Anda di halaman 1dari 30

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH

DISKUSI KELOMPOK

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Diskusi Kelompok

Pembimbing : Dr Asep Sulaiman

Disusun oleh : Kelompok 3

1. Jatmika Aji Santika (1195010070)


2. Karina Anggia (1195010072)
3. Lukman (1195010078)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM (SPI) FAKULTAS ADAB DAN


HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2019


Kata pengantar

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
tepat pada waktunya.Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi.Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.Namun
terlepas dari itu,kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,sehingga
kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung,5 September 2019

Penyusun
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………….………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………...……………………………………………………………. 1
Maksud Dan Tujuan .………………………………...…………………………………………………… 1
Identifikasi Masalah ……………………………………………………………………………………… 1

BAB II PEMBAHASAN
A.Fase Awal Datang Islam ………………………………………………………......…………………… 3
B.Peradilan pada masa Kesultanan ..... 3
C.Peradilan Islam pada masa penjajahan.. 4
………………………………………………………………………….…………
D.Peradilan Islam Sejak Masa Kemerdekaan …………………………………………………………. 5
E.Peradilan Islam Pada Masa Orde Lama Dan Orde Baru………………………………....................... 6
F.Peradilan Islam Pada Masa Reformasi ………………………………………………………………. 7

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ………………………………………………………………....…………………………….... 8
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………............ 9
BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas.Dalam tataran dunia Islam Internasional,umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut
sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas territorial kenegaraan.

Karena itu,menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah Hukum
Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu.Pertanyaan-pertanyaan seperti
seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin di Indonesia itu terhadap penerapan
hukum Islam di Tanah Air? Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak
komunitas muslim hadir di Indonesia. Disamping itu kalian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk
menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa
ini dengan hukum Islam.Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi
yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan,serta
tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat
menjadi bahan telaah penting di masa dating.Setidaknya,sejarah itu menunjukkan bahwa proses
Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.

Maksud dan Tujuan

Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam yang ada di Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung,yang kemudian penulisan makalah ini diharapkan
dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dan bisa memberikan manfaat baik
untuk almamater perguruan tinggi maupun bagi dunia ilmu pengetahuan pada
umumnya.Walaupun tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian
sejarah hukum Islam di Tanah air,namun setidaknya apa yang akan Penyusun paparkan disini
dapat memberikan gambaran tentang hukum islam,sejak awal kedatangan agama ini ke bumi
Indonesia hingga di era reformasi ini.

Identifikasi Masalah

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas.Dalam tataran dunia Internasional,umat Islam Indonesia disebut sebagai komunitas
muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas territorial kenegaraan.
Dara hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa
pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan
Hukum Islam pada :

1.Masa Prapenjajahan Belanda

2.Masa Penjajahan Belanda

3.Masa Pendudukan Jepang

4.Masa Kemerdekaan

5.Era Orde Lama dan Orde Baru

6.Era Reformasi
BAB II PEMBAHASAN

A.Fase Awal Datang Islam

“Islam datang dan Islam Berkembang”.Ungkapan tentang masuk dan keberadaan islam
itu paling tidak dapat dijadikan sebagai pilihan jawaban atas perbincangan para pegiat dan
pemerhati yang mempertanyakan,kapan sebenarnya Islam masuk ke Indonesia.Menurut beberapa
literature dan hasil”Seminar Masuknya Islam di Indonesia pada Tahun 1963”,dapat diketahui
bahwa agama Islam datang di Indonesia sekitar pada abad ke-1 Hijriyah atau sekitar abad ke-7
Masehi.Simpulan didukung dengan adanya makam,yang merupakan tradisi dan ciri khas umat
Islam dalam memelihara mayat,yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam tradisi masyarakat
Hindu-Budha.Sedangkan Islam disebut-sebut mulai berkembang dan muncul sebagai kekuatan
politik terjadi pada abad 13-14 Masehi,yang ditandai dengan adanya masjid dan pelbagai
perubahan situasi politik dan kekuasaan.

Pada saat Islam datang,secara perlahan-lahan ajaran Islam diterima oleh masyarakat dan
menggeser ajaran-ajaran Hindu-Budha sebagai agama yang telah ada dan dianut masyarakat
Indonesia sebelumnya.Ajaran Islam juga berangsur-angsur diterapkan dan dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari,baik dalam bidang ibadah mahdah(habl min Allah) ,muamalah,maupun
munakahat.

Periode berikutnya adalah era perkembangan Islam,yang ditandai dengan terjadinya


berbagai perubahan,antara lain dalam bidang politik,hukum keluarga,dan muamalah.Dalam
bidang tersebut telah terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan budaya local,atau
dengan pengertian lain,terjadinya pembauran antara tradisi besar(fikih Islam) dengan tradisi
kecil(adat),yaitu suatu pengakuan dan legitimasi Islam ke dalam tradisi masyarakat.

Penerimaan dan Penerapan hukum Islam itu dapat dilihat pada masa-masa awal kerajaan
Islam.Pada masa kesultanan Islam,hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum
Negara(hukum positif).Bahkan pada masa Kesultanan Agung,sosialisasi hukum Islam dilakukan
oleh sultan secara hebat,sehingga ia menyebut dirinya sebagai “Abdul Rahman Khalifatullah
Sayidina Panatagama”.Demikian pula di Banten,yaitu suatu masa kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa,nyaris tidak tampak perbedaan antara hukum Islam dengan hukum
adat.Namun,berhubung agama Islam itu masuk ke pelbagai wilayah dengan waktu yang
berbeda,maka luasnya wilayah dan kewenangan kesultanan Islam antara yang satu dengan yang
lain mengalami perbedaan.

Kaitan antara Unsur Lokal dengan Islam

Seiring dengan diterima dan diterapkannya hukum Islam di basis-basis Islam,hukum adat
setempat juga sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam,sehingga dalam menyelesaikan
perkara waris misalnya,tidak jarang hukum adat dan hukum Islam bersanding dan digunakan
bersama-sama.Munculnya beberapa teori,seperti receipto in complex,teori receptive,teori
receptive exit atau reception contrario yang digagas para ahli,menandai adanya pengakuan
beragam tentang gambaran pelaksanaan dan penerapan hukum Islam.Meskipun tidak jarang
terjadinya pergulatan antara elit Islam dengan elit adat dalam rangka memberi pengakuan dan
penguatan berlakunya hukum dalam masyarakat Islam Indonesia.

Pertama,teori reception in complexu.Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer(1823-1868)


dan juga oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg(1845-1927).Teori ini menggariskan
bahwa bagi bangsa Indonesia berlaku hukum menurut agamanya.Bagi Komunitas Muslim
berlaku hukum Islam,bagi kaum Hinduis,Buddhis berlaku hukum Hindu Buddha,dan bagi
Kristiani berlaku hukum Kristen.

Dengan demikian,bagi orang Islam Indonesia berlaku penuh hukum Islam.Bukti


diberlakukannya hukum Islam sendiri tergambar dengan pelbagai aturan di pelbagai daerah
,antara lain seperti berikut.

1.Adanya Compendium Freijer,yaitu buku ringkasan tentang hukum perkawinan dan kewarisan
Islam.Buku ini merupakan pedoman para pihak untuk wilayah hukum daerah jajahan Voc
sebagai tindak lanjut diberlakukannya Statuta Batavia 1642,yang menyebutkan : “ Sengketa
warisan antara pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum
Islam”.

2.Instruksi Pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati pada tahun 1808,yang berbunyi: “…
terhadap urusan-urusan agama orang Jawa,tidak akan dilakukan ganggua-gangguan,sedangkan
pemuka-pemuka agama mereka dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam
bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat tidak ada penyalahgunaan….”.

