Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan Rasul akhir zaman, Rasul
terakhir dan penutup para nabi, yang diutus oleh Allah untuk seluruh umat manusia
tanpa melihat asal suku dan bangsanya. Misi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam antara lain adalah menyempurnakan akhlak manusia.
Keagungan akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Allah sebutkan di dalam ayat:
Maka, siapa saja yang menginginkan kehidupan di dunia hingga akhirat berjalan baik
dan selamat sebagaimana yang dikehendaki Allah. Tiada jalan lain kecuali kembali
mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kehidupannya sehari-hari.
Sebab Al-Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa, dan
dengan ketakwaan inilah kehidupan dunia hingga akhirat akan berlangsung baik dan
selamat.
Firman Allah:
ُ َذلِ َك ا ْل ِك َت.الم
َاب الَ َر ْي َب فِي ِه هُدًى لِّ ْل ُم َّتقِين
Artinya: “Alif laam miim . Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS Al-Baqarah: 1-
2)
Maka, bagi siapa saja yang mengabaikan Al-Qur’an dengan memperturutkan hawa
nafsunya, dia tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-
Shahihah no. 284.)
Oleh karena itu, jika ada di antara kita yang semakin bertambah ilmu agama dan
imannya, namun akhlaknya tidak semakin baik, maka waspadalah, mungkin ada yang
salah dalam diri kita dalam belajar agama dan mengamalkannya.
Jika kaum muslimin berhias dengan akhlak mulia serta menunaikan hak-hak
saudaranya yang itu menjadi kewajibannya, maka hal itu merupakan pintu gerbang
utama masuknya manusia ke dalam agama ini. Hal ini sebagaimana yang telah kita
saksikan pada zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum, ketika manusia berbondong-
bondong masuk Islam disebabkan keindahan akhlak dan keluhuran mereka dalam
bermuamalah dan interaksi dengan sesama manusia.
“Kaum muslimin pada hari ini, bahkan manusia seluruhnya, sangat membutuhkan
penjelasan tentang agama Allah, tentang keindahan dan hakikat agama-Nya. Demi
Allah, seandainya manusia dan dunia pada hari ini mengetahui hakikat agama ini,
niscaya mereka akan masuk Islam dengan berbondong-bondong sebagaimana
mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah Allah menaklukkan kota Mekah
untuk Nabi-Nya ‘alaihish shalaatu was salaam.” (Majmuu’ Fataawa, 2/338)
Terahir yang sangat penting diperhatikan bahwa tujuan utama kita berhias dengan
akhlak mulia dan menunaikan kewajiban kita terhadap sesama manusia adalah dalam
rangka taat kepada Allah Ta’ala dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya.
Bukan semata-mata keinginan untuk mendapatkan perlakuan (balasan) yang semisal
dari orang lain. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya seorang hamba itu benar-benar mencapai derajat orang yang berpuasa dan
sholat malam dengan sebab akhlaknya yang baik” (HR Abu Dawud no 4798)
Hadits ini menunjukkan bahwasanya bisa jadi seseorang kurang dalam amal ibadatnya
seperti puasa dan sholat malam, akan tetapi dengan akhlaknya yang mulia ia bisa menyamai orang
yang senantiasa puasa sunnah dan sholat malam. Bagaimana lagi jika ia rajin beribadah sekaligus
dibarengi dengan akhlak yang mulia?
ِن َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة مِنْ ُخلُ ٍق َح َس ٍن ِ َما مِنْ َشيْ ٍء أَ ْث َق ُل فِيْ ِمي َْز
ِ ان ْالم ُْؤم
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat pada timbangan (kebajikan) seorang mukmin
pada hari kiamat daripada akhlak yang mulia” (HR At-Tirmidzi)
Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa seseorang mukmin berusaha untuk melakukan
amalan yang terbaik dengan timbangan yang terberat pada hari kiamat. Karena kita sadar bahwa
umur dan kemampuan kita untuk beramal sholeh terbatas, maka Nabi mengarahkan kita untuk
berakhlak yang mulia, karena akhlak mulia merupakan amal ibadah yang sangat berat
timbangannya pada hari kiamat.
