Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT PLOTINUS

MAKALAH
Mata Kuliah : General Philosophy
Dosen Pengampu : Bapak M. Luthfi Ubaidillah, M.Si

Disusun Oleh :

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN PERGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan manusia, manusia selalu ingin mempelajari segala


sesuatu yang ada di alam semesta ini. Dan filsafat merupakan ilmu yang pertama kali muncul
sebagai pengetahuan yang mencoba mengungkap segala fenomena yang ada.

Dalam perkembangannya, etika Filsafat seringkali melahirkan filosof-filosof  hebat


yang memberikan warna tersendiri dalam dunia pemikiran manusia. Dari sekian banyak filsuf
terkenal, salah satunya adalah Plotinus.

Beliau adalah filosof asal Mesir yang lahir pada abad pertengahan, Beliau terkenal
dengan ajarannya tentang jiwa, tentang penciptaan alam semesta atau lebih sering disebut
Teori Emanasi. Makalah ini mencoba menghadirkan biografi, pemikiran, dan kelebihan dan
kekurangan pemikiran Plotinus.

1. Rumusan Masalah
2. Bagaimana kehidupan Plotinus?
3. Bagaimana ajaran Plotinus?
4. Apa kelebihan dan kekurangan pemikiran Plotinus?

 
BAB II

PEMBAHASAN

PLOTINUS (204 – 207 ) Sebagai Tokoh Filsafat

1. Kehidupan Plotinus

Plotinus adalah seorang filsuf yang mendirikan Mazhab Neo-Platonisme. Plotinos


menjadikan pemikiran Plato sebagai inspirasi utamanya. Akan tetapi, pemikiran Plato
tersebut digabungkan dengan berbagai aliran filsafat lain pada masanya, termasuk
aliran filsafat Timur. Inti ajaran Neo-Platonisme dapat ditemukan dalam Enneadeis, yang
merupakan buku berisi kumpulan karangan Plotinos. Buku tersebut diterbitkan oleh muridnya
yang bernama Porphyrios (232-301 SM). Di dalam buku tersebut, pemikiran Plotinus
berpusat pada konsep “Yang Esa” (dalam bahasa Yunani to hen, dan dalam bahasa
Inggris the one). Terkadang “Yang Esa” disebut juga sebagai “Yang Baik”. “Yang Esa”
tersebut tidak dapat dibicarakan, tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat diidentifikasikan. Ia
bukan sesuatu dan juga bukan roh. Tidak ada atribut yang melekat kepadanya. Kemudian
“Yang Esa” itu merupakan asal dan tujuan segala sesuatu.

Plotinus dilahirkan pada tahun 204 Masehi di Lycopolis, Mesir. Orang tuanya berasal
dari Yunani. Mengenai Plotinus, banyak yang tidak mengetahui tentang kehidupannya,
Plotinus terkenal karena ajaran filsafatnya. Hakim dan Saebani mengatakan, “Awalnya
Plotinus mempelajari filsafat dari ajaran Yunani, terutama dari buah tangan Plato”. Kemudian
pada tahun 232 Masehi, Plotinus pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat kepada seorang
guru bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Sebenarnya diusianya yang sudah 28
tahun, Plotinus nampak cerdas sebagai filosof. Namun, baginya itu semua belum cukup. Ia
ingin mempelajari mistik dari Persia dan India, secara kebetulan Kaisar Roma ketika itu,
Gordianus hendak melakukan penyerangan ke Persia. Plotinus pun meminta agar dirinya
dijadikan serdadu dalam laskar Gordianus.

Akan tetapi, keinginan Plotinus untuk mempelajari mistik di Persia dan India gagal,
karena Gordianus terbunuh dalam peperangan tersebut. Ahmad Tafsir mengatakan, “Plotinus
selamat dan berhasil melarikan diri ke Antakya (Antioch)”. Pada umur 40 tahun, Plotinus
pergi ke Roma. Hakim dan Saebani mengatakan, “Satu tahun menetap disana untuk
mengajarkan filsafatnya”. Lalu, pada tahun 270 Masehi, Plotinus meninggal di Minturnae,
Campania, Italia

1. Pemikiran Plotinus

Plotinus pada awalnya tidak bermaksud untuk mengemukakan filsafatnya sendiri.


plotinus yang berupaya memadukan ajaran Aristoteles dan Plato, hanya saja pada praktiknya,
ia lebih condong pada ajaran-ajaran Plato. Ia hanya ingin memperdalam filsafat Plato. Oleh
karenanya, filosofinya disebut pula dengan Neoplatonisme. aliran baru yang dirintisnya
mencakup berbagai pemikiran dari berbagai negara dan menjadi pusat bagi peminat falsafah,
ilmu, dan sastra.