3.Digunakannya kitab Muharrar dan Pepakem Cirebon.1

4.Diberlakukannya kitab Sabil Al-Muhtadin(syarah kitab Sirat al-Mustaqim,karangan Syaikh


Nuruddin al-Raniri) di daerah Kesultanan Banjar.2
1
Kitab Papakem Cirebon merupakan kompilasi dari berbagai ketentuan hukum,yang berisi ketentuan hukum Islam
yang diambil dari Kitab-kitab Fiqh dan ketentuan-ketentuan hukum yang berasal dari Kitab Jawa Kuno:Kerajaan
Niscaya,Jaya Lengkara,Kontra Menawa,dan Adilullah
2
Mohammad Daud Ali,”Hukum Islam :Peradilan Agama dan Masalahnya”,dalam Tjun Sujarman(ed),Hukum Islam di
Indonesia Pemikiran dan Praktek,(Bandung:Rosda Karya,1991)hlm.72.
5.Stbl.Hindia Belanda Nomor 22 Tahun 1820.Pasal 13 berbunyi:bahwa bupati wajib
memperhatikan soal –soal agama Islam dan untuk menjaga upaya para pemuka agama dapat
melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam masalah
perkawinan dan pembagian pusaka.

Kedua,teori receptie.Teori ini diperkenalkan oleh Cornelis van Vollenhoven(1874-1933)


dan dikawal ketat oleh Snouck Horgronje(1857-1936).

Menurut teori receptie ini,hukum yang sebenarnya berlaku di Indonesia adalah hukum
adat asli.Apabila pengaruh hukum Islam itu masuk ke dalam hukum adat, maka hukum Islam
itu baru mempunyai kekuatan hukum apabila dikehendaki dan diterima oleh hukum adat.Dengan
demikian,hukum yang berlaku bagi orang Islam Indonesia adalah hukum adat mereka masing-
masing.Hukum Islam dianggap tidak ada,dan yang ada hanya hukum adat,karena Hukum
Islamitu hanya dapat diresepsi oleh hukum adat.Dengan kata lain,hukum adat menjadi pilar
yang dapat menentukan ada tidaknya dan berlaku tidaknya hukum Islam.

Ketiga,teori reception a contrario.Menurut teori ini,hukum adat baru berlaku apabila


tidak bertentangan dengan hukum Islam.Masyarakat
Aceh,Minangkabau,Riau,Jambi,Palembang,Bengkulu,dan Lampung sangat kuat menjunjung
tinggi adat,tetapi adat yang dibenarkan adalah adat yang tidak bertentangan dengan agama yang
mereka anut,yaitu agama Islam.Petatah petitih yang berbunyi : “adat bersendi syarak,atau
ungkapan syarak mengata,ada memakai”menunjukkan bahwa dalam masyarakat adat itu hidup
suatu keyakinan bahwa hukum agam Islamlah yang mereka berlakukan.Dalam hal ini,hukum
adat dapat menjadi hukum apabila dilindungi oleh hukum Islam.

B.Peradilan Islam pada Masa Kesultanan

1.Peradilan Islam di Mataram

Pada awal pemerintahan kesultanan Islam Mataram diperintah oleh Sultan


Agung,lembaga peradilan pradata sebagai peradilan Negara yang dipimpin langsung oleh raja
tetap dipertahankan.Sebutan peradilan pradata itu sendiri diambil dari pradata,yang berasal dari
istilah”pradatan”,yang berarti tempat yang terpisah dari serambi masjid.Peradilan Pradata ini
diselanggarakan di pandhapa(pendopo),kantor istana tempat raja melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan.Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan menyelesaikan perkara,pada saat itu
telah dilakukan pemetaan dan pemisahan,yakni yang berkenaan dengan persoalan publik dan
privat.Pertama,persoalan public,yaitu perkara perdata yang menjadi urusan raja dan diduga
berasal dari ajaran agama Hindu.Kedua,persoalan privat,yaitu perkara padu yang tidak masuk
pada urusan yang diselesaikan peradilan raja dan diduga bersumber dari adat.Persoalan-
persoalan yang masuk kualifikasi public,yakni perkara pradata yang berhubungan langsung
dengan masalah keamanan Negara,ketertiban umum,penganiyaan,perampokan,dan
pencurian.Karena itu,penyelesainnya menjadi otoritas dan wewenang penuh raja.Sedangkan
persoalan-persoalan yang masuk kualifikasi privat,yakni perkara padu yang bersinggungan
dengan masalah perorangan,seperti perselisihan di antara rakyat yang tidak dapat didamaika oleh
pemimpin lingkungannya masing-masing,penyelesaian perkara padu itu dilimpahkan kepada
hakim pengadilan pradata.

Secara bertahap,Sultan Agung melakukan perombakan yang berkenaan dengan sistem


peradilan yang diberlakukan,yaitu dengan menyuntikkan unsur-unsur hukum dan ajaran Islam
melalui ahli-ahli hukum Islam ke dalam sistem peradilan.Selanjutnya,nomenklatur lembaga
peradilan pradata itu mengalami perubahan yang sangat bermakna bagi perjalanan sejarah Islam
di Indonesia,yaitu menjadi peradilan surambi(serambi),yang tidak lagi dipimpin raja,tetapi
dipimpin seorang penghulu dan dibantu oleh alim ulama sebagai anggota majelis.Namun
demikian,tugas pokok,fungsi,kekuasaan,dan kewenangan pengadilan surambi tidak jauh berbeda
dengan pengadilan pradata.

Sultan Agung yang dikenal memiliki komitmen yang kuat terhadap ajaran
Islam,memberikan tempat dan posisi lain kepada pengadilan surambi,sehingga tugas pokok dan
fungsi pengadilan surambi,selain menyelesaikan perkara-perkara sumir yang menyangkut pihak-
pihak yang beragama Islam,juga memberikan advis kepada Sultan Agung,khususnya dalam
menyelesaikan perkara-perkara besar dan berat,terutama yang mencakup persoalan hukum dan
berkaitan dengan ajaran Islam.Dengan demikian,dalam mengambil putusan-putusan penting dan
pelik yang menyangkut soal agama Islam,Sultan Agung sangat berhati-hati dan dalam
memberikan putusan selalu memperhatikan advis yang diberikan pengadilan surambi.

2.Peradilan Islam di Banten

Pada masa kesultanan Islam di Banten,terutama pada era Sultan Hasanuddin dan Sultan
Ageng Tirtayasa,tidak tampak perbedaan antara hukum Islam dengan hukum adat.Pengaruh
agama Hindu nyaris tidak berbekas lagi dalam kehidupan bermasyarakat dan praktik
pemerintah.Bahkan totalitas Islam sebagai agama tampak terlihat mewarnai system pemerintahan
kerajaan Islam Banten.Berbagai regulasi dalam setiap sector kehidupan.Begitu pula dalam sistem
peradilan,pengadilan disusun menurut pengertian dan semangat Islam.Pengadilan Islam sebagai
pengadilan Negara dipimpin langsung oleh qadhi selaku hakim tunggal.Begitu pula dalam
memutuskan perkara,hakim memiliki otoritas dan wewenang penuh dalam menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan dengan mengacu kepada hukum Islam.

3.Peradilan di Kesultanan Sulawesi

Secara politis,peran figure seorang pemimpin dalam menyelenggarakan praktik


pemerintahan sangat sentral.Karena itu,peran raja-raja tempo dulu dalam penyebaran dan
pengembangan Islam begitu menonjol.Dalam sejarah Islam di Indonesia juga terdapat indikasi
bahwa pesatnya perkembangan Islam di kantong-kantong tertentu dan terintegrasinya Islam
dengan tradisi local menjadi pranata-pranata sosial Islam karena tidak terlepas dari peranan
raja.Salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang pertama kali menerima Islam secara
resmi adalah kerajaan Tallo.Setelah itu,muncul pula Kerajaan Gowa,yang pada waktu itu
merupakan kerajaan terkuat di seluruh daratan Sulawesi.Kerajaan ini sangat berwibawa,sehingga
ditaati oleh rakyatnya.

