BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Akal merupakan salah satu anugerah Allah SWT yang paling istimewa bagi
manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala
sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa
sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.1 Dalam
ke arah yang lebih maju. Hal tersebut sangat berdampak baik terhadap
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahan, tak terkecuali dalam dunia Islam.
dengan teori emanasi dan filsafatnya tentang An-Nafs yang ia cetuskan dan cukup
diterima oleh berbagai kalangan. Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-
sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof
Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus
1
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), 1
2
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), 30
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Melalui rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai melalui
D. Manfaat
Farabi.
Filsafat Islam.
3
BAB II
Pembahasan
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan
bun Uzalagh – al-Farabi. Al Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil dekat farab
Transoxiana, pada tahun 870 M dari ayah seorang jenderal keturunan Turki. Sejak
kecil ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Setelah besar, al-
pemerintahan dan ilmu pengetahuan saat itu. Di Baghdad ia belajar logika kepada
Abu Bisyr bin Mattius dan ilmu Nahwu kepada Abu Bakar as-Sarraj.3
ini, menurut suatu sumber dia tinggal delapan tahun mempelajari seluruh silabus
Filsafat. Pada tahun 941 M ia pindah ke Damsyik dan disini ia mendapat kedudukan
yang baik dari Saifudaulah, Khalifah dinasti Hamdan di Aleppo. Ia menetap di kota
ini sampai wafatnya pada tahun 950 M pada usia 80 tahun. Menurut Louis
Sebelum dia, memang al-Kindi telah membuka pintu filsafat Yunani bagi dunia
Islam. Namun al-Kindi tidak menciptakan sistem filsafat tertentu dan persoalan-
memuaskan. Al-Farabi lah yang menciptakan sistem filsafat yang lengkap dan
3
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 29
4
Ibid., 30
4
memainkan peranan penting dalam dunia Islam seperti peranan Plotinus dalam
dunia Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filsuf-
filsuf islam lain setelahnya, sehingga ia mendapat gelar sebagai “Guru Kedua” (al-
Mu’allim al-tsani), sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar “Guru
Ilmu).6
al-Farabi mengenai filsafat metafisika perlu untuk dipahami, karena hal tersebut
Menurut al-Farabi, kajian metafisika terdiri atas tiga hal. Pertama, ontologi, yaitu
segala sesuatu yang berkaitan dengan wujud dan sifat-sifatnya sepanjang berupa
materi subjek ilmu teoritis. Ketiga, wujud non materi, yaitu wujud-wujud yang
bukan merupakan benda dan tidak dalam benda. Wujud yang ketiga ini, antara lain,
5
Ibid
6
Ibid
5
karena ia hanya ada dalam pikiran sebagai pengetahuan-pengetahuan dan lepas dari
Menurut al-Farabi, realitas yang ada ini, dari bentuknya, dapat dibagi dalam
spiritual sendiri yang merupakan realitas non-materi, terdiri atas enam tingkatan.
Tingkat pertama adalah Allah SWT. Sebagai sebab pertama (al-sabab al-awwal)
yang dari-Nya muncul intelek pertama penggerak langit pertama. Tingkat kedua
adalah intelek-intelek terpisah (al- ‘uqul al-mufaqirah) yang terdiri atas sembilan
intelek, dimulai dari intelek pertama penggerak langit pertama sampai pada intelek
kesembilan penggerak planet bulan. Tingkat kedua ini sepenuhnya berupa malaikat
langit. Tingkat ketiga adalah intelek aktif (al- ‘aql al-fa’al) yang bertindak sebagai
penghubung antara alam atas dan bawah, antara realitas spiritual dan realitas
tingkat kelima dan keenam masing-masing adalah bentuk (shurah) dan materi
(hayula). Hayula adalah materi pembentuk benda dan bersifat non-fisik, sedangkan
Menurut al-Farabi, tiga tingkat pertama dalam realitas spiritual, yaitu Allah,
7
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), 111
8
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), 115
6
yang sama sekali tidak berkaitan dengan bentuk-bentuk material; sedangkan tiga
tingkat terakhir, yaitu jiwa manusia, bentuk, dan hayula, ketiganya berhubungan
dengan materi meski substansi ketiganya sendiri tidak bersifat material. Disamping
itu, tingkat kedua dan ketiga terpancar dan berhubungan dengan Tuhan secara
langsug tanpa perantara, seperti sinar matahari dengan zatnya sehingga tindakan-
tiga tingkatan yang terakhir tidak berhubungan dengan Tuhan secara langsung
langit , (2) jasad manusia, (3) binatang, (4) tumbuhan, (5) mineral, (6) unsur-unsur
pembentuk yang terdiri atas empat unsur: udara, api, air dan tanah.
