Anda di halaman 1dari 7

TOKOH ILMUAN MUSLIM

INTEGRASI KEILMUAN

Dosen Pengampu :

Ikah Rohilah

Disusun Oleh :

Ade Maula Zakiya Rahmah 1801085017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA

2021
Al Farabi (Bapak Logika Islam)

Abu Nashr Muhammad Al-Farabi, dikenal juga sebagai Muallim Tsani (Guru Kedua) dari
Timur, dilahirkan pada tahun 870 M di Farab, Kazakhstan sebuah kota yang sekarang ini
sudah hampir tidak ada lagi di Turki tengah. Dulu kota ini menjadi tempat kelahiran berbagai
intelektual dan filsof terkenal. Timur i-Leng (Tamerlane) meninggal di kota ini. Nama Al-
Farabi diambil dari gelar yang didasarkan pada tempat kelahirannya. Wilayah itu pada zaman
sekarang merupakan suatu wilayah yang berada di Afghanistan.

Walaupun ia pernah menetap di Iran, Irak, Mesir dan lain sebagainya ia tidak pernah merubah
cara berpakaian Turkinya dan tidak pernah meninggalkan nama panggilannya, Farabi Al-
Turki yang membuatnya terkenal.

Pemimpin Allepo, Hamdani Sayf al-Dawlah , menjadikan Al-Farabi sebagai anggota inti
istananya ketika ia mengetahui bahwa Al-Farabi adalah seorang jenius yang menguasai 89
bahasa. Ia seorang guru besar Muslim dalam bidang fiqih, filsafat, sains, kedokteran, musik
dan puisi.

Ia lelaki bertubuh pendek. Ia menghabiskan masa kecilnya di Farab lalu pergi ke Bukhara
tempat ia ditunjuk sebagai hakim. Namun, rasa hausnya akan ilmu pengetahuan membuatnya
harus meninggalkan tugasnya sebagai hakim. Ia pergi ke Baghdad yang menjadi pusat ilmu
pengetahuan dunia waktu itu.

Di sinilah untuk pertama kalinya mempelajari Bahasa Arab dan Yunani, kemudian
mempelajari filsafat dan logika Aristoteles di bawah bimbingan filsof terkenal Abu Bisyr
Matta bin Yunus.

Dia tinggal di Baghdad selama kurang lebih 40 tahun (901-941 M) dan dalam periode ini ia
mempelajari secara penuh logika dan filsafat Aristoteles serta menulis sejumlah buku filsafat.
Selama menetap di Baghdad, enam khalifah naik turun dalam jangka waktu yang singkat
disertai kekacauan politik yang ditimbulkannya.

Akhirnya ia meninggalkan Baghdad dan tinggal lama di Turkistan. Pada masa ini di bawah
pemerintahan Ali Sam’an pemimpin setempat, ia menulis bukunya yang terkenal, At-Ta’lim
Ats-Tsani. Setelah Aristoteles yang di Timur dianggap sebagai guru yang pertama, maka Al-
Farabi dianggap sebagai guru yang kedua.

Setelah itu, Al-Farabi pergi ke Syiria dan Mesir. Tak lama kemudian ia kembali dan menetap
di Allepo. Pada tahun 945 M, Amir setempat, Sayfu Al Dawlah memasukkannya ke
lingkungan istana dengan penuh rasa hormat. Pecinta kedamaian yang haus akan ilmu
pengetahuan ini tidak meminta apapun selain uang empat dirham dan ruangan sunyi yang ia
gunakan sebagai tempat melakukan pengkajian dan penelitian. Dia memusatkan dirinya pada
kajian-kajian itu.

Pada tahun 950 M, Sayf Al-Dawlah melakukan ekspedisi ke Damaskus dan membawa serta
Al-Farabi. Karena kondisi tubuhnya yang lemah, Al-Farabi yang waktu itu berusia 90 tahun
meninggal dunia sesampainya di Damaskus, di daerah Bab Al Saghir, di dekat makam
Muawiyah, pendiri dinasti Umayyah.

Al-Farabi menulis lebih dari serratus buku dalam Bahasa Arab dalam bidang filsafat, sains,
kedokteran, music dan lain-lain. Namun hanya sekitar 12 (dua belas) saja yang dapat
diperoleh di berbagai perpustakaan dunia saat ini. Buku-bukunya telah diterjemakhkan ke
dalam berbagai Bahasa di Timur maupun Barat. Namanya dikenang sejajar dengan filsof
besar dunia lainnya seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.

Al-Farabi merupakan filosof Muslim yang banyak meninggalkan karya penting dalam bidang
yang digelutinya. Bahkan, menurut Osman Bakar, karya Al-Farabi tersebar di setiap cabang
ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada Abad Pertengahan, dengan pengecualian khusus
pada ilmu kedokteran. Para bibliographer tradisional menisbahkan pada Al-Farabi lebih dari
seratus karya – yang panjangnya bervariasi – yang sebagian besar masih terselamatkan.
Beberapa di antara karya-karya ini hanya terdapat dalam terjemahan bahasa Ibrani atau Latin.
Padahal, Al-Farabi menulis seluruh karyanya dalam bahasa Arab, dan sebagian besar
karyanya itu ditulis di Baghdad dan Damaskus.