Pada masa Sultan Malikus Said berkuasa misalnya,diangkat parewa syara’(pejabat


agama) setingkat dengan parewa adek(pejabat adat) yang eksistensinya sudah ada jauh sebelum
Islam dating.Parewa syara’ dipimpin oleh seorang kali(kadi),yaitu pejabat tinggi bidang hukum
syariat Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan.Pada setiap paleli diangkat seorang
imam,yang dibantu oleh seorang khatib dan seorang bilal.Padahal,pada masa sebelumnya,hakim
agama Islam dipegang oleh raja Gowa,yang sekaligus sebagai pelindung agama Islam dalam
kerajaan.Begitu pula melalui jalur kulturan kerajaan menentukan berbagai
kebijakan.Misalnya,bahwa dalam setiap pembentukan kampong harus terdapat langgar dan
seorang ahli agama yang ditugasi menjadi imam untuk memimpin jamaah salat di
kampungnya,imam dan pembantunya itu merupakan aparat kali di pusat kerajaan.

Dengan bersandingnya pranata syarak dan pranata adat melalui kekuatan struktur
kerajaan dan kultur kemasyarakatan,maka dua kekuatan arus atas dan arus bawah ini menjadi
kekuatan yang bukan saja ampuh,tetapi juga sangat efektif.Karena itu,sangat beralasan apabila
pada gilirannya Syariat Islam dapat berkembang secara pesat,bahkan berlaku dan ditaati oleh
masyarakat.

C.PERADILAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Kehadiran pemerintah colonial Belanda di Indonesia merupakan sumber


pertentangan,terutama bagi umat Islam yang merupakan bagian terbesar penduduk
Indonesia.Hal itu terjadi karena antara pemerintah Hindia Belanda dengan umat Islam
Indonesia,masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.Di satu pihak,Belanda berupaya
untuk mempertajam dan melebarkan pengaruh kekuasaan wilayah jajahannya di
nusantara.Sedangkan di pihak lain,umat Islam Indonesia berupaya untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan Belanda.Karena itu,upaya Belanda mendapat perlawanan yang gigih dari
para raja dan sultan Islam.Para raja dan sultan bahu membahu dengan para ulama dalam
menyadarkan umat Islam agar membebaskan diri dari cengkraman pemerintah colonial sehingga
perlawanan mereka terhadap pemerintah kafir bagaikan tak pernah henti.Padam di suatu
tempat,muncul di tempat lain.

Tampaknya pemerintah colonial Belanda menyadari bahwa para pegiat dan pejuang di
tanah air Indonesia adalah orang-orang Islam yang taat kepada ajaran
agamanya.Sementara,perlawanan sengit umat Islam itu diinspirasi oleh ajaran Islam sehingga
secara diam-diam pemerintah Belanda gencar bekerja keras mempelajari situasi dan kondisi yang
menyangkut kehidupan penduduk Indonesia,termasuk didalamnya mengkaji Islam secara ilmiah
di Negeri Belanda.Di samping itu,diselanggarakan pula indologie,yaitu ilmu untuk mengenal
lebih jauh seluk beluk penduduk Indonesia.Hasil kajian itu melahirkan suatu kebijakan baru yang
diberlakukan pada pemerintahan colonial Belanda di Indonesia,yang kemudian lebih popular
dikenal dengan Islam Policy(politik Islam) yang dimotori Snouck Hurgronje.Kebijakan itu pada
dasarnya berusaha menjauhkan segala unsur ajaran Islam dari pelbagai ranah kehidupan,baik
kehidupan bernegara,kemasyarakatan,maupun persoalan hukum.Secara umum,kebijaksanaan
pemerintah kolonial Belanda itu meliputi 3 bidang berikut.

1.Dalam lapangan ibadah,pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan yang penuh


kepada umat Islam untuk melaksanakan agamanya.

2.Dalam lapangan kemasyarakatan,pemerintah Hindia Belanda menghormati tatanan dan


kebiasaan masyarakat yang berlaku dengan membuka jalan yang dapat mendorong taraf
kehidupan masyarakat kea rah kemajuan yang lebih tenang.

3.Dalam lapangan ketatanegaraan,mencegah terjalinnya hubungan dengan Pan Islamisme yang


dipandang dapat merongrong kekuasaan dan kekuatan pemerintah Hindia Belanda.

Sebelum kebijaksanaan itu lahir,sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap hanya


berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur,karena Belanda belum menguasai banyak
tentang Islam.Untuk menghambat dan melumpuhkan umat Islam di Indonesia,pelbagai cara licin
dan maneuver licik dilakukan pihak Belanda.Di antara maneuver yang dilakukannya adalah
dengan menjalin kerja sama yang terpadu dengan kelompok elit adat,yaitu para kepala
adat.Melalui lembaga adat,Belanda berusaha membendung pengaruh ajaran Islam.Langkah lain
yang ditempuh pemerintah Hindia Belanda adalah mengangkat penghulu sebagai pegawai negeri
yang bertugas membantu bupati dalam bidang peradilan Islam,dengan cara membenturkan dua
ranah yang secara diametral,yaitu antara hukum Islam dengan hukum adat.Kolonial Belanda
berhasil memperalat hukum adat untuk melemahkan posisi hukum Islam,bahkan
menghapuskannya dari lingkungan tata Hukum Hindia Belanda,sehingga kolonial Belanda
sangat mendorong penggunaan hukum adat.

Pada awalnya,pemerintah Hindia Belanda tidak mencampuri urusan peradilan


agama,bahkan dibiarkan hidup dan berlaku dalam masyarakat.Tetapi pada tahun
1820,pemerintah Hindia Belanda mulai ikut campur dalam bidang peradilan,meskipun hanya
sekedar ikut mengatur dan mengarahkan kewajiban serta kekuasaan Pengadilan Agama.Menurut
Karel A.Steenbrink,peraturan pemerintah Hindia Belanda yang lahir pada tahun 1820 itu tidak
bermaksud mengatur pengadilan agama secara rinci,tetapi hanya mengatur daftar kewajiban
para bupati dengan memberikan kekuasaan menyelesaikan perkara kepada para alim ulama.

Penguatan politik pemerintah colonial Belanda itu dapat terlihat pula dengan adanya
Staatsblad 1855 pasal 75 dan 78 RR.Di dalam pasal 75 RR ayat(3)Staatsblad 1855 berbunyi:”…
hakim bumi putera harus memberlakukan undang-undang (peraturan)agama,instelling,dan
kebiasaan(adat)penduduk asli”.Pasal tersebut merupakan gambaran resmi pengakuan pemerintah
colonial,sekaligus memperkenalkan eksistensi hukum Islam dan kebiasaan yang sudah larut
dalam kehidupan penduduk asli.Sementara,pada pasal 78 ayat (2) RR berbunyi:”Dalam hal
terjadi perkara perdata antara sesame orang Indonesia itu atau dengan mereka yang
dipersamakan dengan mereka,maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepala
masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan lama
mereka”.Ketentuan pasal 78 RR di atas lebih jelas lagi dalam memperkenalkan peradilan Islam
untuk menyelesaikan perkara-perkara yang dihadapi umat Islam.Dengan demikian,kehadiran
peradilan Islam secara bertahap semakin mendapat perhatian dan pemerintah colonial,sekaligus
menempatkan para hakim(qadhi) untuk lebih bebas dan leluasa dalam menangani hukum
kekeluargaan umat Islam.

