Anda di halaman 1dari 8

8

Filsafat Islam:
Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat
Hellenisme
Oleh Alimuddin Hassan Palawa

Kata awal
Gelombang hellenisme yang melanda dunia Islam merupakan akibat
wajar dari kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa
Arab. Lebih jauh, hasil logis dari penerjemahan itu melahirkan suasana
kondusif dan kegairahan yang subur di kalangan umat Islam tertentu
guna mengembangkan pemikiran spekulatif. Gelombang hellenisme
tersebut merupakan suatu pengalaman yang, menurut Nurcholish
Madjid, “tercampur antara mamfaat dan mudharat bagi umat
Muslimin”. Akibat dari itu membuat mereka terbagi antara yang
menyambut (respon-positif) dan menolak (respon-negatif). Respon
umat Islam atas hellenisme dapat menjadi ukuran kreativitas mereka
dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman. Lebih jauh
Nurcholish Madjid memaparkan:

“Sebagian besar Ummat, khususnya mereka yang ada di bawah


naungan ideologi Jama’ah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau
tidak memusuhi, Hellenisme itu. Tapi secara umum terhadap banyak
kaum Muslimin yang mempelajari pikiran-pikiran asing itu dengan
tekun, disertai kematapan beragama dan kepercayaan diri kepada diri
sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebesan berfikir yang masih
lebih besar lagi daripada kaum Mu’tazilah, mengembangkan filsafat itu
dan memberi watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin
ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara tekhnis disebut al-
falasafah. Dari kalangan mereka ini timbul kelompok baru kaum
tepelajar Muslim, yaitu al-falasifah (kaum Failusuf), suatu penamaan
khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sengat terpengaruh oleh
filsafat Yunani.”
Dalam merespon positif pemikiran hellenisme itu, filosuf Muslim
terbagi dalam dua aliran yang besar, yang keduanya mengklaim dirinya
sebagai pengikut filsafat Yunani. Pertama, aliran Peripatetik
(Masysya’iyyah) [disebut demikian karena tatkala Aristotels mengajar
ia berjalan-jalan di tengah-tengah (maha)siswanya] yang memiliki
ajaran gabungan ide-ide dari Aristoteles dan (sebagian) ide Neo-
Platonik. Ide yang terpenting yang diambil dari Aristoteles adalah
doktrin tentang Akal (Nous) , wujud yang lebih tinggi dari semua
realitas jiwa yang ada. Akal adalah penaggerak pertama yang tidak
bergerak; dan akal yang bersifat immortal (tidak mati). Akal adalah
supreme deity (Tuhan Maha Tinggi) yang selalu berpikir dan
meruenungkan diri-Nya. Sementara itu, ide yang diambil dari Neo-
Platonisme adalah doktrin yang mengajarkan tentang the One (yang
Tunggal) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab. Aliran ini
juga dikenal sebagai cerminan upaya terbaik pemikiran manusia untuk
mencapai kebenran. Aliran ini biasanya berawal dari filosuf al-Kindi
dan mencapai puncaknya pada diri filosuf Andalusia, Ibn Rusyd.

Kedua, aliran Illuminasi (Isyraqiyah) [disebut demikian karena


merupakan kearifan spritual yang muncul dari timur] yang lebih
bersimpati kepada gabungan ajaran dan tradisi Pytagoras-Platonik.
Ajaran dualis Plato kemudian diusahakan penyatuannya oleh para
penganut Neo-Pytagoras. Ajaaran ini menyatkan mereka menuruti
doktrin bukan saja dri golangan Pytaagoras, tetapi bahkan juga dari
nabi-nabi kuno, khususnya Nabi Sulaiman dan Idris (tradisi Hermetis)
dan juga dari ajaran-ajaran bijak, seperti Zoroaster. Dalam Islam
alaiaran ini berawal dari Ibn Sina dan mencapai puncaknya pada diri
Suhrawardi al-Maqtul. Dengan demikian, aliran ini dipandang sebagai
ajaran yang lebih berdasrkan pada ilmu ilahah tinimbang pada ilmu
manusiawi.

Berikut ini akan dicoba untuk mengangkat beberapa persoalan-


persoalan filosufis yang krusial (dan “anah” di mata ortodoksi Sunni)
yang berasal (sebagian besar) dari tradisi Hellenisme.

Konsep Wujud Tuhan


Salah satu di antara ajaran filsafat dalam Islam yang relatif tidak
bertentangan dengan doktrin agama, dan tidak syak lagi juga diterima
oleh kalangan ortodoksi Sunni Islam adalah tentang Wujud Tuhan.
Dalam ajaran filsafat ini, wujud ada dua: Wājib al-Wujūd (Wujud yang
Wajib) dan mumkīn al-wujūd (wujud yang mungkin). Adapun yang
disebut pertama adalah Allah; sementara wujud yang disebut
belakangan adalam alam (wujud selain Allah). Dengan bahasa yang
berbeda, Wujud Allah wujud yang “pasti”; sedangkan alam adalah
wujud yang “tergantung”. Artinya, alam semesta yang tercipta
memeerlukan tempat untuk bergantung, yaitu Allah. Lebih jauh ini
bermakna alam sebagai akibat yang memerlukan sebab, itu Allah.

