Anda di halaman 1dari 11

Nama : Jatmika Aji Santika

Kelas : SPI 2B

NIM : 1195010070

1. Biografi dan Pendidikannya

Al Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Bakar
Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan
Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota bernama Razy, kota tua yang dahulunya bernama Rhogee, dekat
Teheran, Republik Islam Iran. Ia lahir pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1] Beliau wafat pada Tahun
925 M.[2]

Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapi). Ia cukup respek terhadap
ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan apabila kedua matanya buta akibat dari eksperimen yang
dilakukannya. Namun, para sarjana berpendapat bahawa al-Razi mengalami sakit mata dan
kemudiannya buta pada penghujung hayat-nya. Al-Razi menderita akibat ketekunannya menulis dan
membaca yang terlalu banyak. Ia juga belajar ilmu kedoktoran (obat-obatan) dengan sangat tekun pada
seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada Tahun 192 H/808 M yang bernama Ali Ibnu Robban
al-Thabari. Kemungkinan guru ini pula yang menumbuhkan minat al-Razi untuk bergulat dengan filsafat
agama, karena ayah guru tersebut adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci.

Selain al-Razi sang ahli filsafat, ada lagi beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan al-Razi, yakni
Abu Hatim al-Razi, Fakhruddin al-Razi dan Najmuddin a-Razi. Oleh karena itu, agar dapat membedakan
al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang
merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).

Walaupun pada akhirnya beliau dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibnu Sina, pada awalnya
al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr (1968), al-Razi
meninggalkan dunia kimia karena penglihatannya mulai kabur akibat eksperimen-eksperimen kimia yang
meletihkannya dan dengan bekal ilmu kimianya yang luas lalu menekuni dunia medis kedokteran, yang
rupanya menarik minatnya pada waktu mudanya. Ia mengatakan bahwa seorang pasien yang telah
sembuh dari penyakitnya adalah disebabkan oleh respon reaksi kimia yang terdapat di dalam tubuh
pasien tersebut. Dalam waktu yang relatif cepat, ia mendirikan rumah sakit di Rayy, salah satu rumah
sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan medis. Selang beberapa waktu kemudian, ia
juga dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Baghdad.

Menurut informasi sejarah yang dikemukakan oleh Al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya al-
Razi berguru kepada Ali Ibnu Rabban al-Thabari, seorang dokter dan filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh
tahun setelah Ali Ibnu Rabban al-Thabari meninggal dunia. Menurut al-Nadim yang benar adalah al-Razi
belajar filsafat kepada al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.

Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih terkenal
sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca,
agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total.
Akan tetapi, ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena
sebentar lagi ia akan meninggal.

Di kala itu, ilmu pengetahuan yang dimiliki al-Razi sangatlah banyak sehingga banyak orang-orang yang
belajar kepadanya. Ini terlihat dengan metode penyampaian pemikirannya berbentuk sistem
pengembangan daya intelektual (sistem diskusi). Apabila ada seorang murid yang bertanya maka
pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan dilempar kembali kepada murid-murid lainnya yang
terbagi beberapa kelompok. Apabila kelompok pertama tidak dapat menjawab maka pertanyaan
dilempar pada kelompok kedua, dan seterusnya. Ketika semuanya tidak dapat menjawab ataupun ada
yang menjawab tetapi jawabannya kurang benar, barulah al-Razi yang memebrikan jawaban atas
pertanyaan tersebut.

2.Pemikirannya

Filsafat al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal, yakni: Tuhan,
Jiwa Universal, Materi Pertama Ruang Absolut dan Zaman Absolut, dalam bahasa Arab :

‫البا رى تعا لى والنفسول الكلية والهيلوال لالولى والمكن المطلق والزمن المطلق‬
Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu antara
al-dahr (duration) dan al-waqt (time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tak berakhir, dan
kedua disifati oleh angka.

Bagi benda (being) kelima hal itu adalah:

a. Materi, yakni; apa yang ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.

b. Ruang, yakni; karena materi mengambil tempat.

c. Zaman, yakni; karena materi berobah-obah keadaanya.

d. Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Di antara yang hidup ada
pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur.

e. Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.