Salah satu politik pemerintah Kolonial Belanda dalam memperkokoh basis kekuasaan di
wilayah jajahannya adalah dengan mengubah haluan politiknya dalam upaya merangkul simpati
umat Islam,sekaligus melemahkan posisi hukum Islam dengan menempatkan lembaga peradilan
Islam(pengadilan agama) di bawah naungan dan pantauan langsung pengadilan kolonial.

Menurut Karel A.Steenbrink,peraturan pertama tentang peradilan agama di Jawa dan


Madura dikeluarkan pada tanggal 7 Desember 1835,dimuat dalam Staatsblad 1835 yang
berbunyi:”Kalau di antara orang Jawa timbul perkara tentang perkawinan,kewarisan,dan lain-
lainnya yang harus diselesaikan menurut undang-undang Islam,maka para penghulu,ulama,dan
kyai harus memberikan keputusan hukum.Tetapi harus diajukan kepada pengadilan biasa,supaya
dilaksanakan menurut keputusan yang sudah diambil dan untuk menjamin
pelaksanaannya”.Dengan lahirnya Staatsblad 1835 di atas,praktis pengadilan agama tidak
memiliki kekuasaan untuk mengeksekusi keputusannya sendiri.Karena keputusan pengadilan
agama baru dianggap memiliki kekuatan mengikat dan dapat dieksekusi apabila pengadilan
negeri sudah memberikan pengukuhan atas keputusan pengadilan agama dalam bentuk
executoire verklaring.Dengan kata lain,secara imperative agar keputusan pengadilan agama itu
dapat dieksekusi,maka terlebih dahulu keputusan pengadilan agama itu harus diajukan kepada
pengadilan negeri.

D.PERADILAN ISLAM PADA ZAMAN JEPANG(POLITIK SIMPATIK PENJAJAHAN


JEPANG)

Pada tahun 1942 merupakan awal penjajahan jilid kedua bagi bangsa Indonesia,setelah
lebih kurang 350 tahun dalam dekapan Kolonialis Belanda.Selama 3 tahun pemerintah colonial
Jepang berkuasa di Indonesia,tidak banyak perubahan dilakukan,kecuali melanjutkan kebijakan
pemerintahan sebelumnya,yaitu dalam ranah politik hukum.Pertama,kebijakan yang ditempuh
pemerintah penjajahan Jepang adalah melanjutkan kebijakan yang ditempuh pemerintah
Kolonial Belanda,yaitu dengan membiarkan berbagai regulasi yang sudah berlaku
sebelumnya.Begitu pula berbagai regulasi yang berkenaan dengan kepentingan umat
Islam,kolonial Jepang menerapkan politik simpatik,yang merangkul kepentingan
Islam.Pengibaran hubungan harmonis antara Islam dengan Kolonial Jepang itu oleh para ahli
seperti dikutip Cak Hisin Bisri disimbolkan”Ibarat hubungan antara Bulan Sabit(simbol Islam)
dengan Matahari Terbit(Simbol Jepang)”.Karena itu,tingkat campur tangan kolonial Jepang
terhadap kepentingan peradilan agama sangat rendah.Terbukti lembaga peradilan Islam ini masih
dipertahankan.

Kedua,pembentukan Pengadilan Bala Tentara Dai Nippon yang diatur melalui UU No.14
Tahun 1942.Dalam pasal 3 UU No.14 Tahun 1942 itu disebutkan bahwa untuk sementara
waktu,Pengadilan Bala Tentara Dai Nippon(Gunsei Hooin) terdiri atas beberapa pengadilan
berikut.

1.Pengadilan Negeri(Tiho Hooin)

2.Hakim Polisi(Keizai Hooin)

3.Pengadilan Kabupaten(Ken Hooin)

4.Pengadilan Kewedanan(Gun Hooin)

5.Mahkamah Islam Tinggi(Kaikyoo Kooto Hooin)

6.Rapat Agama(Sooryo Hooin)

Namun demikian,pergumulan sengit antara elit Islam dengan elit nasionalis(adat) yang berbeda
paradigm dalam merancang bangun untuk mengelola Negara berakibat terancamnya eksistensi
lembaga peradilan agama.Dua tokoh nasional,yaitu Abikusno dam Soepomo yang merupakan
anggota Dewan Sanyo memiliki pandangan yang berbeda perihal pengadilan agama.Menurut
Abikusno(mewakili kelompok nasionalis),Negara sekuler harus bersifat modern dan tidak perlu
berdasarkan Islam.Apabila pengadilan agama tidak dapat dihapuskan,maka jabatan penghulu
dalam instansi-instansi sipil dihapuskan.

Nasib pengadilan agama hampir musnah pada penghujung pemerintahan penjajahan


Jepang,ketika pada akhir Januari 1945 pemerintahan bala tentara Jepang ini mengajukan
pertanyaan kepada Dewan Pertimbangan Agung(Sanyo-Aanyo Kaigi Fimushitsu)berkaitan
dengan sikap dewan tentang susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid dalam
hubungannya dengan kedudukan agama dalam Negara Indonesia ke depan.Pada tanggal 14 April
1945,dewan memberikan jawaban sebagai berikut.”Dalam Negara yang baru,yang memisahkan
antara urusan Negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai
pengadilan istimewa,untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya
cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan
seorang ahli agama”.

Bagi bangsa Indonesia pergeseran kekuasaan pemerintah penjajahan dari colonial


Belanda ke colonial Jepang tidak ada bedanya,sama-sama menyengsarakan.Demikian pula bagi
kepentingan umat Islam,kebijakan apa pun yang dilakukan penjajah,tetap merugikan.Lembaga
peradilan agama yang merupakan hasil transformasi fikih murafa’at dan wilayat al-qadha ke
dalam tata hukum dan budaya local serta sudah menjadi bagian integral dari pranata sosial
hukum Islam Indonesia hamper-hampir terseret dan dimusnahkan.Tidak dapat dibayangkan
bagaimana bagaimana nasib lembaga peradilan agama ini apabila pemerintah colonial Jepang
memiliki kesempatan yang lebih lama menguasai tanah air Indonesia.Jadi,sebagaimana nasib
Negara Indonesia,lembaga peradilan agama bukan hadiah dari siapa pun,kecuali mutlak sebagai
hasil perjuangan para pegiat dan pejuang kemerdekaan yang sudah mewakafkan darah dan
semangatnya untuk kemerdekaan Republik-Indonesia.

E.PERADILAN ISLAM SEJAK MASA KEMERDEKAAN

Sejak proklamasi kemerdekaan,pemerintah RI mulai bangkit dan berangsur-angsur


menghilangkan politik hukum pemerintah Kolonial Belanda,yang sudah barang tentu sangat
merugikan kepentingan bangsa Indonesia,khususnya umat Islam.Sejalan dengan itu,Departemen
Agama yang merupakan bentuk lain dari jabatan agama yang sudah ada pada masa kesultanan
Islam,ditempatkan sebagai bagian dari pemerintahan.Legislasi pembentukannya diatur melalui
Penetapan Pemerintah Nomor 1 tertanggal 3 Januari 1946.

Dengan terbentuknya Departemen Agama,terjadi pula pergeseran kebijakan.Institusi


Mahkamah Islam Tinggi ditarik dari lingkungan Departemen Kehakiman dan selanjutnya
dilimpahkan ke Departemen Agama.Hal itu diatur melalui Pemerintah Nomor 5-SD tanggal 25
Maret 1946,yang berbunyi:pada masa colonial Belanda tidak ada pegawai pengadilan agama
yang mendapat gaji tetap atau honorarium dari pemerintah,ketua pengadilan penghulu atau
penghulu kepala yang dibayar oleh pemerintah Hindia Belanda bukan sebagai ketua pengadilan
agama,akan tetapi dalam kedudukannya sebagai Islamitisch adviseur pada landraad.Adapun
setelah kemerdekaan,anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah.

