Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AL-RAZI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA

Makalah ini di kerjakan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Filsafat Islam”

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Amroeni Drajat, M,Ag.

Disusun Oleh:

Azri Fahyuzi 0406212028

M. Azrial 0406212021

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “AL-RAZI DAN
PEMIKIRANNYA FILSAFATNYA” dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penulis
berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang
pelanggaran atau kesalahan apa saja yang biasa terjadi dalam bahasa keseharian yang bisa
kita pelajari salah satunya dari karya film. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan
kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga makalah ini dapat kami susun
melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Medan, 10 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………………..….i
KATA PENGANTAR………………………………………………….…………….……..ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………….………..…………1
B. Rumusan Masalah………………………………………………..……..…………..1
BAB II PEMBAHASAAN
A. Biografi Al-Razi……………………………………………………….…….……..2
B. Karya-karyanya……………………………………………………………………..3
C. Filsafat Al-Razi………………………………………………………… ………....3
BAB III PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………………………..…………..9
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Islam sebagai agama yang telah memproklamirkan diri sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin, sudah barang tentu dilengkapi dengan perangkat pedoman kehidupan untuk
mengantarkan manusia kepada kesejahteraan hidup manusia. Sebagai seorang muslim, kita
diwajibkan untuk mendakwahkan Islam kepada segenap manusia. Mendakwahkan Islam di
zaman sekarang ini menghadapi berbagai macam tantangan dan untuk menjawab tantangan
tersebut, kiranya filsafat dapat dijadika salah satu jembatannya.
Kita wajib berterima kasih kepada filosof muslim masa silam yang telah menghasilkan
pemikiran-pemikiran cemerlang pada masanya. Kita wajib menghargai dan menempatkan pada
tempat yang semestinya. Tetapi kita harus tetap ingat bahwa filsafat bukanlah hal yang mutlak.
Kita wajib mengkaji warisan pemikiran filosof terdahulu dengan kritis. Seperti filsafat dari al-
Razi yang akan dibahas dalam makalah ini. Beliau merupakan seorang rasionalis murni yang
menilai kebenaran sesuatu lewat akal, bahkan berani menolak kenabian dan sebagainya dengan
alasan yang rasional. Disini kita dituntut untuk memilah serta mengkaji filsafat al-Razi dengan
detail. Sehingga pemahaman tentang filsafat al-Razi tidak menyimpang. Berikut pembahasannya.

B.Rumusan Masalah
1. Biografi Al-razi?
2. Karya-karyanya?
3. Filsafat Al-Razi?

1
BAB II
PEMBAHASAN“AL-RAZI”
A. Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Di barat
dikenal Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada
pemerintahan Dinasti Saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar
uang, dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Al-Razi adalah seorang yang ulet dalam bekerja
dan belajar, karenanya tidak heran kalau ia tampak menonjol dibanding rekan-rekan semasanya.
Di kota Ray ini dia belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H), belajar
filsafat kepada Al-Balkhi, seorang yang senang mengembara, menguasai filsafat, dan ilmu-ilmu
kuno.
Pada masa Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad sebagai Gubernur Ray, Al-Razi
diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam tahun (290-296 H). Pada masa ini juga
Al-Razi menulis buku al-Tibb al-Mansuri yang dipersembahkan kepada Mansyur ibn Ishaq ibn
Ahmad. Dari Ray kemudian Al-Razi pergi ke Baghdad, dan atas permintaan Khalifah Al-Muktafi
(290-296 H), ia memimpin rumah sakit di Baghdad. Dalam menjalankan profesi kedokteran, ia
dikenal pemurah, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin dengan
memberikan pengobatan kepada mereka secara cuma-cuma.
Al-Razi adalah seorang dokter yang paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter
Muslim, dan juga seorang penulis yang produktif. Kemasyhuran Al-Razi sebagai dokter tidak
hanya di Dunia Timur, tapi juga di Barat. Setelah Khalifah Al-Muktafi wafat. Al-Razi kembali ke
Ray, dan meninggal dunia pada 5 Sya’ban 313 H setelah menderita sakit katarak yang dia tolak
untuk diobati dengan pertimbangan, sudah cukup banyak dunia yang pernah dilihatnya, dan tidak
ingin melihatnya lagi.
Diberitakan, Al-Razi banyak menghabiskan waktunya bersama murid dan pasiennya., di
samping belajar dan menulis.[1] Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu Falak, matematika, kimia,
kedokteran dan filsafat. Tetapi ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan kedokteran dibanding
sebagai filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca.[2] Konon1 keseriusannya dalam belajarlah
salah satu penyebab katarak yang dideritanya. Al-Razi dikenal seorang pemberani dalam
menentang beberapa kepercayaan Islam yang fundamental, atas dasar sikap yang dipilihnya

