Anda di halaman 1dari 10

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

Nama : Jatmika Aji Santika


NIM : 1195010070

Mata Kuliah : Historiografi Umum Dosen. : Drs. Fajriudin, M.Ag

Semester/ Kls : V/ B Fathia Lestari, M.A

Hari/ Tgl : Rabu, 29 Desember 2021

SOAL

1. Coba Saudara uraikan proses pembentukan metodologi sejarah dari perjalanan historiografi
Eropa mulai abad ke-4 hingga awa abad ke-19!

2. Coba saudara uraikan historiografi ideologi, berikan satu contoh tokoh dan tulisannya serta
alasan mengapa saudara mengkategorikan contoh tersebut kedalam jenis historiografi
ideologi?

3. Tidak dapat dipungkiri,historiografi merupakan representasi dari budaya yang ada. Dalam
hal ini, Indonesia pernah mengalami perubahan budaya saat kedatangan Bangsa Eropa,
terutama Belanda. Hal tersebut juga berdampak pada historiografi, yang akhirnya dikenal
dengan Historigrafi Kolonial. Coba jelaskan karakteristik historiografi kolonial dan sebutkan
satu contoh historiografi kolonial beserta alasannya.

4. Hasil dari Seminar Sejarah 1, menghasilkan karakteristik historiografi nasional. Coba


saudara uraikan apa itu historiografi nasional? Berikan satu contoh beserta alsannya.

5. Hari ini historiografi Indonesia telah memasuki Historiografi kritis. Bagaimana menurut
anda Historiografi Indonesia hari ini?

Selamat mengerjakan!

Jawaban

1. PenulisanSejarahpadaAbadpertengahan

Abad pertengahan adalah yang bercirikan agama Kristen. Dimana agama Kristen
berhasil menguasai  dan mempengaruhi segala aspek kehidupan.  Kehidupan seseorang
selalu dibenturkan dengan tujuan akhir dan segala kehidupan ditentukan oleh Tuhan.
Begitu pila dengan ilmu pengetahuan semuanya banyak diarahkan pada pengetahuan
agama, terutama teologi. Pemikiran filsafat yang berkembang  adalah filsafat
Skolastiek yaitu pemikiran filsafat yang dilingkari bingkai gereja dan untuk alat
pembenaran agama.

Semua aktivitas dan segala perkembangan yang terpengaruh oleh gereja. Maka,
keberadaan historiografi juga tidak luput dari pengaruh kebudayaan  dalam kehidupan
sejarawan pada waktu itu. Hal ini tampak dalam menentukan periodosasi yang
disesuaikan dengan kitap injil dan jalannya sejarah secara linear(menuju tujuan akhir 
yang bahagia dialam baka). Disamping itu pandangan sejarawan abad pertengahan
menganggap bahwa sejarah itu tidak ditentukan oleh manusia, tetapi merupakan
penyelenggaraan Tuhan.

Historiografi pertengahan yang digambarkan oleh ST. Augustine (Augustinus 354-


430) zaman kehidupan Augustinus ini diantara peralihan zaman klasik kezaman abad
pertengahan. Dari sini dapat dilihat di dalam penulisan sejarahnya.  Disatu piha k
dipengaruhi zamanklasikdanzamanpertengahan.

Pandangan sejarawan yang dikemukakan oleh Agustinus ialah keselamatan yaitu


menganggap bahwa proses sejarah deakletika pertentangan kejahatan dan kebaikan 
antara kebenaran dan kesalahan yang pada akhirnya kenbenrannlah yang menang. Hal
ini digambarkandalamkaryaCityofGod(CivitasDei).

PenulisanSejarahDiTimurTengahZamanIbnKholdun

Di Asia barat pada abad ke 14-15 muncul seorang sosiolog dan sejarawan yang telah
berhasil menunjukkan beberapa teori dan metode baru dalam ilmu sejarah. Dalam
usahanya ia menggunakan pendekatan multi dimensional.  Ia mengungkapkan ilmu
sejarah denganpendekatanilmusosiologi.

Ibn Kholdun hidup berlatar belakang dari lingkunagan  agama islam, waktu mudanya
banyak beragama islam, ilmu sastra,  serta ilmu huklum. Ia juga belajar sejarah pada
kakeknya  yang dikenal sebagaiu sejarawan. Jadi kehidupan kebudayaan Timur
Tengah dan islam, banyak mempengaruhiu hasil karya penulisan Ibn Kholdum.
Kehidupan suku-suku di Arab seperti pengelompokan berdasarkan ikatan darah pada
suatu tempat yang kecil dan terbatas. Kemudian berkembang menjadi suku yang
bersifat kebangsaan dan ikatan agama sebagai ikatan antar agama, menjadi dasar dari
pengamatan dan kemudian diangkat menjadi suatu teori sosilogi dan sejarah
perkembangan  bangsa-bangsa di timur tengah. Konsepsi ajaran islam tentang
kehidupan manusia yaitu keseimbangan dan keharmonisan hidup didunia dan akhirat
mempengaruhi dalam karya penulisan Ibn kholdum.