Dua dari yang Lima Kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan roh. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif,
yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa. Sedangkan
sistematika filsafat Lima Kekal al-Razi dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, Al-Bari Ta’ala (Allah);
hidup dan aktif dengan sifat Independen. Menurut al-Razi, Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh
alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada.
Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab
penciptaan di sini dalam arti di susun dari bahan yang telah ada.[10] Kedua, an-Nafs al-Kuliyyah (jiwa
universal); hidup dan aktif serta menjadi al-Mabda’ al-qadim ats-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan
aktifitasnya bersifat independen. An-nafs al-Kulliyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri
untuk bersatu dengan al-hayula al-ula, an-nafs al-kulliyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga
bisa menerima, sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan
manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati benda-benda
alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Karena semakin lama
jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang
terlena dalam fisik tersebut.

Ketiga, al-hayula al-ula (materi pertama), tidak hidup dan pasif. Al-hayula al-ula adalah subtansi (jauhar)
yang kekal yang terdiri atas dzarrah, dzarrah (atom-atom). Setiap atom terdiri atas volume. Jika dunia
hancur, volume juga akan terpecah dalam bentuk atom-atom.materi yang sangat padat menjadi
substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi substansi udara dan
yang lebih rengggang menjadi api. Al-hayula al-ula, kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan.
Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam sekejap yang
sangat sederhana dan mudah. Dengan kata lain, Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan
sebelumya yang kekal karena mendapat (semacam emanasi, pancaran) dari Yang Maha Kekal. Keempat,
al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut), tidak aktif tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang
kekal pula sebagai ”tempat” yang sesuai. Ada dua macam ruang, yakni; ruang partikular (relatif) dan
ruang universal. Yang partikular terbatas, sesuai dengan keterbatasan maujud yang menempatinya.
Adapun ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja dapat terjadi
kehampaan tanpa maujud. Kelima, az-zaman al-muthlaq (zaman absolut), tidak aktif dan tidak pasif.
Zaman atau masa ada dua; relatif/terbatas yang biasa disebut al-waqt dan zaman universal yang biasa
disebut ad-dhar. Yang terakhir ini (ad-dhar) tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau
benda-benda angkasa raya.

Di antara filsafat al-Razi antara lain :

a. Filsafat Metafisika

Al-Razi adalah sosok filsuf yang berani, rasionalis-empiris dan argumentasi-argumentasinya banyak
dipengaruhi oleh para pemikir besar Yunani sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, sampai
ia dikenal dikalangan para pemikir Islam sebagai pemikir atheis, dimana komentar-komentarnya banyak
berbeda dengan filsuf muslim lain. Dalam hal ini diantara pemikirannya yang dianggap keluar dari Islam
adalah pandangannya terhadap ketidakperluan Nabi sebagai perantara wahyu, bahwa ia mengatakan
Tuhan dengan kasih Sayang-Nya memberikan potensi kepada manusia untuk bisa mengenalnya.

Ketika ditanya bagaimana filsafat bersikap terhadap imam pada sebuah agama wahyu, ia menjawab:
“Bagaimana seseorang dapat berfikir secara filosofis sedangkan ia mengikatkan diri pada cerita-cerita
kuno, yang ditegakkan atas dasar kontradiksi, kebodohan yang membandel, dan dogmatisme? Kenabian
khususnya (special prophecy), tegasnya, merupakan sesuatu yang tidak diperlukan: “Bagaimana anda
menerima Tuhan lebih mencintai seorang manusia sebagai pengemban standar umat manusia, yang
membuat manusia lainnya bergantung padanya? Bagaimana anda dapat mempertemukan
kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Bijaksana dengan memilih seseorang dengan cara demikian, yang
membuat umat manusia siap untuk saling membunuh, menimbulkan pertumpahan darah, perang dan
konflik.![12] Ia sangat dikenal sebagai pemikir kontradiktif sekaligus pemikir kreatif. Pikiran-pikirannya
sangat brilian, liberal dan radikal sampai dikecam dan tidak terlalu mendapat simpati dikalangan para
ulama dan pemikir Islam lainnya.