  Walaupun Plotinus memang banyak mempergunakan istilah-istilah Plato dan


mempergunakan juga dasar-dasar pikirannya, akan tetapi ia memajukan banyak hal yang
sebelumnya tidak di selidiki oleh filsafat Yunani, jadi hal yang baru. Oleh Plotinus di arahkan
kepada Tuhan dan Tuhanlah yang menjadi dasar segala sesuatunya. Lain dari Plato dengan
tegas idea tertinggi itu di sebutnya Tuhan atau yang esa (to hen). Sayangnya ia tidak
membedakan ada yang satu ini dengan ada yang bermacam-macam. Dengan demikian
menurut Plotinus dalam intinya dan dalam hakekatnya ada itu sungguh-sungguh hanya satu
belaka. Tuhan dan semua  (lainnya) berhakekat sama : ajaran yang menyatakan semuanya itu
berhakekat Tuhan disebut Panteisme (serbatuhan).

Neoplatonisme dibangun oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan filosof besar
fase terakhir Yunani. Neoplatonisme  merupakan rangkaian terakhir dari fase Helenisme
Romawi, yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi aliran ini masih
berkisar pada filsafat Yunani, yang teramu dalam mistik (tasawuf Timur), dan juga digabung
dengan berbagai aliran lain yang mendukung. Akibatnya, di dalamnya kadang terjadi
tabrakan antara filsafat Yunani dengan  agama-agama samawi. Aliran ini jelas bercorak
agama.

Menurut Plotinus, semua wujud di alam semesta ini adalah Tuhan yang Esa, kebaikan
mutlak, sumber bagi fikiran, hakekat segala sesuatu dan segala-galanya. Ia merupakan
kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi. Dari dzat Esa tersebut dengan
jalan pelimpah (emanasi).

Dari Yang Esa (To Hen) keluarlah Nous (Akal tertinggi, Spirit, Over mind) seperti
keluarnya sinar dari benda yang bercahaya. Nous tersebut ialah Fikiran tertinggi (Over mind)
bagi alam semesta dan bagi dunia idea serta gudang dari semua form, dimana semua fikiran
dan perkara yang wujud menjadi bagian-bagiannya. Neoplatonisme ini terdapat unsur-unsur
Platonisme, Phytagoras, Aristoteles, Stoa, dan mistik Timur, jadi, berpadu antara unsur-unsur
kemanusiaan, keagamaan dan mistik.[4] Seluruh sistem filsafat Plotinus berkisar pada konsep
kesatuan, yang disebutnya dengan nama “Yang Esa”, dan semua yang ada berhasrat untuk
kembali kepada “Yang Esa”. Oleh karenanya, dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua
arah: dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, yaitu:

1. Dialektika menurun (a way down)

Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskan “Wujud Tertinggi” dan cara  keluarnya
dari-Nya. Penjelasannya terhadap Wujud tertinggi itu, Plotinus terkenal dengan teorinya
“Yang Esa”, yaitu keluarnya alam dari “Yang Esa”, ia sampai kepada kesimpulan bahwa
semua yang wujud, termasuk di dalamnya wujud pertama (Yang Esa), merupakan rangkaian
mata rantai yang kuat dan erat, dan kemudian dalam studi kegamaan dikenal dengan istilah
“kesatuan wujud”.

Plotinus sangat mementingkan kesatuan 

Semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai
suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Esa” (bahasa Yunani: to hen). Setiap taraf
dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling berdekatan dengannya. Taraf satu
berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau “emanasi” (bahasa Inggris: emanation).
Dengan istilah “emanasi” ditunjukkan bahwa pengeluaran itu secara mutlak perlu, seperti air
sungai secara mutlak perlu memancar dari sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam
mengeluarkan taraf berikutnya, tetapi dalam proses pengeluaran ini taraf yang lebih tinggi
tidak berubah dan kesempurnaannya tidak hilang sedikit pun. Proses pengeluaran
digambarkan Plotinus sebagai berikut: dari “Yang Esa” dikeluarkan Akal (Nous). Akal ini
sama dengan ide-ide Plato yang dianggap Plotinus sebagai suatu intelek yang memikirkan
dirinya sendiri. Jadi, akal sudah tidak satu lagi, karena di sini terdapat dualitas: pemikiran dan
apa yang dipikirkan. Dari akal itu, jiwa (psykhe) berasal, dan akhirnya dari jiwa dikeluarkan
materi (hyle), yang bersama jiwa merupakan jagad raya. Selaku taraf yang paling rendah
dalam seluruh hirarki, materi adalah makhluk yang paling kurang kesempurnaannya dan
sumber segala kejahatan.

2. Dialektika menaik (a way up)

Dialektika menaik digunakan untuk menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa, dengan
maksud untuk menentukan kebahagiaan manusia. Setiap taraf hirarki mempunyai tujuan
untuk kembali kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dan kerena itu secara tidak
langsung menuju ke “Yang Esa”. Karena hanya manusia mempunyai hubungan dengan
semua taraf hierarki, sialah yang dapat melaksanakan pengembalian kepada “Yang Esa”. Hal
ini dapat dicapai melalui tiga langkah. Langkah pertama adalah penyucian, di mana manusia
melepaskan diri dari materi dengan laku tapa. Langkah kedua adalah penerangan, dimana ia
diterangi dengan pengetahuan tentang Idea-idea akal budi. Akhirnya, langkah ketiga adalah
penyatuan dengan “Yang Esa” yang melebihi segala pengetahuan. Langkah terakhir ini
ditunjukkan Plotinus dengan nama “ekstase” (ecstacy). Porphyry menceritakan bahwa selama
6 tahun ia bersama Plotinus, empat kali ia menyaksikan gurunya mengalami ekstase tersebut.