Dan diantara keutamaan akhlak yang terbaik sebagaimana perkataan Abdurrahman bin
Nashir as-Si’diy :
َم َع ُحص ُْو ِل األَجْ ِر ْال َعظِ ي ِْم،اح ٍة َو َن ِعي ٍْم ِ َوإِ َّن ُه فِي َن ْفسِ ِه عِ َبا َدةٌ عَظِ ْي َم ٌة َت َت َن َاو ُل مِنْ َز َم
َ َوه َُو فِي َر،ًان ْال َع ْب ِد َو ْق ًتا َط ِو ْيال
“Dan sesungguhnya akhlak mulia itu sendiri pada dasarnya merupakan ibadah
yang agung yang mencakup waktu yang panjang dari seorang hamba, sementara
sang hamba dalam ketenteraman dan kebahagian, disertai memperoleh pahala
yang besar” (risalah “Husnul Khuluq”)
Sungguh benar perkataan beliau, karena seorang hamba hampir terus menerus dalam
kondisi berinteraksi dengan orang lain, jika ia berhias dengan akhlak yang mulia maka
pahala akan terus menerus mengalir kepadanya. Di luar rumah ia bertemu dengan
teman kerjanya, atau bosnya, di rumah ia bertemu dengan istrinya dan anak-anaknya,
demikian juga bertemu dengan orang tuanya, di pasar ia bertemu dengan para penjual,
dan seterusnya. Jika akhlak yang mulia telah terpatri dalam dirinya maka sungguh
pahala terus akan mengalir kepadanya tatkala ia bermuamalah dengan orang-orang
tersebut.
Demikian juga beliau mengingatkan bahwa akhlak yang mulia itu sendiri merupakan
ibadah yang agung. Karena sebagian orang merasa sedang beribadah tatkala sholat,
membaca al-Qur’an, tatkala sedang berpuasa, dan berdzikr, akan tetapi terkadang lupa
bahwa berakhlak mulia ternyata merupakan ibadah yang agung.
Beliau juga mengingatkan bahwa orang yang berakhlak yang mulia senantiasa dalam
kondisi tenteram dan bahagia. Karena orang yang berakhlak mulia hatinya bersih jauh
dari kesengsaraan. Orang yang berakhalak mulia adalah orang yang mudah
memaafkan, bukan pendendam, tidak temperamental, ringan tangan membantu orang
lain, tidak pelit, tidak hasad, qona’ah, tidak suuzon, dll. Orang yang seperti ini adalah
orang yang bahagia dalam kehidupannya. Sementara orang yang berakhlak buruk
adalah orang yang sangat menderita batinnya, karena ia seorang yang pendendam,
pemarah, pelit, suka suuzon, tukang hasad dan tukang hasud, dll. Ini adalah orang
yang sangat menderita kehidupannya, orang yang sengsara, dan juga membuat orang-
orang di dekatnya (seperti anak dan istrinya atau suaminya) ikut menderita dan
sengsara. Berbeda dengan orang yang berakhlak yang mulia, ia bahagia dan membuat
orang-orang disekitarnya juga ikut berbahagia.
ِ س أَنفَ ُع ُهم لِلنَّا
5. س ِ َخ ْي ُر النا
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang
lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Ausath, juz VII,
hal. 58, dari Jabir bin Abdullah r.a.. Dishahihkan Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitab: As-Silsilah Ash-Shahîhah)
Menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang harus
dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim lebih diperintahkan untuk
memberikan manfaat bagi orang lain, bukan hanya mencari manfaat dari
orang atau memanfaatkan orang lain. Ini adalah bagian dari implementasi
konsep Islam yang penuh cinta, yaitu memberi.
Selain itu, manfaat kita memberikan manfaatkan kepada orang lain,
semuanya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri. Sebagaimana
firman Allah:
م
ْ ك ِ م أِل َن ُف
ُ س ْ سن ُت َ ح ْ َم أ ْ سن ُت ْ َ…إِنْ أ
َ ح
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi
diri kalian sendiri …” (QS al-Isrâ/ 17: 7), dan sabda Rasulullah saw:
َ اج ِة أَ ِخي ِه َكانَ هَّللا ُ فِي َح
… اجتِ ِه َ َو َمنْ َكانَ فِي َح
“… dan barangsiapa (yang bersedia) membantu keperluan saudaranya,
maka Allah (akan senantiasa) membantu keperluannya.” (Hadits Riwayat
Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 168, hadits no. 2442 dan Muslim,
Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 18, hadits no. 6743 dari Abdullah bin Umar r.a).