Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Akal merupakan salah satu anugerah Allah SWT yang paling istimewa bagi

manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala

sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa

sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.1 Dalam

perkembangannya, penggunaan akal dan pikiran manusia senantiasa berkembang

ke arah yang lebih maju. Hal tersebut sangat berdampak baik terhadap

perkembangan filsafat dan ilmu pengetahan, tak terkecuali dalam dunia Islam.

Al-Farabi merupakan salah satu tokoh intelektual muslim yang cukup

berpengaruh terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan setelahnya,

dengan teori emanasi dan filsafatnya tentang An-Nafs yang ia cetuskan dan cukup

diterima oleh berbagai kalangan. Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-

Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat

sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof

Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak

sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus

dibangun dengan tekun.2

1
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), 1
2
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), 30
2

B. Rumusan Masalah

Melalui paparan diatas, maka disini penulis mencoba untuk memaparkan

beberapa rumusan masalah:

a. Bagaimanakah konsepsi emanasi menurut al-Farabi?

b. Bagaimanakah konsepsi An-Nafs menurut al-Farabi?

C. Tujuan

Melalui rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai melalui

tulisan ini antara lain:

• Mendeskripsikan pemikiran al-Farabi mengenai konsep teori emanasi.

• Mendeskripsikan pemikiran al-Farabi mengenai filsafat An-Nafs.

D. Manfaat

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan sebagaimana dijelaskan diatas,

maka manfaat dari penulisan makalah ini antara lain:

• Pendalaman wawasan dan pengetahuan mengenai Filsafat Islam,

utamanya dalam hal konsep emanasi dan An-Nafs menurut al-

Farabi.

• Sebagai sedikit sumbangsing utuk pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya Filsafat Islam.

• Sebagai wawasan dan pengetahuan untuk masyarakat,

khususnya bagi yang memiliki minat terhadap bidang kelimuan

Filsafat Islam.
3

BAB II

Pembahasan

A. Riwayat Hidup Al-Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan

bun Uzalagh – al-Farabi. Al Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil dekat farab

Transoxiana, pada tahun 870 M dari ayah seorang jenderal keturunan Turki. Sejak

kecil ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Setelah besar, al-

Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju Baghdad, yang menjadi pusat

pemerintahan dan ilmu pengetahuan saat itu. Di Baghdad ia belajar logika kepada

Abu Bisyr bin Mattius dan ilmu Nahwu kepada Abu Bakar as-Sarraj.3

Dari Baghdad tampaknya al-Farabi pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel

ini, menurut suatu sumber dia tinggal delapan tahun mempelajari seluruh silabus

Filsafat. Pada tahun 941 M ia pindah ke Damsyik dan disini ia mendapat kedudukan

yang baik dari Saifudaulah, Khalifah dinasti Hamdan di Aleppo. Ia menetap di kota

ini sampai wafatnya pada tahun 950 M pada usia 80 tahun. Menurut Louis

Massignon, al-Farabi adalah seorang filsuf Islam pertama yang sesungguhnya.4

Sebelum dia, memang al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia

Islam. Namun al-Kindi tidak menciptakan sistem filsafat tertentu dan persoalan-

persoalan yang dibicarakannnya masih banyak yang belum dipecahkan secara

memuaskan. Al-Farabi lah yang menciptakan sistem filsafat yang lengkap dan

3
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 29
4
Ibid., 30
4

memainkan peranan penting dalam dunia Islam seperti peranan Plotinus dalam

dunia Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filsuf-

filsuf islam lain setelahnya, sehingga ia mendapat gelar sebagai “Guru Kedua” (al-

Mu’allim al-tsani), sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar “Guru

Pertama” (al-Mu’allim al-awwal).5

Al-Farabi cukup produktif dalam melahirkan karya tulis.Di antara karangan-

karangannya, yaitu: Aghradu ma Ba’da at-Thabi’ah (intisari buku tentang

metafisika), al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (mempertemukan pendapat kedua

filsuf, maksudnya Plato dan Aristoteles), Tahsil as-Sa’adah (Mencari

Kebahagiaan). ‘Uyun al-Masail (Pokok-pokok Persoalan), Ara-u Ahlil Madinah al-

Fadhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Negeri Utama), dan ihsha’u al-Ulum (Statistik

Ilmu).6

B. Pemikiran Al-Farabi Tentang Emanasi

Sebelum berbicara mengenai konsep emanasi menurut al-Farabi, maka konsep

al-Farabi mengenai filsafat metafisika perlu untuk dipahami, karena hal tersebut

sangat mempengaruhi al-Farabi sendiri dalam merumuskan konsep Emanasinya.

Menurut al-Farabi, kajian metafisika terdiri atas tiga hal. Pertama, ontologi, yaitu

segala sesuatu yang berkaitan dengan wujud dan sifat-sifatnya sepanjang berupa

wujud-wujud. Kedua, prinsip-prinsip demonstrasi, dalam rangka menetapkan

materi subjek ilmu teoritis. Ketiga, wujud non materi, yaitu wujud-wujud yang

bukan merupakan benda dan tidak dalam benda. Wujud yang ketiga ini, antara lain,

5
Ibid
6
Ibid
5

berupa bilangan-bilangan. Menurut al-Farabi, bilangan termasuk wujud non-materi,

karena ia hanya ada dalam pikiran sebagai pengetahuan-pengetahuan dan lepas dari

atribut-atribut aksidental serta ikatan-ikatan material. 7

1. Bentuk Dan Realitas:

Menurut al-Farabi, realitas yang ada ini, dari bentuknya, dapat dibagi dalam

dua bagian: wujud-wujud spiritual dan wujud-wujud material. Wujud-wujud

spiritual sendiri yang merupakan realitas non-materi, terdiri atas enam tingkatan.

Tingkat pertama adalah Allah SWT. Sebagai sebab pertama (al-sabab al-awwal)

yang dari-Nya muncul intelek pertama penggerak langit pertama. Tingkat kedua

adalah intelek-intelek terpisah (al- ‘uqul al-mufaqirah) yang terdiri atas sembilan

intelek, dimulai dari intelek pertama penggerak langit pertama sampai pada intelek

kesembilan penggerak planet bulan. Tingkat kedua ini sepenuhnya berupa malaikat

langit. Tingkat ketiga adalah intelek aktif (al- ‘aql al-fa’al) yang bertindak sebagai

penghubung antara alam atas dan bawah, antara realitas spiritual dan realitas

material. Tingkat keempat adalah jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah), sedangkat

tingkat kelima dan keenam masing-masing adalah bentuk (shurah) dan materi

(hayula). Hayula adalah materi pembentuk benda dan bersifat non-fisik, sedangkan

shurah adalah bentuk konkret dari hayula.8

Menurut al-Farabi, tiga tingkat pertama dalam realitas spiritual, yaitu Allah,

intelek-intelek terpisah, dan intelek aktif, merupakan wujud-wujud spiritual murni

7
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), 111
8
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), 115
6

yang sama sekali tidak berkaitan dengan bentuk-bentuk material; sedangkan tiga

tingkat terakhir, yaitu jiwa manusia, bentuk, dan hayula, ketiganya berhubungan

dengan materi meski substansi ketiganya sendiri tidak bersifat material. Disamping

itu, tingkat kedua dan ketiga terpancar dan berhubungan dengan Tuhan secara

langsug tanpa perantara, seperti sinar matahari dengan zatnya sehingga tindakan-

tindakannya dinilai sebagai sebaik-baik tindakan alam eksistensi. Sementara itu,

tiga tingkatan yang terakhir tidak berhubungan dengan Tuhan secara langsung

tetapi lewat perantara intelek sehingga tingkatannya berada di bawah intelek.

Adapun realitas-realitas material terdiri atas enam tingkat: (1) benda-benda

langit , (2) jasad manusia, (3) binatang, (4) tumbuhan, (5) mineral, (6) unsur-unsur

pembentuk yang terdiri atas empat unsur: udara, api, air dan tanah.

Dua bentuk realitas wujud (spiritual dan material) diatas tidak berdiri sendiri,

tetapi saling kait dan berhubungan . Menurut al-Farabi, realitas spiritual merupakan

pendahulu bagi realitas material. Dikatakan pendahulu atau lebih dahulu karena

wujud-wujud spiritual merupakan sebab bagi wujud-wujud material. Bagi al-

Farabi, sesuatu dikatakan lebih dahulu atau mendahului jika memenuhi salah satu

dari lima hal: (1) dalam waktu, (2) sifat, (3) peringkat, (4) keutamaan , kemuliaan

dan kesempurnaan, dan (5) merupakan sebab bagi yang lain. Sebab, disini mengacu

pada sebab material, formal, efisian, atau final dari suatu wujud tertentu, baik

merupakan sebab dekat atau jauh, esensial atau aksidental, universal atau partikular,

aktual atau potensial. Sebagai contoh, materi awal dianggap lebih dulu dari benda-
7

benda langit karena secara kronologis ia lebih dahulu sekaligus merupakan sebab

bagi benda-benda tersebut, meski tidak lebih utama darinya. 9

Selanjutnya, dari sifatnya, realitas wujud terbagi dalam dua bagian: wujud

potensial dan wujud aktual. Menurut al Farabi, suatu benda akan tetap menjadi

sebuah entitas potensial sepanjang masih berupa materi tanpa bentuk. Bentuklah

yang membuat suatu wujud menjadi aktual. Karena itu, menurut al Farabi bentuk

adalah prinsip ontologis yang lebih unggul daripada materi karena bentuk yang

mengaktualkan materi. Dan bersamaan dengan itu, wujud potensial bersifat

kontingen sedangkan wujud aktual bersifat pasti.10

Menurut al Farabi, semua benda pada awalnya hanya bersifat potensial. Tidak

ada satu pun benda yang muncul secara aktual sejak dari sebelumnya. Pada

permulaannya, ia hanya ada secara potensial dalam zat diri Tuhan atau materi utama

universal, suatu eksistensi non-fisik yang merupakan produk abadi materi langit.

Dari Zat diri Tuhan keluar intelek pertama dan seterusnya, sedangkan dari materi

pertama muncul “sumber” wujud-wujud material, yaitu api, udara, air dan tanah.

Selanjutnya, dari campuran keempat materi awal tersebut muncul benda-benda

lainnya sehingga wujud-wujud potensial memperoleh eksistensianya secara aktual.

Konsep Al-Farabi tentang empat materi awal ini mengingatkan kita pada pemikiran

para fulsuf Yunani kuno, seperti Thales (625-546 SM), Anaximandros (611-547

SM), Anaximenes (570-500 SM), dan Heraclitus (540-480 SM). Menurut Thales,

9
Ibid, 116
10
Ibid, 117
8

zat pencitpa alam adalah air, menurut Anaximandros zat pencipta adalah udara,

menurut Anaximenes adalah tanah, dan menurut Heraclitus adalah api.11

Teori potensi al-Farabi tersebut memang pada kemudian hari diulang oleh Ibn

Arabi dua abad kemudian. Menurutnya, semua yang ada dalam semesta (wujud-

wujud aktual), dalam segala keadaanya, pada awalnya telah ada secara potensial

dalam ilmu Tuhan yang disebut al-a’yan al-tsabitah. Tidak ada satu pun yang lepas

dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan dari permulaannya. Realitas-realitas

aktual tidak lain adalah aktualisasi dari al-a’yan al-tsabitah tersebut sehingga apa

yang ada dalam pikiran Tuhan tidak berbeda dengan entitas-entitas yang tampak riil

dalam semesta. Satu-satunya yang membedakan hanya dari aspek kualitas, yaitu

bahwa realitas potensial dalam pikiran Tuhan tidak berwujud konkret dan bebas

dari ruang dan waktu, sedangkan yang disebut kedua bersifat konkret serta terikat

dengan ruang dan waktu.

Selanjutnya, wujud-wujud aktual tersebut oleh al-Farabi diklasifikasikan

dalam tiga kelompok: wujud-wujud alami, wujud-wujud hasrati dan wujud-wujud

alami dan hasrati sekaligus. Wujud alami adalah wujud-wujud yang eksistensinya

tidak disebabkan oleh kehendak manusia, seperti mineral, tumbuhan dan

binatangan; wujud hasrati adalah wujud-wujud yang bentuk eksistensinya

disebabkan oleh kehendak manusia, seperti kedisplinan dan perbuatan-perbuatan

manusia yang merupakan produk dari pilihan-pilihan; wujud campuran adalah

11
Ibid, 117
9

wujud-wujud yang dihasilkan dari gabungan alam dan kehendak manusia, seperti

pertanian dan industri.12

Menurut al-Farabi, wujud hasrati mencakup juga keadaan-keadaan jiwa

manusia, kegiatan-kegiatan spiritual, mental dan fisik manusia. Apa yang dimaksud

sebagai keadaan jiwa adalah kebaikan dan kejahatan. Kebajikan adalah keadaan

jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik,

sedangkan kejahatan adalah keadaan jiwa yang mendorong melakukan perbuatan-

perbuatan jahat. Manusia bisa tampil baik dan jahat karena jiwanya merangkum

semua bentuk jiwa, mulai dari jiwa irasional binatang hingga jiwa intelek-intelek

metafisik sehingga kualitas jiwa manusia dan aktivitasnya merentang dari jenis jiwa

terendah sampai jenis tertinggi.

Meski demikian, dalam perspektif ontologis, kegiatan intelektual manusia tetap

lebih rendah dibandingkan kegiatan intelektual wujud-wujud matafisis. Objek

kegiatan manusia memang lebih rendah, meski ia bisa berfikir seperti jiwa wujud

metafisis, tetap saja objek kajiannya tidak beranjak dari benda-benda bumi atau

sesuatu yang tidak sejauh dari itu. Kegiatan manusia hanya dapat dijalankan dengan

bantuan berbagai alat. Artinya, menudia membutuhkan bantuan materi dalam upaya

merealiasasikan kegiatannya, berbeda dengan kegiatan wujud metafisis yang tidak

butuh.13

Akan tetapi, dibanding dengan kegiatan binatang yang tidak berfikir, secara

umum, aktivitas manusia tetap lebih unggul. Jiwa berpikir yang merupakan jiwa

12
Ibid, 118
13
Ibid 119
10

paling utama kegiatan spiritual dan rasional manusia menjadi lebih unggul. Bahkan,

dalam jenis kegiatan ini, yang sama-sama dimiliki manusia dan binatang, aktivitas

manusia tetap superior karena secara umum apa yang dilakukan manusia tidak

sembarangan, tetapi atas dasar pilihan-pilihan dan karakter moral sehingga

merupakan tindakan-tindakan terdefinisi dan tertentu. Aktivitas manusia, sebagai

individu dan kolektif, mencerminkan tingkat organisasi dan kesengajaan lebih

tinggi dibanding aktivitas binatang. Jelasnya, aktivitas manusia, meski tidak bisa

menyamai derajat wujud metafisis, tetapi ia tetap lebih tinggi daripada binatang,

karena hasrat yang disebut pilihan, yang muncul dari pertimbangan rasional.

2. Definisi Emanasi:

Dalam penciptaan alam semesta banyak para ahli berbeda pandangan.

Perbedaan pandangan itu terletak pada dua persoalan yakni apakah alam ini ada

karena memang sudah ada? ataukah ada karena ada yang menciptakan?. Apabila

ada yang menciptakan bagaimanakah proses penciptaannya itu?, tentu ini menjadi

hal yang menarik dikalangan para pemikir filsafat, sebab hal ini menjadi satu soal

yang harus dikaji kebenarannya.

Banyak para filosof barat yang memberikan pandangannya mengenai

penciptaan alam semesta ini, hingga muncullah beberapa teori salah satunya yang

paling menarik dan terkenal dalam dunia filsafat adalah teori emanasi. Teori ini,

menarik banyak perhatian para filosof muslim, karena konsep sederhananya

tidaklah menyimpang dari ajaran Islam meskipun argumennya sangat sulit

dipahami bagi manusia awam.


11

Kata emanasi, dalam bahasa Inggris disebut emanation yang berarti proses

munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan substansinya sama

dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses

terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat

jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni

Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini

merupakan bagian dari Tuhan.14

Jadi, dalam teori ini, ditegaskan bahwa Allah sebagai Tuhan memberikan

pancaran, sehingga terwujudlah alam ini sebagai hasil dari pancaran tersebut. Dan

itu terjadi dengan beberapa proses.

3. Konsepsi Emanasi menurut Al-Farabi:

Sebenarnya, al-Farabi menemui kesulitan bagaimana terjadinya yang

banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan

Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan

penggerak pertama (Prime Cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles.

Sementara dalam Islam, Allah adalah Pencipta, yang menciptakan dari tidak ada

menjadi ada (Creito ex Nihilo). Untuk meng-Islamkan doktrin ini, al-Farabi

mencari bantuan pada doktrin Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan

demikian, Tuhan Penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang

menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan maksud,

Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energy yang

14
Grald Collins, S.J. dan Edward E Ferrugi SJ, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991)
12

qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Oleh

karenanya, menurut Filosof Muslim, kun Allah yang termaktub dalam Al-Qur`an

ditujukkan kepada syai’ (sesuatu) bukan kepada la syai’ (tidak ada sesuatu).15

Emanasi dalam pemikiran al-Farabi adalah Tuhan sebagai akal, berpikir

tentang diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul suatu maujud lain. Tuhan itu adalah

wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunya

substansi. Itu disebut dengan Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua

ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga.

Proses ini terus berlangsung hingga pada akal X.

Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :

1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.

2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.

3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).

4. Benda-benda bumi (teresterial).16

Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang

banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh

dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian

hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang

Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-

15
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), 74
16
Osman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1997) 118
13

Farabi.17 Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir

tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan

wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai

substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi.

Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah

wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir

tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.

• Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-

bintang),

• Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet

Saturnus,

• Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni

Planet Jupiter,

• Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni

Planet Mars,

• Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni

Matahari,

• Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni

Planet Venus,

• Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni

Planet Mercurius,

17
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme (Jakarta: bulan bintang, 1978), 27
14

• Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni

Bulan.

Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya

akal-akal .Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi

pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.18 Sepuluh

lingkaran geosentris yang disusun oleh al-Farabi berdasarkan sistem Ptolomeus.19

Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Sina.20 Teori pengetahuan dan juga filsafat

manusia serta filsafat kenabian diturunkan dari teori emanasi ini. Dalam risalahnya

yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan berjudul Ihsha’ al-Ulum, al-

Farabi memandang kosmologi sebagai cabang metafisika. Ia juga berpendapat

bahwa kosmologi mungkin diturunkan dari prinsip-prinsip sains partikular.21 Al-

Farabi juga berpandangan bahwa penguasaan matematika tidak dapat

dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang tepat mengenai

pengetahuan-pengetahuan spiritual. Kemampuan al-Farabi di bidang matematika

inipun mendapatkan posisi terkemuka di kalangan filosof Islam.22

Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama

dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al Kindi, jika terdapat

perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-

18
Ibid, 28
19
JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam islam (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 35
20
Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan bintang, 1975), 103
21
Osman Bakar, Tawhid and Science : Essasy on the History and Philosophy Of Islamic
Science, terj. Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains Esai-esai tentang Sejarah dan
Filsafat Sains Islam (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1994), 85
22
Ibid
15

Kindi memilih wahyu. 23Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan

kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda.

Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan

antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama pengadaan

keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-

dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran

Islam.24Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap pemikiran Yunani. Al-

Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak keberadaan

ide-ide Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan

tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan

masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi

mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud Pertama.25

Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan. Tentang

Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang Tuhan sebagai

sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-

Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi. Disini ia menjelaskan munculnya

segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional.

Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis, dan

dari sudut pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bid’ah). 26

23
CA Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, Routledge, 1988, 84
24
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta : UI Press, 1986), 83
25
Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996), 30
26
Majid Fakhry, A History Of Islamic Philosophy, Columbia University Press, 2004, 177
16

Al-Farabi membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan

konsep yang disertai keputusan pikiran (judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada

yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak

mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang, lebar dan dalam

tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada setiap konsep, melainkan

harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang tidak mungkin

dibayangkan adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib

dan mungkin. Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya,

karena konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang jelas dan benar

dan terdapat dalam pikiran. Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka

diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya.

Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu

adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti baru. Ini

adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal, seperti halnya

dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian.

Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan yang bisa

dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dari

padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas dengan sendirinya. Juga

hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar

aksioma.27

Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;

27
Nadim al-Jisr, Qissatul Iman (Kisah Mencari Tuhan). Terj. A. Hanafi (Jakarta: bulan bintang,
1976), 58
17

1. Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.