Akan tetapi,di sisi lain,dalam menempatkan peradilan agama,terdapat kebijakan yang


berbeda.Melalui UU No.19 Tahun 1948,peradilan agama pernah dicoba untuk ditempatkan
dalam peradilan umum secara istimewa.Hal tersebut secara jelas termaktub dalam UU No.19
Tahun 1948 yang berbunyi:”…perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang
hidup harus diputus menurut hukum agama Islam,harus diperiksa dan diputus oleh badan
Peradilan Umum dalam semua tingkatan Peradilan( Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi,dan
Mahkamah Agung) terdiri atas seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan 2 orang
hakim ahli agama Islam.
UU No.19 Tahun 1948 yang belum sempat dinyatakan berlaku itu menghendaki
dihapusnya susunan peradilan agama yang sudah ada dan dimasukan ke pengadilan negeri,tetapi
penyelesaian materi hukumnya ditampung secara khusus,agar keputusannya tidak
menyimpang(bias) dari ketentuan syariat Islam.Beruntung,undang-undang itu pun”layu sebelum
berkembang”,bahkan dapat dikatakan “mati sebelum terlahir”.Karena sampai lahirnya Undang-
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dan UU No.1 Tahun 1961 yang mengatur tentang
tindakan pengadilan sipil.Sementara itu,untuk memenuhi kehendak masyarakat Aceh,dalam
rangka meredakan suasana keamanan dan ketertiban,dibentuk mahkamah syar’iyah untuk
wilayah Aceh tersebut dianggap sangat penting dalam mengantisipasi pelbagai persoalan umat
Islam di wilayah hukum lainnya.Untuk itu,jangkauan wilayah hukum mahkamah syar’iyah
diperluas meliputi wilayah hukum hukum di luar Jawa dan Madura serta di luar sebagian
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Secara resmi,ketentuan itu diatur dalam PP Nomor 45 Tahun 1957 yang dikeluarkan
pada tanggal 5 Oktober 1957.Tampaknya di dalam PP Nomor 45 Tahun 1957 itu masih
tersimpan semangat “receptive theorie” yang justru sangat merugikan kepentingan umat
Islam.Hal tersebut terlihat pada Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 45 Tahun 1957 yang
berbunyi :”Pengadilan Agama Islam memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri
yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut “hukum yang hidup” diputus menurut
agama Islam,yang berkenan dengan nikah,talak,rujuk,fasakh,nafkah,maskawin,…”.

Dengan demikian,dapat tidaknya pengadilan agama Islam menyelesaikan perkara umat


Islam,tergantung diterima tidaknya hukum Islam sebagai hukum oleh adat setempat.Di samping
itu,dengan lahirnya PP Nomor 45 Tahun 1957 tersebut,berarti peradilan agama di Indonesia
memiliki nama dan pelbagai peraturan yang beragam.Sudah tentu,hal itu berpengaruh langsung
terhadap keberadaan dan peran peradilan agama itu sendiri.Karena dengan beragam peraturan
tersebut,beragam pula dalam segi kekuasaan dan wewenangnya,sehingga putusan peradilan
agama sering dikenal disparitas.

1.Peradilan Agama sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

Sejak keluarnya Dekrit Presiden Tahun 1959 dan Undang-Undang Dasar kembali kepada
UUD 1945,pelaksanaan bidang peradilan merupakan implementasi dari kekuasaan kehakiman
sebagaimana digariskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945,yang berbunyi : “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
Undang-Undang”.Selanjutnya,perihal susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
dengan undang-undang.

Pengakuan terhadap peradilan agama sebagai salah satu lembaga peradilan yang
melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dalam bidang peradilan terjelma dengan lahirnya UU
No.19 Tahun 1964.Bahkan dengan lahirnya UU No.14 Tahun 1970 yang menggantikan UU
No.19 Tahun 1964,peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4(empat) lingkungan peradilan
Negara yang sah ,yaitu peradilan umum,peradilan agama,peradilan tata usaha Negara,dan
peradilan militer.Dengan demikian,posisi peradilan agama memiliki kekuatan dan derajat yang
sama dengan lembaga-lembaga peradilan lainnya sebagai peradilan negara

Dalam perkembangannya,kekuasaan dan kewenangan peradilan agama itu mulai


mendapat porsi,sejalan dengan lahirnya UU No.1 Tahun 1974,yang pelaksanaannya diatur dalam
PP Nomor 9 Tahun 1975,dengan melimpahkan segala jenis perkawinan orang-orang yang
beragama Islam ke pengadilan agama.Begitu pula PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Pewakafan,memberikan kekuasaan kepada peradilan agama belum menunjukkan kemandirian
dalam melaksanakan tupoksi peradilan sebagai pengadilan negara yang independen.Terlebih
dengan terdapatnya ketentuan tentang pengukuhan pada pasal 63 ayat (2) UU No.1 Tahun
1974,yang mengharuskan setiap keputusan pengadilan agama dikukuhkan oleh pengadilan
umum.Keharusan tersebut adalah keharusan yang bersifat imperative,yaitu keharusan secara
administrative menurut ketentuan undang-undang,tanpa harus menunggu permintaan dari pihak
lain.

Secara sosio politik,keadaan tersebut merupakan langkah surut ke masa Kolonial


Belanda,sebagai akibat kuatnya pengaruh receptie theorie,yang secara tidak langsung
menempatkan peradilan agama sebagai pelengkap peradilan umum.Dapat
dibayangkan,bagaimana”nasibnya” keputusan pengadilan agama apabila suatu saat tidak
mendapatkan pengukuhan dari peradilan umum.Dapat dibayangkan,bagaimana “nasibnya”
keputusan pengadilan agama apabila suatu saat tidak mendapatkan pengukuhan dari peradilan
umum.Hal itu jelas sangat merugikan pihak-pihak yang tengah berperkara,yang menginginkan
perkaranya dapat segera mendapatkan kepastian hukum.Di samping itu,pengadilan agama pun
akan menerima akibat yang ditimbulkan oleh adanya ketidakpastian keputusannya itu,antara lain
akan terjadinya degradasi kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan.Mereka tidak akan
mempercayai lagi lembaga peradilan agama sebagai tempat menyelesaikan perkara dan
bentengnya penegakan hukum dan keadilan.

Bagaimanapun,eksistensi peradilan agama itu tidak terlepas dari lemahnya regulasi yang
secara khusus mengatur mengenai : susunan,kekuasaan,dan acara peradilan agama.Karena
eksistensi peradilan itu sangat tergantung pada adanya regulasi ketiga unsur peradilan
tersebut,karena itu dalam praktiknya,wujud pengadilan agama itu tidak lebih dari sekedar
pelengkap landraad (pengadilan umum),seolah-olah pengadilan agama tidak berbeda dengan
lembaga peradilan yang “krempeng”.Karena setiap putusan pengadilan agama tidak memiliki
kekuatan mengikat untuk dipaksakan,sehingga apabila terjadi salah satu di antara pihak yang
berperkara tidak mau tunduk (membangkang) kepada putusan pengadilan agama itu,maka harus
dimintakan terlebih dahulu kekuatan hukum untuk dijalankan dari pengadilan negeri dalam
bentuk pengukuhan.Namun demikian,pengukuhan itu sendiri bersifat fakultatif,yakni
diperlakukan hanya kalau dimintakan oleh pihak yang berkepentingan.Oleh sebab itu,putusan
yang telah dilaksanakan dengan sukarela tidak memerlukan permohonan untuk pengukuhan
kepada pengadilan negeri.
2.Unifikasi Kelembagaan Peradilan Agama

Komitmen untuk membenahi lembaga peradilan agama dari sebagai segi,baik


susunan,kekuasaan maupun hukum acara terus dilakukan oleh pemerintah.Langkah itu dilakukan
secara gradual,dimulai dari upaya merumuskan penyeragaman nama peradilan yang selama itu
sangat bervariasi sampai dengan adanya pengakuan dan disejajarkan dengan peradilan-peradilan
lainnya.Untuk itu,berbagai regulasi yang mengatur piranti-piranti peradilan agama pun
dirumuskan.

