara judul
karya al-Farabi yang terkenal adalah:

1. Maqalah fi Aghradhi ma Bada al-Thabiah

2. Ihsha al-Ulum

3. Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah

4. Kitab Tahshil al-Saadah

5. Uyun al-Masail

6. Risalah fi al-Aql

7. Kitab al-Jami bain Ray al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu

8. Risalah fi Masail Mutafariqah

9. Al-Taliqat

10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat.

C. Pemikiran-Pemikiran al-Farabi

Secara garis besar pemikiran al-Farabi dapat dibagi dalam beberapa tema, yaitu: logika, fisika,
metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan yang berisi sanggahan terhadap pandangan
filosof tertentu. Namun disini hanya akan dikupas dua pemikiran besar yakni metafisika dan politik
(system pemerintahan) yang dibahas khusus dalam bukunya yang berjudul Madinah al-Fadhilah.

Buku tersebut diterbitkan pertama kali di Leiden, Belanda, tahun 1895 M, kemudian baru di
Kairo, Mesir, tahun 1906 M. Buku ini terdiri atas dua bagian besar, (1) membahas persoalan
metafisika dan (2) persoalan sosial politik. Pembahasan tentang metafisika terdiri atas 15 sub-bab.
Antara lain, membahas tentang Tuhan, malaikat, penghuni-penghuni langit, alam indera, binatang
dan lainnya. Disini juga membahas cara penurunan (emanasi atau faidl) dari Tuhan Yang Maha
Ghaib sampai terwujudnya alam indera. Juga membahas tentang akal (rasio), macam-macamnya dan
tingkatannya.
Bagian kedua, berbicara tentang politik, terdiri atas 12 sub- bahasan. Antara lain, membahas
kehendak sosial dari manusia, persyaratan sebagai seorang pemimpin, pemimpin negara utama,
sistem negara-negara non-utama, industri dan kebahagiaan dan lainnya.

1. Pemikiran Metafisika al-Farabi

Menurut al-Farabi, Metafisika dapat dibagi menjadi tiga bagian utama:

Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.

Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat
keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang suatu wujud sempurna yang
tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan, yang merupakan prinsip terakhir dari segala
sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.

Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu
khusus. Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa
wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam
terminology religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology
filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.

Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena
tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan
(hadits).

Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :

1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.

2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.

3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).

4. Benda-benda bumi (teresterial).

Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul
dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak
berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang
banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi
al-Farabi. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya,
dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan
pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First
Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari
pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga
berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.

Wujud III/Akal II Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga


dirinya = Bintang-bintang

Wujud IV/Akal III Tuhan = Wujud V/Akal Keempat

dirinya=Saturnus

Wujud V/Akal IV Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima

dirinya=Jupiter

Wujud VI/Akal V Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam

dirinya=Mars

Wujud VII/AkalVI Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh

dirinya=Matahari

Wujud VIII/Akal VII Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan

dirinya=Venus

Wujud IX/AkalVIII Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan

dirinya=Mercury

Wujud X/Akal IX Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh

dirinya=Bulan

Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal .Tetapi dari
Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat
unsur api, udara, air dan tanah. Sepuluh lingkaran geosentris yang disusun oleh al-Farabi
berdasarkan sistem Ptolomeus. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Sina. Teori pengetahuan dan
juga filsafat manusia serta filsafat kenabian diturunkan dari teori emanasi ini.

Dalam risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan berjudul Ihsha al-Ulum,
al-Farabi memandang kosmologi sebagai cabang metafisika. Ia juga berpendapat bahwa kosmologi
mungkin diturunkan dari prinsip-prinsip sains partikular. Al-Farabi juga berpandangan bahwa
penguasaan matematika tidak dapat dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang tepat
mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual. Kemampuan al-Farabi di bidang matematika inipun
mendapatkan posisi terkemuka di kalangan filosof Islam.

Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada
pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat perbedaan antara akal dan wahyu maka al-
Farabi memilih hasil akal sedangkan al-Kindi memilih wahyu. Menurut pendapatnya kebenaran
yang dibawa wahyu dan kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya
berbeda. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara
agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama, pengadaan keharmonisan antara
filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian
tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap
pemikiran Yunani.

Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide
Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan tentang sebab pertama alam
semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk
Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud
Pertama. Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan. Tentang Tuhan misalnya
al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak
menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi.
Disini ia menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti
pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis,
dan dari sudut pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bidah).

Al-Farabi membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan konsep yang disertai
keputusan pikiran (judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila didahului
oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan
panjang, lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada setiap konsep,
melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan
adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin. Kesemuanya
ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya, karena konsep-konsep tersebut adalah
pengertian-pengertian yang jelas dan benar dan terdapat dalam pikiran.

Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada yang tidak bisa diketahui,
sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu
diperlukan terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti
baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal, seperti halnya dengan
hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian. Kesemuanya ini adalah
pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena
tidak ada sesuatu yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas
dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar
aksioma.

Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;

1. Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.

2. Pokok utama segala yang maujud

3. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.

Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan wujud (eksistensi). Zat
menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu. Terdapat dua macam zat; pertama yang wajib
ada. Aristoteles membagi obyek metafisika kepada dua yaitu; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang
Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al-Farabi kelihatan.

Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-
murninya. Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat terkena oleh
perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah barang sesuatu itu memang
sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir demikian berarti kita akan sampai pada pendapat
bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya,
artinya yang tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai nisbi.
Dasar piramida falsafah yang diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini segera dilanjutkan
pembangunannya oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru Kedua ini mempersiapkan kondisi
dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali lagi serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.

Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi
sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan: Kayu sebagai materi mengandung
banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru
terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja
dan sebagainya. Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir
pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa
suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup
daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil. Jadi
argumentasi itu penting sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti
yang banyak terjadi di kalangan umat Islam.

Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi, yaitu:

Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reasonable) dan utama dalam bahasa
(percakapan) sehari-hari dan yang disebut oleh Aristoteles phironesis (al-taaqqul).

Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau larangan tindakan-
tindakan umum tertentu dan yang sebagian identik dengan pikiran sehat (common sense- indria
bersama).

Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriorasebagai kecakapan
memahami prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara instingtif dan intuitif.

Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkinkan kita dapat mengambil
keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar
dan salah.

Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang oleh Aristoteles, seorang
pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya terutama dalam soal logika, dan juga metafisika.

Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak berkesinambungan dan tidak juga
konstan, ini tidaklah disebabkan oleh adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh
kenyataan bahwa materi, dimana dia harus beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau
kecendrungan untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena
beberapa rintangan atau yang lainnya.

2. Pemikiran Politik al-Farabi


Fitrah Sosial.

Sebelum membahas persoalan politik, dalam al-Madinah al-Fadilah, pertama kali, al-Farabi
mendiskusikan masalah psikologi manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai fitrah sosial,
fitrah untuk berhubungan dan hidup bersama orang lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang
disebut masyarakat dan negara. Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur dan mengapai
keutamaan, al-Farabi membagi masyarakat dalam dua bagian; masyarakat sempurna (al-mujtama`
al-kamil) dan masyarakat kurang sempurna (al-mujtama` ghair al-kamil). Masyarakat sempurna
adalah masyarakat yang mampu mengatur dan membawa dirinya sendiri untuk mengapai kebaikan
tertinggi, sedang masyarakat kurang sempurna adalah masyarakat yang tidak bisa mengatur dan
membawa dirinya pada keutamaan tertinggi. Kebaikan dan keutamaan tertinggi adalah kebahagiaan
dan kebahagiaan yang dimaksud adalah tercapainya kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa dan
pikiran.

Selanjutnya, dari sisi cakupan dan luas teritorial, al-Farabi membagi negara dalam tiga bagian;
besar, sedang dan kecil. (1) Negara besar adalah negara yang berdaulat dan luas, membawahi
negara-negara bagian, (2) negara sedang adalah negara bagian, (3) negara kecil adalah pemerintahan
daerah atau daerah otonom. Selanjutnya, al-Farabi membagi masyarakat dalam 4 bagian. (1)
Masyarakat desa (ahl al-qaryah), (2) masyarakat dusun (ahl al-mahlah), (3) masyarakat yang hidup
bersama dalam satu jalur, jalan atau gang (ahl al-sikkah), dan (4) keluarga (usrah), dan keluarga
merupakan bagian terkecil dari masyarakat. Menurut al-Farabi, diantara tiga macam negara diatas:
besar, sedang dan kecil, hanya negara yang diatur dengan sistem pemerintahan utama (fadilah) yang
mampu mengantarkan masyarakatnya pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Sistem pemerintahan
utama ini, dalam mengantarkan masyarakatnya mencapai kebahagiaan adalah sama seperti
kerjasama anggota tubuh dalam menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya.

Dari sistem pemerintahan dan kemungkinan pencapaian kebaikan (kebahagiaan), al-Farabi


membagi negara dalam empat kategori; negara jahiliyah, negara fasik, negara mubadilah, dan negara
sesat (dlalah). (1) Pemerintahan jahiliyah adalah rezim yang tidak tahu dan tidak mampu
mengarahkan rakyatnya pada kebahagiaan; (2) pemerintahan fasik adalah rezim yang
sebenarnya tahu dan mampu membawa rakyatnya kepada kebahagiaan tetapi mereka tidak
mengakui dan tidak melakukannya melainkan justru mempraktekkan permainan- permainan politik
kotor yang akhirnya menjerumuskan mereka pada martabat rendah; (3) pemerintahan mubaddalah
adalah rezim yang secara zahir melakukan tindakan dan kebijakan yang membantu rakyat,
padahal yang terjadi sesungguhnya justru sangat merugikan rakyat. Semua dilakukan semata demi
menutupi kecurangan dan kebobrokan aparat; (4) Pemerintahan sesat adalah rezim yang tidak
membawa rakyat pada kedamaian melainkan justru membawa mereka pada pertentangan,
disintegrasi dan kehancuran.

Al-Farabi tidak memberi uraian lebih rinci tentang tiga sistem pemerintahan yang terakhir, tetapi
ia banyak memberikan penjelasan tentang sistem pemerintahan jahiliyah. Menurutnya, rezim
jahiliyah setidaknya terbagi atas empat golongan; (1) sistem timokrasi, rezim yang mengutamakan
kehormatan atau kewibawaan (karamah), (2) sistem plutokrasi, rezim yang mengutamakan
kelompok sedikit, dimana kekuasaan atau kepemimpinan dipegang orang tertentu dengan cara
didasarkan atas perhitungan besar kekayaan, konglomeratisme (baddalah), (3) sistem tirani, rezim
yang mengutamakan pemimpin seorang tiran, militerisme (taghallib), (4) sistem demokrasi, rezim
yang mengutamakan perwakilan orang-orang banyak (jama`iyah).

Diantara empat sistem pemerintahan yang tidak baik (jahiliyah) di atas, sistem demokrasi diakui
al-Farabi sebagai sistem yang paling baik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik
diantara rezim-rezim yang jelek. Ia merupakan negara yang paling didambakan dan dianggap paling
bahagia. Negara ini tampak seperti sulaman garmen yang penuh corak warna. Setiap orang
menyukainya dan ingin tinggal di dalamnya karena tidak ada satupun keinginan atau potensi baik
maupun jahat yang tidak tertampung dan tidak terkembangkan didalamnya. Dalam sistem
demokrasi ini ada dua prinsip yang dianut, yaitu:

a. Prinsip kebebasan (liberty), sehingga rezim demokratis disebut juga rezim bebas atau
kesatuan orang-orang bebas. Dalam negara demokrasi ini, setiap individu berhak dan bebas
melakukan apa yang dikehendaki dan disukai, dan tidak seorangpun berhak atas otoritas kecuali
berbuat untuk memanfaatkan kebebasannya.

b. Prinsip kesejajaran (equality). Setiap orang dalam rezim demokrasi adalah sama dan sejajar
dihadapan hukum. Tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata, bahkan rakyatlah sumber
dan pemegang otoritas kekuasaan yang sebenarnya, sedang pemerintah hanya menjalankan tugasnya
sesuai yang dikehendaki rakyat.