Karya Ibn kholdum yang terkenal ialah Muqodimah. Dalam karyanya itu tampak
beberapa pandangan dan teori yang dikemukakan  Kholdum  tentang sejarah dan
sosiologi. Didalam bidang sejarah pangdangan  filsafat Ibn Kholdum  yaitu bahwa
gerak sejarah berpangkal pada hakekat tuhan. Namun orientasi  dari jalannya sejarah
bukan untuk akherat tapi untuk kehidupan duniawi.  Oleh karena itu dengan  tegas  ia
mengatakan bahwa  tujuan akhir dari jalannya sejarah  untuk menyadarkan
masyarakat  agar dapat mencapai kemajuan hidup yang baik di dunia. Didalam
mengamati sejarah  mempunyai perhatian yang khusus  dari analisa dari kelanjutan
suatu causa. Suatu kelanjutan dari suatu causa (sebab) itu ialah suatu kehidupan yang
timbul, berkembang dan merosot dan kemudian timbul kembali.

PenulisanSejarahPadaZamanRenaissance

Zaman renaissance  termasuk permulaan abad modern. Ciri-ciri zaman renaissance


ialah pertama: kehidupan manusia dihargai, bahkan menjadi pusat perhatian dalam
segala hal (anthoposentrisme);kedua: mencerminkan kehidupan yang sekuler dan
humanities dan ketiga adanya kebebasan  berkreasi, berfikir dan mengeluarkan
pendapat. Dengan demikian, maka renaissance merupakan perubahan yang menyolok
dengan situasi kehidupandiabadpertengahan.

Penulisan sejarah pada zaman renaissance ternyata juga terpengaruh oleh situasi zaman
dan kebudayaan yang berkembang pada masa itu. Oleh karena itu pandangan sejarah
pada masa itu adalah perubahan dari theosentrisme (abad pertengahan) ke
anthoposentrisme (renaissance) pandangan sejarah zaman renaissance mengatakan
bahwa perjalanan sejarah sanagat ditentukan oleh manusia, bukan atas peranan Tuhan.

Salah satu contoh dari penulisan sejarah zaman renaissance ialah karya Machiavelli
yang berjudul History of Florence berjumlah delapan jilid. Di dalam karya itu ia
menulis secara impiris dan pengunkapan kenyataan  yang pernah dialami.
Digambarkan adannya konflik kekuasaan bangsawan  sendiri, konflik antara
bangsawaan dan rakyat  dan kehancuran  Italiaakibatintervensiasing(Barbar).
Machiavelli berpendapat bahwa fungsi sejarah sebagai  bahan pengajar melalui 
contoh-contoh yang praktis. Ia lebih berminat menulis masalah-masalah yang
kontemporer, dengan menggunakan pendekatan politis, memang sebenarnya ia lebih
dalam bidang politiknya.

Di dalam bidang politik, Machiavelli mempunyai konsep  dan pendapat yang banyak
dipengaruhi oleh situasi zamannya juga.  Ia ingin membebaskan  moral   dalam
kehidupan  politik dan tujuan lebih penting  untuk mendapatkan  kekuasaan  dari pada
terbelenggu moral.  Maka konsep politik ini sering disebut dengan untuk mencapai
tujuan dengan  menghalalkan segala cara: hal ini sesungguhnya gambaran realitas  dan
machiaveli terdapat situasi politik pada zamannya, yang sering terjadi konflik
perebutan kekuasaan di Italia.

PenulisanSejarahPadaAbad18

Abad ke 18 adalah abad rasionalisme dan sekuralisme yang ditandai dengan semakin
perkembangannya kepercayaan pada diri manusia  sendiri terutama dalam bidang
berfikir dan mementingkan  kehidupan duniawi  rasionalisme ini nampak jelas ,
dengan adanya tuntutan  manusia  untuk menggunakan  logika, berfikir kritis, skiptis 
dan realitifis.
Mabillon adalah seorang sejarawan  abad ke 18  yang berhasil menulis karyannya
berjudul On Diplomaties.  Di dalam bukunya ini ia mengemukakan  dan
memperkenalkan kerja penulisan sejarah  dengan menggunakan kritik  terhadap
sumber sejarah, khususnya kritik ekstern dalam rangka menentukan  autentisitas
sumber.  Oleh karena itu Mabillon  merupakan seorang yang telah berjasa  dalam
memulai  menggunakan metode kritis dalam sejarah. Hal ini merupakan cerminan
situasi zaman abad ke 18  yang rasionalis dan kritis.