Pada masa pemerintahan Orde Baru,ketika Menteri Agama RI dipegang oleh Letnan
Jenderal TNI Alamsyah Ratuprawiranegara,Departemen Agama yang dari segi organisasi
kelembagaan memayungi peradilan agama,mulai melakukan langkah maju,yaitu dengan
menyeragamkan nomenklatur peradilan agama sebagai upaya kea rah unifikasi hukum.Hal itu
dibuktikan dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980,yang pada
prinsipnya mengatur bahwa sebutan peradilan agama tingkat pertama di seluruh wilayah
Indonesia,yaitu pengadilan agama di Jawa-Madura,Kerapatan Qadhi di sebagaian residen
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur,dan Mahkamah Syar’iyah di luar wilayah hukum
Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan-Kalimantan Timur menjadi pengadilan
agama(PA).Sedangkan peradilan agama tingkat banding,yaitu Mahkamah Islam Tinggi di
wilayah Jawa-Madura,Kerapatan Qadhi Besar di wilayah sebagian Kalimantan Selatan-
Kalimantan Timur,dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di wilayah luar Jawa-Madura dan luar
sebagian Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur menjadi Pengadiltan Tinggi
Agama(PTA).

Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 itu,maka sejak
itu sebutan nama (nomenklatur) pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
diseragamkan,yaitu sebutan pengadilan agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama dan
sebutan pengadilan pengadilan tinggi agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding yang
berlaku di seluruh wilayah Indonesia.Dengan demikian,berbagai celoteh dan komentar
miring,yang mencemooh eksistensi peradilan agama sebagai peradilan”semu” mulai dapat
dihentikan.Memang sangat tidak lazim,sebagai sebuah lembaga negara yang sangat berwibawa
dalam negara hukum justru memiliki sebutan yang beragam,yang dari segi teori hukum
dipandang tidak mencerminkan unifikasi hukum.Belum lagi karena dari segi susunan tidak
didukung oleh struktur yang memadai,yaitu dengan tidak dimilikinya salah satu unsur penting
dalam pengadilan,yaitu institusi juru sita yang berperan sebagai eksekutor pengadilan.

F.PERADILAN ISLAM PADA MASA REFORMASI


Pergeseran kekuasaan dari rezim Orde Baru ke pemerintah Orde Reformasi ,membawa
serta merta berbagai perubahan dalam ranah sosial,politik,dan hukum.Perubahan mendasar
dalam bidang hukum,yakni dilakukannya amandemen atas UUD 1945.Salah satu pasal yang
mengalami perubahan adalah Pasal 24 ayat (2) UUD 1945,berkaitan dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman,yakni keberadaan Mahkamah Konstitusi.Selengkapnya,rumusan hasil
amandemen atas Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 itu berbunyi ; “ Penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,lingkungan Peradilan Agama,lingkungan
Peradilan Militer,lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.Ketentuan konstitusi itu ditindaklanjuti dengan lahirnya UU No.35 Tahun 1999
tentang Sistem Peradilan Satu Atap,UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Amandemen Atas UU No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman),dan
UU No.48 Tahun 2009 ( Amandemen Atas UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman).

Lahirnya berbagai peraturan itu menunjukkan adanya tekad yang kuat dan bulat dalam
usaha penguatan terhadap prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka,sesuai dengan tuntutan
reformasi dalam ranah hukum,sekaligus sebagai wujud nyata pengawalan terhadap perubahan
mendasar dalam sistem peradilan,yakni dari “sistem peradilan mendua”,yang berpijak di atas dua
kaki berubah ke system Peradilan Satu Atap.

Melalui UU No.4 Tahun 2004,yang kemudian diamandemen dengan UU No.48 Tahun


2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,telah ditetapkan pengalihan kewenangan yang berhubungan
dengan masalah penyelenggaraan,kekuasaan dan kewenangan lembaga peradilan.Hal itu sesuai
dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 yang berbunyi :
organisasi,administrasi,dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009,maka kewenangan dalam
bidang organisasi,administrasi,dan finansial lembaga peradilan agama berpindah dari lembaga
eksekutif,yakni Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama kepada lembaga
yudikatif,yakni Mahkamah Agung.Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan
dalam bidang organisasi itu sendiri meliputi : kedudukan,tugas,fungsi,kewenangan di bidang
administrasi meliputi : kepegawaian,kekayaan Negara,kekuangan,arsip,dan dokumen.Sedangkan
yang dimaksud dengan pengalihan dalam bidang finansial adalah mengenai anggaran yang
sedang berjalan.Seluruh unsur yang berada pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Departemen Agama,Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi,dan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah itu beralih dan masuk ke dalam satu atap di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung.

Pembinaan peradilan dalam sistem satu atap oleh Mahkamah Agung itu merupakan
upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan
pengadilan yang tidak memihak(impartial).Dengan lahirnya peraturan perundang-undangan
tersebut,maka praktis terdapat berbagai akibat hukum yang bersinggungan langsung dengan
posisi peradilan agama.Pertama,secara organisatoris,administratif,dan finansial,badan peradilan
agama berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.Hal itu mengandung pengertian bahwa
peradilan agama yang sejak proklamasi kemerdekaan RI berada di bawah kekuasaan Departemen
Agama,bergeser dan beralih ke dalam wilayah kekuasaan Mahkamah Agung.

Kedua,sejak digulirkannya reformasi system hukum dan peradilan,termasuk yang


bersinggungan dengan pengalihan organisasi,administrasi,dan finansial badan peradilan agama
menjadi satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung.Pengalihan peradilan agama menjadi
satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung.Pengalihan peradilan agama dari Departemen
Agama ke Mahkamah Agung itu sendiri banyak menuai pro-kontra dalam lingkungan
masyarakat Islam,para elit politik dan tokoh agama Islam.Meskipun demikian,pada akhirnya
semua pihak dapat memahami dan secara legowo dapat menerima mengenai kebijakan
pengalihan itu.Namun hanya karena alas an teknis,proses pengalihan badan peradilan
agama,yang semestinya dilakukan pada tanggal 30 Juni 2004 oleh Menteri Agama kepada Ketua
Mahkamah Agung mengalami sedikit penundaan.

Berkenaan dengan kebijakan sistem peradilannya satu atap itu,maka dilakukan pula
langkah-langkah adaptasi lainnya,terutama yang berkaitan dengan badan peradilan agama.Untuk
itu,dilakukan dua kali amandemen terhadap UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama,yaitu melalui UU No.3 Tahun 2006,yang diundangkan pada tanggal 28 Februari 2006
dan melalui UU No.50 Tahun 2009,yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2009.

Perubahan Kedua Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama itu telah
meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama,pengawasan
tertinggi,baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial,yaitu urusan
organisasi,administrasi,dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.Sedangkan
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat,serta perilaku
hakim,pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Dasar pemikiran dilakukannya Perubahan Kedua Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam menyelanggarakan
kekuasaan kehakiman,yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim
dapat berjalan parallel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.Beberapa perubahan
penting atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diungkapkan dalam
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut.

