Anda di halaman 1dari 10

Nama : Erlangga nur Al Farizi karyadhara

NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam

Materi 3 “pemikiran filsafat al-Razi”;


1. Biografi Al-Razi
Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi (Dahlan,
2002:182). Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313 H/864-
925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat Teheran
(pen: Iran) sekarang (Supriyadi, 2009:68). Al-Razi mempunyai hubungan darah dengan bangsa
Parsi (Iran) dan lahir di zaman kejayaan Abbasiyah (Amien, 1983:46)
Al-Razi belajar ilmu kedokteran kepada Ali ibn Rabban Ath-Thabari. Al-Razi belajar
filsafat kepada Al-Balkhi. Al-Balkhi adalah orang yang banyak melakukan perjalanan,
menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Beberapa orang mengatakan bahwa Al-Razi
menghubungkan dengan dirinya sendiri buku-buku filsafat Al-Balkhi (Syarif, 1993:34).
Di kota kelahirannya, Al-Razi terkenal sebagai dokter. Karena itu, ia memimpin sebuah
rumah sakit di Rayy, ketika Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Azad menjadi Gubernur Rayy,
dari tahun 290-296H/902-908M (Hadi, 2003:13)
Al-Razi merupakan seorang dokter yang memiliki jiwa dan pikiran yang didasarkan pada
filsafat. Perpaduan filsafat dan kedokteran menjadikan kualitas keilmuan Al-Razi memiliki nilai
plus dibanding para pendahulunya (Supriyadi, 2009:71)

2. Karya-Karya Ar-Razi
Al-Razi banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim, dan
alkemi (Hadi, 2003:14) Buku-buku Al-Razi menurut Ibn An-Nadim (dalam Syarif, 1993:36)
adalah 118 buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu makalah, jumlah seluruhnya 148 buah. Ibn
Abi Usaibi’ah menyebutkan 236 karyanya, tetapi beberapa di antaranya tidak jelas
pengarangnya.
Buku-buku Al-Razi yang banyak jumlahnya dikolompokkan menjadi:
a. ilmu kedokteran,
b. ilmu fisika,
c. logika,
d. matematika dan astronomi,
e. komentar, ringkasan, dan ikhtisar,
f. filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis,
g. metafisika,
h. teologi,
i. alkimia,
j. ateisme, dan
k. campuran (Supriyadi, 2009:72)
Adapun karya-karya Ar-Razi yang masih dapat dinikmati sampai sekarang meskipun buku-
buku tersebut dihimpun dalam satu kitab yang dikarang oleh orang lain adalah:
a. Al-Tibb al-Ruhani,
b. Al-Shirath al-Falasafiyah,
c. Amarat Iqbal al Daulah,
d. Kitab al-ladzdzah,
e. Kitab al Ibnu al Ilahi,
f. Makalah fi mabadd altalbiah,
g. Al Syukur ’Ala Proclas (Mustofa, 2000:117)
Menurut Supriyadi (2009:72) di antara buku Al-Razi yang dapat disebutkan sebagai
berikut:
a. Ath-Thib Ar-Ruhani,
b. Ash-Shirat Al-Falsafiyyah,
c. Amarat Iqbal Ad-Daulah,
d. Kitab Al-Ladzdzah,
e. Kitab Al-Ilm Al-Ilahi,
f. Maqalah fi Ma’bad Ath-Thabi’ah,
g. Al-Hawi fi Ath-Thibb,
h. Manshiri,
i. Kitab Sirr Al-Asrar,
j. Muluki, dan
k. Kitab Al-Jami Al-Kabir.

3. Filsafat Al-Razi
Filsafat Al-Razi meliputi: filsafat lima kekal, filsafat rasionalis, filsafat moral (Supriyadi,
2009:73-80)
a. Filsafat Lima Kekal
Lima ajaran kekal Al-Razi menurut Nasution (2008:18) adalah: (1) Materi, merupakan apa
yang ditangkap dengan panca indera tentang benda, (2) Ruang, karena materi mengambil tempat,
(3) Waktu, karena materi berubah-ubah keadaannya, (4) Di antara benda-benda ada yang hidup,
karena itu perlu ada ruh, (5) Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Tahu.
Menurut Ali (t-th: 37) ajaran lima kekal Al-Razi yaitu: (1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta
Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna. (2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa Universal yang hidup
dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki. (3) Al-Hayulal-
Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-
atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya.
Atom tanah adalah yang paling padat, kemudian menyusul air, hawa, dan api. (4) Al-Makanul-
Mutlaq, ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir. (5) Az-Zamanul- Mutlaq, masa
yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
(1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
Tuhan bersifat sempurna. Tidak ada kebijakan setelah tidak sengaja, karena itu
ketidaksengajaan tidak bersifat kepada-Nya. Kehidupan berasal dari-Nya sebagaimana sinar
datang dari matahari Tuhan mempunyai kepandaian yang sempurna dan murni. Kehidupan ini
adalah mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan sesuatu dan tidak ada yang bisa menandingi dan
tidak ada yang bisa menolak kehendak-Nya. Tuhan Maha Mengetahui, segala sesuatu. Tetapi
ruh-ruh hanya mengetahui apa yang berasal dari eksperimen. Tuhan mengetahui bahwa ruh
cenderung pada materi dan membutuhkan kesenangan materi.
(2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu
menemukan kebebasan yang hakiki.
Tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan apapun tetapi Tuhan memutuskan
penciptaan-Nya setelah pada mulanya tidak berkehendak tidak menciptakannya, Tuhan
menciptakan manusia guna menyadarkan ruh dan menunjukkan kepadanya, bahwa dunia ini
bukanlah dunia yang sebenarnya dalam arti hakiki. Manusia tidak akan mencapai dunia hakiki
ini, kecuali dengan filsafat, mereka mempelajari filsafat, mengetahui dunia hakiki, memperoleh
pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh tetap berada dalam dunia ini sampai
mereka disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh
dunia yang sebenarnya, dunia sejati atau dunia hakiki.
(3) Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia.
Menurut Ar-Razi kemutlakan, materi pertama terdiri dari atom-atom, setiap atom
mempunyai volum yang dapat dibentuk. Dan apabila dunia ini dihancurkan, maka ia akan
terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian materi berasal dari kekekalan, karena
tidak mungkin menyatakan suatu yang berasal dari ketiadaan sesuatu.
(4) Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Menurut Ar-Razi ruang adalah tempat keadaan materi, beliau mengatakan bahwa materi
adalah kekal dan karena materi itu mempunyai ruang yang kekal. Bagi Ar-Razi ruang terbagi
menjadi dua yakni waktu universal (mutlak) dan waktu tertentu (relatif ), ruang universal adalah
tidak terbatas dan tidak tergantung pada dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya,
sedangkan ruang yang relatif adalah sebaliknya.
(5) Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Waktu adalah subtansi yang mengalir, ia adalah kekal. Ar-Razi membagi waktu dua
macam yakni waktu mutlak dan waktu relatif (terbatas). Waktu mutlak adalah keberlangsungan,
ia kekal dan bergerak. Sedang gerak relatif adalah gerak lingkungan-lingkungan, matahari dan
bintang gemintang.
Filsafat lima yang kekal Al-Razi tersebut mengisyaratkan bahwa di balik dunia fana
terdapat jiwa tak terbatas yaitu Tuhan sebagai Pencipta kosmos, Jiwa Yang Mutlak yakni ruh
tersebut menjelma pada alam, di mana ruh mempunyai inti yang disebut ide atau berpikir, berupa
kekuatan akal yang dipandang sebagai pancaran Jiwa Universal (an-Nafs al-Kulliyah) Ilahi.
Karena itu kekuatan akal memungkinkan manusia mencapai kebenaran Ilahiyah.
Doktrin lima hal yang kekal (al-Qudama al-khamsah) yang menyajikan beberapa kajian
tentang waktu, ruang kehampaan, serta perpindahan jiwa memiliki implikasi luas guna
dikembangkan sebagai dasar pemahaman masalah kosmologi.
Pemahaman atas alam seisinya sebagai makrokosmos berarti memandang semesta sebagai
kesatuan kosmis, sementara manusia sebagai individu yang terdiri dari jasmani dan rohani
ditempatkan sebagai mikrokosmos, fakta tunggal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
keseluruhan sistem semesta. Pemahaman keduanya mendasari pemahaman mengenai asal-usul
dan arah ke mana tujuan kehidupan akan menuju. Pemahaman masalah ini selanjutnya mendasari
penentuan sikap dalam menyikpai kehidupan ini.
Filsafat Al-Razi membantu memahami konsep penciptaan berdasarkan pemahaman atas
hakekat Tuhan, alam semesta dan manusia. Ini menjadikan pandangan-pandangannya
mencerminkan sebuah pandangan teologis tersendiri. Dalam pandangan Al-Razi ruang semesta
membentang sangat luas dan tak terbatas, di mana Tuhan merupakan sentralnya. Tuhan adalah
Dzat Yang Maha Mutlak yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Kekuasaan Tuhan tidak terbatasi
oleh ruang waktu.
Kehendak (iradah) Tuhan menyemarakkan kehampaan semesta dengan menciptakan alam
dari substansi sederhana menjadi substansi yang terbentuk, kemudian dengan pancaran
kehendak-Nya pula Tuhan membangkitkan gerak dinamika alam. Kehendak Tuhan untuk
mencipta telah memecah kegelapan dan kesunyian semesta dengan dinamika gerak dan
keteraturan hukum alam (sunnatullah).
Manusia pada hakekatnya hanyalah kehidupan yang sangat terbatas (mikrokosmos),
sekedar bentukan dari materi dan ruh yang menempati ruang terbatas di tengah ketidakterbatasan
ruang dan waktu. Pada saatnya unsur materi pada manusia, berupa jasad (fisik) akan hancur,
kembali pada materi awal, sementara ruh yang menjadi esensi jati diri manusia akan kembali
pada keabadiannya semula.
Seluruh penciptaan ini ditujukan untuk kemaslahatan ruh yang telah dibantu bersemayam
di alam materi dalam wujud manusia. Bagi manusia, perpindahan ruh dari kehampaan ruang tak
terbatas ke dalam materi yang tertentu merupakan suatu proses penyadaran (pendidikan) dari
kebodohan yang telah memalingkan dari jalan kebenaran dan kebahagiaan (as-sa’adah) hakiki
kepada kesenangan (al-ladzdzah) sesaat.
Keterjebakan jiwa pada materi merupakan akibat ketidaktahuannya atas hakekat
kebahagian sejati, yang karenanya Tuhan menganugerahkan jiwa rasional yang terpancar dari
jiwa universal-Nya, sehingga memungkinkan manusia belajar mengetahui hakekat kehidupan,
dirinya, kebahagiaan, serta keharusan meningkatkan potensi diri. Keterjebakan tersebut di sisi
lain juga memberi kesempatan ruh untuk belajar melalui pengalaman. Karena itu dapat dikatakan
bahwa kehendak Tuhan untuk menciptakan kehidupan ini tidak sia-sia (ma khalakta hadza
bathila), tetapi sebagai kesempatan untuk belajar hingga manusia dapat memperoleh
kebahagiaan hakiki.
Hidup merupakan sebuah kesempatan untuk keluar dari kebodohan menuju kebahagiaan
sejati melalui proses belajar. Untuk sampai pada kebahagiaan sejati perlu didahului dengan
proses penyadaran atas hakekat diri dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak didahului proses
penyadaran berarti kebahagiaan dalam ketidaktahuan atau kebodohan, yang berpotensi
menjerumuskan ke arah penyimpangan, seperti halnya jiwa yang bodoh tertarik pada meteri.
Filsafat Al-Razi mengarahkan kehidupan untuk mencari kebahagiaan hakiki, yang dapat
diperoleh dengan cara membebaskan ruh dari jeratan materi. Kebahagiaan yang ada dalam
kehidupan dunia bukan kebahagiaan yang sebenarnya, tetapi hanya kebahagiaan yang semu,
bahkan diwarnai dengan rasa sakit dan penderitaan. Namun demikian ar-Razi menilai hidup
bukan suatu kesia-siaan, melainkan sebuah kesempatan yang sangat berharga. Kebahagiaan
akhirat yakni keterbebasan jiwa dari pengaruh materi dapat diperoleh dengan pengembangan
akal secara optimal. Untuk itu diperlukan dukungan rasa yang sehat, di mana seluruh pekerjaan
tubuh memperoleh porsi perhatian yang cukup, hingga masing-masing dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan perlakuan masing-masing unsur jiwa secara
seimbang. Ini berarti ada keterkaitan dengan cara hidup yang tepat. Al-Razi menjadikan sifat-
sifat Tuhan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pandai,
Maha Adil dan Maha Pengasih, yang sifat-sifat-Nya harus ditiru manusia. Manusia dituntut
belajar agar menjadi pandai, mampu bersikap adil dan bijaksana terhadap diri sendiri maupun
lingkungan sekitarnya, serta penuh kasih sayang terhadap sesama. Al-Razi mencela kehidupan
kaum hedonis yang hanya memperturutkan hawa nafsu, sekaligus mencela para rahib dan
agamawan yang memilih jalan penyerahan diri secara total dengan cara lebih banyak
menghabiskan waktu di tempat ibadah, serta mengabaikan tuntutan hidup yang lain (Iqbal,
2003:79).
Kehidupan ideal didasarkan pada pertimbangan kesehatan jiwa dan raga sebagai standar
idealitas kehidupan. Untuk itu manusia berkewajiban memelihara karunia Tuhan berupa fisik dan
psikis dengan perlakuan seimbang. Keseimbangan diri manusia itulah yang nantinya membentuk
pribadi paripurna, yang tercermin dalam perilaku kehidupannya sehari-hari. Keberhasilan
individu dalam melakukan kontrol pribadinya berarti berhasil menyesuaikan diri dengan norma-
norma sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Dalam hal ini akal memainkan beberapa
fungsi: pertama, mencari dan menemukan kebenaran hingga mampu menentukan baik buruk tata
nilai yang ada, sekaligus berperan sebagai alat kontrol pribadi agar dapat menyesuaikan diri
dengan tata nilai atau kebenaran yang diyakini. Kedua, akal berperan dalam mengembangkan
ilmu dan menciptakan berbagai perabot (teknologi) untuk memudahkan dalam memenuhi hajat
kehidupannya.
Prinsip keseimbangan juga menjadi landasan dalam tata pergaulan kemasyarakatan, di
mana demi kebaikan bersama antar anggota masyarakat perlu dijalin hubungan saling
menguntungkan dengan cara saling membantu dan bekerja sama. Karena itu kehidupan ideal
menuntut keadilan dalam kerja sama kemasyarakatan. Adalah tidak layak bila seseorang harus
membayar terlalu mahal untuk sebuah jasa, karena hal itu berarti kerugian di satu pihak, dan
sebaliknya pelayanan terlalu besar dibanding imbalan sama halnya dengan perbudakan.
b. Filsafat Rasionalis
Nasution (2008:25) mengatakan bahwa Al-Razi adalah seorang filsuf yang berani
mengeluarkan pendapat-pendapatnya yang bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam,
seperti tidak percaya wahyu; Al-Qur’an bukan mukjizat; tidak percaya nabi-nabi; tidak percaya
adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan.
Al-Razi adalah seorang rasionalis-religius, bukan rasionalis-liberal karena Al-Razi masih
mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan (Supriyadi, 2009:77)
Rasionalis Al-Razi terhadap akal tampak dalam perkataannya:
Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya, kita memperoleh
sebanyak-banyak manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat
segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal, kita dapat
mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita... dengan akal pula, kita dapat
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh....
Jika akal sedemikian mulia dan penting, kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak boleh
menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia
adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah; tetapi kita harus merujuk
kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya; kita harus sesuai
dengan perintahnya (Al-Razi dalam Supriyadi, 2009: 76)

Pernyataan Al-Razi tersebut menunjukkan bahwa manusia lahir dengan kemampuan yang
sama untuk meraih pengetahuan, yaitu manusia dikarunia akal. Manusia menjadi berbeda karena
perbedaan dalam menggunakan kemampuan akalnya, ada yang menggunakannya untuk belajar,
ada yang mengabaikannya, dan ada juga yang menggunakannya untuk kehidupan praktisnya. Al-
Razi merupakan rasionalis murni yang tidak menempatkan wahyu atau intuisi mistis untuk
memperoleh pengetahuan. Hanya dengan akal logislah manusia dapat memperoleh pengetahuan
dan perilaku terpuji.
Dari perkataan Al-Razi tersebut dapat diketahui bahwa Al-Razi adalah seorang rasionalis
murni yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-
nabi. Al-Razi berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang
buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia dalam
pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama besarnya, dan perbedaan
timbul karena berlainan suasana perkembangannya.
Para nabi menurut pendapatnya, membawa kehancuran bagi manusia, dengan ajaran-
ajaran mereka yang saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran itu menimbulkan perasaan benci-
membenci di antara umat manusia yang terkadang meningkat menjadi peperangan agama.
Walaupun demikian Al-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana Al-Razi (dalam Dahlan,
2002:185) menyatakan:
Semoga Allah melimpahkan salawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan
keluarganya dan semoga Allah melimpahkan salawat kepada sayid kita, kekasih kita, dan
penolong kita di hari kiamat, Muhammad, semoga Allah melimpahkan kepadanya salawat dan
salam yang banyak selamanya.

Semua agama dikritiknya. Orang tunduk agama, menurut pendapatnya, karena tradisi,
kekuasaan yang ada pada pemuka-pemuka agama, dan karena tertarik pada upacara-upacara
yang mempengaruhi jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran. Al-Qur’an baik dalam bahasa
dan gaya manapun dalam isi tidak merupakan mukjizat. Al- Razi lebih mementingkan buku-
buku filsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Tetapi sungguhpun Al-Razi
menentang agama pada umumnya, Al-Razi bukan seorang ateis, malahan seorang monoteis yang
percaya pada keberadaan satu Tuhan, sebagai penyusun dan pengatur alam ini (Amien, 1983:46).
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, Al-Razi memandang
kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan dengan meninggalkan alam materi.
Untuk kembali ke Tuhan, ruh harus terlebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan ruh
ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi dekat
menyerupai zahid (‫ ) َزا ِه ْد‬dalam hidup kebendaan. Tetapi Al-Razi menganjurkan jangan terlalu
mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangannya yang dapat diperoleh hanya
dengan menyakiti orang lain atau bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan
pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk
memelihara diri.
Kepercayaan Al-Razi terhadap kemampuan akal menjadikan pandangannya tentang agama
juga didasarkan pada pendekatan rasional. Ajaran-ajaran agama tidak dipahami sebagai dogma-
dogma mati yang harus diterima begitu saja. Keyakinan atas kebenaran dan urgensi agama
didasarkan pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat. Karena itu, Al-Razi banyak
menyoroti dogma-dogma agama yang dipandang bertentangan dengan akal sehat maupun
petunjuk Allah yang sebenarnya. Al-Razi mengajak manusia untuk membebaskan diri dari hal-
hal irasional, sebagaimana tujuan studi filsafat semula, yakni menemukan kebenaran dan
membebaskan manusia dari mitologi supernaturalisme di bawah bendera rasionalisme.
c. Filsafat Moral
Al-Razi memiliki andil yang sangat besar dalam ilmu akhlak. Al-Razi melihat kenikmatan
dan kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat dikatakan sebagai
kehormatan karena manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata
lain, kenikmatan yang diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang ditimbulkannya.
Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki nilai tertentu (Iqbal, 2003:79)
Kebahagiaan diartikan sebagai kembalinya sesuatu yang hilang karena kemudlaratan yang
akan diperoleh bilamana akal berhasil mengendalikan berbagai kecenderungan jiwa secara
berimbang. Keseimbangan tersebut tercermin dalam cara hidup seseorang di lingkungan
masyarakatnya yang tidak hanya mengejar kesenangan dunia (hedonis), serta tidak
menghabiskan waktu untuk kepuasan spiritual.
Prinsip keseimbangan juga menjadi dasar tata hubungan kemasyarakatan, mengingat
manusia dipandang sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup secara layak tanpa bantuan
orang lain. Manusia hanya mampu melakukan jenis pekerjaan tertentu, yang karenanya
kehidupan antar warga masyarakat hanya dapat disempurnakan dan diorganisasikan dengan baik
melalui kemauan untuk saling menolong, bekerja sama, serta saling setia
Adapun pikiran Ar-Razi tentang moral, sebagaimana tertuang dalam bukunya Al-Thib al-
Ruhani dan al-Sirah al-falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mesti berdasarkan pada petunjuk
rasio. Hawa nafsu haruslah berada pada kendali akal dan agama. Ia memperingatkan bahaya
minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama, bahkan dapat
mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya akan menghancurkan
manusia (Hasyimsyah Nasution, 2005:20).
Nafsu dinyatakan sebagai kecenderungan alamiah dalam diri manusia, berupa dorongan
biologis maupun psikis untuk mencari kesenangan dan kelezatan tanpa adanya pertimbangan
tentang berbagai konsekuensi yang mungkin timbul. Akal mampu memberi jalan keluar atas
berbagai persoalan, serta dapat mengangkat derajat manusia ke tingkat yang paling agung. Akal
yang bersumber pada jiwa rasional dan Ilahiyah memberikan pertimbangan dari aspek material
maupun spiritual, sehingga menjangkau berbagai konsekuensi duniawi maupun ukhrawi.
Karena itu kebaikan untuk kelas manusia terletak pada pengendalian nafsu hingga jiwa
yang penuh nafsu terbiasa tunduk dan mengikuti jiwa rasionalnya. Kebaikan yang hanya
didasarkan pada pemuasan kesenangan dan nafsu jasmani adalah kebaikan untuk kelas binatang
(al-bahaim). Binatang hanya memiliki kebutuhan untuk memenuhi nafsu secara bebas tanpa
tuntutan tanggung jawab atau konsekuwensi tertentu yang harus ditanggung. Jiwa yang
berkembang dalam diri binatang hanya jiwa nafsu saja. Kelebihan fisik binatang kurang
memberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Karena itu kebaikan
tidak dapat didasarkan atas pemenuhan kesenangan badaniah belaka. Bila kebaikan diukur
dengan pemenuhan kepuasan jasmaniyah, maka binatang lebih mulia dari pada manusia, bahkan
lebih mulia dari Tuhan yang tidak memiliki nafsu jasmani.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang
bersifat terpuji, dan untuk kejahatan yang bersifat tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat.
Demikian pula dengan kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kikiran
tersebut disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka hal itu
tidaklah buruk. Karena itu, harus ada pembenaran apabila kikiran orang tersebut mempunyai
alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan. Tetapi bila yang terjadi justru
sebaliknya maka hal yang demikian haruslah diperangi. (Hasyimsyah Nasution, 2005:21).

C. Kesimpulan
Al-Razi mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-Razi. Al-Razi
dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-313 H/864-925 M atau 320
H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat Teheran sekarang.
Al-Razi banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim,
dan alkemi.
Filsafat Al-Razi meliputi filsafat lima kekal, filsafat rasionalis, dan filsafat moral. Filsafat
lima kekal Al-Razi yaitu: (1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha
Sempurna. (2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa Universal. (3) Al-Hayulal-Ula, materi pertama. (4) Al-
Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut. (5) Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut. Filsafat
rasional Al-Razi menunjukkan bahwa Al-Razi adalah seorang rasionalis religius yang hanya
percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-nabi. Al-Razi
berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk
tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia dalam pendapatnya,
pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul karena
berlainan suasana perkembangannya. Filsafat Al-Razi mengajarkan bahwa kenikmatan dan
kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat dikatakan sebagai
kehormatan karena manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata
lain, kenikmatan yang diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang ditimbulkannya.
Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki nilai tertentu

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yusril. t-th. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Amien, Miska Muhammad. 1983. Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam.
Jakarta: UI-Press.

Dahlan, Abdul Aziz. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hadi, Saiful. 2003. 125 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah. Jakarta: Insan Cemerlang.

Hoodbhoy, Pervez. 1996. Ikhtiar Menegakkan Rasionalisme, antara Sains dan Ortodoksi Islam,
Terjemahan Sari Meutia. Bandung: Mizan.

Husain, Sayyid Sajjad, Sayyid Ali Ashraf. 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan
Islam. Terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Gema Risalah Press.

Iqbal, Muhammad. 2003. 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah. Jakarta: Intimedia &
LadangPustaka.

Mustofa, A. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 2008. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Radar Jaya.

Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Syarif, M.M (editor).1993. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Anda mungkin juga menyukai