Studi Mabillon dimulai dengan meneliti dokumen-dokumen  dan surat perjanjian yang
ada di St. Muir.  Didalam mengadakan kritik sumber secara ekstern ini menggunakan
ukuran: 1). Gaya penulisan dokumen itu  sesuai tidak dengan karakter zaman. 2).
Bentuk dan formal dan serta  bahan yang digunakan  sesuai tidak dengan karakter
zamannya.3) identitas berupa segel-cap dan tanda tangan sesuai tidak dengan  asli
lainnya yang sejaman. Demikianlah  jasa mabillon  yang telah memulai  dengan
menggunakan metode kritis terhadapsumber.

PenulisanSejarahPadaZamanRomantic

Penulisan sejrah pada zaman romantisisme  pada abad ke 19 dipengaruhi pula oleh
iklim zamannya. Oleh karena itu, terlebih dahulu dibicarakan tentang ciri-ciri zaman
romantic.

Pada abad 19 mulai muncul perhatian kembali terhadap masa lampau  eropa pada
abad pertengahan. Gerakan para kaum romantic adalah menaruh perhatian  dan
berusaha untuk sumber daya bangsa sendiri.munculnya romantic ditandai oleh
adanya hokum adapt di Jerman .

Adanya romantisme ini kemudian mendorong adanya penggalian identitas masa


lampau  dari suatu bangsa  yang dipergunakan untuk membedakan  denhgan bangsa
lain. Dalam hal ini melahirkan nasionalisme dan lebih jauh lagi mendorong munculnya
sejarah nasional.  Munculnya sejarah nasional hal ini disebabkan  setiap bangsa
mempunyai kebutuhan untuk mencari identitas  yang khusus dan jasa perjuangan 
yang besar sebagai suatu bangsa, agar dapat membedakan dengan bangsa lainnya.
Munculnya sejarah nasional  ini ternyata menambah  suatu corak  baru dalam bidang 
historiografi.
Nasional merupakan suatu unit dari sejarah, yang dapat menyediakan  sumber-
sumber sejarah dalam suatu tempat tertentu, sehingga akan mempermudah pula
penulisan  sejarah diangkat nasional ini.dengan demikian sejarah nasional merupakan
bidang studi yang perlu dikembangkan.
PenulisanSejarahZamanRanke

Ranke, seorang sejarawan  yang memberikan reaksi terhadap aliran romantisme. Bila
di dalam zaman romantic penulisan  sejarah  banyak dihanyutkan oleh perasaan  dan
dibumbui oleh komentar serta keindahan. Maka Ranke tampil mengadakan reaksi
menentang  romantisme sejarah. Ranke mengemukakan  bahwa perlu dibuangnya
bungkus perasaan dalam sejarah, dengan menulis sejarah sesuai dengan  kejadian
yang sesungguhnya.

Didalam menuliskan sejarahj yang sesungguhnya terjadi, maka perlu adanya metode
kritis  dalam sejarah. Bila Mabillon telah mempelopori metode kritik dalam sejarah
terhadap ekstern dari sumber, maka Ranke lebih menyempurnakan lagi dengan
mengadakan kritik intern dalam sejarah. Intinya dalam kritik sumber sejarah menurut
ranke perlu yang namanyakritikeksterndankritikinternnya.

Ranke mengemukakan, bahwa untuk mencapai dalam penulisan sejarah, sebagaimana


sesungguhnya terjadi itu, diperlukan kearah mencatat kebenaran factual. Untuk
mencari kebenaran factual diperlukan metode yaitu metode kritis. Didalam metode
sejarah kritis terdapat langkah-langkah antara lain: kritik ekstern dan intern terhadap 
sumber mempunyai sikap kritis, dan menggunakan perbandingan sumber. Ranke
didalam  penulisan sejarah berusaha untuk dapat se obyektif mungkin dan yakin
bahwa sejarah  dapat ditulis secara obyektif dan mampu menerangkan yang
sebenarnya terjadi. Maka dengan metode kritis tersebut sejarah dianggap syah
sebagai ilmu sejarah.

2. Contoh historiografi ideologis adalah Historiografi Nasional

Sesudah Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, maka sejak
saat itu ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia sentris. Artinya, Bangsa
Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian, sasaran yang harus diungkap,
sesuai dengan kondisi yang ada, sebab yang dimaksud dengan sejarah Indonesia adalah
sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala
aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya

Ciri Historiografi Nasional


1. Mengingat adanya character and nation-building.
2. Indonesia sentris.
3. Sesuai dengan pandangan hidup Bangsa Indonesia.
4. Disusun oleh orang-orang atau penulis-penulis Indonesia sendiri, mereka yang
memahami dan menjiwai, dengan tidak meninggalkan syarat-syarat ilmiah.

Contoh historiografi nasional, antara lain sebagai berikut.


1. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, editor
Sartono Kartodirdjo.
2. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor Sartono Kartodirdjo.
3. Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali.
4. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, karya A.H.
Nasution.