[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), hlm.24-
25
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.115

2
sebagai rasionalis dan pendukung pandangan kaum naturalis kuno2, sehingga banyak mendapat
kecaman dan caci maki.[3]
B. Karya-karyanya
Al-Razi merupakan orang yang aktif dalam berkarya, yaitu mengarang banyak buku.
Diperkirakan karya Al-Razi mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan, antara lain:
▪ Kitab al-Asrar (bidang Kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of cremon);
▪ Al- Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke 16 di Eropa, setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 M dengan judul Continens);
▪ Al-Mansuri Liber al-mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid);
▪ Kitab al-Judar wa al-Hasbah (tentang penyakit cacar dan campak serta pencegahannya),
sedangkan dalam bidang Filsafat
▪ Al-Thibb al-Ruhani
▪ Al-Sirah al-Falsafiyah;
▪ Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
▪ Kitab al-Ladzdzah;
▪ Kitab al-‘Ilm al-Ilahi;
▪ Maqalah fi ma ba’d al-Thabi’iyyah; dan
▪ Al-Shukuk ‘ala Proclus.[4]
C. Filsafat Al-Razi
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni, hal itu tampak dalam halaman pendahuluan
karyanya, al-Thibb al-Ruhani, ia menulis: “Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita
akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia terbaik
Tuhan kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan membuat hidup kita baik,
dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita.
Dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan
tertinggi yang dapat kita peroleh”. Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh
melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau
mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah,
tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah
dengannya.
1. Metafisika
Dalam hal Metafisika, filsafat al-Razi terkenal dengan doktrin Lima Yang Kekal, yakni:

[3] Hasyimsyah Nasution, Loc.Cit


[4] Ibid, hlm.25-26

3
▪ Allah Ta’ala (al-Bary Ta’ala)
▪ Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
▪ Materi Pertama (al-Hayula al-Ula)
▪ Ruang 3Absolut (al-Makan al-Muthlaq)
▪ Masa Absolut[5] (al-Zaman al-Muthlaq)
Menurut al-Razi, dua dari lima yang kekal itu hidup aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh
Universal. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup dan
tidak pula pasif, yakni ruang dan waktu.[6]
Allah adalah Maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan
dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang sudah ada. Oleh karena itu, menurutnya
alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan disini
dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Penciptaan dari tiada, bagi al-Razi, tidak dapat
dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara,
air, api, dan benda-benda langit bersal dari materi pertama yang telah ada sejak azali.
Timbulnya doktrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat al-Razi ini, agaknya
disebabkan filsafat adanya Allah merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian,
kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah. [7]
Jiwa Universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua) pada
benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak. Sulit diketahui karena ia tanpa bentuk yang
berasal dari Jiwa Universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai naluri untuk
bersatu dengan al-Hayula al-Ula (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang
dapat menerima fisik. Sedangkan materi pertama tanpa fisik, maka Tuhan datang menolong roh
dengan menciptakan alam semesta termasuk badan manusia yang ditempati roh, agar jiwa itu
dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian-bagian kesenangan materil untuk
sementara waktu.
Namun begitu, Tuhan menciptakan akal, dan merupakan limpahan dari Tuhan. Tujuan
penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang telah terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh
bukanlah alam sebenarnya, bukan alam kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan
kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi. [8] Alam itu dapat dicapai
dengan cara berfilsafat. Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selama ia tidak dapat
menyucikan diri dengan filsafat. Tetapi kalau seluruh roh sudah bersih, seluruhnya akan kembali

[6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1999),
hlm. 16
[7] Sirajuddin Zar, Op.Cit, hlm. 117-118
[8] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 26-27

4
ke alam asalnya. Pada ketika itu alam materi ini akan hancur, roh dan materi kembali ke asalnya
semula.[9]
Menurut al-Razi materi pertama adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom.
Setiap atom-atom itu memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom itu tidak bisa
menjadi sesuatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam
bentuk atom-atom. Materi itu kekal karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari
ketiadaan.
Al-Razi mengemukaka4n argumen penciptaan untuk bukti kekalnya materi, yaitu bahwa
tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan adanya seorang pencipta yang
mendahuluinya dan adanya materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi jika materi itu kekal,
maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan
tersebut. Lebih lanjut Al-Razi menyatakan bahwa kekalnya materi tidak bertentangan dengan
baharunya alam, karena penciptaan itu adalah penyusunan materi. [10]
Menurut al-Razi ruang adalah tempat keberadaan materi dan materi adalah kekal. Karena
materi itu mempunyai ruang maka ada suatu ruang yang kekal. Ruang terbagi menjadi dua, yaitu:
Ruang Universal (muthlaq) adalah ruang yang tidak terbatas dan tidak tergantung kepada dunia
dan segala yang ada di dalamnya, sedangkan ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.[11]
Argumen yang dipergunakan al-Razi untuk membuktikan ketidakterbatasan atau
kekekalan ruang ialah sebagai berikut: Wujud yang memerlukan ruang (al-mutamakkin) tidak
dapat berwujud tanpa adanya ruang. Ruang dapat terwujud tanpa adanya mutamakkin. Ruang tak
lain adalah tempat bagi mutamakkin. Setiap mutamakkin terbatas dengan sendirinya dan berada
dalam ruang. Kalau begitu ruang mestilah tidak terbatas. Yang tidak terbatas itu kekal. Jadi ruang
mestilah kekal.
Adapun waktu, menurut al-Razi adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri) dan
bersifat kekal. Al-Razi membagai waktu kepada dua bagian, yaitu waktu muthlaq (al-dahr) dan
waktu relatif (al-manshur atau al-waqt). Al-Dahr adalah zaman yang tidak memiliki awal dan
akhir serta bersifat universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak.
Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami
perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal
pula. Al-Waqt bersifat partikular dan tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan

[9] Harun Nasution, Op.Cit, hlm. 17-18


[10] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 27-28
[11] H.A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm.122-123

5
falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Oleh sebab, jenis waktu ini dapat disifati oleh angka,
atau tegasnya bisa diukur, seperti satu hari, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya. [12]

2. Moral
Adapun pemikiran al-Razi tentang moral, sebagai tertuang dalam bukunya Al-Thib al-
Ruhani dan al-Sirah al-Falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan agama. Ia
memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama,
bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya
menghancurkan manusia.
Berkaitan dengan jiwa, al-Razi mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui
kedokteran jiwa (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-Jasmani) secara
bersama-sama, karena manusia memerlukan keduanya secara bersama-sama pula.
Kebahagiaan, menurut al-Razi adalah kembalinya apa yang telah tersingkir karena sesuatu
yang berbahaya. Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada
hawa naf5su. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal ini menghalangi orang
dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan dari kekikiran
dan ketamakan. Orang yang iri hati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh
sesuatu kebaikan, meskipun ia sendiri tidak mengalami keburukan. Bila keburukan menimpa
dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirian hati tetapi juga permusuhan.

Dusta adalah kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang sifatnya terpuji
dan untuk kejahatan yang sifatnya tercela. Jadi nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula
tentang kekikiran, nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran tersebut
disebabkan rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka ini tidaklah buruk.
Tetapi bila hanya sekedar untuk memperoleh kesenangan, maka yang demikian itu buruk.
Persetubuhan, bila berlebihan tidak baik bagi tubuh karena akan mempercepat proses
ketuaan, menjadikan lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit lainnya. Kecemasan
yang berlebihan dapat membawa seseorang kepada hallusinasi, melankolik, dan bersikap loyo.
Sifat tamak dapat membawa kepada bencana. Demikian pula sembrono dan rakus, bisa
mendatangkan kecelakaan. Karena itu, memburu kekayaan secara berlebihan adalah keliru.

