Filsafat Islam:
Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat
Hellenisme
Oleh Alimuddin Hassan Palawa
Kata awal
Gelombang hellenisme yang melanda dunia Islam merupakan akibat
wajar dari kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa
Arab. Lebih jauh, hasil logis dari penerjemahan itu melahirkan suasana
kondusif dan kegairahan yang subur di kalangan umat Islam tertentu
guna mengembangkan pemikiran spekulatif. Gelombang hellenisme
tersebut merupakan suatu pengalaman yang, menurut Nurcholish
Madjid, “tercampur antara mamfaat dan mudharat bagi umat
Muslimin”. Akibat dari itu membuat mereka terbagi antara yang
menyambut (respon-positif) dan menolak (respon-negatif). Respon
umat Islam atas hellenisme dapat menjadi ukuran kreativitas mereka
dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman. Lebih jauh
Nurcholish Madjid memaparkan:
Pandangan para filosuf dalam masalah ini berawal dari suatu kenyataan
bahwa mustahil penciptaan sesuatu itu dari tiada. Pernyataan mereka
ini didasarkan pada konsep tentang emanasi (pelimpahan). Akan tetapi,
perlu ditegaskan, menurut filosuf Islam, alam itu qadim dari segi waktu
(qadim zaman). Artinya, wujud alam bersama-sama adanya dengan
eksistensi Wujud Allah. Meskipun begitu, segara harus ditambahkan
pula bahwa alam itu “huduth li zati” (baharu dari segi zat). Sedangkan
Allah adalah Qadim Zat dan Qadim Zaman.
Kata Ahhir
Sebagaian orang mengklaim bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam tidaklah “pure” lantaran diambil dan dipengaruhi oleh
pemikiran Hellenistik. Kalau begitu logikanya, maka tidak ada yang
“pure” di muka bumi ini. Karena siapakah tidak mengambil pelajaran
dari orang sebelumnya dan sekaligus tidak terkena pengaruh dari para
pendahulunya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa adalah benar: (i)
pemikiran filsafat dan ilmu dalam Islam dipengaruhi oleh pemikiran
Hellenisme; dan (ii) pemikiran filosuf dan ilmuan Muslim banyak
“berguru” (tidak langsung) pada filasuf Yunani kuno, khususnya
Aristoteles dan Plato.
Akan tetapi, menurut Ibrahim Madkour, adalah salah jika ada pendapat
bahwa: (i) belajar (berguru) itu adalah semata-mata meniru dan
mengikuti tanpa reserve serta membebak begitu saja; (ii) filsafat Islam
tidak lebih merupakan pemikiran yang diadopsi dari Aristoteles, seperti
disangkakan Renan; atau dari Neo-Platonisme, seperti dituduhkan
Rehem. (Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Isla>miyah: Manha>j
wa Tat}biquh, (Mesir: Da al-Ma’arif, 1976), 26). Pada dasarnya, kata
Rahman, tidak ada yang baru dikenakan pada sistem pemikiran Yunani
dipergunakan oleh para filosuf Muslim; bahan-bahannya adalah hasil
dari Hellenisme akhir, tetapi filosuf Muslim memberi arah baru, hingga
muncul pola baru pula, dan situlah letak orisinalitasnya. (Falur
Rahman, Islam, hal. 171).