Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

FILSAFAT ISLAM
PERKEMBANGAN NEO-PLATONISME ISLAM AL-FARABI DAN IBNU SINA
Dosen Pengampu : Ahmad Yani Fathur Rohman, M.Phil

Kelompok 4 :
1. Mohammad Zulfa Abdillah
2. Naja Najwa Hurun’in (23102057)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
IAIN KEDIRI
2024
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Islam hadir dengan membawa budaya yang dimilikinya. Dengan kedatangan Islam
tersebut, saat itu meluas hingga ke daerah-daerah diluar wilayah asli. Islam melakukan
interaksi, berdialektika, dan tawar-menawar antara Islam murni dengan kebudayaan local.
Untuk berdialektika, Neo-Platonisme ini hadir dalam diri umat Islam dan memberikan daya
magnet yang kuat. Neo-Platonisme diresepsi secara massif oleh umat Islam dengan tiga
alasan yaitu : a). Neo-Platonisme menyentuh keyakinan paling dasar yaitu ke-Esa-an Tuhan
dan relasi manusia dengan Tuhannya, b). Neo-Platonisme mengisi harapan jiwa manusia
yang selalu berkeinginan pada dunia transenden, yaitu pada sebuah dunia yang menjelaskan
bahwa ada relasi antara manusia bersama Tuhannya dengan melalui jalur hati dan ekspresi
batin, c). Neo-Platonisme mengatasi pemilahan sesuatu dalam praktek ilmu fiqh ; halal-
haram, boleh-tidak boleh, dan lain-lain.

Dari sini sedikit tampak secara spesifik pentingnya tulisan ini yang bermaksud
menjelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat Islam yang
pemikiran Neo-Platonisme cenderung tansikh (adanya prinsip Tengah-tengah). Dalam
membahas perkembangan Neo-Platonisme filsafat Islam ini tidak lupa dengan Al-Farabi dan
Ibnu Sina yang mempunyai pendapat mengenai perkembangan Neo-Platonisme dalam
filasafat Islam tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Sejarah Perkembangan Neo-Platonisme


Kata Neo-Platonisme berasal dari kata neo yang memiliki arti baru, kata plato yang
merujuk pada seorang filsuf yang mencentuskan konsep realitas idea dalam teori filsafatnya,
dan kata isme yang berarti faham. Jadi, jika dirangkai memiliki pengertian ide-ide baru yang
muncul dari ide-ide filsafat yang dimunculkan oleh Plato. Faham ini memiliki tujuan yaitu
menghidupkan kembali filsafat yang telah dikemukakan oleh Plato untuk keselamatan dunia
dengan cara memperbanyak unsur-unsur yang paling baik dari system setelahnya dan bisa
menjawab kebutuhan zaman.

Neo-Platonisme adalah suatu pemikiran filsafat yang hadir pada rangkaian terakhir dari
filsafat Hellenisme Romawi. Nama Neo-Platonisme ini sesuai dengan tujuannya yakni
menghidupkan kembali dan melanjutkan ajaran serta gagasan Plato. Meskipun isinya tidak
hanya mengenai Plato, akan tetapi ada ajaran serta gagasan dari Aristoteles, Stoisisme, dan
Mistik India Persia.

Seperti yang telah disebutkan, Neo-Platonisme tidak hanya mengenai lahirnya kembali
filsafat Plato, akan tetapi juga sebagai system filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang
besar. Selain memadukan filsafat Plato dengan trend-trend utama lain dari filsafat kuno
kecuali Epikuros, system ini isinya unsur-unsur religious dan mistik yang diambil dari filsafat
timur. Unsur mistik adalah perkembangan baru pada sejarah filsafat Yunani saat itu, karena
memang sebelumnya belum ada system filsafat yang menggunakan system tersebut.

Interpretasi yang dilakukan dalam Neo-Platonisme cenderung mengaitkan Allah dengan


prinsip kesatuan dengan membuat-Nya sama sekali transenden, dan dikaitkan dengan dunia
melalui deretan perantara-perantara yang turun dari “Yang Satu” oleh prinsip emanasi.
Menurut pandangan ini realitas merupakan rangkaian atau urutan bertingkat-tingkat mulai
dari Ilahiah sampai yang material. Karena manusia mempunyai unsur Ilahiah, maka
hakikatnya ia akan merindu kepada Sang Pencipta-nya. Maka dengan itu, system ini
mempunyai unsur-unsur spiritual maupun fisikal atau intelektual.

Dari data yang terkumpul, ada seorang tokoh yang sangat rendah hati dan tokoh ini
menguasai seluruh aliran pemikiran filosofis sebelumnya. Akan tetapi karena kerendahan
hatinya, ia tidak membuat aliran sendiri. Ia hanya ingin melanjutkan gagasan dari plato.
Meskipun isinya tidak hanya mengenai plato. Tokoh ini adalah pendiri sekaligus tokoh yang
paling popular dalam Neo-Platonisme yaitu Plotinus. Ia lahir di Mesir sekitar 205 M yang
pada masa itu sudah ada Yahudi, Kristen, tapi masih belum dating agama islam. Di Mesir,
Plotinus berguru ke Alexandria. Ia belajar filsafat pada umur 27 tahun. Dan 11 tahun
setelahnya ia menjadi guru filsafat yang ajaran-ajarannya banyak disukai oleh orang-orang di
era terakhir transisi dari era hellenisme menuju era abad Tengah. Pikiran-pikirannya
mengenai filsafat sangat berpengaruh. Hampir semua tradisi filosofis abad Tengah, terutama
tradisi mistik itu mengacu pada ajaran Neo-Platonisme.

