FILSAFAT ISLAM
PERKEMBANGAN NEO-PLATONISME ISLAM AL-FARABI DAN IBNU SINA
Dosen Pengampu : Ahmad Yani Fathur Rohman, M.Phil
Kelompok 4 :
1. Mohammad Zulfa Abdillah
2. Naja Najwa Hurun’in (23102057)
Dari sini sedikit tampak secara spesifik pentingnya tulisan ini yang bermaksud
menjelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat Islam yang
pemikiran Neo-Platonisme cenderung tansikh (adanya prinsip Tengah-tengah). Dalam
membahas perkembangan Neo-Platonisme filsafat Islam ini tidak lupa dengan Al-Farabi dan
Ibnu Sina yang mempunyai pendapat mengenai perkembangan Neo-Platonisme dalam
filasafat Islam tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Neo-Platonisme adalah suatu pemikiran filsafat yang hadir pada rangkaian terakhir dari
filsafat Hellenisme Romawi. Nama Neo-Platonisme ini sesuai dengan tujuannya yakni
menghidupkan kembali dan melanjutkan ajaran serta gagasan Plato. Meskipun isinya tidak
hanya mengenai Plato, akan tetapi ada ajaran serta gagasan dari Aristoteles, Stoisisme, dan
Mistik India Persia.
Seperti yang telah disebutkan, Neo-Platonisme tidak hanya mengenai lahirnya kembali
filsafat Plato, akan tetapi juga sebagai system filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang
besar. Selain memadukan filsafat Plato dengan trend-trend utama lain dari filsafat kuno
kecuali Epikuros, system ini isinya unsur-unsur religious dan mistik yang diambil dari filsafat
timur. Unsur mistik adalah perkembangan baru pada sejarah filsafat Yunani saat itu, karena
memang sebelumnya belum ada system filsafat yang menggunakan system tersebut.
Dari data yang terkumpul, ada seorang tokoh yang sangat rendah hati dan tokoh ini
menguasai seluruh aliran pemikiran filosofis sebelumnya. Akan tetapi karena kerendahan
hatinya, ia tidak membuat aliran sendiri. Ia hanya ingin melanjutkan gagasan dari plato.
Meskipun isinya tidak hanya mengenai plato. Tokoh ini adalah pendiri sekaligus tokoh yang
paling popular dalam Neo-Platonisme yaitu Plotinus. Ia lahir di Mesir sekitar 205 M yang
pada masa itu sudah ada Yahudi, Kristen, tapi masih belum dating agama islam. Di Mesir,
Plotinus berguru ke Alexandria. Ia belajar filsafat pada umur 27 tahun. Dan 11 tahun
setelahnya ia menjadi guru filsafat yang ajaran-ajarannya banyak disukai oleh orang-orang di
era terakhir transisi dari era hellenisme menuju era abad Tengah. Pikiran-pikirannya
mengenai filsafat sangat berpengaruh. Hampir semua tradisi filosofis abad Tengah, terutama
tradisi mistik itu mengacu pada ajaran Neo-Platonisme.
2.2 Perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat islam menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina
a. Neo-Platonisme dalam pemikiran Islam
Dalam Pemikiran Islam yang dimaksud disini ialah Filsafat Islam, Teologi dan
tasawuf. Neo-Platonisme kurang mendapatkan tempat dibagian keilmuan misalnya ilmu
fiqh, karena logika ilmu fiqh yang digunakan itu bersifat benar-salah, sedangkan Neo-
Platonisme cenderung bersifat tasikh (Tengah-tengah). Dengan demikian untuk kajian
fiqh lebih memilih menggunakan logika Aristotelian yang distigtif.
Filsafat Islam
Sejarah filsafat Islam diawali oleh al-Kindi yang mana ia adalah seorang
filsuf yang hidup antara tahun 796-873 yang merupakan filsuf Islam pertama.
Kemudian untuk filsuf setelah al-Kindi adalah al-Farabi (870-950) yaitu filsuf
yang mempunyai warna yang berbeda karena dikenal sebagai Neo-Platonisme
Muslim pertama. Neo-Platonisme banyak mempengaruhi gagasannya mengenai
Tuhan dan relasi manusia dengan-Nya serta konsep-konsep kebahagiaannya.