Dengan dua prinsip ini, terutama kebebasan, sistem demokrasi tidak hanya mendorong lahirnya
ilmu dan peradaban tinggi tetapi bersamaan itu juga membuka peluang bagi berkembangnya
kekuatan-kekuatan jahat, minimal yang secara moral bertentangan dan menghambat tercapainya
kebahagiaan masyarakat, karena tidak ada otoritas atau rasa tanggung jawab untuk mengendalikan
nafsu jahat (amoral) dan harapan-harapan warga negara. Inilah ketidak-sempurnaan sistem
demokrasi. Karena itu, meski demokrasi diakui sebagai negara paling besar, paling berperadaban,
paling produktif dan paling sejahtera, ia juga merupakan negara yang paling banyak mengandung
kejahatan dan keburukan.

Berdasarkan kenyataan atas ketidaksempurnaan sistem demokratis di atas, al-Farabi mengajukan


gagasannya tentang sistem pemerintahan negara utama (al-Madinah al-Fadilah).

Al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama).

Disini, negara tidak diperintah oleh perwakilan orang banyak (parlemen) melainkan oleh
pemimpin utama yang bertugas untuk mendidik dan mengarahkan rakyat pada pencapaian
kebahagiaan tertinggi (aktualisasi potensi-potensi terbaik dari ruhani dan pemikiran). Gagasan ini
didasarkan atas kenyataan, bahwa:

(1) susunan masyarakat atau pemerintahan tidak berbeda dengan badan. Pada badan, semua gerakan
yang dilakukan oleh tangan, kaki, kepala dan lainnya, adalah atas perintah hati. Hati bertindak
sebagai pemimpin atas tindakan jasad. Begitu pula yang terjadi pada masyarakat. Apa yang terjadi
pada masyarakat tidak berbeda dengan apa yang ada pada jasad, ia bertindak sesuai dengan perintah
pemimpin atau pemerintah. Pemerintah adalah pemimpin masyarakat.

(2) karena perbedaan-perbedaan alamiah, tidak semua orang mengetahui dan memahami
kebahagiaan lewat dirinya sendiri atau sesuatu yang harus diperbuatnya guna mencapai
kebahagiaan. Mereka membutuhkan guru, pendidik dan pembimbing. Disinilah tugas dan fungsi
pemimpin utama, yakni dengan kesempurnaan dan kebijaksanannya, menunjukkan pada masyarakat
tentang objek utama (primari intellegibles) yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan.

Karena itu, negara utama (madinah al-fadilah) tidak bisa dipimpin sembarang orang melainkan oleh
mereka yang benar- benar memenuhi persyaratan tertentu (dustur). Pemimpin utama (al-rais al-
awwal) harus memenuhi persyaratan yang bersifat fitrah (bawaan) dan pengayaan (muktasab).
Persyaratan yang bersifat bawaan (fitrah), antara lain:

Dari sisi hati atau jiwa, mempunyai kelebihan dalam soal kesalehan dan ketaqwaan, sebagai
representasi manusia sempurna yang telah mencapai tahap akal aktif (al-`aql al-fa`al) dalam
menangkap dan menterjemahkan isyarat-isyarat ilahiyah. Disamping itu, juga terbukti mempunyai
akhlak atau moral yang baik dan terpuji. Dari segi kecerdasan, mempunyai keunggulan dalam hal
representasi imajinatif.

Dari segi politik, mempunyai kebijaksanaan yang sempurna dalam menjalankan policy dan
menangani persoalan- persoalan yang timbul. Juga mempunyai keunggulan persuasif serta sifat
tegas dan lugas dalam menghadapi penyelewengan dan ketidakadilan.