2.2 Perkembangan Neo-Platonisme dalam filsafat islam menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina
a. Neo-Platonisme dalam pemikiran Islam
Dalam Pemikiran Islam yang dimaksud disini ialah Filsafat Islam, Teologi dan
tasawuf. Neo-Platonisme kurang mendapatkan tempat dibagian keilmuan misalnya ilmu
fiqh, karena logika ilmu fiqh yang digunakan itu bersifat benar-salah, sedangkan Neo-
Platonisme cenderung bersifat tasikh (Tengah-tengah). Dengan demikian untuk kajian
fiqh lebih memilih menggunakan logika Aristotelian yang distigtif.
 Filsafat Islam
Sejarah filsafat Islam diawali oleh al-Kindi yang mana ia adalah seorang
filsuf yang hidup antara tahun 796-873 yang merupakan filsuf Islam pertama.
Kemudian untuk filsuf setelah al-Kindi adalah al-Farabi (870-950) yaitu filsuf
yang mempunyai warna yang berbeda karena dikenal sebagai Neo-Platonisme
Muslim pertama. Neo-Platonisme banyak mempengaruhi gagasannya mengenai
Tuhan dan relasi manusia dengan-Nya serta konsep-konsep kebahagiaannya.
Penjelasan Al-Farabi bahwasannya Tuhan ialah Esa dari segalanya.
Kehadirannya dianggap suatu wujud yang wajib ada (wajib al-wujud). Sehingga,
dia tidak bisa dikatakan tidak ada. Suatu kemustahilan jika mengatakan tidak ada
pada wujudnya. Dia ada dengan sendirinya tanpa ada yang menjadikan-Nya. Ia
Adapun tanpa didahului oleh tiada. Adanya wujud ini menyebabkan dan
memunculkan wujud-wujud lain. Karena wujud selainnya tergantung adanya
wujud ini. Dia ada untuk selamanya.

Mumkin al-wujud (wujud potensial) yaitu wujud yang antara ada dan tidak
adanya masih bersifat kemungkinan. Karena ada dan tidak adanya bukanlah suatu
keharusan dan kewajiban. Ia membutuhkan wajib al-wujud, ia juga tidak bisa
muncul dengan sendirinya. Artinya, mumkin al-wujud ini bisa disebabkan oleh
sebab lain. Dengan demikian, seluruhnya tergantung pada wajib al-wujud.

Kerumitan dari pemikiran al-Farabi ini terletak pada pembagian wujud.


Dikatakan bahwa mumkin al-wujud harus ada disebabkan kewajiban adanya
wajib al-wujud. Diibaratkan, hubungan antara wajib al-wujud dengan mumkin al-
wujud ini seperti halnya hubungan antara matahari dengan sinarnya. Maksudnya,
sinar tersebut wajib ada karena adanya matahari.
Maka, kesimpulan pemikiran al-Farabi adalah bahwa mumkin al-wujud ini
menjadi wajib ada, hanya saja tergantung pada wajib al-wujud, sedangkan wajib
al-wujud ada bukan karena yang lain tapi wujud karena diri-Nya sendiri. Oleh
karena itu, al-Farabi menyebutkan bahwa Tuhan sebagai wajib al-wujud bi
dzatihi, sedangkan alam semesta disebut dengan wajib al-wujud bi ghayrihi.

Penjelasan terhadap aktivitas Tuhan dengan hubungannya alam semesta,


al-Farabi disini menjelaskan bahwa :
o Tuhan (Allah) adalah ‘aql murni.
o Aktivitas Tuhan adalah ber-ta’aqqul (berfikir)
o Objek pemikirannya adalah substansinya sendiri.
Jadi, Allah adalah ‘aqil (yang berfikir), ‘aql (pikiran), dan ma’qul (yang
difikiran). Karena itu, aktivitas Allah itu mengetahui segala sesuatu dengan
substansinya, karena ia adalah zat yang maha mengetahui dan juga yang
diketahui. Dengan aktivitas Allah yang demikian, menimbulkan energi yang besar
yang disebut dengan menghasilkan akal pertama yang dikenal dengan nous. Nous
beraktivitas memikirkan ‘aql murni dan dirinya sendiri. Dari ta’aqul tersebut
lahirlah teori emanasi.

b. Faham Emanasi tentang ke-esa-an Tuhan ; Al-Farabi


Filosof muslim yaitu Abu Nasr al-Farabi berupaya untuk membuktikan ke-esa-an
Tuhan dengan teori emanasinya. Menurutnya, alam ini memancar dari Tuhan melalui
akal-akal yang jumlahnya sepuluh. Menurutnya, yang Esa itu Tuhan, karena Dia ada
dengan sendirinya. Dengan itu, Tuhan tidak memerlukan yang lain lagi untuk ada-Nya
atau keperluan-Nya. Dia sangatlah unik karena Dia mampu mengetahui dirinya sendiri
dan juga mampu mengerti dan dapat dimengerti, sehingga sifat yang demikianlah yang
membuat-Nya unik. Tidak ada yang bisa menyamakan-Nya, karena Dia tidak mempunyai
lawan ataupun persamaan.

Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar– benar Esa sama sekali. Karena itu,
yang keluar dari pada–Nya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat
Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar
adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal –yang
timbul dari Tuhan– terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.

Menurut teori emanasi Al-Farabi, karena filosof muslim pertama yang


menyesuaikan antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme, atau antara filsafat wujud
dan filsafat Yang Esa, maka dia berpendapat bahwa Allah adalah ”Maujud Yang
Pertama“. Pengertian Yang Pertama adalah dasar pertama dari semua yang maujud dan
sebab pertama bagi wujudnya. Maujud pertama itu adalah sebab pertama dari wujud
semua yang maujud.
Teori emanasi ini bukan Al-Farabi saja yang menjelaskan mengenai ke-Esa-an
Tuhan, melainkan Abu ‘Ali al-Husayn Ibnu Sina juga melanjutkan dan menjelaskan teori
emanasi.

c. Teori Emanasi ; Ibnu Sina


Dalam teori emanasi (Nadhariatul-Faid) Ibnu sina mengadakan sintesis antara
teori filsafat dengan teori ilmu kalam. Seperti halnya, pendapat dari teori Aristoteles
bahwa alam dunia adalah azali dan tidak ada dalil akal yang dapat membuktikan bahwa
dunia kita ada permulaannya. Dan ia menganggap alam dunia ini abadi dan tidak akan
binasa. Pendapat tersebut berbeda menurut pandangan Islam, bahwa alam ini adalah
sesuatu yang baru, fana’, dan akan binasa. Mengenai hal itu, Ibnu Sina menyampaikan
pendapatnya bahwa alam ini terjadi dengan cara melimpah, seperti melimpahnya panas
dari api, Cahaya dari matahari, hal tersebut memang sudah menjadi tabi’atnya. Ibnu Sina
juga berpendapat bahwa alam semesta ini bukan azali, akan tetapi didahului keadaan
tidak ada, yang berarti baru. Sehingga, pendapat Ibnu Sina berbeda dengan pendapat
Aristoteles.

Ibnu Sina berpendapat dalam teori emanasinya, bahwa alam diciptakan oleh
Tuhan dalam keadaan ada bukan adanya alam itu dari ketidakadaan. Dengan kata lain,
bahwa ala mini merupakan alam yang diciptakan. Jika seandainya alam ini diciptakan
dari kondisi tidak ada, maka untuk mengatakan ala mini diciptakan tidak akan memenuhi
syarat-syarat logika. Karena sesuatu yang bisa dilogikakan haruslah berdasarkan pada
sesuatu yang sudah ada.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Neo-Platonisme adalah suatu pemikiran filsafat yang hadir pada rangkaian terakhir dari
filsafat Hellenisme Romawi. Nama Neo-Platonisme ini sesuai dengan tujuannya yakni
menghidupkan kembali dan melanjutkan ajaran serta gagasan Plato. Meskipun isinya tidak hanya
mengenai Plato, akan tetapi ada ajaran serta gagasan dari Aristoteles, Stoisisme, dan Mistik India
Persia.

Seperti yang telah disebutkan, Neo-Platonisme tidak hanya mengenai lahirnya kembali
filsafat Plato, akan tetapi juga sebagai system filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang
besar. Selain memadukan filsafat Plato dengan trend-trend utama lain dari filsafat kuno kecuali
Epikuros, system ini isinya unsur-unsur religious dan mistik yang diambil dari filsafat timur.
Unsur mistik adalah perkembangan baru pada sejarah filsafat Yunani saat itu, karena memang
sebelumnya belum ada system filsafat yang menggunakan system tersebut. Interpretasi yang
dilakukan dalam Neo-Platonisme cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip kesatuan dengan
membuat-Nya sama sekali transenden, dan dikaitkan dengan dunia melalui deretan perantara-
perantara yang turun dari “Yang Satu” oleh prinsip emanasi.

Filosof muslim yaitu Abu Nasr al-Farabi membuktikan ke-Esa-an Tuhan dengan teori
emanasinya. Menurutnya, ala mini memancar dari Tuhan dengan melalui akal-akal yang
jumlahnya sepuluh. Sedangkan menurut Ibnu Sina dalam teori emanasinya, bahwa alam
diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan ada, bukan adanya alam itu dari ketidakadaan.

Saran

Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan tulisan makalah ini,
sehingga hasilnya kurang maksimal dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, diharapkan kepada
penulis selanjutnya agar mengkaji lebih dalam lagi terkait Perkembangan Neo-Platonisme dalam
Filsafat Islam ; Al-Farabi dan Ibnu Sina.

Anda mungkin juga menyukai