Namun dalam fokus kita kali ini yang menjadi perhatian kita adalah perhatiannya terhadap metafisika
yang hal ini juga salah satu akibat ia dimarjinalkan dari konteks kesejarahan Islam. Ada lima teori
kekekalan diajukan sebagai yang mewakili pandangan metafisikanya secara umum; pertama, materi
menurut al-Razi bahwa itu tidak mesti tersusun dari kuantum yang diskret dan tak dapat dibagi-bagi,
materi baginya bergerak menurut unsur-unsur materinya masing-masing, pendapat ini dijelaskan
dengan panjang lebar dalam bukunya yang membahas bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam
tindakan mahluk. Al-Razi lebih meyakinkan adanya gerak bawaan dan intrinsik, inilah perbedaan tajam
antara fisika Democritus dan Aristoteles.

Keabadian materi didemontrasikan dalam dua cara. Penciptaan, yaitu tindakan materi yang sedang
“dalam Pembentukan”, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang Pencipta yang telah mendahuluinya,
tetapi juga sebuah substratum atau meteri dimana tindakan itu melekat. Selain itu, konsep yang
sebenarnya dari penciptaan ex nihilo tidak dapat dipertahankan secara logis, karena jika Tuhan telah
mampu menciptakan sesuatu dari tiada, maka tentu saja ia harus terikat pada penciptaan segala sesuatu
dari tiada, karena hal ini merupakan modus pembuatan yang paling sederhana dan paling cepat. Tetapi
karena tidak demikian halnya, maka dunia haruslah dikatakan telah diciptakan dari materi tanpa bentuk,
yang telah mendahuluinya sejak semula. Materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, dan ini
adalah prinsip yang kedua.

Kedua, Ruang dipahami oleh al-Razi, sebagai sebuah konsep abstrak, yang berbeda dengan “tempat”
(tonos) Aristoteles, tidak dapat dipisahkan secara logis dari tubuh. Akibatnya, ia menarik garis
perbedaan antara tempat atau ruang universal dan particular. Tempat (ruang) universal sama sekali
berbeda dengan tubuh, sehingga konsep tubuh yang menempatinya tidak perlu masuk kedalam
defenisinya, seperti yang implisit dalam konsep ruang Aristotelian, atau “batas tubuh yang paling dalam
yang terkandung di dalamnya”. Sementara bagi Aristoteles pun dalam kapasitas universalnya sebagai
locus communis, ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh, alam semesta dan karena itu bersifat
terbatas. Tempat particular, dipihak lain, tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi, yang
merupakan esensinya yang sejati. Dalam hal ini, ia berbeda dengan konsep Aristoteles tentang ruang
waktu sebagai locus atau wahana (vehicle).

Ketiga, Dalam pandangannya tentang waktu, Al-Razi juga menyimpang dari Aristoteles, yang
memandang waktu sebagai semacam gerak atau bilangan dari padanya. Konsep seperti itu
menyebabkan realitas waktu tergantung secara logis kepada gerakan secara umum dan gerakan
segenap langit secara khusus; tetapi dalam pandangan Al- Razi, gerak tidaklah menghasilkan tetapi
hanyalah menyingkap atau memperlihatkan waktu, yang karenanya secara esensial tetap berbeda
dengannya. Seperti terhadap ruang lebih lanjut, ia membedakan antara waktu particular atau tertentu
dengan waktu mutlak atau universal. Yang pertama dibayangkan sebagai (sesuatu) yang dapat diukur
dan terbatas, sedangkan yang terakhir sebagai yang tidak dapat diukur dan tidak terbatas, sama dengan
zaman universal (ad-Dahr) Neoplatonik, yang merupakan ukuran perlangsungan dunia indriawi, yang
disebut oleh Plato “baying-bayang keabadian yang bergerak-gerak”.