Dari ratusan karya Al-Farabi – jika perhitungan ini benar – berarti banyak karyanya yang tak
terselamatkan. Banyak di antara karya-karya ini yang baru belakangan tersedia dalam edisi
modern-nya, sehingga interpretasi atas tulisan Al-Farabi terus mengalami revisi. Sejauh ini,
sebagian besar karya Al-Farabi dicurahkan pada logika dan filsafat bahasa. Karena
sesungguhnya, kata sejumlah penulis biografi Abad Pertengahan, ketajaman logika Al-Farabi
merupakan landasan kemasyhurannya. Filosof dan juga sejarahwan, Ibn Khaldun (732-808
H/1332-1406 M), menyatakan bahwa terutama karena capaian-capaian dalam logikalah
sebenarnya Al-Farabi digelari “Guru Kedua” (al-Mu‘allim al-Tsani), jika hanya dibandingkan
dengan Aristoteles sendiri. Namun segera harus dicatat bahwa sebelum Al-Farabi belajar
ilmu-ilmu logika dan yang lainnya, sebagai seorang anak Muslim, ia terlebih dahulu belajar
Al-Qur’an. Karena tradisi belajar informal sangat berlaku dalam konsep pendidikan Islam
klasik, terutama pada usia kecil Al-Fara bi , sebagaimana yang disinyalir oleh Ibn Khaldun
dalam al-Muqaddimah. Maka, pengaruh al-Qur’an inilah yang tampak jelas pada sisi
intelektual dan spiritual Al-Farabi. Di samping belajar tata-bahasa Arab, literatur, dan ilmu-
ilmu agama (the religious sciences), khususnya: fikih (jurisprudence), tafsir (exegesis), ilmu
hadis (science of the traditions), dan aritmatika.

Di antara karya Al-Farabi adalah sebagai berikut:


1. Maqalah fi Aghrad al-Hakim fi Kulli Maqalah min al-Kitab alMarsum bi al-Huruf.
Buku ini merupakan verifikasi terhadap buku Aristoteles yang berjudul Tahqiq Ghard
Aristatalis fi Kitab ma Ba‘da al-Tabi‘ah.
2. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat.
3. Syarh Risalah Zainun al-Kabir al-Yunani.
4. Risalah fi Masa’il Mutafarriqah.
5. Al-Ta‘liqat.
6. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain Aflatun wa Aristu.
7. Risalah fima Yajibu Ma‘rifatuhu Qabla Ta‘allum al-Falsafah.
8. Risalah Tahsil al-Sa‘adah.
9. Kitab A’ Ahl al-Madinah al-Fadilah.
10. Kitab al-Siyasat al-Madaniyyah.
11. Kitab al-Musiqa al-Kabir

Al-Farabi membedakan pengertian antara kenikmatan dan kebahagiaan yang dipahami pada
level orang awam dan level diatasnya. Orang awam mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah)
sebagai kenikmatan yang sekarang sering disebut dengan kesejahteraan. Kebahagiaan
(sa’adah) semacam ini selevel dengan Al-Ladzdzah (kenikmatan). Ladzdzah berasal dari
Bahasa Arab yang bila diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi lezat atau enak.
Menurut Al-Farabi, nikmat, lezat atau enak bukan merupakan kebahagiaan yang sejati tapi
merupakan level awal. Sedangkan kebahagiaan yang dimengerti oleh orang yang levelnya di
atas orang awam lebih bersifat abadi yang tentunya berbeda dengan kebahagiaan yang
dimengerti oleh orang awam. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang terlepas dari
kenikmatan yang bercorak materi atau fisik.

Akan beda halnya bila membandingkan jenis kenikmatan Al-Ladzdzah dengan kenikmatan
dalam memahami ilmu pengetahuan. Karena Ketika manusia dapat memahami suatu teori
atau ilmu pengetahuan, semakin manusia bertambah pemahamannya akan ilmu pengetahuan
tersebut maka semakin manusia akan merasakan kenikmatan. Ini pun salah satu yang
memberdakan antara kenikmatan materi dan non materi, kenikmatan makanan, minuman dan
seks dengan kenikmatan ilmu pengetahuan.

Gradasi kenikmatan untuk tujuan dunia cenderung menurun sedangkan gradasi kenikmatan
untuk tujuan akhirat cenderung meningkat atau bertambah. Oleh karena itu, islam
mengajarkan untuk menaikkan kualitas level makan, minum, seks (hal-hal yang merupakan
kebutuhan dasar manusia) menjadi ibadah. Ketika semua itu menjadi ibadah, maka akan
menghasilkan kualitas kebahagiaan yang lebih abadi.

Konsep kebahagiaan menurut Plato lebih bersifat individual sedangkan Al-Farabi memiliki
konsep kebahagiaan lebih bersifat sosial. Kebahagiaan sosial bisa menjadi sumber
kebahagiaan individual dan kebahagiaan social bisa didapatkan dengan bantuan factor
individu lain. Kebahagiaan social berasal dari kebahagiaan individu yang artinya kebahagiaan
social akan tercapai bila ada kebahagiaan yang dirasakan secara individu. Salah satu cara
mewujudkan kebahagiaan social adalah dengan cara saling bekerja sama demi mencapai
kebahagiaan Bersama atau social.

Al-Farabi membagi kebahagiaan kedalam beberapa kategori, yaitu:

1. Al-Ijtima’ al-fadil (kelompok masyarakat)


2. Al-Madinah al-fadilah (kota)
3. Al-ma’munah al-fadilah (negara)
Daftar Pustaka

Effendi, Rusfian. 2017. Filsafat Kebahagiaan (Plato, Aristoteles, Al-Ghazali, Al-Farabi).


Yogyakarta

Maksum, Ali. 2012. Pengantar Filsafat: dari masa klasik hingga postmodernisme. Jogjakarta:
Ar-Ruzz

Sa’dayef, Arthur. Salum, Taufiq. 2000. Al-Falsafah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah: al-Kalam


wa al-Masysya’iyyah wa alTasawwuf. Beirut-Lebanon: Dar al-Farabi

Soleh, A. Khudori. 2017. Epistemologi Islam: Integrasi Agama, Filsafat, dan Sains dalam
Perspektif Al-Farabi dan Ibn Rusyd. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Anda mungkin juga menyukai