Dalam membangun ajaran ini filosuf Muslim mencari bantuan dari


doktrin Neo-Platonis, yaitu monisme tentang emanasi (al-fayḍ). Dalam
kerangkan Aristolean, meskipun mereka menolak ajaran Aristoteles
tentang dualitas: matter dan form (materi dan bentuk), tetapi di sisi lain
tampak sekali ajaran Aristoteles lainnya, yaitu konsep tentang “Nous”;
akal sebagai supreme deity (Tuhan Tertinggi) [boleh jadi tuhan yang
dimaksu oleh Aristoteles berbeda dengan apa yang dipahami dan
diyakini oleh ummat Islam. Begitu pula doktrin lainnya dari
Aristoteles, misalnya mengenai akan yang immortal (tidak mati) atau
wujud penggerak pertama yang tidak bergerak.

Masalah yang berhubungan dangan Wujud Tuhan, antara para filosuf,


termasuk juga para mutakallimin, adalah doktrin bahwa Allah Tunggal.
Penjelsanya bahwa doktrin ini menafikan adanya dualitas antara essensi
dan sifat. Bagi mereka Tuhan adalah wujud semata, tanpa sifat. Satu-
satunya sifat (kalau juga terpaksa menggunakan kata sifat) Tuhan
adalah keniscayaan wujud-Nya. Jadi Tuhan tidak mempuyai sifat
sebagaimana diyakini oleh aliran kalam rasional dalam Islam,
Mu’tazilah.

Konsep al-Qur’an Qadim


Persoalan apakah al-Qur’an (Kalam) Allah itu diciptakan (baharu) atau
tadak diciptakan (qadim), telah menajdi perdebatan di kalangan teolog
(mutakallimīn) sejak masa-masa awal. Bahkan belakarang pada masa
pemerintahan al-Makmum, dinasti Abbasyiah, ketika paham
Mu’tazilah dijadikan paham resmi negara, mengakibatkan terjadikanya
“noda hitam” dalam sejarah Islam dengan dilancarakannya “mihnah”
(inquisisi), yaitu pemeriksaan keyakinan: apakah al-Qur’an itu baharu
atau qadim. Bagi Mu’tazilah, al-Qur’an itu adalah baharu (diciptakan),
karena kalau tidak (dikatakan qadim) ini dapat merudak sistem
keimanan kepada Allah. Artinya kalau al-Qur’an itu adalah qadim,
maka ada yang qadim selain Allah. Kalau demikian halnya, sama
artinya menduakan Allah (syirik)

Kecenderungan pemikiran Mu’tazilah tersebut didasarkan pada ajaran


Aristoteles bahwa tidak ada yang tercipata dari tiada (critio ex nihilo).
Dengan begitu mereka menyimpulkan bahwa Tuhan telah menciptakan
al-Qur’an. Di samping itu, pendapat Mu’tazilah sedikit banyak
dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh sistem kepaarcayaan ajaran
agama Kristen dengan konsep Trinitasnya. Karena pengaruh ajaran
Kristen itulah Mu’tazilah tampil untuk membela sistem keiman dalam
Islam.

Konsep Penciptaan: Alam Qadim


Dalam pandangan filosuf Muslim yang paling asasi dalam konsep
penciptaan adalah pengingkaran terhadap konspe “Critio ex Nihilo”
(penciptaan dari tiada). Pandangan filosuf dalam masalah ini
berbedadengan kaum mutakallimin, apalagi dari kalangan ortodoksi
Islam. Karenanya, penciptaan alam: apakah qadim atau baharu
merupakan perdebatan antara para filosuf dan mutakallimin. Dan kalau
disederhanakan adalah pertentangan pada figur yang diwakili oleh al-
Farabi dan al-Ghazali secara berturut-turut.

Pandangan para filosuf dalam masalah ini berawal dari suatu kenyataan
bahwa mustahil penciptaan sesuatu itu dari tiada. Pernyataan mereka
ini didasarkan pada konsep tentang emanasi (pelimpahan). Akan tetapi,
perlu ditegaskan, menurut filosuf Islam, alam itu qadim dari segi waktu
(qadim zaman). Artinya, wujud alam bersama-sama adanya dengan
eksistensi Wujud Allah. Meskipun begitu, segara harus ditambahkan
pula bahwa alam itu “huduth li zati” (baharu dari segi zat). Sedangkan
Allah adalah Qadim Zat dan Qadim Zaman.

