Anda di halaman 1dari 3

TUGAS FILSAFAT ILMU

( Plotinus)
Dosen Pengampu: Nurmahmudah, S.ud, M.Phil
Adella Devi Febianti (21301009)

1. Biografi Plotinus
Plotinus adalah seorang filsuf yang mendirikan Mazhab Neo-Platonisme. Plotinos
menjadikan pemikiran Plato sebagai inspirasi utamanya. Akan tetapi, pemikiran Plato
tersebut digabungkan dengan berbagai aliran filsafat lain pada masanya, termasuk aliran
filsafat Timur. Inti ajaran Neo-Platonisme dapat ditemukan dalam Enneadeis, yang
merupakan buku berisi kumpulan karangan Plotinos. Buku tersebut diterbitkan oleh muridnya
yang bernama Porphyrios (232-301 SM). Di dalam buku tersebut, pemikiran Plotinus
berpusat pada konsep “Yang Esa” (dalam bahasa Yunani to hen, dan dalam bahasa Inggris
the one). Terkadang “Yang Esa” disebut juga sebagai “Yang Baik”. “Yang Esa” tersebut
tidak dapat dibicarakan, tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat diidentifikasikan. Ia bukan
sesuatu dan juga bukan roh. Tidak ada atribut yang melekat kepadanya. Kemudian “Yang
Esa” itu merupakan asal dan tujuan segala sesuatu.1
Plotinus dilahirkan pada tahun 204 Masehi di Lycopolis, Mesir. Orang tuanya berasal dari
Yunani. Mengenai Plotinus, banyak yang tidak mengetahui tentang kehidupannya, Plotinus
terkenal karena ajaran filsafatnya. Hakim dan Saebani mengatakan, “Awalnya Plotinus
mempelajari filsafat dari ajaran Yunani, terutama dari buah tangan Plato”. Kemudian pada
tahun 232 Masehi, Plotinus pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat kepada seorang guru
bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Sebenarnya diusianya yang sudah 28 tahun,
Plotinus nampak cerdas sebagai filosof. Namun, baginya itu semua belum cukup. Ia ingin
mempelajari mistik dari Persia dan India, secara kebetulan Kaisar Roma ketika itu, Gordianus
hendak melakukan penyerangan ke Persia. Plotinus pun meminta agar dirinya dijadikan
serdadu dalam laskar Gordianus.
Akan tetapi, keinginan Plotinus untuk mempelajari mistik di Persia dan India gagal, karena
Gordianus terbunuh dalam peperangan tersebut. Ahmad Tafsir mengatakan, “Plotinus
selamat dan berhasil melarikan diri ke Antakya (Antioch)”. Pada umur 40 tahun, Plotinus
pergi ke Roma. Hakim dan Saebani mengatakan, “Satu tahun menetap disana untuk
mengajarkan filsafatnya”. Lalu, pada tahun 270 Masehi, Plotinus meninggal di Minturnae,
Campania, Italia.
2. Pemikiran plotinus
Pada awalnya Plotinus tidak bermaksud untuk mengemukakan filsafatnya sendiri. Plotinus
yang hanya berupaya untuk memadukan ajaran Aristoteles dan Plato, hanya saja pada
praktiknya, ia lebih condong pada ajaran-ajaran Plato. Dan dia hanya ingin memperdalam
filsafat Plato. Oleh karenanya, filosofinya disebut pula dengan Neoplatonisme. Aliran baru

1
Simon Petrus Lili Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta:Kanisius, 2004), Hlm. 91-92
yang dirintisnya mencakup berbagai pemikiran dari berbagai negara dan menjadi pusat bagi
peminat falsafah, ilmu, dan sastra.2 Walaupun Plotinus memang banyak mempergunakan
istilah-istilah Plato dan mempergunakan juga dasar-dasar pikirannya, akan tetapi ia
memajukan banyak hal yang sebelumnya tidak di selidiki oleh filsafat Yunani, jadi
menemukan hal yang baru. Oleh karena itu Plotinus di arahkan kepada Tuhan dan Tuhanlah
yang menjadi dasar segala sesuatunya. Lain dari Plato dengan tegas idea tertinggi itu di
sebutnya Tuhan atau yang esa (to hen). Sayangnya ia tidak membedakan ada yang satu ini
dengan ada yang bermacam-macam. Dengan demikian menurut Plotinus dalam intinya dan
dalam hakekatnya ada itu sungguh-sungguh hanya satu belaka. Tuhan dan semua (lainnya)
berhakekat sama : ajaran yang menyatakan semuanya itu berhakekat Tuhan disebut
Panteisme (serbatuhan).3
Neoplatonisme dibangun oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan filosof besar fase
terakhir Yunani. Neoplatonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase Helenisme Romawi,
yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi aliran ini masih berkisar pada
filsafat Yunani, yang teramu dalam mistik (tasawuf Timur), dan juga digabung dengan
berbagai aliran lain yang mendukung. Akibatnya, di dalamnya kadang terjadi tabrakan antara
filsafat Yunani dengan agama-agama samawi. Aliran ini jelas bercorak agama.
Menurut Plotinus, semua wujud di alam semesta ini adalah Tuhan yang Esa, kebaikan
mutlak, sumber bagi fikiran, hakekat segala sesuatu dan segala-galanya. Ia merupakan
kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi. Dari dzat Esa tersebut dengan
jalan pelimpah (emanasi).
Dari Yang Esa (To Hen) keluarlah Nous (Akal tertinggi, Spirit, Over mind) seperti keluarnya
sinar dari benda yang bercahaya. Nous tersebut ialah Fikiran tertinggi (Over mind) bagi alam
semesta dan bagi dunia idea serta gudang dari semua form, dimana semua fikiran dan perkara
yang wujud menjadi bagian-bagiannya. Neoplatonisme ini terdapat unsur-unsur Platonisme,
Phytagoras, Aristoteles, Stoa, dan mistik Timur, jadi, berpadu antara unsur-unsur
kemanusiaan, keagamaan dan mistik.4
Seluruh sistem filsafat Plotinus berkisar pada konsep kesatuan, yang disebutnya dengan nama
“Yang Esa”, dan semua yang ada berhasrat untuk kembali kepada “Yang Esa”. Oleh
karenanya, dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah: dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas, yaitu:
1. Dialektika menurun (a way down)
Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskan “Wujud Tertinggi” dan cara keluarnya
dari-Nya. Penjelasannya terhadap Wujud tertinggi itu, Plotinus terkenal dengan teorinya
“Yang Esa”, yaitu keluarnya alam dari “Yang Esa”, ia sampai kepada kesimpulan bahwa
semua yang wujud, termasuk di dalamnya wujud pertama (Yang Esa), merupakan rangkaian
mata rantai yang kuat dan erat, dan kemudian dalam studi kegamaan dikenal dengan istilah
“kesatuan wujud”.

2
Dr. Amroeni Drajat M.A, Suhrawadi: Kritik Falsafah Peripatetik ,(Jogjakarta:LKiS, 2005), Hlm. 104-108
3
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat , (Jakarta: Rineka Cipta), Hlm. 48
4
KH. Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman
Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti , (Jogjakarta: Penerbit Narasi, 2008), Hlm. 161-168
Plotinus sangat mementingkan kesatuan.Semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan
keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Esa”
(bahasa Yunani: to hen). Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling
berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau
“emanasi” (bahasa Inggris: emanation). Dengan istilah “emanasi” ditunjukkan bahwa
pengeluaran itu secara mutlak perlu, seperti air sungai secara mutlak perlu memancar dari
sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya, tetapi dalam
proses pengeluaran ini taraf yang lebih tinggi tidak berubah dan kesempurnaannya tidak
hilang sedikit pun. Proses pengeluaran digambarkan Plotinus sebagai berikut: dari “Yang
Esa” dikeluarkan Akal (Nous). Akal ini sama dengan ide-ide Plato yang dianggap Plotinus
sebagai suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal sudah tidak satu lagi, karena
di sini terdapat dualitas: pemikiran dan apa yang dipikirkan. Dari akal itu, jiwa (psykhe)
berasal, dan akhirnya dari jiwa dikeluarkan materi (hyle), yang bersama jiwa merupakan
jagad raya. Selaku taraf yang paling rendah dalam seluruh hirarki, materi adalah makhluk
yang paling kurang kesempurnaannya dan sumber segala kejahatan.5
2. Dialektika menaik (a way up)
Dialektika menaik digunakan untuk menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa, dengan maksud
untuk menentukan kebahagiaan manusia. Setiap taraf hirarki mempunyai tujuan untuk
kembali kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dan kerena itu secara tidak langsung
menuju ke “Yang Esa”. Karena hanya manusia mempunyai hubungan dengan semua taraf
hierarki, sialah yang dapat melaksanakan pengembalian kepada “Yang Esa”. Hal ini dapat
dicapai melalui tiga langkah. Langkah pertama adalah penyucian, di mana manusia
melepaskan diri dari materi dengan laku tapa. Langkah kedua adalah penerangan, dimana ia
diterangi dengan pengetahuan tentang Idea-idea akal budi. Akhirnya, langkah ketiga adalah
penyatuan dengan “Yang Esa” yang melebihi segala pengetahuan. Langkah terakhir ini
ditunjukkan Plotinus dengan nama “ekstase” (ecstacy). Porphyry menceritakan bahwa selama
6 tahun ia bersama Plotinus, empat kali ia menyaksikan gurunya mengalami ekstase tersebut.
Dua dialektika itu, oleh Plotinus dikembangkan teori tentang asal usul alam semesta yang
tampaknya juga merupakan gabungan dari teori-teori Plato dan Aristoteles, yang kemudian
dikenal sebagai sistem emanasi. Dunia tidak lagi dipandang sebagai suatu wujud yang
diciptakan pdari materi yang ada sejak sebelumnya (pre-existent matter), yang mana dia itu
sendiri, kekal bersama-sama “Yang Baik” (menurut Plato), dan juga bukan dipandang
sebagai wujud yang keseluruhan dan kesempurnaannya kekal bersama-sama “Yang Esa”
(menurut Aristoteles); sekarang dia dipandang sebagai wujud yang dihasilkan atau
dipancarkan dari hakikat kesejatian “Yang Esa” secara kekal, jadi pandangan yang baru ini
berusaha menafsirkan kepercayaan kepada penciptaan alam dari tiada (ex nihilo) sebagai
suatu tindak penciptaan dunia yang melibatkan waktu dari hakikat “Yang Esa”.

5
Prof. Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat , Jogjakarta: Penerbit Kanisius,1975), Hlm. 18-19

Anda mungkin juga menyukai