Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Epistemologi Islam Skolastik

(Polemik Antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd Terhadap


Metafisika Islam)

Dosen pengampu:

FATIMAWALI,M.H

Disusun Oleh:
Andi Ainul Utami (235120103)
Dilfa Fatika (235120109)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PRODI EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yanga Maha pengasih


lagi Maha penyayang, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan
karunia-Nya, sholawat serta salam tak lupa pula kami haturkan kepada junjungan
kita Nabi agung Muhammad Shallallahu alayhi wasallam, yang telah membawa
cahaya islami dan menerangi dunia dengan cahaya islam.
Berkat rahmat dan Inayah-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah
berupa makalah ini tepat waktu. Adapun makalah ini kami tulis guna memenuhi
tugas mata kuliah di Universitas Islam Negeri Datokarama Palu. Makalah yang
berjudul “ Polemik Antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd Terhadap
Metafisika Islam”, ini berisi tentang hasil penelitian penulis tentang polemik
antara kedua tokoh besar tersebut. Tak lupa pula, penulis ucapkan terima kasih
kepada Ibu Fatimawali,M.H selaku dosen pengampu yang telah membimbing
kami dengan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam penulisan
karya ilmiah ini.
Kami selaku penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca. Penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi
masyarakat umum, para pembaca dan juga bagi penulis sendiri. Semoga Allah
SWT senantiasa menjadikan kita semua berada dalam keridhoan-Nya dalam
menempuh hidup ini.

Palu, 15 November 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….....iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………......1
1.3 Tujuan………………………………………………………………........1
BAB II PEMBAHASAN

2
3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Polemik antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd terkait metafisika Islam
adalah salah satu perdebatan yang terkenal dalam sejarah pemikiran Islam.
Perdebatan ini terjadi pada abad ke-12 Masehi dan melibatkan dua tokoh penting
dalam tradisi intelektual Islam.Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah seorang
cendekiawan Muslim terkemuka yang dikenal dengan karyanya yang
berpengaruh, "Tahafut al-Falasifah" (The Incoherence of the Philosophers).
Dalam karyanya ini, Al-Ghazali menyerang pemikiran filosofis dan metafisika
yang dia anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Dia menolak gagasan-
gagasan filosofis seperti eksistensi alam semesta yang abadi, pengetahuan
manusia tentang Tuhan, dan konsep-konsep metafisika lainnya yang dia anggap
tidak sesuai dengan ajaran Islam.Di sisi lain, Ibnu Rusyd (1126-1198 M), juga
dikenal sebagai Averroes, adalah seorang cendekiawan Muslim Spanyol yang
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Ibnu Rusyd berusaha untuk
menyelaraskan filsafat Aristoteles dengan ajaran Islam. Dia berpendapat bahwa
filsafat dan metafisika dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
alam semesta dan Tuhan, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana perbedaan pandangan dan pendekatan antara Imam Al-
Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat dan teologi islam?
 Bagaimana polemik antara keduanya mempengaruhi pemahaman
pemikiran islam pada masa itu?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan dari makalah ini
adalah untuk mengetahui:
 Menganalis perbedaan pandangan antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu
Rusyd dalam bidang filsafat dan teologi islam.
 Menjelaskan polemik antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd serta
dampaknya terhadap perkembangan pemikiran islam.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perbedaan Pandangan Antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd Dalam Bidang
Filsafat dan Teologi Islam

Imam Al-Ghazali dikenal sebagai ulama yang banyak mengkritik pendapat


para filosof pendahulunya, seperti Aristoteles (322-382 SM), Al-Farabi (874-999
M), Ibn Sina (980-1037 M) dan lain-lain. Adapun pendapat mereka yang ia kritik
adalah 20 masalah metafisika. Tiga di antaranya Al-Ghazali mengatakan bahwa
filsafat mereka membawa kekufuran yaitu bahwa aliran alam tidak bermula
(qadim), bahwa tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juz’iyat) yang
terjadi di alam, pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyar al-jasad) di
akhirat.

Sebagai pembelaan atas kaum filsof terhadap serangan-serangan Al-Ghazali,


Ibnu Rusyd (1126-1198 M) menulis buku yang berjudul “ Tahafut Al-Tahafut”
(kekacauan diatas kekacauan), sebagai bantahan dam jawaban terhadap buku Al-
Ghazali yang berjudul “Tahafut Al-Falasifah“ (kekacauan pemikiran para filosof).
Al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika
bertentangan dengan ajaran islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua
tokoh Neo-Platonisme muslim yaitu Al-farabi dan Ibnu Rusyd dalam masalah
alam tidak bermula (Qadim), tuhan tidak mengetahui perincian alam, dan
pembangkitan jasmani tidak ada.

1. Alam Qodim
Di kalangan pemikir yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam
ini Qadim dalam artian tidak ada awalannya. Dan faham ini juga dianut
para filosof muslim seperti Al-farabi dan Ibnu Rusyd, mereka membuat
beberapa alasan yaitu: mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari
yang yang qadim, dan tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari
segi zat (tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari
segi kausalitasnya, seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan
bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan
sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman. Berarti tuhan lebih
dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman bukan dari segi zat,
maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat
suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal
yang mendahului wujud alam.

5
Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filosof tersebut dengan
membedakan antara iradat dan qadim dengan apa yang dikehendakinya.
Kehendak Allah yang Azali adalah mutlak, artinya bisa memilih waktu-
waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena
sebab tersebut adalah kehendaknya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya,
maka artinya kehendak Allah itu terbatas tidak lagi bebas.
Menurut Al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah
maksudnya adalah bahwa tuhan sudah ada semdirian pada saat alam belum
ada, kemudian ia menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada
bersama alam. Pada keadaan pertama adanya zat tuhan yang sendirian dan
pada keadaan yang kedua adanya zat tuhan dan zat alam.
Selanjutnya menurut Al-ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang
berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan
berkembang dengan dirinya, dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud,
sistem dan hukum-hukumnya bertopang pada Allah. Dialah yang
mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan, dan mematikan
segala sesuatu.
Dengan demikian, menurut Al-ghazali bahwa alam Qadim dalam arti tidak
bermula tidak dapat diterima dalam teologi islam. Sebab, menurut teologi
islam tuhan adalah pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang
menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan Qadim, berarti alam
tidak diciptakan, dengan demikian tuhan bukanlah pencipta, sedangkan
Al-qur’an menyebutkan bahwa tuhan adalah pencipta segala sesuatu.
Menurut Al-ghazali alam haruslah bermula. Jika alam qadim berarti ada
banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak
perlu adanya tuhan Sang pencipta.
2. Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal Juz’iyah
Para filosof berpendapat bahwa tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil
kecuali dengan cara kully. Dengan alasan yang baru ini dengan segala
peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu bergantung kepada
yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang diketahui
menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari tahu
menjadi tidak tahu atau sebaliknya berarti tuhan mengalami perubahan,
sedangkan perubahan pada zat tuhan tidak mungkin terjadi.
Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak
gerhana, dan gerhana akan hilang. Sebelum kita mengetahui gerhana itu
tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi
mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita
berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa
menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan lain.

6
Tuhan mengetahui gerhana dengan segala sifat-sifatnya, pengetahuan yang
azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai
terjadinya gerhana. Jadi ilmu tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-
sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain yang sifatnya juz’i.
Argumentasi Al-ghazali ini berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an yang
memberikan petunjuk bahwa tuhan mengetahui yang Juz’iyah seperti
firmannya dalam Q.S Al-Hujurat ayat 16:
‫ُقْل َاُتَع ِّلُم ْو َن َهّٰللا ِبِد ْيِنُك ْۗم َو ُهّٰللا َيْع َلُم َم ا ِفى الَّسٰم ٰو ِت َو َم ا ِفى اَاْلْر ِۗض َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬
Artinya:
“ Katakanlah (kepada mereka), apakah kamu akan memberitahukan
kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Allah maha
mengetahui segala sesuatu.”
3. Tidak Ada Kebangkitan Jasmani
Para filosof berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian,
bukan material. Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada
alam material. Karena itu pikiran tidaklah mengharuskan adanya
kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka
serta segala isinya. Pada intinya menurut mereka mustahil manusia
dibangkitkan kembali dengan jasad semula, sebab jasad tersebut telah
hancur dan terurai.
Al-ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati,
karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut
tidak berlawanan dengan syara’ bahkan ditunjukan seperti dalam Al-
qur’an dalam surah Yasin ayat 78 dan 79:
‫َو َضَرَب َلَنا َم َثاًل َّو َنِس َي َخ ْلَقۗٗه َقاَل َم ْن ُّيْح ِي اْلِع َظاَم َوِهَي َرِم ْيٌم‬
Artinya: “Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan melupakan asal
kejadiannya: dia berkata, siapakah yang dapat menghidupkan tulang-
belulang yang telah hancur luluh?”
‫ۙ ُقْل ُيْح ِيْيَها اَّلِذ ْٓي َاْنَش َاَهٓا َاَّوَل َم َّر ٍةۗ َو ُهَو ِبُك ِّل َخ ْلٍق َع ِلْيٌم‬
Artinya: “Katakanlah (Muhammad) yang akan menghidupkannya ialah
Allah yang menciptakan pertama kali. Dan dia maha mengetahui tentang
segala makhluk.
B. Pembelaan Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari
kebenaran, lewat penafsirannya terhadap Al-qur’an secara rasional telah
menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta ketidak bermulaan
alam ini. Ibnu menjelaskan bahwa pendapat kaum teologi tentang
dijadikannya alam dari tiada atau tidak berdasarkan pada argumen syariah
yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa tuhan pada

7
mulanya berwujud sendiri, lalu ia menjadikan alam. Pendapat bahwa
mulanya yang ada hanyalah wujud tuhan (seperti pendapat Al-ghazali),
menurut Ibnu Rusyd hanyalah merupakan interprestasi kaum teologi
semata, karena Al-qur’an telah mengatakan bahwa alam ini bukan
dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu yang ada, seperti yang disebutkan
dalam Q.S Hud
“ Dan ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan
tahtanya pada waktu itu berada diatas air.”
Dapat diambil kesimpulan sebelum adanya wujud langit dan bumi telah
ada wujud lain yaitu air, diatasnya terdapat tahta kekuasaan tuhan.
Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan tuhan telah ada air dan
tahta. Dalam surah Fushilat ayat 11 yang artinya: kemudian ia pun naik ke
langit sewaktu ia masih merupakan uap. Dapat dipahami bahwa sebelum
alam ini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut
Ibnu Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya
alam. Alam dalam artian umumnya adalah kekal dari sejak zaman lampau
atau qadim.
Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan oleh Tuhan, tetapi
penciptaan yang berlangsung terus menerus setia saat dalambentuk
perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam
bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif yang terus
menerus inilah yang harus disebut pencipta.
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan alam itu Ibn Rusyd
lebih lanjut merujuk kepada surah Ibrahim ayat 48 yang menjelaskan
bahwa alam ini berkelangsungan dan diwujudkan terus menerus. Dengan
alasan itu menurutnya bahwa pendapat para filosof tersebut tidak
bertentangan dengan Alquran al-Karim.

2.Tentang Pengetahuan Tuhan

Ibn Rusyd menyatakan bahwa Al Ghazali telah memahami pendapat para


filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini.
Para filosof , kata Ibn Rusyd, tidak pernah menyatakan demikian, yang
dikatakan oleh para filosof terutama Ibn Sina ialah bahwa cara Tuhan
mengetahui hal-hal yang bersifat khusus ini melalui ilmuNya yang bersifat
kully.18 dan dengan mengetahui sebab-sebabnya saja Tuhan dapat
mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara tidak langsung.
Dengan kata lain segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui
oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam
bentuknya yang konkrit. Karena ilmuNya terhadap sesuatu itu adalah

8
menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi kalau Tuhan mengetahui
pula hal-hal yang kecil (juz’iyat), maka berarti pengetahuan Tuhan
disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan hal ini tidak wajar
bagi Tuhan.
Menurut Ibn Rusyd, untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak membutuhkan
alat indra sebagai mana manusia, jika Al-quran menggambarkan Tuhan
mendengarkan dan melihat hal itu tidak dapat diartikan secara fisik, dan
hal itu dimaksudkan untuk menginginkan manusia agar mengetahui bahwa
Tuhan tidaklah dapat dihalang-halangi oleh jenis pengetahuan macam
apapun. Karena Ia melihat dan mendengar segala secara dengan caranya
sendiri. Jadi tuhan tidak mengetahui segala sesuatu secara juz’I
sebagaimana halnya manusia.

3.Tentang kebangkitan jasmani


Dalam membantah gugatan Al-Ghazali tentang perkara ini,ibn rusyd
mengatakan bahwa para filosif tidak mengingkari adanya kebangkitan,
hanya saja ada yang berpendapat bahwa kebangkitan tersebut secara
ruhaniah bukan materi. Meskipun demikian Ibn Rusyd tidak mau
menafsirkan kemungkinan adanya kebangkitan jasmani bersama ruhani.
Tetapi kalaupun ada kebangkiatan jasmani, namun bukanlah jasad yang
ada didunia, sebab jasad tersebut telah hancur dan lenyap disebabkan
kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti
semula.
Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan
tidak pernah terdengar oleh telinga, mengindikasikan bahwa di dalam
Surga bahwa nanti manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh karena itu
ayat Al-Quran mengenai hal ini harus difahami secara metaforis.
Lebih lanjut Ibn rusyd menganalogikan antar tidur dan kematian.
Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu
merupakan bukti yang terang untuk menyatakan bahwa jiwa itu hidup
terus, karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara
tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan
jiwa itu tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa
pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur.
Selanjutnya Ibn Rusyd menyatakan al-Ghazali sebagai orang yang tidak
konsisten. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah ia mengatakan bahwa
kebangkitan itu tidak hanya badan, tetapi dalam bukunya yang lain ia
mengatakan kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk
alam ruhani dan tidak dalam bentuk jasmani. Tetapi meskipun demikian

9
menurut Ibn Rusyd, teori pembangkitan jasmani dan ruhani itu diperlukan
bagi orang awam.

B. Bagaimana Polemik Antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd


Mempengaruhi Pemahaman Pemikiran Islam
Polemik antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd mencerminkan perdebatan
yang lebih luas dalam dunia islam pada saat itu mengenai peran dan
batasan filsafat dalam agama. Dampaknya terasa dalam beberapa bidang:
 Pengaruh terhadap pendidikan: Polemik ini mempengaruhi
kurikulum pendidikan dan institusi-institusi islam pada saat itu.
Beberapa institusi cenderung mengikuti pandangan Al-Ghazali
dan menekankan pentingnya mempertahankan keyakinan agama,
sementara yang lain lebih terbuka terhadap pemikiran filosofis dan
mengadopsi pendekatan Ibnu Rusyd.
 Pengaruh terhadap pemikiran filosofis: polemik ini juga
mempengaruhi perkembangan pemikiran filosofis dalam dunia
islam. Meskipun Al-Ghazali berhasil mengkritik beberapa aspek
filsafat pada saat itu, pemikiran Ibnu Rusyd tetap memiliki
pengaruh yang kuat dan terus berkembang dalam tradisi islam.
 Pengaruh terhadap hubungan antara agama: polemik ini juga
mempengaruhi cara pandang umum terhadap hubungan antara
agama dan filsafat dalam tradisi islam, meskipun ada perbedaan
pendapat, pemikiran Ibnu Rusyd membuka jalan bagi pemikiran
rasional dan filsafat untuk tetap relevan dalam konteks agama.1

1
Ibrahim Lubis,”Metafisika Menurut Imam Al Ghazali dan Ibnu Rusyd”www.anekamakalah.com
(diakses pada 15 November 2023, pukul 19.55)

10
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Polemik antara Al-Ghazali dan Ibn Rushd mencerminkan perdebatan yang
lebih luas dalam sejarah pemikiran Islam mengenai hubungan antara akal
dan wahyu, dan peran filosofi dalam memahami kebenaran agama.
Argumen Al-Ghazali menekankan pentingnya pengalaman spiritual dan
keyakinan yang didasarkan pada wahyu, sementara Ibn Rushd berpendapat
bahwa akal dapat digunakan untuk memahami dan memperkuat keyakinan
agama. Kesimpulannya, polemik antara Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd
dalam epistemologi Islam skolastik mencerminkan perbedaan pendekatan
dan perspektif dalam memahami pengetahuan dan kebenaran agama. Studi
lebih lanjut tentang pandangan keduanya dapat memberikan wawasan
mendalam tentang perdebatan yang kompleks dan penting dalam sejarah
pemikiran Islam.
3.2 SARAN
Demikian makalah ini saya buat guna kepentingan Pendidikan, saya
harapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan saya demi
penulis. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis,pembaca, dan
Masyarakat umum.

11
DAFTAR PUSTAKA

Lubis Ibrahim.2012.Metafisika Menurut Al Ghazali dan Ibnu


Rusyd.www.anekamakalah.com. Diakses pada 15 November 2023.
Surajiyo.2022.Sanggahan Al Ghazali dan Pembelaan Ibnu Rusyd
Terhadap Tiga Persoalan Metafisika Para Filosof.https://uia.e-
joernal.id/alrisalah/article/1729. Diakses pada 15 November 2023.

12

Anda mungkin juga menyukai