Dari sisi menejerial, mempunyai keunggulan dalam retorika, sehingga bisa menjelaskan persoalan-
persoalan penting dengan baik dan mudah, pada masyarakat.

Tentang persyaratan yang bersifat pengayaan (muktasab), antara lain:

Mengerti dan paham tentang hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan sebelumnya untuk kemudian
mampu merevisi dan menyelaraskan dengan tuntutan zaman.

Mengerti strategi dan pertahanan negara, karena ia berkewajiban untuk menjaga kedaulatan dan
integritas negara.

Perbedaan antara persyaratan yang bersifat fitrah dan muktasab ini bisa di gambarkan, bahwa
yang fitrah adalah watak-watak atau tindakan-tindakan yang ada sebelumnya. Arttinya, sebelum
diangkat sebagai pemimpin, seseorang harus ditelusuri riwayat hidupnya, perilakunya dan
kemampuannya dalam memimpin masyarakat dalam lingkungan atau organisasinya. Sementara
persyaratan yang bersifat muktasab adalah kondisi-kondisi yang bisa dan harus dipelajari setelah
seseorang menjadi pemimpin.

Jika pemimpin utama semacam itu tidak ada, negara harus dipimpin oleh gabungan orang-orang
yang mengkombinasikan kualifikasi-kualifikasi tersebut, yang disebut pemimpin-pemimpin terpilih
(al-ruasa al-akhyar). Kombinasi ini mungkin sama dengan model kabinet pelangi pada masa Gus
Dur dahulu, tetapi bukan atas dasar perbedaan partai yang lebih demi mempertemukan berbagai
kepentingan dan golongan, melainkan kombinasi dari kaum profesional, ilmuan, pemikir, birokrat,
dan lainnya yang secara bersama-sama bekerja demi tercapainya kebahagiaan bangsa. Jika gabungan
orang-orang semacam ini juga tidak ditemukan, maka pemimpin negara harus diberi bekal tentang
tradisi, ketetapan dan hukum-hukum yang telah dipancangkan para pendahulunya (atau oleh dewan
legislatif yang arif dan kredible), dengan syarat bahwa pemimpin tersebut harus memiliki kesalehan
dan kebenaran opini untuk menafsirkan dan menetapkan hukum-hukum dan ketetapan tersebut
dalam situasi baru yang dihadapinya.

Walhasil, negara utama atau setidaknya pemerintahan terbaik adalah rezim dimana orang-orang
saleh dan profesional merupakan yang paling banyak mengambil peranan atau penentu kebijakan.
Dengan sistem seperti itu, diharapkan mereka akan mampu mendidik dan membawa masyarakat
pada tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi. Manusia- manusia unggul mencapai
kebahagiaan dan kesempurnaan lewat spekulasi, penemuan dan pemikiran, sementara masyarakat
biasa (awam) menemukan kebahagiaan sejenis lewat praktek- praktek dan desakan-desakan moral
yang telah di tentukan.
Selanjutnya, jika kaum saleh, pemikir dan profesional juga tidak bisa menempati posisi strategis
dalam pemerintahan, maka sistem pemerintahan demokrasi adalah alternatif terbaik. Sebab, dalam
sistem demokrasi yang bebas ini, kaum saleh dan pemikir akan mempunyai banyak kesempatan
untuk melakukan kegiatan membimbing dan memberi petunjuk pada masyarakat lewat pendidikan,
pemikiran dan lainnya, sehingga bisa tercapai kebahagiaan bersama. Dengan demikian, mereka
itulah pemimpin-pemimpin sejati, meski tanpa mahkota dan pengawal.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama
kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam
yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya
membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu.
Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-
Ghazali.terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan.
Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk
menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 1995. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Abidin, Ahmad Zainal. 1968. Negara Utama (Madinatul Fadilah). Jakarta: PT.Kinta

Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta: Gramedia.

Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan.

http://www.ditpertais.net/pemikiran_metafisika_al-Farabi/nurisman-01.pdf

http://www.muslimphilosophy.com/al-Farabi/H021.htm

Anda mungkin juga menyukai