Dua dialektika itu, oleh Plotinus dikembangkan teori tentang asal usul alam semesta
yang tampaknya juga merupakan gabungan dari teori-teori Plato dan Aristoteles, yang
kemudian dikenal sebagai sistem emanasi. Dunia tidak lagi dipandang sebagai suatu wujud
yang diciptakan pdari materi yang ada sejak sebelumnya (pre-existent matter), yang mana dia
itu sendiri, kekal bersama-sama “Yang Baik” (menurut Plato), dan juga bukan dipandang
sebagai wujud yang keseluruhan dan kesempurnaannya kekal bersama-sama “Yang Esa”
(menurut Aristoteles); sekarang dia dipandang sebagai wujud yang dihasilkan atau
dipancarkan dari hakikat kesejatian “Yang Esa” secara kekal, jadi pandangan yang baru ini
berusaha menafsirkan kepercayaan kepada penciptaan alam dari tiada (ex nihilo) sebagai
suatu tindak penciptaan dunia yang melibatkan waktu dari hakikat “Yang Esa”.

 Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Plotinus

Pertama-tama dan terutama, terdapat suatu konstruksi yang di yakini Plotinus sebagai
tempat suaka yang aman bagi cita-cita dan harapan, dan sesuatu yang, di samping itu,
mencangkup baik upaya moral maupun intelektual. Pada abad ke-3, dan pada abad-abad
sesudah invasi kaum barbar, peradaban barat mengalami kehancuran yang nyaris total.
Untunglah bahwa, sementara teologi nyaris merupakan satu-satunya aktifitas mental yang
tetap lestari, sistem yang diterima tidaklah sepenuhnya bersifat takhayul, melainkan
melestarikan, meski kadang terkubur dalam-dalam, doktrin-doktrin yang menyusun sebagian
besar karya pemikiran yunani dan sebagian besar pengabdian moral yang umum berlaku pada
kaum stoa dan kaum Neoplatoisme. Ini memungkinkan lahirnya filsafat skolastik, dan
memungkinkan di belakang hari, bersama dengan Renaissance, menjadi pendorong yang
bersumber dari pembaharuan studi terhadap Plato, dan selain itu juga terdapat tokoh-tokoh
kuno lainnya.

Filsafat Plotinus mengandung kekurangan dalam arti mendorong manusia untuk lebih
menilik ke dalam dari pada menilik ke luar: jika kita menilik kedalam daripada menilik
keluar: jika kita menilik ke dalam, kita bisa melihat nous, yang suci, sedangkan jika kita
menilik ke luar, kita melihat ketidak sempurnaan dunia inderawi. Jenis subjektifitas demikian
ini adalah hasil perkembangan yang berangsur; ia bisa ditemukan dalam doktrin-doktrin
Protagoras, Sokrates, dan Plato, maupun dalam ajaran kaum Stoa dan Epikurean. Namun
pada mulanya ia hanya bersifat doktrinal, tidak temperamental; selama sekian masa ia tak
berhasil memantikan keingintahuan ilmiah. Akan tetapi, sunjektivisme berangsur-rangsur
menjangkiti perasaan manusia maupun dotrin-doktrin mereka. Ilmu pengetahuan tak lagi
dikembangkan, dan hanya keutamaanlah yang di anggap penting.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Plotinus adalah seorang filsuf yang mendirikan Mazhab Neo-Platonisme. Plotinos


menjadikan pemikiran Plato sebagai inspirasi utamanya. Akan tetapi, pemikiran Plato
tersebut digabungkan dengan berbagai aliran filsafat lain pada masanya, termasuk
aliran filsafat Timur. Inti ajaran Neo-Platonisme dapat ditemukan dalam Enneadeis, yang
merupakan buku berisi kumpulan karangan Plotinos. Buku tersebut diterbitkan oleh muridnya
yang bernama Porphyrios (232-301 SM). Di dalam buku tersebut, pemikiran Plotinus
berpusat pada konsep “Yang Esa” (dalam bahasa Yunani to hen, dan dalam bahasa
Inggris the one).

1. Saran

Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat menambah ilmu wawasan bagi kita
semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai acuan dalam pembuatan makalah
selanjutnya.

Daftar Pustaka

Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bertens,  K. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Penerbit Kanisius

Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Rineka Cipta: Jakarta.

Sholikhin, Muhammad. 2008. Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan


Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Jogjakarta:
Penerbit Narasi.

Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai