Dosen pengampu:
FATIMAWALI,M.H
Disusun Oleh:
Andi Ainul Utami (235120103)
Dilfa Fatika (235120109)
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….....iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………......1
1.3 Tujuan………………………………………………………………........1
BAB II PEMBAHASAN
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polemik antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd terkait metafisika Islam
adalah salah satu perdebatan yang terkenal dalam sejarah pemikiran Islam.
Perdebatan ini terjadi pada abad ke-12 Masehi dan melibatkan dua tokoh penting
dalam tradisi intelektual Islam.Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah seorang
cendekiawan Muslim terkemuka yang dikenal dengan karyanya yang
berpengaruh, "Tahafut al-Falasifah" (The Incoherence of the Philosophers).
Dalam karyanya ini, Al-Ghazali menyerang pemikiran filosofis dan metafisika
yang dia anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Dia menolak gagasan-
gagasan filosofis seperti eksistensi alam semesta yang abadi, pengetahuan
manusia tentang Tuhan, dan konsep-konsep metafisika lainnya yang dia anggap
tidak sesuai dengan ajaran Islam.Di sisi lain, Ibnu Rusyd (1126-1198 M), juga
dikenal sebagai Averroes, adalah seorang cendekiawan Muslim Spanyol yang
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Ibnu Rusyd berusaha untuk
menyelaraskan filsafat Aristoteles dengan ajaran Islam. Dia berpendapat bahwa
filsafat dan metafisika dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
alam semesta dan Tuhan, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbedaan Pandangan Antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd Dalam Bidang
Filsafat dan Teologi Islam
1. Alam Qodim
Di kalangan pemikir yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam
ini Qadim dalam artian tidak ada awalannya. Dan faham ini juga dianut
para filosof muslim seperti Al-farabi dan Ibnu Rusyd, mereka membuat
beberapa alasan yaitu: mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari
yang yang qadim, dan tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari
segi zat (tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari
segi kausalitasnya, seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan
bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan
sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman. Berarti tuhan lebih
dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman bukan dari segi zat,
maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat
suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal
yang mendahului wujud alam.
5
Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filosof tersebut dengan
membedakan antara iradat dan qadim dengan apa yang dikehendakinya.
Kehendak Allah yang Azali adalah mutlak, artinya bisa memilih waktu-
waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena
sebab tersebut adalah kehendaknya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya,
maka artinya kehendak Allah itu terbatas tidak lagi bebas.
Menurut Al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah
maksudnya adalah bahwa tuhan sudah ada semdirian pada saat alam belum
ada, kemudian ia menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada
bersama alam. Pada keadaan pertama adanya zat tuhan yang sendirian dan
pada keadaan yang kedua adanya zat tuhan dan zat alam.
Selanjutnya menurut Al-ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang
berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan
berkembang dengan dirinya, dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud,
sistem dan hukum-hukumnya bertopang pada Allah. Dialah yang
mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan, dan mematikan
segala sesuatu.
Dengan demikian, menurut Al-ghazali bahwa alam Qadim dalam arti tidak
bermula tidak dapat diterima dalam teologi islam. Sebab, menurut teologi
islam tuhan adalah pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang
menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan Qadim, berarti alam
tidak diciptakan, dengan demikian tuhan bukanlah pencipta, sedangkan
Al-qur’an menyebutkan bahwa tuhan adalah pencipta segala sesuatu.
Menurut Al-ghazali alam haruslah bermula. Jika alam qadim berarti ada
banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak
perlu adanya tuhan Sang pencipta.
2. Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal Juz’iyah
Para filosof berpendapat bahwa tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil
kecuali dengan cara kully. Dengan alasan yang baru ini dengan segala
peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu bergantung kepada
yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang diketahui
menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari tahu
menjadi tidak tahu atau sebaliknya berarti tuhan mengalami perubahan,
sedangkan perubahan pada zat tuhan tidak mungkin terjadi.
Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak
gerhana, dan gerhana akan hilang. Sebelum kita mengetahui gerhana itu
tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi
mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita
berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa
menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan lain.
6
Tuhan mengetahui gerhana dengan segala sifat-sifatnya, pengetahuan yang
azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai
terjadinya gerhana. Jadi ilmu tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-
sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain yang sifatnya juz’i.
Argumentasi Al-ghazali ini berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an yang
memberikan petunjuk bahwa tuhan mengetahui yang Juz’iyah seperti
firmannya dalam Q.S Al-Hujurat ayat 16:
ُقْل َاُتَع ِّلُم ْو َن َهّٰللا ِبِد ْيِنُك ْۗم َو ُهّٰللا َيْع َلُم َم ا ِفى الَّسٰم ٰو ِت َو َم ا ِفى اَاْلْر ِۗض َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم
Artinya:
“ Katakanlah (kepada mereka), apakah kamu akan memberitahukan
kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Allah maha
mengetahui segala sesuatu.”
3. Tidak Ada Kebangkitan Jasmani
Para filosof berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian,
bukan material. Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada
alam material. Karena itu pikiran tidaklah mengharuskan adanya
kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka
serta segala isinya. Pada intinya menurut mereka mustahil manusia
dibangkitkan kembali dengan jasad semula, sebab jasad tersebut telah
hancur dan terurai.
Al-ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati,
karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut
tidak berlawanan dengan syara’ bahkan ditunjukan seperti dalam Al-
qur’an dalam surah Yasin ayat 78 dan 79:
َو َضَرَب َلَنا َم َثاًل َّو َنِس َي َخ ْلَقۗٗه َقاَل َم ْن ُّيْح ِي اْلِع َظاَم َوِهَي َرِم ْيٌم
Artinya: “Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan melupakan asal
kejadiannya: dia berkata, siapakah yang dapat menghidupkan tulang-
belulang yang telah hancur luluh?”
ۙ ُقْل ُيْح ِيْيَها اَّلِذ ْٓي َاْنَش َاَهٓا َاَّوَل َم َّر ٍةۗ َو ُهَو ِبُك ِّل َخ ْلٍق َع ِلْيٌم
Artinya: “Katakanlah (Muhammad) yang akan menghidupkannya ialah
Allah yang menciptakan pertama kali. Dan dia maha mengetahui tentang
segala makhluk.
B. Pembelaan Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari
kebenaran, lewat penafsirannya terhadap Al-qur’an secara rasional telah
menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta ketidak bermulaan
alam ini. Ibnu menjelaskan bahwa pendapat kaum teologi tentang
dijadikannya alam dari tiada atau tidak berdasarkan pada argumen syariah
yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa tuhan pada
7
mulanya berwujud sendiri, lalu ia menjadikan alam. Pendapat bahwa
mulanya yang ada hanyalah wujud tuhan (seperti pendapat Al-ghazali),
menurut Ibnu Rusyd hanyalah merupakan interprestasi kaum teologi
semata, karena Al-qur’an telah mengatakan bahwa alam ini bukan
dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu yang ada, seperti yang disebutkan
dalam Q.S Hud
“ Dan ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan
tahtanya pada waktu itu berada diatas air.”
Dapat diambil kesimpulan sebelum adanya wujud langit dan bumi telah
ada wujud lain yaitu air, diatasnya terdapat tahta kekuasaan tuhan.
Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan tuhan telah ada air dan
tahta. Dalam surah Fushilat ayat 11 yang artinya: kemudian ia pun naik ke
langit sewaktu ia masih merupakan uap. Dapat dipahami bahwa sebelum
alam ini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut
Ibnu Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya
alam. Alam dalam artian umumnya adalah kekal dari sejak zaman lampau
atau qadim.
Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan oleh Tuhan, tetapi
penciptaan yang berlangsung terus menerus setia saat dalambentuk
perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam
bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif yang terus
menerus inilah yang harus disebut pencipta.
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan alam itu Ibn Rusyd
lebih lanjut merujuk kepada surah Ibrahim ayat 48 yang menjelaskan
bahwa alam ini berkelangsungan dan diwujudkan terus menerus. Dengan
alasan itu menurutnya bahwa pendapat para filosof tersebut tidak
bertentangan dengan Alquran al-Karim.
8
menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi kalau Tuhan mengetahui
pula hal-hal yang kecil (juz’iyat), maka berarti pengetahuan Tuhan
disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan hal ini tidak wajar
bagi Tuhan.
Menurut Ibn Rusyd, untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak membutuhkan
alat indra sebagai mana manusia, jika Al-quran menggambarkan Tuhan
mendengarkan dan melihat hal itu tidak dapat diartikan secara fisik, dan
hal itu dimaksudkan untuk menginginkan manusia agar mengetahui bahwa
Tuhan tidaklah dapat dihalang-halangi oleh jenis pengetahuan macam
apapun. Karena Ia melihat dan mendengar segala secara dengan caranya
sendiri. Jadi tuhan tidak mengetahui segala sesuatu secara juz’I
sebagaimana halnya manusia.
9
menurut Ibn Rusyd, teori pembangkitan jasmani dan ruhani itu diperlukan
bagi orang awam.
1
Ibrahim Lubis,”Metafisika Menurut Imam Al Ghazali dan Ibnu Rusyd”www.anekamakalah.com
(diakses pada 15 November 2023, pukul 19.55)
10
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Polemik antara Al-Ghazali dan Ibn Rushd mencerminkan perdebatan yang
lebih luas dalam sejarah pemikiran Islam mengenai hubungan antara akal
dan wahyu, dan peran filosofi dalam memahami kebenaran agama.
Argumen Al-Ghazali menekankan pentingnya pengalaman spiritual dan
keyakinan yang didasarkan pada wahyu, sementara Ibn Rushd berpendapat
bahwa akal dapat digunakan untuk memahami dan memperkuat keyakinan
agama. Kesimpulannya, polemik antara Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd
dalam epistemologi Islam skolastik mencerminkan perbedaan pendekatan
dan perspektif dalam memahami pengetahuan dan kebenaran agama. Studi
lebih lanjut tentang pandangan keduanya dapat memberikan wawasan
mendalam tentang perdebatan yang kompleks dan penting dalam sejarah
pemikiran Islam.
3.2 SARAN
Demikian makalah ini saya buat guna kepentingan Pendidikan, saya
harapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan saya demi
penulis. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis,pembaca, dan
Masyarakat umum.
11
DAFTAR PUSTAKA
12