Penjelasan Al-Farabi bahwasannya Tuhan ialah Esa dari segalanya.
Kehadirannya dianggap suatu wujud yang wajib ada (wajib al-wujud). Sehingga,
dia tidak bisa dikatakan tidak ada. Suatu kemustahilan jika mengatakan tidak ada
pada wujudnya. Dia ada dengan sendirinya tanpa ada yang menjadikan-Nya. Ia
Adapun tanpa didahului oleh tiada. Adanya wujud ini menyebabkan dan
memunculkan wujud-wujud lain. Karena wujud selainnya tergantung adanya
wujud ini. Dia ada untuk selamanya.
Mumkin al-wujud (wujud potensial) yaitu wujud yang antara ada dan tidak
adanya masih bersifat kemungkinan. Karena ada dan tidak adanya bukanlah suatu
keharusan dan kewajiban. Ia membutuhkan wajib al-wujud, ia juga tidak bisa
muncul dengan sendirinya. Artinya, mumkin al-wujud ini bisa disebabkan oleh
sebab lain. Dengan demikian, seluruhnya tergantung pada wajib al-wujud.
Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar– benar Esa sama sekali. Karena itu,
yang keluar dari pada–Nya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat
Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar
adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal –yang
timbul dari Tuhan– terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.
Ibnu Sina berpendapat dalam teori emanasinya, bahwa alam diciptakan oleh
Tuhan dalam keadaan ada bukan adanya alam itu dari ketidakadaan. Dengan kata lain,
bahwa ala mini merupakan alam yang diciptakan. Jika seandainya alam ini diciptakan
dari kondisi tidak ada, maka untuk mengatakan ala mini diciptakan tidak akan memenuhi
syarat-syarat logika. Karena sesuatu yang bisa dilogikakan haruslah berdasarkan pada
sesuatu yang sudah ada.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Neo-Platonisme adalah suatu pemikiran filsafat yang hadir pada rangkaian terakhir dari
filsafat Hellenisme Romawi. Nama Neo-Platonisme ini sesuai dengan tujuannya yakni
menghidupkan kembali dan melanjutkan ajaran serta gagasan Plato. Meskipun isinya tidak hanya
mengenai Plato, akan tetapi ada ajaran serta gagasan dari Aristoteles, Stoisisme, dan Mistik India
Persia.
Seperti yang telah disebutkan, Neo-Platonisme tidak hanya mengenai lahirnya kembali
filsafat Plato, akan tetapi juga sebagai system filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang
besar. Selain memadukan filsafat Plato dengan trend-trend utama lain dari filsafat kuno kecuali
Epikuros, system ini isinya unsur-unsur religious dan mistik yang diambil dari filsafat timur.
Unsur mistik adalah perkembangan baru pada sejarah filsafat Yunani saat itu, karena memang
sebelumnya belum ada system filsafat yang menggunakan system tersebut. Interpretasi yang
dilakukan dalam Neo-Platonisme cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip kesatuan dengan
membuat-Nya sama sekali transenden, dan dikaitkan dengan dunia melalui deretan perantara-
perantara yang turun dari “Yang Satu” oleh prinsip emanasi.
Filosof muslim yaitu Abu Nasr al-Farabi membuktikan ke-Esa-an Tuhan dengan teori
emanasinya. Menurutnya, ala mini memancar dari Tuhan dengan melalui akal-akal yang
jumlahnya sepuluh. Sedangkan menurut Ibnu Sina dalam teori emanasinya, bahwa alam
diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan ada, bukan adanya alam itu dari ketidakadaan.
Saran
Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan tulisan makalah ini,
sehingga hasilnya kurang maksimal dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, diharapkan kepada
penulis selanjutnya agar mengkaji lebih dalam lagi terkait Perkembangan Neo-Platonisme dalam
Filsafat Islam ; Al-Farabi dan Ibnu Sina.