Dua bentuk realitas wujud (spiritual dan material) diatas tidak berdiri sendiri,
tetapi saling kait dan berhubungan . Menurut al-Farabi, realitas spiritual merupakan
pendahulu bagi realitas material. Dikatakan pendahulu atau lebih dahulu karena
Farabi, sesuatu dikatakan lebih dahulu atau mendahului jika memenuhi salah satu
dari lima hal: (1) dalam waktu, (2) sifat, (3) peringkat, (4) keutamaan , kemuliaan
dan kesempurnaan, dan (5) merupakan sebab bagi yang lain. Sebab, disini mengacu
pada sebab material, formal, efisian, atau final dari suatu wujud tertentu, baik
merupakan sebab dekat atau jauh, esensial atau aksidental, universal atau partikular,
aktual atau potensial. Sebagai contoh, materi awal dianggap lebih dulu dari benda-
7
benda langit karena secara kronologis ia lebih dahulu sekaligus merupakan sebab
Selanjutnya, dari sifatnya, realitas wujud terbagi dalam dua bagian: wujud
potensial dan wujud aktual. Menurut al Farabi, suatu benda akan tetap menjadi
sebuah entitas potensial sepanjang masih berupa materi tanpa bentuk. Bentuklah
yang membuat suatu wujud menjadi aktual. Karena itu, menurut al Farabi bentuk
adalah prinsip ontologis yang lebih unggul daripada materi karena bentuk yang
Menurut al Farabi, semua benda pada awalnya hanya bersifat potensial. Tidak
ada satu pun benda yang muncul secara aktual sejak dari sebelumnya. Pada
permulaannya, ia hanya ada secara potensial dalam zat diri Tuhan atau materi utama
universal, suatu eksistensi non-fisik yang merupakan produk abadi materi langit.
Dari Zat diri Tuhan keluar intelek pertama dan seterusnya, sedangkan dari materi
pertama muncul “sumber” wujud-wujud material, yaitu api, udara, air dan tanah.
Konsep Al-Farabi tentang empat materi awal ini mengingatkan kita pada pemikiran
para fulsuf Yunani kuno, seperti Thales (625-546 SM), Anaximandros (611-547
SM), Anaximenes (570-500 SM), dan Heraclitus (540-480 SM). Menurut Thales,
9
Ibid, 116
10
Ibid, 117
8
zat pencitpa alam adalah air, menurut Anaximandros zat pencipta adalah udara,
Teori potensi al-Farabi tersebut memang pada kemudian hari diulang oleh Ibn
Arabi dua abad kemudian. Menurutnya, semua yang ada dalam semesta (wujud-
wujud aktual), dalam segala keadaanya, pada awalnya telah ada secara potensial
dalam ilmu Tuhan yang disebut al-a’yan al-tsabitah. Tidak ada satu pun yang lepas
aktual tidak lain adalah aktualisasi dari al-a’yan al-tsabitah tersebut sehingga apa
yang ada dalam pikiran Tuhan tidak berbeda dengan entitas-entitas yang tampak riil
dalam semesta. Satu-satunya yang membedakan hanya dari aspek kualitas, yaitu
bahwa realitas potensial dalam pikiran Tuhan tidak berwujud konkret dan bebas
dari ruang dan waktu, sedangkan yang disebut kedua bersifat konkret serta terikat
alami dan hasrati sekaligus. Wujud alami adalah wujud-wujud yang eksistensinya
11
Ibid, 117
9
wujud-wujud yang dihasilkan dari gabungan alam dan kehendak manusia, seperti
manusia, kegiatan-kegiatan spiritual, mental dan fisik manusia. Apa yang dimaksud
sebagai keadaan jiwa adalah kebaikan dan kejahatan. Kebajikan adalah keadaan
perbuatan jahat. Manusia bisa tampil baik dan jahat karena jiwanya merangkum
semua bentuk jiwa, mulai dari jiwa irasional binatang hingga jiwa intelek-intelek
metafisik sehingga kualitas jiwa manusia dan aktivitasnya merentang dari jenis jiwa
kegiatan manusia memang lebih rendah, meski ia bisa berfikir seperti jiwa wujud
metafisis, tetap saja objek kajiannya tidak beranjak dari benda-benda bumi atau
sesuatu yang tidak sejauh dari itu. Kegiatan manusia hanya dapat dijalankan dengan
bantuan berbagai alat. Artinya, menudia membutuhkan bantuan materi dalam upaya
butuh.13
Akan tetapi, dibanding dengan kegiatan binatang yang tidak berfikir, secara
umum, aktivitas manusia tetap lebih unggul. Jiwa berpikir yang merupakan jiwa
12
Ibid, 118
13
Ibid 119
10
paling utama kegiatan spiritual dan rasional manusia menjadi lebih unggul. Bahkan,
dalam jenis kegiatan ini, yang sama-sama dimiliki manusia dan binatang, aktivitas
manusia tetap superior karena secara umum apa yang dilakukan manusia tidak
tinggi dibanding aktivitas binatang. Jelasnya, aktivitas manusia, meski tidak bisa
menyamai derajat wujud metafisis, tetapi ia tetap lebih tinggi daripada binatang,
karena hasrat yang disebut pilihan, yang muncul dari pertimbangan rasional.
2. Definisi Emanasi:
Perbedaan pandangan itu terletak pada dua persoalan yakni apakah alam ini ada
karena memang sudah ada? ataukah ada karena ada yang menciptakan?. Apabila
ada yang menciptakan bagaimanakah proses penciptaannya itu?, tentu ini menjadi
hal yang menarik dikalangan para pemikir filsafat, sebab hal ini menjadi satu soal
penciptaan alam semesta ini, hingga muncullah beberapa teori salah satunya yang
paling menarik dan terkenal dalam dunia filsafat adalah teori emanasi. Teori ini,
Kata emanasi, dalam bahasa Inggris disebut emanation yang berarti proses
terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat
jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni
Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini
Jadi, dalam teori ini, ditegaskan bahwa Allah sebagai Tuhan memberikan
pancaran, sehingga terwujudlah alam ini sebagai hasil dari pancaran tersebut. Dan
banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan
Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan
Sementara dalam Islam, Allah adalah Pencipta, yang menciptakan dari tidak ada
menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan maksud,
Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energy yang
14
Grald Collins, S.J. dan Edward E Ferrugi SJ, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991)
12
qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Oleh
karenanya, menurut Filosof Muslim, kun Allah yang termaktub dalam Al-Qur`an
ditujukkan kepada syai’ (sesuatu) bukan kepada la syai’ (tidak ada sesuatu).15
tentang diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul suatu maujud lain. Tuhan itu adalah
wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunya
substansi. Itu disebut dengan Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua
ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga.
banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh
dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian
hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang
Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-
15
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), 74
16
Osman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1997) 118
13
Farabi.17 Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir
tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan
wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai
substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi.
Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah
wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir
• Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-
bintang),
Saturnus,
Planet Jupiter,
Planet Mars,
Matahari,
Planet Venus,
Planet Mercurius,
17
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme (Jakarta: bulan bintang, 1978), 27
14
Bulan.
akal-akal .Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi
pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.18 Sepuluh
Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Sina.20 Teori pengetahuan dan juga filsafat
manusia serta filsafat kenabian diturunkan dari teori emanasi ini. Dalam risalahnya
yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan berjudul Ihsha’ al-Ulum, al-
dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al Kindi, jika terdapat
perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-
18
Ibid, 28
19
JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam islam (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 35
20
Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan bintang, 1975), 103
21
Osman Bakar, Tawhid and Science : Essasy on the History and Philosophy Of Islamic
Science, terj. Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains Esai-esai tentang Sejarah dan
Filsafat Sains Islam (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1994), 85
22
Ibid
15
Kindi memilih wahyu. 23Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan
antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama pengadaan
keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-
Islam.24Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap pemikiran Yunani. Al-
ide-ide Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan
tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan
masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi
Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan. Tentang
sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-
Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi. Disini ia menjelaskan munculnya
segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional.
Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis, dan
23
CA Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, Routledge, 1988, 84
24
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta : UI Press, 1986), 83
25
Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996), 30
26
Majid Fakhry, A History Of Islamic Philosophy, Columbia University Press, 2004, 177
16
Al-Farabi membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan
konsep yang disertai keputusan pikiran (judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada
yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak
tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada setiap konsep, melainkan
harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang tidak mungkin
dibayangkan adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib
dan mungkin. Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya,
diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya.
Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu
adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti baru. Ini
adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal, seperti halnya
dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian.
Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan yang bisa
dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dari
padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas dengan sendirinya. Juga
aksioma.27
27
Nadim al-Jisr, Qissatul Iman (Kisah Mencari Tuhan). Terj. A. Hanafi (Jakarta: bulan bintang,
1976), 58
17
Dalam pandangan Aristoteles hakikat sesuatu terdiri dari materi (hule) dan
bentuk (form). Materi tidak akan dapat diketahui hakikatnya kalau belum ada
bentuknya. Namun antara materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Misalnya
papan tulis yang dibikin dari kayu. Kayu adalah materinya dan bangunan papan
bersegi empat itulah bentuknya. Dengan adanya bentuk dapat diketahui hakikat.
Begitu pula dengan kursi meja dan sebagainya memberi bentuk kepada materi kayu
sesuai dengan apa yang kita lihat. Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa bentuk
Terdapat dua macam zat ;Pertama yang wajib ada. Aristoteles membagi obyek
metafisika kepada dua yaitu ; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi. Pengaruh
Aristoteles kepada al Farabi begitu terlihat. Pembahasan mengenai yang ada, yang
semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-
murninya. Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat
28
Yunasril Ali, Perkembangan pemikiran falsafah dalam Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
43
18
terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah
barang sesuatu itu memang sungguhsungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir
demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang
sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang tidak
tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai nisbi.
Dasar piramida falsafah yang diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini segera
ini mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali lagi
membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa
Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk,
misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya. Dengan cara berpikir
demikian, Al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir pada zamannya. Ciri
rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu
kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk
hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak
didasari oleh dalil-dalil. Jadi argumentasi itu penting sekali dari pada hanya
29
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), 31
19
1. Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reasonable)
dan utama dalam bahasa (percakapan) sehari-hari dan yang disebut oleh Aristoteles
phironesis (al-ta’aqqul).
2. Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau
dan intuitif.
4. Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkinkan
kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui kecakapan
5. Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang
berkesinambungan dan tidak juga konstan, ini tidaklah disebabkan oleh adanya
kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh kenyataan bahwa materi,
dimana dia harus beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau kecendrungan
20
untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena
Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah
adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara
jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Dalam
mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara
daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa,
al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa
jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini
adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur seiring
berkembang biak.
30
Madjid Fakhry, A History Of Islamic Philosophy, Columbia University Press, 2004 181-183
31
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002), 40
21
b. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat
dua:
diperoleh pancaindra.
dari materi.
binatang.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis
kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas
bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal
22
itu. Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang
diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau
ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai
empat tingkatan:
1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni
murni.32
Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui
Akal X ke Bumi. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang
tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia
yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam
hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan
manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan
bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah tubuh
manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah
32
Maftukhin, Filsafat Islam (Yogyakarta: Teras, 2012), 101
23
jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan
ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia,
karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal
untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya
makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai
kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa
Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan
kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas, fungsinya
tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani.
Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau
jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika
BAB III
Kesimpulan
Dari Pembahasan pada bab pembahasan diatas, maka disini penulis mencoba
untuk mengambil beberapa simpulan, baik itu terkait mengenai al-Farabi sendiri,
teori emanasi dan konsep filsafatnya mengenai An-Nafs, yang antara lain adalah:
dengan berbagai macam keilmuan yang dikuasainya dari berbagai macam dimensi.
Islam pertama yang mengkaji tentang Tuhan secara mendalam, namun al-Farabi
Pemahaman al-Farabi mengenai realitas, baik itu realitas yang bersifat spiritual
maupun material sangat memberikan pengaruh besar dalam teori emanasi tersebut.
semesta dari Tuhan yang satu. Dengan filsafat emanasi Al-Farabi mencoba
menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Proses Emanasi
tersebut berlangsung melalui proses pancaran dari Tuhan sebagai akal yang
kemudian bersfikir dengan menghasilkan wujud-wujud yang lain dari yang paling
25
kompleks hingga yang paling sederhana, dari yang non-material hingga yang
material.
Farabi lebih banyak menyoroti alam jiwa yang terkandung pada jiwa manusia.
Lebih khusus, kajian al-Farabi mengenai An-Nafs banyak berbicara mengenai akal,
Daftar Pustaka: