Anda di halaman 1dari 21

1.

Al- Razi

Sumber: http://www.biografiku.com/2009/11/biografi-al-razi-865-925-sang-kimiawan.html

A. Biografi

Salah satu ilmuwan muslim yang pernah hidup adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria
al-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran yang
hidup antara tahun 864 – 930. Beliau lahir di Rayy, Teheran pada tahun 251 H / 865 dan wafat
pada tahun 313 H/925. Di awal kehidupannya, al-Razi begitu tertarik dalam bidang seni musik.
Namun al-Razi juga tertarik dengan banyak ilmu pengetahuan lainnya sehingga kebanyakan masa
hidupnya dihabiskan untuk mengkaji ilmu-ilmu seperti kimia, filsafat, logika, matematika dan
fisika.

Walaupun pada akhirnya beliau dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibnu Sina, pada awalnya
al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr (1968), al-Razi
meninggalkan dunia kimia karena penglihatannya mulai kabur akibat ekperimen-eksperimen
kimia yang meletihkannya dan dengan bekal ilmu kimianya yang luas lalu menekuni dunia medis-
kedokteran, yang rupanya menarik minatnya pada waktu mudanya.Beliau mengatakan bahwa
seorang pasien yang telah sembuh dari penyakitnya adalah disebabkan oleh respon reaksi kimia
yang terdapat di dalam tubuh pasien tersebut. Dalam waktu yang relatif cepat, ia mendirikan rumah
sakit di Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan medis.
Selang beberapa waktu kemudian, ia juga dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Baghdad.
Beberapa ilmuwan barat berpendapat bahwa beliau juga merupakan penggagas ilmu kimia
modern. Hal ini dibuktikan dengan hasil Advertisement karya tulis maupun hasil penemuan
eksperimennya. Al-Razi berhasil memberikan informasi lengkap dari beberapa reaksi kimia serta
deskripsi dan desain lebih dari dua puluh instrument untuk analisis kimia. Al-Razi dapat
memberikan deskripsi ilmu kimia secara sederhana dan rasional. Sebagai seorang kimiawan,
beliau adalah orang yang pertama mampu menghasilkan asam sulfat serta beberapa asam lainnya
serta penggunaan alkohol untuk fermentasi zat yang manis.

B. Karya :

1. Ath-Thibb Ar-Ruhani,

2.Ash-Shirat Al-Falsafiyyah,

3. Amarat Iqbal Ad-Daulah,

4. Kitab Al-Ladzdzah,

5. Kitab Al-Ilm Al-Ilahi,

6. Maqalah Fi Ma’bad Ath-Thabi’ah,

7. Al-Hawi Fi Ath-Thibb,

8. Manshuri,

9. Kitab Sirr Al-Asrar,

10. Muluki,

11. Kitab Al-Jami’ Al-Kabir,

12. Sekumpulan risalah logika berkenaan dengan Kategori-kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan
dengan logika, seperti yang dinyatakan dalam ungkapan kalam Islam,
13. Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya,

14. Materi Mutlak dan Partikular,

15. Plenum dan Vacum, Ruang dan Waktu,

16. Fisika,

17. Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana,

18. Tentang Keabadian dan Ketidakabadian Tubuh,

19. Sanggahan terhadap Proclus,

20. Opini fisika “Piutarch” (Placita Philosophorum),

21. Sebuah Komentar terhadap Komentar Plutarch tentang Timaeus,

22. Sebuah Komentar tentang Timaeus,

23. Sebuah Risalah yang menunjukkan Bahwa Benda-benda bergerak dengan sendirinya dan
bahwa Gerakan itu pada Hakikatnya adalah milik mereka,

24. Obat pencahar Rohani (Spiritual Physic),

25. Jalan Filosofis,

C. Pemikiran

Filsafat al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal,
yakni: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama Ruang Absolut dan Zaman Absolut, dalam bahasa
Arab :

‫المطلق والزمن المطلق والمكن لالولى والهيلوال الكلية والنفسول لى تعا رى البا‬
Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu
antara al-dahr (duration) dan al-waqt (time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tak
berakhir, dan kedua disifati oleh angka.

Bagi benda kelima hal itu adalah:

a. Materi, yakni; apa yang ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.

b. Ruang, yakni; karena materi mengambil tempat.

c. Zaman, yakni; karena materi berobah-obah keadaanya.

d. Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Di antara yang hidup
ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur.

e. Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.

Dua dari yang Lima Kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan roh. Satu daripadanya tidak hidup dan
pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa.[

Sedangkan sistematika filsafat Lima Kekal al-Razi dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, Al-
Bari Ta’ala (Allah); hidup dan aktif dengan sifat Independen. Menurut al-Razi, Allah Maha
Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creatio ex
nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak qadim,
baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti di susun dari bahan
yang telah ada.Kedua, an-Nafs al-Kuliyyah (jiwa universal); hidup dan aktif serta menjadi al-
Mabda’ al-qadim ats-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifitasnya bersifat independen. An-
nafs al-Kulliyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri untuk bersatu dengan al-
hayula al-ula, an-nafs al-kulliyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima,
sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika
masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati benda-benda alam dan
badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Karena semakin lama jiwa
bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang
terlena dalam fisik tersebut.
Ketiga, al-hayula al-ula (materi pertama), tidak hidup dan pasif. Al-hayula al-ula adalah subtansi
(jauhar) yang kekal yang terdiri atas dzarrah, dzarrah (atom-atom). Setiap atom terdiri atas volume.
Jika dunia hancur, volume juga akan terpecah dalam bentuk atom-atom.materi yang sangat padat
menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi
substansi udara dan yang lebih rengggang menjadi api. Al-hayula al-ula, kekal karena tidak
mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang
berproses) dan tidak dalam sekejap yang sangat sederhana dan mudah. Dengan kata lain, Tuhan
tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan sebelumya yang kekal karena mendapat
(semacam emanasi, pancaran) dari Yang Maha Kekal. Keempat, al-Makan al-Muthlaq (ruang
absolut), tidak aktif tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai
”tempat” yang sesuai. Ada dua macam ruang, yakni; ruang partikular (relatif) dan ruang universal.
Yang partikular terbatas, sesuai dengan keterbatasan maujud yang menempatinya. Adapun ruang
universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja dapat terjadi kehampaan
tanpa maujud. Kelima, az-zaman al-muthlaq (zaman absolut), tidak aktif dan tidak pasif. Zaman
atau masa ada dua; relatif/terbatas yang biasa disebut al-waqt dan zaman universal yang biasa
disebut ad-dhar. Yang terakhir ini (ad-dhar) tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau
benda-benda angkasa raya.

Di antara filsafat al-Razi antara lain :

a. Filsafat Metafisika

Al-Razi adalah sosok filsuf yang berani, rasionalis-empiris dan argumentasi-


argumentasinya banyak dipengaruhi oleh para pemikir besar Yunani sebagaimana telah disebutkan
dalam pendahuluan, sampai ia dikenal dikalangan para pemikir Islam sebagai pemikir atheis,
dimana komentar-komentarnya banyak berbeda dengan filsuf muslim lain. Dalam hal ini diantara
pemikirannya yang dianggap keluar dari Islam adalah pandangannya terhadap ketidakperluan Nabi
sebagai perantara wahyu, bahwa ia mengatakan Tuhan dengan kasih Sayang-Nya memberikan
potensi kepada manusia untuk bisa mengenalnya.
Ketika ditanya bagaimana filsafat bersikap terhadap imam pada sebuah agama wahyu, ia
menjawab: “Bagaimana seseorang dapat berfikir secara filosofis sedangkan ia mengikatkan diri
pada cerita-cerita kuno, yang ditegakkan atas dasar kontradiksi, kebodohan yang membandel, dan
dogmatisme? Kenabian khususnya (special prophecy), tegasnya, merupakan sesuatu yang tidak
diperlukan: “Bagaimana anda menerima Tuhan lebih mencintai seorang manusia sebagai
pengemban standar umat manusia, yang membuat manusia lainnya bergantung padanya?
Bagaimana anda dapat mempertemukan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Bijaksana dengan
memilih seseorang dengan cara demikian, yang membuat umat manusia siap untuk saling
membunuh, menimbulkan pertumpahan darah, perang dan konflik.![12] Ia sangat dikenal sebagai
pemikir kontradiktif sekaligus pemikir kreatif. Pikiran-pikirannya sangat brilian, liberal dan
radikal sampai dikecam dan tidak terlalu mendapat simpati dikalangan para ulama dan pemikir
Islam lainnya.

Namun dalam fokus kita kali ini yang menjadi perhatian kita adalah perhatiannya terhadap
metafisika yang hal ini juga salah satu akibat ia dimarjinalkan dari konteks kesejarahan Islam. Ada
lima teori kekekalan diajukan sebagai yang mewakili pandangan metafisikanya secara umum;
pertama, materi menurut al-Razi bahwa itu tidak mesti tersusun dari kuantum yang diskret dan tak
dapat dibagi-bagi, materi baginya bergerak menurut unsur-unsur materinya masing-masing,
pendapat ini dijelaskan dengan panjang lebar dalam bukunya yang membahas bahwa Tuhan tidak
campur tangan dalam tindakan mahluk. Al-Razi lebih meyakinkan adanya gerak bawaan dan
intrinsik, inilah perbedaan tajam antara fisika Democritus dan Aristoteles.[13]

Keabadian materi didemontrasikan dalam dua cara. Penciptaan, yaitu tindakan materi yang sedang
“dalam Pembentukan”, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang Pencipta yang telah
mendahuluinya, tetapi juga sebuah substratum atau meteri dimana tindakan itu melekat. Selain itu,
konsep yang sebenarnya dari penciptaan ex nihilo tidak dapat dipertahankan secara logis, karena
jika Tuhan telah mampu menciptakan sesuatu dari tiada, maka tentu saja ia harus terikat pada
penciptaan segala sesuatu dari tiada, karena hal ini merupakan modus pembuatan yang paling
sederhana dan paling cepat. Tetapi karena tidak demikian halnya, maka dunia haruslah dikatakan
telah diciptakan dari materi tanpa bentuk, yang telah mendahuluinya sejak semula. Materi
memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, dan ini adalah prinsip yang kedua.[14]

Kedua, Ruang dipahami oleh al-Razi, sebagai sebuah konsep abstrak, yang berbeda dengan
“tempat” (tonos) Aristoteles, tidak dapat dipisahkan secara logis dari tubuh. Akibatnya, ia menarik
garis perbedaan antara tempat atau ruang universal dan particular. Tempat (ruang) universal sama
sekali berbeda dengan tubuh, sehingga konsep tubuh yang menempatinya tidak perlu masuk
kedalam defenisinya, seperti yang implisit dalam konsep ruang Aristotelian, atau “batas tubuh
yang paling dalam yang terkandung di dalamnya”. Sementara bagi Aristoteles pun dalam kapasitas
universalnya sebagai locus communis, ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh, alam semesta dan
karena itu bersifat terbatas. Tempat particular, dipihak lain, tidak dapat dipahami secara terpisah
dari materi, yang merupakan esensinya yang sejati. Dalam hal ini, ia berbeda dengan konsep
Aristoteles tentang ruang waktu sebagai locus atau wahana (vehicle).[15]

Ketiga, Dalam pandangannya tentang waktu, Al-Razi juga menyimpang dari Aristoteles, yang
memandang waktu sebagai semacam gerak atau bilangan dari padanya. Konsep seperti itu
menyebabkan realitas waktu tergantung secara logis kepada gerakan secara umum dan gerakan
segenap langit secara khusus; tetapi dalam pandangan Al- Razi, gerak tidaklah menghasilkan tetapi
hanyalah menyingkap atau memperlihatkan waktu, yang karenanya secara esensial tetap berbeda
dengannya. Seperti terhadap ruang lebih lanjut, ia membedakan antara waktu particular atau
tertentu dengan waktu mutlak atau universal. Yang pertama dibayangkan sebagai (sesuatu) yang
dapat diukur dan terbatas, sedangkan yang terakhir sebagai yang tidak dapat diukur dan tidak
terbatas, sama dengan zaman universal (ad-Dahr) Neoplatonik, yang merupakan ukuran
perlangsungan dunia indriawi, yang disebut oleh Plato “baying-bayang keabadian yang bergerak-
gerak”.[16]

Keempat, sekaligus kelima, adalah kedua prinsip jiwa dan Pencipta, dalam sistim al-Razi dikaitkan
erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran
penciptaan dunia, yang telah begitu mengganggu (pikiran) para filosof sejak zaman Plato.
Persoalan yang ia gumuli bukan apakah dunia ini diciptakan atau tidak (karena, seperti Plato, ia
masih percaya bahwa dunia diciptakan dalam waktu yang abadi), melainkan masalah yang lebih
rumit yang terus membahana lewat risalah-risalah polemic teologi dan filsafat, baik dalam Islam
maupun Kristen apakah Tuhan menciptakan dunia , seperti yang dikatakan oleh kaum skolastik
Latin kemudian, malalui suatu “kemestian alam” (necessity of nature), atau melalui sebuah
tindakan kehendak bebas? Jika “kemestian alam” yang dituntut katanya, maka konsekuensi
logisnya adalah bahwa Tuhan, yang menciptakan dunia dalam waktu, berada dalam waktu itu
sendiri, karena suatu produk alamiah harus terjadi secara niscaya atau pelaku alamiahnya dalam
waktu. Dipihak lain, jika tindakan kehendak bebaslah yang akan dijadikan jawaban, maka
pertanyaan lain segera akan muncul, “Mengapa Tuhan lebih suka menciptakan dunia dalam waktu
particular ketimbang dalam (cara) yang lainnya. Jiwa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
bentuk-bentuk kekekalan yang lain bersifat sama-sama kekal dengan Tuhan terpaksa mengadakan
apa yang tidak dapat dicapai jiwa secara mandiri, yakni, kesatuan dengan bentuk-bentuk material.
Dengan kesatuan inilah maka penciptaan dunia, dimana jiwa tetap ‘seorang’ asing untuk
selamanya terjalin. Berkat cahaya akal maka jiwa, yang telah demikian terpikat oleh bentuk-bentuk
material dan kesenangan-kesenangan indriawi, pada akhirnya sadar akan nasibnya yang sejati dan
terdorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia akali yang merupakan tempat
tinggal yang hakiki.[17]

Pandangan al-Razi tentang kesengsaraan jiwa dalam dunia indriawi sabagai sambungan di atas,
seperti Epicurus, al-Razi berminat pada sisi patologis agama, dan ingin agar akal bisa menghalau
kewajiban-kewajiban tertentu agama, demi kepentingan kesehatan mental atau kejernihan moral.
Ritual (mazhab), tegasnya, berkaitan dengan hasrat (passions), bukan pikiran “kebersihan dan
kesucian harus dipertimbangkan semata-mata dengan indra, bukan dengan deduksi dan harus
diperlakukan berdasarkan persepsi bukan praduga”. Adalah wajib untuk menuntut pelbagai tingkat
kesucian yang diserukan bukan oleh tuntutan-tuntutan agama atau bahkan oleh respon sensivitas
berlebihan. Sebab, kata al-Razi, bukan agama atau sensibilitas yang dapat merespon secara
rasional terhadap kekotoran-kekotoran yang tidak dapat dirasakan. Penolakan al-Razi terhadap
sensivitas yang berlebihan sebagai suatu keburukan adalah sesuai dengan pemahaman
psikiatrisnya, terutama mengenai melankolia alias depresi.
b. Filsafat Rasionalis (akal)

Harun Nasution dalam bukunya falsafat mistisisme dalam Islam diungkapkan bahwa; Al-
Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada
wahyu dan nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik
serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini.
Manusia terlahir pada dasarnya telah dibekali akan sebuah potensi daya berpikir yang sungguh
sama besarnya, dan perbedaan itu timbul karena berlainan pendidikan dan berlainan suasana
perkembangannya. Ia tidak percaya dengan para Nabi karena dia menganggap para Nabi
membawa tradisi berupa upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang pikirannya
sederhana. Ia juga berani menganggap bahwa al-Qur’an bukan mukjizat. Tetapi yang diutamakan
baginya adalah buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Walaupun
ia menentang agama pada umumnya, ia bukanlah seorang ateis, akan tetapi ia seorang monoteis
yang percaya pada adanya Tuhan sebagai pengatur alam.