1.Penguatan pengawasan hakim,baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun


pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga
dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat serta perilaku hakim.
2.Memperketat persyaratan pengangkatan hakim,baik hakim pada pengadilan tinggi
agama,antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan,akuntabel,dan
partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim.

3.Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.

4.Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim.

5.Keamanan dan kesejahteraan hakim.

6.Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan.

7.Transaparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban biaya
perkara.

8.Bantuan Hukum.

9.Majelis kehormatan hakim dan kewajiban hakim untuk menaati kode etik dan pedoman
perilaku hakim.

Secara umum,Perubahan Kedua atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada dasarnya
untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang
bersih serta berwibawa,yang dilakukan melalui penataan system peradilan yang terpadu
(integrated justice system),terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Pendekatan yang dilakukan dalam amandemen itu bersifat”addendum”,dengan arti kata


bahwa rumusan peraturan lama yang terdapat dalam pasal-pasal itu secara tekstual masih tetap
tertulis mendampingi pasal-pasal baru hasil amandemen.Dalam hal ini,pasal-pasal yang terdapat
dalam UU No.7 Tahun 1989 masih tetap berlaku sejauh tidak ditetapkan lain dalam UU Nomor 3
Tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009.Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama ini mengatur administrasi baru tentang susunan peradilan agama(hakim-hakim agama)
dan memperluas kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Beberapa pasal yang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989 mengalami perubahan,baik
melalui amandemen pertama,yakni UU No.3 Tahun 2006 maupun melalui UU No.50 Tahun
2009.Di antara perubahan itu,berkenaan dengan adanya pengkhususan pengadilan.Dalam Pasal
3A UU No.3 Tahun 2006,sebagai sisipan antara Pasal 3 dengan Pasal 4,disebutkan bahwa dalam
lingkungan peradilan agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan
undang-undang.Pada amandemen kedua atas UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana diatur dalam
UU No.50 Tahun 2009,Pasal 3A itu mengalami perubahan dan penekanan makna,sehingga
menjadi :
(1)Di lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang ;

(2)Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
Peradilan Agama,dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum
sepanjangan kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum.

Perubahan Pasal 3A itu sekaligus merupakan penjabaran dan penguatan atas ketentuan
Pasal 15 UU No.4 Tahun 2004,yang menempatkan Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam sebagai pengadilan khusus yang memiliki dua kewenangan absolut,yakni
kewenangan Peradilan Agama dan kewenangan Peradilan Umum.

Peradilan Agama Sejak Amandemen

1.Asas-Asas Peradilan Agama

Dengan mencermati kandungan pasal-pasal yang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989
pasca amandemen,baik melalui UU No.3 Tahun 2006 maupun melalui UU No.50 Tahun
2009(amandemen kedua) dapat ditemukan beberapa asas yang berlaku pada pengadilan Dalam
lingkungan Peradilan Agama,yaitu seperti dijelaskan berikut

a.Personalitas Ke-Islaman

Para pihak yang dapat berperkara pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah
orang-orang tertentu,yaitu orang yang beragama Islam.Dengan kata lain,orang-orang yang bukan
beragama Islam tidak dapat berperkara di lingkungan peradilan agama.Hal itu secara jelas
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.50 Tahun 2009 ( Amandemen Kedua atas UU No.7
Tahun 1989) yang berbunyi : Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam.

b.Pengadilan Tingkat Pertama dan Kedua

Penyelesaian perkara di lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh Pengadilan Agama


sebagai pengadilan tingkat pertama dan oleh Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan
tingkat banding.Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat(1) UU No.7 Tahun 1989.UU No.3
Tahun 2006 yang berbunyi : kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan
oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.Ketentuan pasal 3 itu dipertegas lagi dalam
Pasal 6 UU No.7 Tahun 1989.UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009 yang berbunyi :
pengadilan terdiri dari pengadilan agama,yang merupakan pengadilan tingkat pertama,yang
merupakan pengadilan tingkat banding.

C.Wilayah Hukum Peradilan Agama


Wilayah hukum kekuasaan peradilan agama dalam menerima,memeriksa,mengadili,dan
memutuskan perkara disesuaikan dengan kedudukan daerah hukumnya masing-masing.Daerah
hukum pengadilan agama sebagai pengadilan yang bertugas menyelesaikan perkara tingkat
pertama adalah daerah hukum ibu kota kabupaten atau pemerintah kota.Hal tersebut secara
eksplisit tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009 yang
berbunyi : pengadilan agama berkududukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota.Sedangkan daerah hukum pengadilan tinggi agama sebagai
pengadilan yang bertugas menyelesaikan perkara tingkat banding adalah daerah hukum ibu kota
provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.Hal tersebut secara jelas terdapat dalam
Pasal 4 ayat (2) UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009 yang berbunyi :pengadilan tinggi
agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

D.Kewenangan Mengadili Perkara Tertentu

Kewenangan mengadili perkara dalam lingkungan peradilan agama terbatas pada


perkara-perkara tertentu.Kewenangan mengadili perkara hanya bersifat khusus,yaitu meliputi
hukum tertentu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun
2009 yang berbunyi : peradilan agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini.

Pasal UU No.3 Tahun 2006 UU No.50 Tahun 2009 itu merupakan perubahan di bidang
yurisdiksi yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.Pada
awalnya,kewenangan itu terbatas pada bidang domestic(ahwal syakhsiyah) kemudian bergeser ke
ranah yang lebih luas,bidang domestik dan publik(muamalah),yakni di bidang zakat,infak,dan
ekonomi syariah.

Perubahan itu berkonsekuensi terhadap perluasan subjek hukum,tidak hanya orang,tetapi


juga mencakup badan hukum.Di samping itu,peradilan agama juga diidentifikasi sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu.Perkara tertentu dalam ketentuan Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006.UU No.50
Tahun 2009 itu merupakan hasil perubahan dari “perkara perdata” sebagaimana diatur dalam
ketentuan UU No.7 Tahun 1989.Hal itu memberi peluang kepada pengadilan untuk
memeriksa,memutus,dan menyelesaikan memberi peluang kepada pengadilan untuk
memeriksa,memutus,dan menyelesaikan perkara pidana(jinayah) sebagaimana menjadi
kewenangan mahkamah syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menjadi bagian
dalam lingkungan peradilan agama.

Rincian mengenai kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama itu
adalah sebagai berikut

1.Bidang Perkawinan
Adapun yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah hal-hal yang diatur
berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 mengenai perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan
syariah dan kompilasi hukum islam(KHI),antara lain :

1)izin beristri lebih dari seorang;

2)izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 ( duapuluh satu)
tahun,dalam hal orang tua wali,atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat ;

3).dispensi kawin ;

4)pencegahan perkawinan ;

5)penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah ;

6)pembatalanperkawinan ;

7)gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri ;

8)perceraian karena talak ;

9)gugatan perceraian ;

10)penyelesaian hartabersama ;

11)penguasaan anak-anak ;

12)ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak,bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak mematuhinya ;

13)penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri ;

14)putusan tentang sah tidaknya seorang anak ;

15)putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua ;

16) pencabutan kekuasaan wali ;

17)penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut ;

18)penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 Tahun(delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;

19)penentuan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya ;
20)penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam ;

21)putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan


campuran;

22)pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Dalam penjelasan atas Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009 ditegaskan
bahwa apa yang dimaksud dengan ‘waris’ itu meliputi :

1)penentuan siapa yang menjadi ahli waris ;

2)penentuan mengenai harta peninggalan ;

3)penentuan bagian masing-masing ahli waris ;

4)melaksanakan pembagian harta peninggalan ;

5)penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris ;

3.Bidang Wasiat

Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang
lain atau lembaga/badan hukum,yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

4.Bidang Hibah

Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

5.Bidang Wakaf

Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariat.