Keempat, sekaligus kelima, adalah kedua prinsip jiwa dan Pencipta, dalam sistim al-Razi dikaitkan erat
dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran penciptaan
dunia, yang telah begitu mengganggu (pikiran) para filosof sejak zaman Plato. Persoalan yang ia gumuli
bukan apakah dunia ini diciptakan atau tidak (karena, seperti Plato, ia masih percaya bahwa dunia
diciptakan dalam waktu yang abadi), melainkan masalah yang lebih rumit yang terus membahana lewat
risalah-risalah polemic teologi dan filsafat, baik dalam Islam maupun Kristen apakah Tuhan menciptakan
dunia , seperti yang dikatakan oleh kaum skolastik Latin kemudian, malalui suatu “kemestian alam”
(necessity of nature), atau melalui sebuah tindakan kehendak bebas? Jika “kemestian alam” yang
dituntut katanya, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa Tuhan, yang menciptakan dunia dalam
waktu, berada dalam waktu itu sendiri, karena suatu produk alamiah harus terjadi secara niscaya atau
pelaku alamiahnya dalam waktu. Dipihak lain, jika tindakan kehendak bebaslah yang akan dijadikan
jawaban, maka pertanyaan lain segera akan muncul, “Mengapa Tuhan lebih suka menciptakan dunia
dalam waktu particular ketimbang dalam (cara) yang lainnya. Jiwa sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam bentuk-bentuk kekekalan yang lain bersifat sama-sama kekal dengan Tuhan terpaksa
mengadakan apa yang tidak dapat dicapai jiwa secara mandiri, yakni, kesatuan dengan bentuk-bentuk
material. Dengan kesatuan inilah maka penciptaan dunia, dimana jiwa tetap ‘seorang’ asing untuk
selamanya terjalin. Berkat cahaya akal maka jiwa, yang telah demikian terpikat oleh bentuk-bentuk
material dan kesenangan-kesenangan indriawi, pada akhirnya sadar akan nasibnya yang sejati dan
terdorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia akali yang merupakan tempat tinggal
yang hakiki.

Pandangan al-Razi tentang kesengsaraan jiwa dalam dunia indriawi sabagai sambungan di atas, seperti
Epicurus, al-Razi berminat pada sisi patologis agama, dan ingin agar akal bisa menghalau kewajiban-
kewajiban tertentu agama, demi kepentingan kesehatan mental atau kejernihan moral. Ritual (mazhab),
tegasnya, berkaitan dengan hasrat (passions), bukan pikiran “kebersihan dan kesucian harus
dipertimbangkan semata-mata dengan indra, bukan dengan deduksi dan harus diperlakukan
berdasarkan persepsi bukan praduga”. Adalah wajib untuk menuntut pelbagai tingkat kesucian yang
diserukan bukan oleh tuntutan-tuntutan agama atau bahkan oleh respon sensivitas berlebihan. Sebab,
kata al-Razi, bukan agama atau sensibilitas yang dapat merespon secara rasional terhadap kekotoran-
kekotoran yang tidak dapat dirasakan. Penolakan al-Razi terhadap sensivitas yang berlebihan sebagai
suatu keburukan adalah sesuai dengan pemahaman psikiatrisnya, terutama mengenai melankolia alias
depresi.

b. Filsafat Rasionalis (akal)

Harun Nasution dalam bukunya falsafat mistisisme dalam Islam diungkapkan bahwa; Al-Razi adalah
seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan nabi-nabi.
Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik serta apa yang buruk, untuk
tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia terlahir pada dasarnya telah
dibekali akan sebuah potensi daya berpikir yang sungguh sama besarnya, dan perbedaan itu timbul
karena berlainan pendidikan dan berlainan suasana perkembangannya. Ia tidak percaya dengan para
Nabi karena dia menganggap para Nabi membawa tradisi berupa upacara-upacara yang mempengaruhi
jiwa rakyat yang pikirannya sederhana. Ia juga berani menganggap bahwa al-Qur’an bukan mukjizat.
Tetapi yang diutamakan baginya adalah buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku
agama. Walaupun ia menentang agama pada umumnya, ia bukanlah seorang ateis, akan tetapi ia
seorang monoteis yang percaya pada adanya Tuhan sebagai pengatur alam.

Dalam hal ini, Badawi menerangkan alasan-alasan al-Razi dalam menolak kenabian, adapun alasan-
alasannya antara lain: pertama, akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang
jahat, yang berguna dan tidak berguna. Hanya dengan akal semata, manusia mampu mengetahui Allah
yang mengatur kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kedua, tidak ada alasan yang kuat bagi
pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan
kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena
pengembangan dan pendidikan. Ketiga, para Nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut
seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.