Dalam hal ini, Badawi menerangkan alasan-alasan al-Razi dalam menolak kenabian, adapun
alasan-alasannya antara lain: pertama, akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik
dan yang jahat, yang berguna dan tidak berguna. Hanya dengan akal semata, manusia mampu
mengetahui Allah yang mengatur kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kedua, tidak ada alasan yang
kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua orang
lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi
karena pengembangan dan pendidikan. Ketiga, para Nabi saling bertentangan. Pertentangan
tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.

Sebagai bukti sikap Rasionalis yang dimiliki oleh al-Razi terhadap akal, terlihat dalam bukunya
Ath-Thibb Ar-Ruhani. Dalam Kitab tersebut, ia mengatakan:

”Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya, kita memperoleh
sebanyak-banyak manfa’at. Inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat
segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat
mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita .. dengan akal pula, kita dapat
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh ...
jika akal sedemikian mulia dan penting; kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh
menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia adalah
pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah. Tetapi kita harus merujuk
kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus sesuai dengan
perintahnya".

Pernyataan al-Razi merupakan suatu ungkapkan keagungannya terhadap akal. Al-Razi memang
menentang kenabian wahyu dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus masuk akal ilmiah dan
logis. Sehingga akal sebagai kriteria prima dalam pengetahuan dan prilaku. Perbedaan manusia
adalah disebabkan oleh berbedanyan pemupukan akal karena ada yang memperhatikan hal tersebut
dan ada yang tidak memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun yang bersifat praktis.

Fenomena yang terjadi, bahwa al-Razi adalah seorang yang selalu mengagungkan akal, ini
terbantah karena pendapat demikian adalah sebuah tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadanya
dari lawan-lawan debatnya. Hal seperti ini lumrah terjadi karena untuk kepentingan politik semata
yang kalah tetapi tidak sadar diri. Dalam bukunya al- Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan
bahwa al-Razi mengingkari kenabian ataupun agama, namun sebaliknya ia mewajibkan untuk
menghormati agama dan berpegang teguh kepada agama, karena dengan agama akan mendapatkan
kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Dalam buku
tersebut ia mengatakan:

”Mengendalikan hawa nafsu adalah wajib menurut rasio, menurut semua orang berakal dan
menurut semua agama dan wajiblah manusia yang baik, Manusia yang utama dan yang
melaksanakan syari’ah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan
syari’ah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai
kenikmatan abadi.

Selain itu, al-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah kata ”Semoga
Allah melimpahkan Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya
dan semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada Sayid kita, kekasih kita, dan penolong kita di
hari kiamat, yakni Muhammad. Semoga Allah melimpahkan kepadanya Shalawat dan Salam yang
banyak selama-lamanya.[23] Denganh demikian, tuduhan-tuduhan itu terbantahkan, al-Razi
adalah seorang rasionalis religius, bukan rasionalis liberal karena al-Razi masih mengakui dan
mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan.

c. Filsafat Jiwa (ruh)

Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah
pikiran al-Razi, yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian
lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena
kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh kebahagiaan
materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh. Dijadikan
lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah
jasad yang sempurna, itulah manusia yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.

Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras,
yang memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan
meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu disucikan
dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan membuat pantangan dalam
mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi jalan mensucikan roh adalah
falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang
lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai tidak
makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri.[24]

Sumber : http://www.biografiku.com/2009/11/biografi-al-razi-865-925-sang-kimiawan.html

http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ar-razi-sejarah-dan.html
2. Al- Biruni

A. Biografi

Abu rayhan Muhammed Ibnu Ahmad Al-Biruni lahir pada 4 september 973 M di
Kath (Kiva sekarang). Sebuah kota di sekitar wilayah aliran sungai Oxus, Khwarizm
(Uzbekistan). Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Al-biruni dalam biografinya
mengaku sama sekali tidak mengenal ayahnya dan hanya sedikit mengenal kakeknya.
Selain menguasai beragam ilmu pengetahuan, Al-biruni juga fasih dalam beberapa
bahasa seperti: Arab, Turki, Persia, Sansekerta, Yahudi dan Suriah. Semasa muda dia
menimba ilmu matematika dan astronomi dari Abu Nasir Mansur.
Saat berusia 20 tahun, Al-Biruni telah menulis beberapa karya dibidang sains. Dia juga
kerap bertukar pikiran dan pengalaman dengan Ibnu Sina, Imuwan besar Muslim
lainnya yang begitu berpengaruh di Eropa. Al-Biruni tumbuh dewasa dalam situasi
politik yang kurang menentu. Ketika berusia 20 tahun, Dinasti Khwarizmi digullingkan
oleh Emir Ma’mun Ibnu Muhammad dari Gurgan. Saat itu, Al-Biruni meminta
perlindungan dan mengungsi di Istana Sultan Nuh Ibnu Mansur. Pada 998 M, Sultan
dan Al-Biruni pergi ke Gurgan di Laut Kaspia. Dia tinggal di wilayah itu selama
beberapa tahun. Selama tinggal di gurgan, Al-Biruni menyeleseikan salah satu
karyanya The Chronology of Ancient Nations. Sekira 11 tahun kemudian, dia kembali
ke Khwarizmi.
Sekembalinya dari Gurgan, Al-Biruni menduduki jabatan terhormat sebagai pensihat
sekaligus pejabat istana bagi pengganti Emir Ma’mun. pada 1017, situasi politik
kembali bergolak menyusul kematian anak kedu Emir Ma’mun akibat pemberontakan.
Khwarizmi pun diinvasi oleh Mahmud Ghazna pada 1017. Mahmud lalu membawa
para pejabat istana Khwarizmi untuk memperkuat kerajaanya yang bermarkas di
Ghazna, afganistan. Al-Biruni adalah seorang Ilmuwan dan pejabat istana yang ikut
diboyong. Selain itu, ilmuwan lainnya yang dibawa Mahmud ke Ghazna adalah
matematikus, Ibnu Iraq, dan seorang dokter, Ibnu Khammar.
Untuk meningkatkan prestise istana yang dipimpinnya, Mahmud sengaja menarik para
sarjana dan ilmuwan ke istana Ghazna. Mahmud pun melakukan beragam cara untuk
mendatangkan para ilmuwan ke wilayah kekuasaanya. Ibnu Sina sempat menerima
undangan bernada ancaman dari Mahmud agar datang dan mengembangkan
pengetahuan yang dimilikinya di istana Ghazna.
Meski Mahmud terkesan memaksa. Al-Biruni menikmati keberadaanya di Ghazna, Di
Istana, dia dihormati dan dengan leluasa dapat mengembangkan pengetahuan yang
dikuasainya. Salah satu tugas Al-Biruni adalah menjadi astrolog istana bagi Mahmud
dan penggantinya. Pada 1017 hingga 1030, Al-Biruni berkesempatan melancong ke
India. Selama 13 tahun, dia mengkaji seluk-beluk India hingga melahirkan apa yang
disebut Indologi atau studi tentang India. Di negeri Hindustan itu dia mengumpulkan
beragam bahan bagi penelitian monumental yang dilakukannya. Dia mengorek dan
menghimpun sejarah, kebiasaan, keyakinan atau kepercayaan yang dianut masyarakat
di subbenua India. Al-Biruni meninggal pada 13 Desember 1048 pada umur 75 tahun.

B. Karya
Ketika berusia 17 tahun, dia meneliti garis lintang bagi Kath, Khwarazm, dengan
menggunakan altitude maksima matahari. Ketika berusia 22, dia menulis beberapa
hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta, "Kartografi", yang
termasukmetodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar. Ketika
berusia 27, dia telah menulis buku berjudul "Kronologi" yang merujuk kepada hasil
kerja lain yang dihasilkan oleh beliau (sekarang tiada lagi) termasuk sebuah buku
tentang astrolab, sebuah buku tentang sistem desimal, 4 buku tentang pengkajian
bintang, dan 2 buku tentang sejarah. Beliau membuat penelitian radius Bumi kepada
6.339,6 kilometer (hasil ini diulang di Barat pada abad ke 16).

 Sumbangannya pada bidang matematika:


1. Aritmatika teoritis and praktis
2. Penjumlahan seri
3. Kombinatorial
4. Kaidah angka 3
5. Bilangan irasional
6. Teori perbandingan
7. Aljabar
8. Metode pemecahan penjumlahan aljabar
9. Geometri
10. Teorema Archimedes
11. Sudut segitiga

 Hasil karyanya selain bidang matematika yaitu:


1. Kajian kritis tentang ucapan orang India, apakah menerima dengan alasan atau menolak
(bahasa Arab ‫ )مرذولة أم العقل في معقولة مقولة من للهند ما تحقيق‬- sebuah ringkasan tentang
agama dan filosofi India.
2. Tanda yang Tersisa dari Abad Lampau (bahasa Arab ‫ )الخالية القرون عن الباقية اآلثار‬- kajian
komparatif tentang kalender dari berbagai budaya dan peradaban yang berbeda,
dihubungkan dengan informasi mengenai matematika, astronomi, dan sejarah.
3. Peraturan Mas'udi (bahasa Arab ‫ )المسعودي القانون‬- sebuah buku tentang Astronomi,
Geografi dan Keahlian Teknik. Buku ini diberi nama Mas'ud, sebagai dedikasinya
kepada Mas'ud, putra Mahmud dari Ghazni.
4. Pengertian Astrologi (bahasa Arab ‫ )التنجيم لصناعة التفهيم‬- pertanyaan dan jawaban model
buku tentang matematika dan astronomi, dalam bahasa Arab dan bahasa Persia
5. Farmasi - tentang obat dan ilmu kedokteran
Sumber : https://blogpenemu.blogspot.co.id/2014/06/al-biruni-ilmuwan-yang-
menguasai-beragam-ilmu.html

C. Pemikiran

a. Astronomi
Al-Biruni adalah orang pertama yang melakukan eksperimen untuk memahami
fenomena astronomis. Di Khurasan ia mengamati dan menjelaskan secara rinci
peristiwa gerhana matahari dan gerhana bulan, sekaligus memberikan posisi bintang-
bintang secara akurat pada saat gerhana bulan.
Penemuan-penemuannya di bidang astronomi dimuat dalam salah satu karya
terbesarnya, yaitu kitab Al-Qanun Al-Mas’udi Fii Al-Hai’ah wa An-Nujum
(didedikasikan pada Mas’ud, putra Mahmud al-Ghaznawi) yang dikenal dalam bahasa
latin sebagai Canon Mas’udicus. Dalam buku ini, al-Biruni membuat tabel astronomi
sekaligus mengkritisi tabel-tabel astronomi yang dibuat oleh para ilmuwan
pendahulunya. Buku ini juga memperkenalkan teknik perhitungan matematis untuk
menganalisa percepatan gerak planet, sekaligus menegaskan bahwa jarak antara Bumi
dan Matahari lebih besar daripada yang dikemukakan oleh Ptolemeus.[10]
Kitab Al-Qanun Al-Mas’udi pertama kali dibuat untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan Mas’ud al-Ghaznawi yang begitu tertarik pada sains dan mempertanyakan
sebab terjadinya perbedaan panjang siang dan malam di berbagai tempat di dunia.
Sebagai ucapan terima kasih atas pembuatan kitab yang tebalnya nyaris 1500 halaman
itu, Mas’ud memberikan koin perak sebanyak muatan seekor gajah. Al-Biruni menolak
pemberian tersebut dan memberikannya kepada Baitul Maal serta meyakinkan Mas’ud
bahwa ia bisa hidup tanpa kekayaan tersebut.[11]
Al-Biruni memperkenalkan metode observasi astronomi baru yang disebut
sebagai ‘observasi tiga titik’. Sebelum era al-Biruni para astronom menggunakan
metode Hipparchus yang relatif tidak akurat, yaitu menggunakan interval musim untuk
memperhitungkan berbagai parameter yang berkaitan dengan matahari. Metode
perhitungan dengan observasi tiga titik ala al-Biruni adalah kontribusi yang sangat
penting dan masih digunakan enam abad setelahnya oleh para astronom, antara lain
Taqiyyuddin ad-Dimasyqi, Tycho Brahe dan Nicolaus Copernicus.[12]
Selain menyumbang berbagai metode perhitungan dalam bidang astronomi, al-
Biruni juga menciptakan berbagai instrumen. Ia merumuskan pembuatan astrolab dan
planisfernya sendiri, juga merancang sextant yang pertama. Al-Biruni juga
menciptakan hodometer sederhana, dan kalender lunisolar mekanik pertama yang
merupakan contoh awal dari mesin pemroses data. Dengan berbagai peralatan dan
metode yang diciptakannya sendiri, al-Biruni dapat menentukan kiblat dari tempat
mana pun di muka bumi dan menentukan waktu shalat secara tepat.
Ide dan penjelasan mengenai ‘tabung observasi’ telah ditemukan dalam sebuah
karya al-Biruni. Meskipun tabung observasi sederhana ini tidak menggunakan lensa,
namun memungkinkan pengamat untuk memfokuskan pengamatan pada sebuah bagian
langit dengan menyingkirkan gangguan-gangguan cahaya. Tabung observasi ini
kemudian diadopsi oleh para ilmuwan setelahnya dan mempengaruhi perkembangan
teleskop modern.
Al-Biruni banyak membaktikan waktunya untuk mengamati matahari,
pergerakannya, dan fenomena gerhana. Ia juga salah seorang ilmuwan pertama yang
berpendapat bahwa Bumi berotasi terhadap sumbunya dan terlibat dalam berbagai
diskusi mengenai teori heliosentris.
Al-Biruni secara tegas menarik garis pembatas antara astronomi dan astrologi.
Ia adalah astronom yang secara tegas menolak astrologi karena metode yang digunakan
lebih berdasarkan asumsi belaka dan juga karena pandangan-pandangan astrologi yang
bertentangan dengan ajaran Islam.[13]

b. Ilmu-Ilmu Kebumian
Al-Biruni memberikan banyak kontribusi dalam ilmu-ilmu kebumian. Karena
jasa-jasanya di bidang perpetaan, ia dinobatkan sebagai Bapak Geodesi. Ia juga
memberikan kontribusi yang sangat banyak dalam bidang ilmu kartografi, geografi,
geologi dan mineralogi. Pada usia 22 tahun, al-Biruni telah menulis berbagai karya
ilmiah, termasuk sebuah penelitian mengenai proyeksi peta atau kartografi, yang di
dalamnya tercakup sebuah metode memroyeksikan sebuah hemisfer ke sebuah bidang
datar. Al-Biruni adalah salah satu ilmuwan pertama yang menemukan metode untuk
menentukan garis lintang dan bujur secara akurat.
Pada usia 17 tahun, al-Biruni menghitung ketinggian kota Kath di Khwarazm.
Ia juga memecahkan persamaan geodesi yang rumit untuk menghitung diameter Bumi.
Hasil perhitungannya (yaitu 6.339,9 km) hanya meleset 16,8 km dari hasil perhitungan
modern, yaitu 6.356,7 km. Sementara para pendahulunya menghitung diameter Bumi
dengan mengamati matahari secara terus-menerus dari dua lokasi yang berbeda, al-
Biruni mengembangkan metode baru dengan perhitungan-perhitungan trigonometri
berdasarkan sudut antara suatu tempat di dataran rendah dengan puncak gunung yang
menghasilkan perhitungan yang lebih akurat dan memungkinkan untuk dihitung oleh
seorang pengamat dari satu lokasi saja.[16]
Al-Biruni dikenal sebagai ilmuwan yang paling ahli dalam soal memetakan
kota-kota dan mengukur jarak di antaranya. Buku Al-Qanun Al-Mas’udi-nya
mencantumkan koordinat lebih dari enam ratus tempat di dunia. Ia seringkali
memadukan hasil pengamatan astronomi dengan perhitungan matematis dalam
mengembangkan metode-metode untuk menentukan lokasi secara akurat. Teknik-
teknik yang serupa juga digunakannya untuk mengukur ketinggian gunung, kedalaman
lembah, dan luas horison.
Dalam bidang geologi, al-Biruni memberikan banyak sumbangan dalam
menentukan masa lalu sebuah negeri. Dengan mengamati bebatuan di India, ia
berkesimpulan bahwa dataran India dulunya adalah lautan yang kemudian menjadi
dangkal oleh endapan.[17] Ia juga menjelaskan bagaimana jazirah Arab dahulunya
pernah tenggelam di bawah laut dengan mengamati bekas-bekasnya pada batu dan
karang.
Dalam bidang pertambangan, al-Biruni menggagas dasar-dasar ilmiah bagi
serta cara menambang dalam bukunya Al-Jamaahir fii Ma’rifat Al-Jawaahir. Buku ini
menjelaskan berbagai macam logam, tempat-tempat asalnya, cara mengeluarkannya
dari tambang, campuran dan jenis kotoran yang ada padanya, dan berbagai manfaatnya.
Al-Biruni melakukan ratusan eksperimen untuk menghasilkan pengukuran yang
terdokumentasikan dengan baik dalam berbagai bahasa. Perhitungan berat mineral
yang dilakukannya akurat hingga tiga angka desimal, dan nyaris sama akuratnya seperti
pengukuran modern untuk jenis-jenis mineral yang sama.

c. Fisika dan Matematika


Al-Biruni sejak dulu telah merumuskan gravitasi sebagai gaya yang menarik
segala benda ke arah pusat bumi. Ia adalah ilmuwan pertama yang melakukan
eksperimen dalam bidang statika dan dinamika, khususnya dalam menentukan berat
spesifik. Melalui eksperimennya, al-Biruni berhasil menunjukkan perbedaan berat
antara air tawar dan air laut, dan antara air panas dan air dingin.
Bersama Ibnu al-Haitsam, al-Biruni adalah ilmuwan pertama yang menyadari
bahwa kecepatan cahaya dapat diukur. Ia juga yang pertama sekali menyatakan bahwa
kecepatan cahaya jauh lebih cepat daripada kecepatan suara. Al-Biruni menyanggah
pendapat Galenus yang mengatakan bahwa cahaya bersumber dari mata ke objek benda
yang dilihat dan bukan sebaliknya.
Al-Biruni memberikan sumbangan yang sangat besar dalam disiplin ilmu
matematika, terutama dalam bidang aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, dan
aritmetika. Dalam bidang aljabar, al-Biruni meneruskan pekerjaan al-Khawarizmi dan
memberikan banyak tambahan. Dalam bidang geometri, al-Biruni adalah pelopor
dalam merumuskan metode untuk menggambar pada permukaan bola, juga
menghitung diameter bumi dengan rumus-rumus matematika.[21] Sebagaimana Abu
Nashr Manshur, al-Biruni juga mahir dalam menggunakan rumus-rumus trigonometri.
Al-Biruni-lah yang pertama kali memperkenalkan konsep tangen dan kotangen.[22]
Al-Biruni juga menggunakan prinsip-prinsip geometri untuk membuktikan rumus
kalkulus yang ditemukan oleh Tsabit bin Qurah. Penemuan ini di kemudian hari
diklaim sebagai temuan Isaac Newton oleh dunia Barat. Selain itu, al-Biruni menulis
beberapa buku tentang aritmetika. Ia juga memaparkan sejarah angka India dan
perpindahannya ke Arab serta pengembangannya kemudian.[23]

d. Kimia, Biologi dan Farmakologi


Bersama al-Kindi dan Ibnu Sina, al-Biruni adalah salah satu ahli kimia pertama
yang menolak teori transmutasi logam sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian
ilmuwan pada masa tersebut. Al-Biruni juga menyusun kitab yang merupakan
ensiklopedi farmakologi yang merupakan gabungan dari seni pengobatan Islam dengan
seni pengobatan India. Dalam bukunya, al-Biruni memaparkan penggunaan berbagai
jenis tanaman, termasuk berbagai jenis jamur, untuk keperluan pengobatan.
Al-Biruni juga termasuk ilmuwan yang paling awal dalam mengamati
fenomena-fenomena ‘menyimpang’ pada tumbuhan, hewan dan manusia, termasuk
fenomena kembar siam. Ia juga mengamati fenomena perkawinan pada beberapa jenis
bunga.
Pada tahun 1051 M, Al-Biruni menulis sebuah kitab berjudul Kitab As-
Saydalah (The Book of Drugs). Kitab ini adalah salah satu karya ilmuwan Muslim
paling berharga di bidang farmakologi. Dalam buku ini ia memberikan penjelasan
mendetil tentang kandungan obat-obatan dan menggarisbawahi peranan farmasi dan
tugas-tugas seorang ahli farmasi.

e. Ilmu-Ilmu Sosial dan Sastra


Di masa mudanya, yaitu ketika masih tinggal di Istana Jurjan, al-Biruni telah
meneliti dan memperbandingkan banyak aspek dalam kehidupan berbagai bangsa. Ia
merangkum perbedaan sistem kalender dan hari raya bagi berbagai bangsa di dunia
dalam bukunya yang berjudul Al-Atsar Al-Baqiyah min Al-Qurun Al-Khaliyah.
‘Antropolog pertama’ adalah gelar yang diberikan kepada al-Biruni, terutama berkat
penelitiannya yang komprehensif terhadap seluk-beluk kehidupan masyarakat India. Ia
sempat lama tinggal di India, dan waktu itu dimanfaatkannya dengan menuliskan
catatan yang lengkap tentang negeri itu, termasuk sejarah politik dan militer, budaya,
corak sosial, keagamaan, filsafat, sastra, adat istiadat, dan tradisinya. Hasil penelitian
ini dirangkum dalam masterpiece-nya yang berjudul Tahqiq maa lii al-Hindi min
Maqulah Maqbulah fi Al-‘Aqli aw Mardzawilah. Karena penelitiannya yang sangat
mendalam terhadap kehidupan masyarakat India, seperti sudah disebutkan di awal
tulisan ini, ia pun dijuluki sebagai ahli Indologi yang pertama di dunia.
Buku al-Biruni tentang India menjadi rujukan para ahli hingga berabad-abad setelah
masanya. Sebagai cabang ilmu, Indologi sendiri baru banyak ditekuni pada abad 18
Masehi, atau tujuh abad setelah era al-Biruni.
f. Agama dan Pemikiran
Selain sebagai ilmuwan, al-Biruni juga dikenal sebagai ahli agama. Ia
memahami filsafat Yunani dan filsafat India, sekaligus juga memberikan berbagai
kritik terhadapnya. Al-Biruni terlibat dalam perdebatan yang hangat dengan Ibnu Sina
mengenai pemikiran filsafat dan sufi. Al-Biruni adalah pengikut aliran Asy’ariyah dan
kerap terlibat dalam perdebatan dengan aliran Mu’tazilah. Karena keseriusannya
dalam mempelajari agama-agama, al-Biruni pun dianggap sebagai pelopor yang
mengilhami kelahiran ilmu perbandingan agama sebagaimana yang dikenal kini.
Al-Biruni juga tidak memisahkan antara agama dan sains. Baginya,
mempelajari fenomena-fenomena alam adalah sebuah kewajaran bagi manusia dalam
usahanya memahami kebesaran Allah SWT. Berbagai penemuan di bidang sains
semakin membuatnya yakin bahwa ada Sumber Kekuatan yang Maha Besar yang
mengatur alam semesta ini sehingga tercapai keteraturan yang sedemikian rupa.
Menurutnya, Al-Qur’an tidak pernah bertentangan dengan sains. Indera pendengaran
dan penglihatan dianggapnya sebagai modal terpenting karena keduanya adalah alat
bantu yang memungkinkan manusia untuk mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah
SWT.
Karena keyakinannya terhadap ajaran Islam, al-Biruni senantiasa menolak
segala asumsi yang lahir dari khayalan. Dengan alasan tersebut ia menolak ilmu
astrologi dan filsafat India yang menurutnya lebih condong kepada ilmu kira-kira
belaka. Dalam segala hal, al-Biruni menghendaki dasar pemikiran yang logis dan dapat
dibuktikan secara empiris.
Hasil dari pemikiran semacam ini adalah metode ilmiah yang selalu
dipergunakan al-Biruni dalam setiap penelitiannya. Al-Biruni adalah pelopor metode
eksperimental ilmiah dalam bidang mekanika, astronomi, bahkan psikologi. Ia
menghendaki agar setiap teori dilahirkan dari eksperimen dan bukan sebaliknya.
Al-Biruni juga menekankan pentingnya melakukan eksperimen secara
berulang-ulang. Hal itu dianggap perlu untuk meminimalkan kesalahan yang terjadi
akibat kesalahan sistematis atau acak, misalnya kesalahan akibat penggunaan
instrumen-instrumen kecil atau human error. Jika sebuah alat menghasilkan kesalahan
acak karena adanya cacat maka eksperimen harus diulang beberapa kali dan kemudian
dianalisa secara kualitatif sehingga menghasilkan penilaian yang tepat. Metode yang
digunakan al-Biruni dalam eksperimen-eksperimennya nyaris tak berbeda dengan
metode penelitian yang digunakan dewasa ini.
Dalam segala hal, al-Biruni memandang penting sikap objektif dan melepaskan
diri dari hawa nafsu yang dapat melalaikan manusia dari mendapatkan pemahaman
yang benar. Dalam kitab Al-Atsar Al-Baqiyah min Al-Qurun Al-Khaliyah, ia berpesan
dalam kata pengantarnya, “Kita mesti membersihkan jiwa kita dari semua sebab-sebab
yang membutakan manusia terhadap kebenaran – kebiasaan lama, semangat
berkelompok, persaingan pribadi atau nafsu (dan) keinginan untuk mempengaruhi.”
Meski menyibukkan diri dengan mempelajari berbagai bidang keilmuan dengan
serius, al-Biruni juga dikenal karena sifat humorisnya yang seringkali mengejutkan,
namun digunakannya secara efektif. Salah satu contohnya adalah kata-kata yang ia
gunakan untuk memperkenalkan metodenya dalam menghitung diameter Bumi, “Inilah
metode lainnya untuk menentukan diameter Bumi. Metode ini tidak mengharuskan
kita untuk berjalan menembus padang-padang pasir.”

Sumber : http://irwanmalik.blogspot.co.id/2013/04/al-biruni-ilmuwan-muslim-yang-
dikenang.html

Anda mungkin juga menyukai