2. Pokok utama segala yang maujud

3. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.

Dalam pandangan Aristoteles hakikat sesuatu terdiri dari materi (hule) dan

bentuk (form). Materi tidak akan dapat diketahui hakikatnya kalau belum ada

bentuknya. Namun antara materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Misalnya

papan tulis yang dibikin dari kayu. Kayu adalah materinya dan bangunan papan

bersegi empat itulah bentuknya. Dengan adanya bentuk dapat diketahui hakikat.

Begitu pula dengan kursi meja dan sebagainya memberi bentuk kepada materi kayu

sesuai dengan apa yang kita lihat. Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa bentuk

berubah-ubah, tetapi sebenarnya materilah yang berubah-ubah dalam arti berubah

untuk mendapatkan bentuk-bentuk tertentu.28

Dalam Fushus al-Hikmah, al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan

wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu.

Terdapat dua macam zat ;Pertama yang wajib ada. Aristoteles membagi obyek

metafisika kepada dua yaitu ; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi. Pengaruh

Aristoteles kepada al Farabi begitu terlihat. Pembahasan mengenai yang ada, yang

ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan

semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-

murninya. Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat

28
Yunasril Ali, Perkembangan pemikiran falsafah dalam Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
43
18

terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah

barang sesuatu itu memang sungguhsungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir

demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang

sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang tidak

tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai nisbi.

Dasar piramida falsafah yang diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini segera

dilanjutkan pembangunannya oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru Kedua

ini mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali lagi

serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.29 Al-Farabi seperti Aristoteles

membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa

kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan : Kayu sebagai materi

mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya.

Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk,

misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya. Dengan cara berpikir

demikian, Al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir pada zamannya. Ciri

rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu

kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk

hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak

didasari oleh dalil-dalil. Jadi argumentasi itu penting sekali dari pada hanya

mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak terjadi di

kalangan umat Islam.

29
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), 31
19

Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi.

1. Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reasonable)

dan utama dalam bahasa (percakapan) sehari-hari dan yang disebut oleh Aristoteles

phironesis (al-ta’aqqul).

2. Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau

larangan tindakan-tindakan umum tertentu dan yang sebagian identik dengan

pikiran sehat (common sense- indria bersama).

3. Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriora

sebagai kecakapan memahami prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara instingtif

dan intuitif.

4. Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkinkan

kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui kecakapan

intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar dan salah.

5. Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang

oleh Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya terutama

dalam soal logika, dan juga metafisika.

6. Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak

berkesinambungan dan tidak juga konstan, ini tidaklah disebabkan oleh adanya

kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh kenyataan bahwa materi,

dimana dia harus beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau kecendrungan
20

untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena

beberapa rintangan atau yang lainnya30

C. Filsafat An Nafs Menurut Al-Farabi

Filsafat Plato, Aristoteles serta Plotinus, mempengaruhi pandangan al-

Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah

adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.

Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara

jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Dalam

jiwa manusia mempunyai daya gerak (makan, memelihara, berkembang), daya

mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara

daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa,

al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa

yang mendapatkan kebahagiaan, karena ia bisa melepaskan diri dari kenikmatan

jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini

adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur seiring

hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi dalam kesengsaraan.31

Al-Farabi membagi jiwa kepada tiga bagian:

a. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan

berkembang biak.

30
Madjid Fakhry, A History Of Islamic Philosophy, Columbia University Press, 2004 181-183
31
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002), 40
21

b. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat

ke tempat dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi

dua:

a. Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba.

b. Dan Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari:

i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang

diperoleh pancaindra.

ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar

dari materi.

iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar tersebut

iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang

terlindung dalam gambar-gambar tersebut.

v. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu

c. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir

yang disebut akal. Akal terbagi dua:

1. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari

materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa

binatang.

2. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak

pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis

kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas

bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal
22

itu. Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang

diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau

ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai

empat tingkatan:

1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap

arti- arti murni.

2. Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni

3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni

4. Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap arti-arti

murni.32

Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan memiliki filosof-filosof.

Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui

Akal X ke Bumi. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang

tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang

yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia

yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam

hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan

manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan

bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah tubuh

manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah

32
Maftukhin, Filsafat Islam (Yogyakarta: Teras, 2012), 101
23

jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan

hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.

Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap

ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia,

karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal

untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya

makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai

kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa

menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.

Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena

keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya,

Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan

kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas, fungsinya

tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani.

Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau

jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika

ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan

mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam

keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.


24

BAB III

Kesimpulan

Dari Pembahasan pada bab pembahasan diatas, maka disini penulis mencoba

untuk mengambil beberapa simpulan, baik itu terkait mengenai al-Farabi sendiri,

teori emanasi dan konsep filsafatnya mengenai An-Nafs, yang antara lain adalah:

• Al-Farabi merupakan filosof Islam yang mengkaji filsafat secara mendalam

dengan berbagai macam keilmuan yang dikuasainya dari berbagai macam dimensi.

Gelar “guru kedua” yang didapatkannya dalam dunia Islam membuktikan

kedalamannya dalam kajian filsafat tersebut. Meskipun al-Kindi merupakan filosof

Islam pertama yang mengkaji tentang Tuhan secara mendalam, namun al-Farabi

memberikan sumbangsih penting dengan teori Emanasi yang mengkaji tentang

bagaimana mencipta alam semesta dengan lebih mendalam.

• Teori emanasi yang dirumuskan oleh al-Farabi tidak terlepas dari

pemahaman al-Farabi mengenai filsafat, lebih khususnya dalam hal metafisika.

Pemahaman al-Farabi mengenai realitas, baik itu realitas yang bersifat spiritual

maupun material sangat memberikan pengaruh besar dalam teori emanasi tersebut.

• Teori emanasi secara umum mencoba untuk menjelaskan terciptanya alam

semesta dari Tuhan yang satu. Dengan filsafat emanasi Al-Farabi mencoba

menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Proses Emanasi

tersebut berlangsung melalui proses pancaran dari Tuhan sebagai akal yang

kemudian bersfikir dengan menghasilkan wujud-wujud yang lain dari yang paling
25

kompleks hingga yang paling sederhana, dari yang non-material hingga yang

material.

• Filsafat An-Nafs dalam konsep al-Farabi banyak berbicara tentang bagai

struktur jiwa dengan berbagai macam pengkategorisasian. Namun pembahasan al-

Farabi lebih banyak menyoroti alam jiwa yang terkandung pada jiwa manusia.

Lebih khusus, kajian al-Farabi mengenai An-Nafs banyak berbicara mengenai akal,

yang tak dapat dipungkiri al-Farabi memandang begitu pentingnya penggunaan

akal untuk mencapai kesempurnaan jiwa.


26

Daftar Pustaka:

Ali, Yunasril. Perkembangan pemikiran falsafah dalam Islam. Jakarta: Bumi


Aksara, 1991.
al-Jisr, Nadim. Qishshatul Iman (Kisah Mencari Tuhan). Terj. A. Hanafi. Jakarta:
bulan bintang, 1976.
Bakar, Osman. Tawhid and Science : Essasy on the History and Philosophy Of
Islamic Science alih bahasa Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains Esai-esai tentang
Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Jakarta : Pustaka Hidayah, 1994.
Bakar, Osman Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan, 1997.
Bakker SY, JMW. Sejarah Filsafat dalam islam. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Collins, Grald S.J. dan Edward E Ferrugi SJ, Kamus Teologi. Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
Fakhry, Majid. A History Of Islamic Philosophy. Columbia University Press,
2004.
Hoesin, Oemar Amin. Filsafat Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1975.
Maftukhin. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras, 2012.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Nurcholish Islam. Jakarta : Bulan
Bintang, 1984.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme. Jakarta: bulan bintang, 1978.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta : UI Press, 1986.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Qadir, CA. Philosophy and Science in The Islamic World. Routledge, 1988.
Soleh, Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013.
Yazdi, Mehdi Ha’iri. Ilmu Hudhuri. terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan,
1996.
Zaprulkhan. Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Zar, Sirajuddin. Filsafat IslamFilosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012.

Anda mungkin juga menyukai