3 . Historiografi Kolonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris, Berbeda dengan historiografi
tradisional, historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah
penjajahan Belanda atas Bangsa Indonesia. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang
Belanda dan banyak di antara penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-
sumber yang dipergunakan berasal dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta
(Batavia);Ciri dan Karakteristik Historiografi pada umumnya tidak menggunakan atau
mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya, yaitu historiografi kolonial,
maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebut
sejarah Bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Fokus pembicaraan adalah Bangsa
Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah Bangsa Indonesia di masa penjajahan
Belanda. Itulah sebabnya, sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentris atau
Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas
Bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit
putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah
jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama
sekali.

Karakteristik Historiografi Kolonial

Karya sejarah yang ditulis pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia,
yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir
ketika tentara pendudukan Jepang datang di Indonesia (1942). Historiografi kolonial adalah
karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika pemerintahan kolonial
berkuasa di Nusantara Indonesia.

Karakteristik Kolonial :

1. Belanda Sentrisme artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan
orang-orang Belanda yang sedang berkuasa di Nusantara Indonesia saat itu.

2. Eropasentrisme, artinya ditulis dari sudut pandang kepentingan orang Belanda, dan
kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.

3. Mitologisasi artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang
sebenarnya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi
dari dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi
daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk pertahanan
masyarakat serta kebudayaannya.

4. Historiografi nasional adalah penulisan sejarah Indonesia yang bertujuan untuk


membangun karakter kebangsaan sesuai dengan visi negara Indonesia. Historiografi
nasional mulai dicetuskan oleh sejarawan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Sejarawan Indonesia pada masa awal kemerdekaan merasa perlu untuk
menyusun sebuah sejarah yang memiliki perspektif Indonesia-sentris. Dalam jurnal
Historiografi dalam Denyut Sejarah Bangsa (2016) karya Taufik Abdullah,
Historiografi nasional secara resmi dirumuskan pada Seminar Sejarah Nasional yang
diselenggarakan di kampus Universitas Gajah Mada tanggal 14-18 Desember 1957.
Seminar tersebut membahas tentang keragaman visi kesejarahan nasionalistis.
Berbagai pandangan tentang makna kebangsaan, visi kesejarahan dan kecenderungan
ideologis disampaikan oleh para peserta yang terdiri dari ilmuwan, cendekiawan,
sejarawan, arkoelog serta tenaga pendidik sejarah.

Ciri-Ciri

Menurut buku Indonesian Historiography (2001) karya Sartono Kartodirdjo,


historiografi nasional memiliki ciri- ciri, yaitu: Menggunakan sudut pandang
Indonesia-sentris Disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia
Mengutamakan nilai-nilai karakter dan pembangunan kepribadian kebangsaan Disusun
oleh sejarawan Indonesia yang memahami kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia
Mengandung narasi dekolonisasi

Kelebihan

Historiografi nasional memiliki kelebihan sebagai berikut: Mampu menumbuhkan jiwa


patriotisme dan nasionalisme Narasinya berfokus pada nilai-nilai tersirat dari peristiwa
sejarah Mampu menumbuhkan persatuan dalam masyarakat Kelemahan Historiografi
nasional memiliki kelemahan sebagai berikut : Rawan terjadi anakronisme atau
ketidaksesuaian urutan waktu dan kesinambungan antar aspek dalam rekonstruksi
sejarah Munculnya penggambaran tokoh sejarah nasional yang hiperbolis (berlebihan)
Rawan disalahgunakan oleh rezim penguasa untuk melakukan propaganda. Berikut
contoh karya-karya sejarah historiografi nasional:

a. Buku Sejaarah Nasional Indonesia jilid I – VI

b. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid I – XI karya A.H Nasution

c. Sejarah Peperangan Diponegoro : Pahlawan Kemerdekaan Indonesia karya Moh.


Yamin Dibawah Bendera Revolusi karya Ir. Soekarno

d. Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara karya R.Moh Ali

5. Usaha penulisan sejarah bangsa kita, dalam artian historiografi modern, telah
dilakukan pada zaman penjajahan berupa sejarah Hindia-Belanda (Geschiedenis van
Nederlands-Indie) sejumlah 5 jilid. Jilid satu tentang prasejarah, jilid dua tentang
sejarah Hindu-Jawa, jilid tiga tentang pembentukan VOC, dan jilid empat tentang
sejarah Hindia Belanda abad ke-18. Jilid lima ditulis oleh F.W. Stappel terbit tahun
1943, ketika Belanda diduduki Jerman dan kepulauan Indonesia diduduki Jepang. Oleh
karena itu, jilid lima ini tidak beredar di Indonesia. Tentu saja, kecenderungan
penulisan buku tersebut didasarkan perspektif kolonial Belanda (Purwanto dan Asvi,
2005: 103). Setelah kemerdekaan Indonesia, mulai disadari kebutuhan akan penulisan
buku sejarah oleh anak bangsa. Penulisan sejarah oleh orang Belanda berfokus pada
masyarakat Belanda di negara koloni atau di Eropa. Sekiranya terdapat pembahasan
tentang bumiputera tentunya dari perspektif Barat (Van Leur, misalnya). Oleh karena
itu, muncul pemikiran untuk menulis sejarah oleh orang Indonesia sendiri sebagai
history from within. Terjadi dekolonisasi sejarah, dengan motivasi menggantikan buku
teks Belanda. Penulisan sejarah ini dilakukan melalui penyaduran dengan
membalikkan posisi pelaku sejarah. Model historiografi Indonesia tahun 1957 bergeser

2). Akan tetapi, dekolonisasi penulisan sejarah ini cenderung menjadi regionalisasi,
dalam hal ini pokok pembahasannya lebih banyak tentang Jawa (Jawasentris). Sejak
tahun 1950-an dirintis penulisan sejarah nasional namun gagal, dan baru dilakukan
secara serius seusai Seminar Sejarah Nasional II (Yogyakarta, 1970). Pemerintah
membentuk tim yang dipimpin Sartono Kartodirjo, Marwati Djoened Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto. Buku itu terdiri 6 jilid: prasejarah, sejarah kuno, kerajaan-
kerajaan Islam, periode 1800-1900, 1900-1942 dan 1942-1965 (Purwanto dan Asvi,
2005: 104-105). Setelah empat tahun mengadakan penelitian, termasuk studi banding
di AS (Berkeley) dan Belanda (Leiden), tahun 1975 terbit buku Sejarah Nasional
Indonesia (SNI) yang membuahkan kontroversi. Konflik sudah dimulai dalam
lingkungan tim penyusunnya. Notosusanto dan diminta mengundurkan diri.
Mundurnya Deliar diikuti oleh Abdurrahman Surjomihardjo, Thee Kian Wie, Taufik
Abdullah dan kemudian, Sartono Kartodirjo. Pada kenyataannya, buku SNI ini
membuahkan banyak kritik terutama jilid 6 yang disunting oleh Nugroho Notosusanto.
Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Leiressa, Anhar Gonggong dan kawan-
kawan, namun akhirnya buku itu tidak diedarkan.

D. MENUJU HISTORIOGRAFI ALTERNATIF

Sekiranya benar sinyalemen bahwa arah perjalanan historiografi (penulisan sejarah)


Indonesia saat ini telah tercerabut dari konteks masyarakatnya, dan historiogafi
kembali berubah menjadi cerita tentang barang antik yang tidak memiliki relevansi
dengan persoalan aktual yang hanya mampu berdialog dengan diri sendiri dan takut
pada penindasan serta kezaliman politis (Purwanto, 2006: 47). Padahal diyakini bahwa
seharusnya sejarah bukan untuk kepentingan orang yang hidup pada masa lampau itu
sendiri, tetapi untuk kepentingan masa kini dan mendatang (Meyerhoff, 1959: 44).
Oleh karena itu, tidak ada waktu lagi bagi sejarawan dan siapa pun yang peduli
terhadap masa depan bangsa Indonesia untuk tidak menggagas satu historiografi
alternatif yang mampu memberikan sumbangan tertentu untuk ikut menyelesaikan
persoalan bangsa yang saat ini sedang berjuang mempertahankan eksistensi dan
keberlangsungannya. Historiografi alternatif bermaksud mengenalkan perspektif yang
terabaikan, terlewatkan atau tidak terlihat. Pada gilirannya historiografi alternatif akan
menghasilkan sejarah alternatif, yang mengacu pada sejarah yang dituturkan dari sudut
pandang berbeda, alih-alih dari sudut pandang (baik secara eksplisit maupun implisit)
para imperialis, penakluk, atau penjajah. Misalnya, Sejarah Rakyat Amerika Serikat
memberikan pandangan yang simpatik kepada orangorang pribumi Amerika. Sejarah
alternatif dibagi menjadi dua macam: Pertama, pembaruan sejarah yaitu pengkajian
ulang dari fakta-fakta dan penafsiran sejarah untuk memperbaiki sejarah yang tertulis
dengan informasi baru yang lebih tepat dan lebih tidak berprasangka atau
menyimpang. Kedua, ketika pembaruan ini dilakukan oleh pihak tertentu hal ini
disebut pembaruan sejarah secara politis, sebagai contoh perekaan ulang kejadian di
masa lalu yang disangkal oleh sumber-sumber yang terdokumentasi yang
kesahihannya dapat dibuktikan. Untuk menghapus bukti akanperekaan ulang, sejarah
seperti itu biasanya menyalahkan kurangnya ilmu atau dokumentasi pada satu
konspirasi. Kajian tentang historiografi alternatif ini akan difokuskan pada pemikiran
Bambang Purwanto di satu pihak, dan pemikiran Singgih T. Sulistiyono di lain pihak.
1. Kritik Bambang Purwanto terhadap Historiografi Indonesiasentris Melalui kata
pengantar bukunya Gagalnya Historiografi Indonesiasentris (2006), Bambang
Purwanto menuliskan bahwa disorientasi mungkin label yang tepat untuk
menggambarkan historiografi Indonesia masa kini. Dapat dicermati bahwa
Indonesiasentrisme yang selama ini dianggap sebagai identitas historiografi Indonesia
ternyata tidak lebih dari sebuah label tanpa makna yang jelas, kecuali sebagai antitesa
dari kolonialsentrisme yang melekat pada historiografi sebelumnya. Dekolonisasi yang
dijadikan prinsip dasar Indonesiasentrisme sebagai cara pandang orang Indonesia
tentang masa lalunya sendiri, seolah-olah telah membangun wacana sekaligus
perspektif yang menjadikan historiografi sekadar sebagai alat penghujat dan
menggunakan masa lalu sebagai tameng pembenaran (Purwanto, 2006: xii). Disinyalir
tidak banyak orang menyadari bahwa prinsip dekolonisasi itu telah mengakibatkan
sebagian besar pemahaman tentang sejarah Indonesia cenderung anakronis. Mereka
menafikan banyak realitas yang dikategorikan sebagai bagian dari kultur kolonial, dan
menganggap hal itu hanya sebagai bagian dari sejarah Belanda atau sejarah para
penjajah yang tidak ada hubungannya dengan sejarah Indonesia. Padahal sebagai
sebuah proses, realitas-realitas itu sebenarnya merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah Indonesia. Sebaliknya tradisi itu menganggap bahwa realitas-
realitas lain sebagai realitas Indonesia hanya karena sebagai masa lalu realitas itu
terjadi di Indonesia sebagai sebuah unit geografis. Padahal secara konseptual, realitas
itu tidak dapat dikategorikan sebagai masa lalu Indonesia. Selain itu, prinsip
dekolonisasi yang sebenarnya hanya tepat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu
yang berkaitan dengan periode dominasi Barat di Indonesia, ternyata digunakan untuk
merekonstruksi masa lalu di luar periode itu, baik periode prakolonial maupun masa
pascakolonial. Cara pandang itu telah mengakibatkan berkembangnya historiografi
Indonesia yang menjauh dari tradisi sejarah kritis, dan sebaliknya menghadirkan
historiografi parsial yang penuh dengan muatan politis-ideologis yang tidak mengakui
keragaman pandangan dalam konstruksi dan pemaknaan terhadap masa lalu.
Berdasarkan kenyataan tersebut, patut dipertanyakan: Apakah tradisi historiografi
Indonesiasentris telah gagal merekonstruksi masa lalu Indonesia? Pertanyaan ini tidak
mudah untuk dijawab. Pada satu sisi, mengatakan Indonesiasentrisme gagal secara
keseluruhan tentu saja berlebihan, karena sampai tingkat tertentu historiografi ini telah
berhasil menghadirkan unsur keindonesiaan baik sebagai aktor masa lalu mapun
perspektif dalam konstruksi dan makna yang dibangun. Pada lain sisi, buku Sejarah
Nasional Indonesia yang banyak dikritik itu pun sebenarnya mampu menghadirkan
secara konseptual prinsip keindonesiaan yang dilandasi oleh kaidah keilmuan.
Periodisasi dan kerangka berpikir teoretik konseptual yang dirumuskan secara jelas
oleh editor utama yang dimotori oleh Sartono Kartodirdjo, menunjukkan kematangan
intelektual daripada sekadar emosional, terlepas dari persoalan yang ada, terutama
pada jilid 6 dan keberadaan jilid 7 yang terkesan malu-malu. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa Historiografi Indonesiasentris telah gagal.

3. Tawaran Historiografi Pembebasan Singgih Tri Sulistiyono . Perlu dikembangkan dan


dimanfaatkan untuk membangkitkan kesadaran historis, aktual, dan sekaligus futural
bagi segenap masyarakat Indonesia. Pada gilirannya, historiografi pembebasan
digunakan untuk membangkitkan semangat bergerak membebaskan diri dari berbagai
persoalan yang hingga saat ini tidak terpecahkan. Historiografi pembebasan ini
diharapkan dapat berperan sebagai satu historiografi yang mampu membebaskan cara
berpikir masyarakat terhadap masa lampau dari belenggu ketidaktahuan, kepalsuan,
mitos-mitos, manipulasi, dan kesalahtafsiran aktual mengenai masa lampau sehingga
memberikan spirit untuk bertindak menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia berdasarkan akar historis (Sulistiyono, 2008: 5).

Pengertian

pembebasan mengacu kepada karya sejarah yang bukan sekadar sebagai pelipur lara dan
pengisi waktu senggang, melainkan satu karya sejarah yang mampu membangkitkan
kesadaran terhadap masalah aktual yang sedang dihadapi oleh masyarakat seperti
kemiskinan, ketergantungan, ketidakadilan, penindasan, dan sebagainya. Perpaduan antara
kesadaran sejarah dan kesadaran aktual serta kesadaran futural itu pada gilirannya akan
mendorong semangat masyarakat untuk melakukan suatu langkah perbaikan demi
mencapai cita-cita Indonesia Baru sebagai komunitas bangsa yaitu masyarakat yang
makmur, berkeadilan, mandiri, bebas dari penindasan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Dengan demikian, historiografi pembebasan ini akan membangkitkan kesadaran
bahwa bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu
kemiskinan, ketergantungan, ketidakadilan, penindasan dan lain-lain. Selama ini,
lemahnya semangat untuk membebaskan diri dari belenggu itu semua disebabkan oleh
salah pemahaman terhadap masa lampau dan masa kini, bahwa kita sudah merasa
merdeka, sudah merasa kecukupan, berkeadilan, bebas dari belenggu penindasan, dan
sebagainya. Dengan demikian, historiografi pembebasan ini lebih banyak menyangkut
upaya pemikiran: Bagaimana historiografi memiliki fungsi yang signifikan dalam ikut
memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia pada
saat ini dan mendatang?

Landasan Filosofis
Sementara ini historiografi pembebasan belum pernah digunakan secara khusus dalam
kajian historiografi. Namun demikian, sejauh hal itu menyangkut fungsi praktis
historiografi secara umum, para sejarawan, guru sejarah, dan terutama filsuf sejarah secara
jelas mengakui adanya fungsi historiografi dalam kehidupan masyarakat. Ibrahim Alfian
dalam pidato pengukuhan guru besar di Universitas Gadjah Mada telah menyitir pendapat
Wang Gungwu, bahwa ada tiga kegunaan sejarah (Sulistiyono, 2008:18). Kegunaan
pertama, sejarah untuk melestarikan identitas kelompok (keluarga, klan, suku bangsa,
bangsa) untuk memperkuat daya tahan kelompok dan kelangsungan hidupnya. Kegunaan
kedua, sejarah sebagai pelajaran untuk mengambil suri teladan peristiwa masa lampau.
Peristiwa kegagalan tidak perlu diulangi, sedangkan peristiwa gemilang dapat ditiru dan
disempurnakan. Kegunaan ketiga, sejarah sebagai sarana pemahaman mengenai makna
hidup dan mati. Selain itu, Alfian juga menambahkan satu fungsi sejarah yaitu sebagai alat
pemenuhan rasa ingin tahu sejarawan dan para peminat sejarah.

Arti penting historiografi sebagai sarana untuk mencari hikmat dari peristiwa masa lampau
dapat ditemukan dalam karya filsuf Collingwood (Collingwood, 1973: 10).yourself means
knowing what you can do; and since nobody knows what he can do until he tries, (memahami
diri anda sendiri berarti memahami apa yang dapat anda kerjakan; dan oleh karena tidak
seorang pun tahu apa yang dapat ia kerjakan hingga ia mencobanya, maka satu-satunya kunci
untuk mengetahui apa yang dapat ia kerjakan adalah apa yang telah dikerjakan oleh orang).
Demikianlah, jika satu bangsa ingin tahu apa yang sebaiknya dikerjakan saat ini dan yang
akan datang secara optimal, maka bangsa itu harus belajar dari apa yang telah dilakukan oleh
para pendahulunya. Dengan kata lain, mereka harus belajar dari sejarah bangsanya.
Pertanyaan mendasar dalam konteks keindonesiaan adalah: Bagaimana corak historiografi
yang mampu membangkitkan kesadaran masa lampau untuk memahami masa kini secara
benar, dan selanjutnya bertindak demi masa depan yang lebih baik? Sehubungan dengan itu,
ditawarkannya historiografi pembebasan diharapkan mampu membebaskan cara berpikir
masyarakat yang terbelenggu oleh ketidaktahuan dan kesalahpahaman terhadap masa lampau
sehingga salah dalam memahami masa kini. Jika masyarakat tidak dibebaskan dari
belenggubelenggu berhala masa lampau ini, maka mereka tidak akan dapat memahami secara
tepat kondisi kekinian, apalagi masa yang akan datang.

Landasan Metodologis dan Epistemologis

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas teori atau teori-teori mengenai
pengetahuan, yaitu tentang bagaimana kita mengetahui dunia. Berbagai pertanyaan utama
yang akan dijawab dalam epistemologi ini antara lain mengenai asal-usul pengetahuan,
kedudukan pengalaman dalam melahirkan pengetahuan, kedudukan akal dalam pengetahuan,
dan sebagainya.(Blackburn, 1994: 123).