Filosuf menjelaskan, misalnya Ibn Sina, bahwa yang dimaksud dengan


qadim zaman (bagi alam) itu adalah karena Tuhan Maha Sempurna,
maka Tuhan menciptakan sejak zaman azali; dan senantiasa meciptakan
(berbuat) dan tidak hanaya pada saat tertentu. Karena didorong oleh
keinginan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhan dengan konsep
emanasi, maka pemikiran tentang penciptaan alam itu qadim tidak
bertentangan dangan Islam.

Konsep Tentang Pengetahuan Tuhan


Menurut Fazlur Rhman (Islam: 169), konsep bahwa Tuhan tidak
mengatahui yang partikular merupakan kerangka teori dari Aristoteles
dal Plonitus. Akan tetapi, sayangnya, Rahman tidak mengurai secara
detail bagimana keterkaitan dan pengaruh kedua filusuf klasik Yunani
kepada balantika filosofis dalam Islam. Dalam konsep ini para filosuf
Islam berpendapat bahawa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang
partikular (juz’iyyat), tetapi Tuhan hanya mengetahui yang universal
(kulliyat). Menurut para filosuf penegasan semacam ini penting, karena
kalau Tuhan mengatahui hal-hal yang partikular yang senantiasa
berubah-rubah bentuk dan beralih-alih waktu dan tempat, maka ilmu
Tuhan juga akan turut berubah-rubah. Padahal dalam pandangan yang
prinsipil di kalangan para filosuf bahwa mustahil ilmu pengetahuan
Tuhan mengalami perubahan.

Konsep semacam ini, lagi-lagi, bagaimana para filosuf Islam berupaya


untuk menyucikan Tuhan dari “kemungkinan” ketidaksempurnaan. (Ini
tidak dimaksudkan bahwa manusia [para filosuf] menjadi subjek
penentu bagi kesempurnaan Tuhan, sekali lagi tidak]. Akan tetapi, tak
ayal, “hasrat baik” para filosuf itu dituduh macam-macam oleh
golongan ortodoksi Islam Sunni. Golongan yang disebut terakhir ini
berargumentasi bahwa Tuhan tidak boleh “dibatas-batasi” sedemikian
itu, sehingga pengetahuan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal universal
semata, sementara Tuhan dibatasi untuk mengatahui yang partikular.
Kalau memang demikian, kata golongan ortodoksi Islam Sunni ini,
dikemanakan kemahakuasaan Allah; dan bagaimana dengan “Inna
Allah ‘ala kulli syai’in alīm” (Sungguh Allah mengetahu atas segala
sesuatu).

Agaknya, sulit juga untuk menegahi kedua perdebatan kedua kelompak


antara para filosuf dan ortodoksi Islam Sunni di atas. Karena masing-
masing mereka berargumentasi dengan “mengatasnamakan” Allah.
Paran filosuf berdalih atas “kemahasempurnaan” Allah. Sebaliknya
ortodoksi Islam Sunni beralasan atas “kemahakuasaan” Allah.
Perdebatan dan polemik di antara kedua golongan ini belakangan dapat
dipersonifikasikan secara pas pada diri al-Ghazali mewakili golongan
ortodoksi Islam Sunni dan Ibn Rusyd mewakili para filosuf Islam.
Bahkan perdebatan dan polemik tersebut terus berlanjut setalah
sepeninggalan keduanya.
Selama ini, sudah banyak buku-buku filsafat yang mengulas polemik
“posthumous” antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Polemik kedua figur
ini sangat penomenal dalam sejarah pemikiran umat manusia, dan
menyita perhatian sekian banyak sarjana sejak masa keduanya hingga
dewasa ini. Lewat bukunya, Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali
mempreteli 20 (dua puluh) teori-teori biḍ‘ah filosuf (Islam)
sebelumnya, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga di antara teori-teri
tersebut: kekadiman alam; Tuhan tidak tahu yang pertikular; dan
penolakan kebangkitan jasmani, menurut al-Ghazali, dikategorikan
sebagai “kafir”. Belakangan, sekitar delapan puluh tahun setelah itu,
tanpil seorang filosuf Muslim Andalusia, Ibn Rusyd, lewat bukunya,
Tahāfut al-Tahāfut, guna membela para filosuf Muslim dan menyerang-
balik (counterattack) al-Ghazali.

Konsep Tentang Keabadian Jiwa dan Kebangkitan Akhirat


Problem keabadian jiwa dan kebangkitan di akhir, tidak diragukan lagi,
termasuk dalam tiga serangkai (kekadiman alam, Tuahn tidak
mengetahui yang partikular dan kembangkitan jiwa) doktrin filosuf
yang dikafirkan oleh al-Gazali. Kalau yang dua pertama dinayatakan
berasal dari filosuf Islam, khususnya Ibn Sina dan al-Farabi, maka
doktrin yang ketiga, keabadian jiwa adalah “murni” berasal Aristotels.
Aristioteles, sebagaimana telah disebut sebelumnya, mengatakan
bahwa jiwa itu adalah immortal (tidak mati). Belakangan doktrin ini
dikembangkan oleh filosuf Islam, khususnya Ibn Sina.

Menurut Ibn Sina manusia sebagai makhluk memiliki unsur ganda:


sebagai benda (matter) dan mempunyai bentuk (form). Raga adalah
matter; dan jiwa adalah form. Raga dan jiwa adalah dua substansi yang
distingtif dan terpisah satu dengan yang lainnya, terutama setelah
manusia mati. Jiwa adalah substansi rohani yang terlimpah ke dalam
wadah berupa raga, kemudia jiwa menghidupkan raga. Lebih jauh raga
dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. (Fuad al-
Ahwani: 162-163). Dengan begitu, dalam pandangan para filosuf Islam,
yang mengetahui Tuhan adalah jiwa. Karenanaya, ketika manusia mati
yang kembali kepada Tuhan adalah yang mengetahui Tuhan, yaitu jiwa.

Mengingat jiwa yang mengetahui Tuhan dan pada akhirnya kembali


kepada Tuhan, maka jiwa pulalah yang akan dibangkitkan. Sementara
raga tinggal membusuk dihimpit bumi dan dimakan cacing.
Kongkritnya, konsep Ibn Sina ini mengingkari kebangkitan jasmani,
dan hanya mengakui kembagkitan ruhani. Malahan, di anatara para
filosuf, ada yang berpendapat bahwa hanya jiwa yang cerdas lagi suci
sajalah yang akan dipanggil oleh Allah, “yā ayyatuha al-nafsu al-
muṭma’nnah ‘irji’ī ilā Rabbiki raḍiyah al-marḍiyah fa adkhulī fī ‘ibādī
wa adkhulā jannatī” (hai, jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu
dalam keadaan rela-merelakan dan masuklah golongan hamba-Ku dan
masuklah surga-Ku).

Kata Ahhir
Sebagaian orang mengklaim bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam tidaklah “pure” lantaran diambil dan dipengaruhi oleh
pemikiran Hellenistik. Kalau begitu logikanya, maka tidak ada yang
“pure” di muka bumi ini. Karena siapakah tidak mengambil pelajaran
dari orang sebelumnya dan sekaligus tidak terkena pengaruh dari para
pendahulunya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa adalah benar: (i)
pemikiran filsafat dan ilmu dalam Islam dipengaruhi oleh pemikiran
Hellenisme; dan (ii) pemikiran filosuf dan ilmuan Muslim banyak
“berguru” (tidak langsung) pada filasuf Yunani kuno, khususnya
Aristoteles dan Plato.

Akan tetapi, menurut Ibrahim Madkour, adalah salah jika ada pendapat
bahwa: (i) belajar (berguru) itu adalah semata-mata meniru dan
mengikuti tanpa reserve serta membebak begitu saja; (ii) filsafat Islam
tidak lebih merupakan pemikiran yang diadopsi dari Aristoteles, seperti
disangkakan Renan; atau dari Neo-Platonisme, seperti dituduhkan
Rehem. (Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Isla>miyah: Manha>j
wa Tat}biquh, (Mesir: Da al-Ma’arif, 1976), 26). Pada dasarnya, kata
Rahman, tidak ada yang baru dikenakan pada sistem pemikiran Yunani
dipergunakan oleh para filosuf Muslim; bahan-bahannya adalah hasil
dari Hellenisme akhir, tetapi filosuf Muslim memberi arah baru, hingga
muncul pola baru pula, dan situlah letak orisinalitasnya. (Falur
Rahman, Islam, hal. 171).

Sesungguhnya pemikiran dan peradaban anak manusia merupakan


suatu kontinuitas, sehingga bangsa/golongan tidak mungkin terelakkan
dari kesinambungan tersebut. Kalau itu dingkari maka kita menjadi a
historis. Karenannya, tepat sekali untuk menyimak kata al-Kindi, hasil
elaborasi terhadap hadis Nabi saw., ia mengatakan: “Kita tidak perlu
malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun
datangnya; kalaupun kebenaran tersebut dibawa kepada kita oleh
generasi-generasi terdahulu dan bangsa-bangsa asing. Sebab bagi orang
pencari kebenaran, tak ada nilai yang lebih tinggi daripada kebenaran
itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan atau menghindar dari
orang menerimanya, tetapi sebaliknya membuatnya jadi mulia (Charles
Michael Stanton, Higher Learning in Islam, 81.)

Mā Tawfiq illā bi Allāh,


Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Alimuddin Hassan Palawa,


(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic
Studies] UIN Suska Riau)

Anda mungkin juga menyukai