6.Bidang Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang
dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak
memilikinya.

7.Bidang Infak

Infak adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi
kebutuhan,baik berupa makanan,minuman,mendermakan,memberikan rezeki(karunia),atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas,dank arena Allah Subhanahu
Wata’ala.

8.Bidang Ekonomi Syariah

Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,yang mencakup :

1)bank syariah ;

2)asuransi syariah ;

3)reasuransi syariah ;

4)reksa dana syariah ;

5)obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah ;

6) sekuritas syariah ;

7)pembiayaan syariah ;

8)pegadaian syariah ;

9)dana pension lembaga keuangan syariah ;

10)bisnis syariah ; dan

11)lembaga keuangan mikro syariah.

E.Kewenangan Mengadili Sengketa Hak Milik

Kewenangan peradilan agama dalam menerima,memeriksa,dan menyelesaikan perkara


diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009.Dalam
memeriksa perkara tersebut sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 50,terdapat kewenangan yang
menuntut adanya penundaan pemeriksaan dan yang menuntut adanya pemeriksaan dan
penyelesaian dua perkara atau lebih secara sekaligus.
1.Penundaan Memeriksa dan Mengadili

Apabila dalam memeriksa perkara,ternyata ditemukan bahwa objek perkaranya itu dalam
sengketa hak milik atau sengketa lain,maka khusus mengenai objek sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.Secara eksplisit hal itu
dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009,yang berbunyi
: dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009,khusus mengenai objek sengketa tersebut
harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Dengan demikian,apabila suatu perkara yang diajukan ke pengadilan agama masih terdapat
sengketa hak milik,pengadilan agama tidak berwenang untuk memeriksa,mengadili,dan memutus
perkara tersebut.Dalam hal ini,penyelesaian sengketa hak milik,khusus yang menjadi objek
sengketa tersebut menjadi kewenangan dan harus diputus oleh pengadilan negeri.Contoh : Fakhri
dan Mano,dua orang kakak beradik dalam gugatannya mendalilkan bahwa Mano telah
menguasai seluruh harta peninggalan,termasuk sebuah rumah yang ditempati Mano dengan tanpa
hak.Apabila dalam waktu yang bersamaan terdapat pihak lain(Satria) yang keberatan,dan telah
mengajukan bukti ke pengadilan agama,bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri
terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama,maka dalam posisi
kasus seperti itu pengadilan agama harus menunda untuk menunggu putusan gugatan yang
diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.Mengingat penyelesaian sengketa hak
milik itu sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 50 auat (1) UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun
2009 menjadi kewenangan penuh pengadilan negeri.

2.Kewenangan Mengadili Sengketa Hak Milik

Di dalam Pasal 50 ayat (2) UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009 dijelaskan
bahwa apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek
hkumnya antara orang-orang yang beragama Islam,objek sengketa tersebut diputus oleh
pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 UU No.3
Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009.Perkara yang dimaksud itu meliputi :
perkawinan,waris,hibah,wakaf,zakat,infak,sadakah,dan ekonomi syariah.

Dalam penjelasan atas UU No.3 Tahun 2006 dikatakan bahwa ketentuan Pasal 50 ayat (2) itu
memberikan wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik
atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya
gugatan di pengadilan agama.Contoh : Fakhri dan Mano,dua orang kakak beradik yang beragama
Islam,bersengketa mengenai harta waris.Fakhri menggugat Mano ke pengadilan agama,yang
dalam gugatannya mendalilkan bahwa Mano telah menguasai seluruh harta
peninggalan,termasuk sebuah rumah yang ditempati Mano telah menguasai seluruh harta
peninggalan,termasuk sebuah rumah yang ditempati Mano dengan tanpa hak.Dalam
persidangan,Mano menyanggah gugatan Fakhri dengan menyatakan bahwa rumah yang dikuasai
Mano adalah hasil pembelian dari Marshel.

Dalam posisi kasus seperti itu,maka pengadilan agama diberi wewenang penuh untuk mengadili
perkara waris sekaligus menyelesaikan sengketa hak miliknya,tanpa harus menunggu putusan
dari pengadilan negeri,mengingat pihak-pihak yang menjadi subjek sengketa itu sama-sama
beragama Islam.

F.Mengadili Menurut Hukum dan Persamaan Hak

Keharusan mengadili menurut hukum dan persamaan hak dirumuskan dalam Pasal 58
ayat (1) UU No.7 Tahun 1989.UU No.3 Tahun 2006.UU No.50 Tahun 2009 dan Pasal 5 ayat (1)
UU No.4 Tahun 2004 yang berbunyi : pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.Pertama,rumusan “mengadili menurut hukum”,sebagaimana tercantum
dalam pasal- pasal tersebut memberi pemahaman bahwa lembaga peradilan dalam melakukan
pemeriksaan perkara harus berpedoman dan berlandaskan pada aturan hukum yang berlaku,yaitu
semua peraturan perundang-undangan yang sah dan dibuat oleh lembaga yang kompeten.Selain
peraturan perundang-undangan yang berlaku,termasuk juga dalam pengertian menurut hukum
adalah seluruh nilai yang bersumber dari nilai-nilai agama,moral,kultur,kebiasaan,dan kepatutan.

Kedua,rumusan mengadili “ dengan tidak membeda-bedakan orang” mengandung


pengertian bahwa setiap orang yang mengajukan perkara ke pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama mempunyai hak dan kedudukan yang sama untuk memperoleh kebenaran dan
keadilan.Menurut M.Yahya Harahap,persamaan hak tersebut berpedoman pada beberapa ugeran
berikut.

1.Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal
before the law

2.Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law

3.Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice under the law.

G.Aktif Memberi Bantuan


Keharusan memberikan bantuan yang dilakukan oleh pengadilan dan perangkat terkait
lainnya tertera dalam rumusan Pasal 58 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989.Pasal 5 ayat (2) UU No.4
Tahun 2004 yang berbunyi : pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-
kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang
sederhana,cepat,dan biaya ringan.

Kandungan hukum yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut mengharuskan bahwa


dalam pemeriksaan perkara di pengadilan,hakim agar aktif memberikan bantuan kepada para
pihak yang berperkara.Pemberian bantuan tersebut terbatas pada bantuan atau memberi nasihat
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah “formal” atau mengenai tata cara beracara di
pengadilan.Hakim tidak dapat memberikan bantuan atau nasihat kepada para pihak sepanjang
mengenai masalah materil atau pokok perkara.Hal itu semata-mata agar pemeriksaan perkara di
persidangan berjalan lancer,terarah,dan tidak menyimpang dari tata tertib beracara sebagaimana
telah diatur dalam undang-undang.Karena itu,sangat disayangkan apabila terdapat kesalahan
dalam masalah formal,perkara yang diperiksa menjadi tertunda.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-
tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut
didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini
dijalankan secara cerdas dan bijaksana.

Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang
ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah
jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran
dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan
menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.

Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan,
harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya
penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri,
dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu
tujuan dan cita-cita.
DAFTAR PUSTAKA

Mukhlas , OS. 2012. Perkembangan Peradilan Islam. Bandung: Diva Press


Law, E (2009, 15 Januari). perkembangan-hukum-islam.  Dikutip 8 Septembri 2019 dari Cara
Menulis Buku: https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-
islam/perkembangan-hukum-islam/

Anda mungkin juga menyukai