Sebagai bukti sikap Rasionalis yang dimiliki oleh al-Razi terhadap akal, terlihat dalam bukunya Ath-Thibb
Ar-Ruhani. Dalam Kitab tersebut, ia mengatakan:

”Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya, kita memperoleh sebanyak-
banyak manfa’at. Inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat segala yang
berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap,
yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita .. dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh ... jika akal sedemikian mulia dan
penting; kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu,
atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia
adalah pemerintah. Tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala
masalah dengannya, kita harus sesuai dengan perintahnya".

Pernyataan al-Razi merupakan suatu ungkapkan keagungannya terhadap akal. Al-Razi memang
menentang kenabian wahyu dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus masuk akal ilmiah dan logis.
Sehingga akal sebagai kriteria prima dalam pengetahuan dan prilaku. Perbedaan manusia adalah
disebabkan oleh berbedanyan pemupukan akal karena ada yang memperhatikan hal tersebut dan ada
yang tidak memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun yang bersifat praktis.

Fenomena yang terjadi, bahwa al-Razi adalah seorang yang selalu mengagungkan akal, ini terbantah
karena pendapat demikian adalah sebuah tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadanya dari lawan-lawan
debatnya. Hal seperti ini lumrah terjadi karena untuk kepentingan politik semata yang kalah tetapi tidak
sadar diri. Dalam bukunya al- Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa al-Razi mengingkari
kenabian ataupun agama, namun sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang
teguh kepada agama, karena dengan agama akan mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan
mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Dalam buku tersebut ia mengatakan:

”Mengendalikan hawa nafsu adalah wajib menurut rasio, menurut semua orang berakal dan menurut
semua agama dan wajiblah manusia yang baik, Manusia yang utama dan yang melaksanakan syari’ah
secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan syari’ah telah menjanjikan
kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.

Selain itu, al-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah kata ”Semoga Allah
melimpahkan Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan
semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada Sayid kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari kiamat,
yakni Muhammad. Semoga Allah melimpahkan kepadanya Shalawat dan Salam yang banyak selama-
lamanya. Denganh demikian, tuduhan-tuduhan itu terbantahkan, al-Razi adalah seorang rasionalis
religius, bukan rasionalis liberal karena al-Razi masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada
agama dan kewahyuan.

c. Filsafat Jiwa (ruh)

Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah
pikiran al-Razi, yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian lain itu
adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena kebodohannya ruh
mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi
menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah
jasad yang beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah
manusia yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini. Dalam filsafatnya mengenai hubungan
manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia
sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan,
maka roh harus lebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan
membuat pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi jalan
mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya
dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan
pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk memelihara
diri.

3. Karya-Karya al-Razi

Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis, terutama dalam


prinsip “lima kekal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga pendukung pandangan naturalis kuno. Selain
ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki sebagai tokoh non-kompromis
terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti keberaniannya dituangkan dalam
pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian dan agama”.

Perhatian utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal. Setelah itu, moral,
kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya kritik intelektualnya. jiwa merupakan
titik kesamaan perhatian utama antara al-Razi dan Plato. Selain ia seorang filosof, ia juga seorang yang
ahli dalam bidang kimia dan kedokteran. Tulisannya dalam bidang kimia yang terkenal ialah Kitab Al-
Asrar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Sedangkan dalam bidang medis
atau pengobatan karyanya yang terbesar ialah al-Hawi, al-Hawi merupakan ensiklopedi ilmu kedokteran,
diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku
pegangan utama dikalangan kedokteran Eropa sampai abad ke 17. Agar lebih jelas karya-karya al-Kindi
dikelompokkan seperti di bawah ini:
1) Ath-Thibb Ar-Ruhani,

2) Ash-Shirat Al-Falsafiyyah,

3) Amarat Iqbal Ad-Daulah,

4) Kitab Al-Ladzdzah,

5) Kitab Al-Ilm Al-Ilahi,

6) Maqalah Fi Ma’bad Ath-Thabi’ah,

7) Al-Hawi Fi Ath-Thibb,

8) Manshuri,

9) Kitab Sirr Al-Asrar,

10) Muluki,

11) Kitab Al-Jami’ Al-Kabir,

12) Sekumpulan risalah logika berkenaan dengan Kategori-kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan
dengan logika, seperti yang dinyatakan dalam ungkapan kalam Islam,

13) Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya,

14) Materi Mutlak dan Partikular,

15) Plenum dan Vacum, Ruang dan Waktu,

16) Fisika,

17) Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana,

18) Tentang Keabadian dan Ketidakabadian Tubuh,

19) Sanggahan terhadap Proclus,

20) Opini fisika “Piutarch” (Placita Philosophorum),

21) Sebuah Komentar terhadap Komentar Plutarch tentang Timaeus,

22) Sebuah Komentar tentang Timaeus,

23) Sebuah Risalah yang menunjukkan Bahwa Benda-benda bergerak dengan sendirinya dan bahwa
Gerakan itu pada Hakikatnya adalah milik mereka,

24) Obat pencahar Rohani (Spiritual Physic),

25) Jalan Filosofis,


26) Tentang Jiwa,

27) Tentang Perkataan Imam yang tidak bisa salah,

28) Sebuah Sanggahan Terhadap Kaum Mu’tazilah,

29) Metafisika Menurut Ajaran Plato,

30) Metafisika Menurut Ajaran Sokrates,

4.Filsafat Ar Razi Paling popular


Konsepsi filsafat al-Razi yang paling menonjol, dan karenanya menjadi ajaran pokok, adalah
prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan
dalam waktu dan bersifat sementara, membe¬dakannya dari konsep Plato yang mempercayai
bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya berte¬mu dalam keabadian
jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik. Konsep filsafat al-Razi tentang moral ter-
breakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”-nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud
memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara
membunuhnya. Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin¬tikan penolakan
kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga
dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis. Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi
memperlihat¬kan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang
menyatu secara unik-pelik. Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya
dari al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat antara
Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang telah memberikan solusi dalam
persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato,
akan tetapi juga para filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah
membuka jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.

5.Karya Ilmiah paling popular Ar-Razi

Karya yang paling utama adalah al-Hawi (bukan komprehensif). Pertama kali diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin pada 1279 dengan judul Totum Continens, cetakan kelima diterbitkan di Venezia (1542).

Buku itu merupakan ensiklopedi dalam bidang informasi kedokteran yang terdiri dari 24 jilid dan
berabad-abad lamanya memengaruhi praktik dan pemikiran kedokteran dunia Barat Latin.

Ar-Razi membahas tentang abses ginjal, muntahan aorta, optalmia, hemoptises (muntah darah), serta
kebotakan sementara dan permanen. Ia juga dipandang sebagai penemu technique seton dalam ilmu
bedah, yaitu bahan sintetis (misalnya, benang, ayakan tipis, kawat) yang melewati jaringan subkutaneus
atau kista yang membentuk sinus dan fistula.
Risalah Cacar dan Campak

Monograf ar-Razi berjudul al-Judari wal Hasbah merupakan risalah kimia klinik kedokteran
pertama tentang cacar dan campak. Karena itu, sejak diterbitkan ia menjadi mutiara kepustakaan
kedokteran Muslim.

Diterjemahkan ke dalam Latin di Venizia (1565) dengan judul De Variolis et morbilis (Risalah Tentang
Cacar dan Campak) dan kemudian ke dalam beberapa bahasa modern yang kelak membangkitkan
antusiasme baru dalam bidang kedokteran pada abad ke-18. Risalah ini juga menempatkan ar-Razi
sebagai pemikir orisinil dan Bapak Klinik Abad Pertengahan.

Farmasi

Al-Razi juga dipandang sebagai salah satu pelopor utama dalam formakognosi, yaitu cabang
formakologi tentang karakterstik fisikawi dan sumber botanis dari obat-obatan dasar kitab Sir al-Asrar
(buku mengenai rahasia). Di buku tentang farmakologi ini, ia membagi obat-obatan dalam kategori
mineral, vegetal (botanis), dan biologis, serta masing-masing diuraikan analisis fungsionalnya.

Anda mungkin juga menyukai