Sehubungan dengan itu, pertanyaan kunci dalam hal ini adalah: Di atas landasan epistemologi
apa historiografi pembebasan ini dibangun? Selanjutnya, perspektif apa yang diperlukan untuk
mengkaji sejarah Indonesia sehingga menghasilkan historiografi pembebasan yang memiliki
kemanfaatan dalam menyelesaikan persoalan bangsa dewasa ini? Singgih T. Sulistiyono
sepakat dengan ajakan Bambang Purwanto untuk mengembangkan kesadaran dekonstruktif
dalam historiografi guna mendobrak kebekuan dan disorientasi historiografi Indonesia saat ini.
Dalam konteks ini, menarik apa yang dikemukakan teks secara kritis merupakan permulaan
penemuan kebenaran sejarah. Dalam hal ini, karya historiografi yang ada juga harus
dipandang sebagai teks yang harus diragukan kebenarannya dan kalau perlu dibongkar
kembali. Dengan demikian penulisan kembali sejarah (rewriting history) merupakan suatu
keniscayaan, bukan barang tabu yang dapat dipaksakan secara politis (Sulistiyono, 2006: 26-
27).

Karena usaha para sejarawan akademik untuk melakukan dekonstruksi terhadap historiografi
yang ada selama ini lebih banyak berfungsi sebagai pelipur lara dan hanya meninabobokan
sebagian besar masyarakat Indonesia yang sedang menjerit menghadapi situasi sulit, maka
historiografi pembebasan harus berani menempatkan kondisi aktual dan kontekstual sebagai
point of departure. Hanya dengan cara itu, karya historiografi memiliki hubungan yang erat
dengan persoalan kekinian.

Dalam hubungan itu, penelitian sejarah tidak harus hanya menggunakan metodologi dan
epistemologi yang digunakan dalam paradigma positivisme yang memperlakukan sumber-
Metodologi positivis berakar pada pemikiran teoretis Comte dan Durkheim yang memandang
fakta sosial sebagai keadaan objektif yang terlepas bahkan berada di luar keadaan subjektif
individu, tetapi berpengaruh dan memaksakan pengaruh dari luar. Dalam hal ini, mereka
sangat percaya pada kriteria rigor, yaitu kesahihan eksternal dan internal, keandalan dan
objektivitas.

Metodologi ini sangat berpengaruh terhadap penelitian sejarah sejak abad ke-19 dengan tokoh
utama Leopold von Ranke yang ingin menulis sejarah. Seleksi yang sangat ketat diberlakukan
untuk sumber sejarah, sehingga hanya sumber tertulis saja yang dapat digunakan. Dalam
konteks itu, muncul dalil bahwa: Menurut Singgih T. Sulistiyono, usaha pengembangan
historiografi pembebasan bukan hanya berdasarkan paradigma positivis, melainkan perlu
menerapkan paradigma lain yang juga digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Dalam
hal ini, paradigma teori kritis sangat bermanfaat untuk keperluan tersebut. Secara umum teori
kritis dalam konteks ilmu sosial dapat didefinisikan sebagai suatu proses kritis untuk
mendorong penyadaran orang agar memiliki mengeksploitasi.

Tampak jelas, bahwa pendekatan teori kritis mempunyai komitmen yang tinggi pada
terbangunnya tata kehidupan sosial yang setara (equal), berkeadilan dalam arti terbebas (misi
pembebasan) dari suatu sistem yang mendominasi/diskriminatif, represif dan eksploitatif. Hal
ini didasarkan pada pemikiran, bahwa ilmu sosial mestinya bukan hanya sekadar memberi
pemahaman atas ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi resources, melainkan
seharusnya berusaha untuk ikut membantu menciptakan kesetaraan dan kemajuan
(emansipasi) dalam kehidupan sosial masyarakat.

Selain itu, teori kritis tampaknya juga memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo
dan membangun kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkeadilan. Sejalan dengan
paradigma teori kritis dalam studi sosiologi, historiografi pembebasan juga memiliki perhatian
utama untuk membebaskan pikiran masyarakat dari kungkungan mitos, ketidaktahuan, dan
manipulasi masa lampau yang menyebabkan kesalahan dalam memahami kondisi sekarang
dan masa yang akan datang. Atau dengan kata lain, historiografi pembebasan memiliki misi
untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap persoalan-persoalan aktual yang
mereka hadapi sehingga memberikan inspirasi untuk melakukan suatu perbaikan demi
mencapai masa depan yang gemilang. Persoalan-persoalan aktual yang dapat dianalisis
secara historis antara lain menyangkut kemiskinan, ketidakadilan, dominasi, eksploitasi,
diskriminasi (ras, gender, kepercayaan, dan sebagainya), manipulasi, represi birokrasi dan
sebagainya. Hanya dengan penyadaran semacam itu, masyarakat Indonesia akan meyadari
dan kemudian tergerak untuk melakukan action. Dengan demikian, sejalan dengan apa yang
dikatakan Sartre tersebut di atas, historiografi pembebasan juga dimaksudkan untuk ambil
bagian dalam memerangi ketidakadilan, penyalahgunaan wewenang, perjuangan untuk
kebenaran, keadilan, kemajuan, dan hak asasi manusia melalui misi penyadaran dengan
tulisan sejarah.

Anda mungkin juga menyukai