[12] Hasyimsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 28-29

6
Ambisi terhadap sesuatu juga merupakan keanehan yang pada gilirannya mendatangkan
bencana.[13]
3. Kenabian
Al-Razi menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan
nabi. Pendapat yang kontroversional ini harus dipahami bahwa dia adalah seorang rasionalis
murni. Akal menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal
manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan.
Pandangan al-Razi yang mengkhususkan kekuatan akal tersebut menjadikan ia tidak
percaya kepada wahyu dan adanya Nabi sebagai diutarakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan au
fi al-Nubuwwah (Kritik terhadap Agama-agama atau terhadap Kenabian). Menurutnya, para Nabi
tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran
maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya
mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya. Perbedaan antara
manusia timbul karena berlainan pendidikan dan berbedanya suasana perkembangannya. Lebih
lanjut dikatakannya, tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para nabi padahal mereka tidak
luput dari banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada Nabinya dan tidak mengakui
Nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa
karena kefanatikan kepada agama b6angsa yang dipeluknya. Kelangsungan agama hanya berasal
dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara
bodoh yang menyilaukan mata rakyat bodoh.
Berkaitan dengan sanggahan terhadap wahyu dan nabi sebagai pembawa berita alam
keakhiratan, seperti kematian. Bagi al-Razi, kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti,
karena bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatupun terjadi pada
manusia, karena ia tidak dapat merasakan apa-apa lagi.
Al-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci, baik Injil maupun al-Quran. Ia mengkritik yang
satu dengan menggunakan yang lain. Ia menolak mukjizat al-Quran, baik segi isi
maupun gaya bahasanya. Boleh jadi pendapatnya yang ekstrim inilah menyebabkan buku-
bukunya dimusnahkan. Kendatipun demikian, al-Razi tidak berarti seorang atheis, karena ia
masih tetap me7yakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih
tepat disebut seorang rasionalis murni.

[13] Ibid, hlm.29-30

7
Adapun tentang pemikiran al-R8azi tentang Lima Kekal, tidak otomatis ia menjadi zindik,
apalagi bila dinilai dengan al-Quran, tidak satu ayat pun yang secara qath’I bertentangan dengan
pemikiran tersebut. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan benar pemikiran Al-Razi
tersebut.[14]

[14] Ibid, hlm. 30-32

8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Razi adalah seorang dokter yang paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter
Muslim. Al-Razi merupakan orang yang aktif dalam berkarya, yaitu mengarang banyak buku.
Buku-bukunya antara lain, Kitab al-Asrar, Al- Hawi, Al-Mansuri Liber al-mansoris, Kitab al-
Judar wa al-Hasbah, Al-Thibb al-Ruhani, Al-Sirah al-Falsafiyah, Amarah al-Iqbal al-Dawlah,
Kitab al-Ladzdzah, Kitab al-‘Ilm al-Ilahi, Maqalah fi ma ba;d al-Thabi’iyyah, dan Al-Shukuk
‘ala Proclus.
Dalam hal Metafisika, filsafat al-Razi terkenal dengan doktrin Lima Yang Kekal. Yakni,
Allah Ta’ala (al-Bary Ta’ala), Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat), Materi Pertama (al-Hayula
al-Ula), Ruang Absolut (al-Makan al-Muthlaq), Masa Absolut (al-Zaman al-Muthlaq). Adapun
pemikiran al-Razi tentang moral bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan agama.
Al-Razi bukan seorang atheis, karena ia masih tetap meyakini adanya Tuhan Yang Maha
Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih tepat disebut seorang rasionalis murni.

9
DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia


Nasution, Harun.1999. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Zar, Sirajuddin.2004. Filsafat Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sirajuddin.2004. Filsafat Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

10

Anda mungkin juga menyukai