Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ISLAM DAN KEILMUAN

AR-RAZI/PAKAR SAINS/MEDIS

DOSEN PENGAMPU: IDAWATI, M.I.KOM

DISUSUN OLEH:
1. Lisa Kurniawati (219110184)
2. Maizarah (219110116)
3. Nurafiza Dwi Putri (219110323)
4. Aryanti (219110284)
5. Firli Amalia (219110001)
6. Maulani Ariska (219110079)
7. Rozalina Agustina (219110165)
8. Mhd Rischal Hidayah (219110304)
9. Anggun Restu Aulia (219110095)
10. Rivanka Adi Pratama (219110019)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
Rahmat dan Karunia-Nya, kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya. Alhamdulillah kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini tentang Ar-Razi/Pakar Sains/Medis yang di cari dari
berbagai sumber. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing mata
kuliah Islam dan Keilmuan, selain itu juga makalah ini diharapkan mampu menjadi
sumber pembelajaran bagi kita semua.
Makalah ini dibuat dengan meninjau beberapa sumber dan menghimpunnya
menjadi kesatuan yang sistematis. Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak
yang menjadi sumber referensi bagi kami. Terimakasih juga kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan tugas. Semoga makalah ini berguna bagi pembaca sekalian.
Kami sebagian penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari bentuk penyusun maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Saya berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak, Aamiin aamiin yaa Robbal’ Alamin.

Pekanbaru, 16 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Biografi Ar-Razi.....................................................................................................3
B. Latar Belakang Sosial.............................................................................................4
C. Karya- Karya Ar-Razi............................................................................................7
D. Filsafat Ar-Razi.......................................................................................................8
BAB III PENUTUP.........................................................................................................19
A. Kesimpulan...........................................................................................................19
B. Saran.....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi, yang selanjutnya disebut
dengan Al-Razi adalah seorang ilmuwan muslim yang  memiliki profesi
sebagai seorang dokter, dosen, fisikawan, kimiawan, sekaligus seorang
filosof (Supriyadi, 2009:68). Di bidang filsafat ar-Razi memiliki pemikiran
yang sangat orisinil dan mandiri, yang dalam beberapa hal berbeda dari alur
pemikiran kebanyakan ulama muslim pada masanya. Para filosof dan pemikir
muslim pada umumnya berusaha menyelaraskan pemikirannya dengan agama,
sementara ar-Razi dikenal sebagai sosok yang memilih jalan filsafat  untuk
mendekati berbagai persoalan, termasuk persoalan keagamaan (Amien,
1983:46).
Secara teoritis, filsafat Al-Razi memungkinkan untuk dikembangkan
sebagai landasan yang dapat melahirkan pemikiran-pemikiran baru di bidang
pendidikan. Pola yang dapat ditempuh adalah dengan menjadikannya sebagai
pijakan dalam memahami persoalan-persoalan mendasar dalam pendidikan,
mengingat ada kenyataan bahwa problem-problem utama filsafat juga
merupakan problem utama pendidikan.
Dalam hal ini filsafat Al-Razi harus diposisikan sebagai pandangan
hidup (way of life) atau pandangan dunia (world view) yang memuat konsep-
konsep pemikiran tentang dasar realitas atau kebenaran yang diyakini dan
ditempatkan sebagai realitas yang senyatanya. Pemahaman atas realitas
mendasari rumusan tentang cita-cita ideal kehidupan sebagai bagian dari
tujuan hidup yang diharapkan adanya. Nilai-nilai kebenaran yang diyakini
diupayakan dapat ditanamkan dalam kehidupan kemasyarakatan, baik dalam
tatanan sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, maupun berbagai aspek
kehidupan lainnya melalui berbagai cara, di antaranya melalui proses
pendidikan. Secara fungsional filsafat Al-Razi juga dapat dijadikan dasar
perumusan teori-teori pendidikan yang lebih spesifik. Pemikiran Al-Razi yang

1
mengkaji hal-hal di balik dunia fisik memberikan bekal pemahaman tentang
hakekat, makna dan tujuan hidup, yang menjadi bagian integral dari tujuan
pendidikan. Filsafat Al-Razi juga memberikan bekal pemahaman tentang
hakekat manusia, yang membantu pemahaman potensi-potensi psikis. Di
dunia pendidikan, pemahaman kejiwaan penting artinya untuk dapat memberi
perlakuan yang tepat terhadap subyek didik dalam proses pendidikan.
Pemikiran epistemologi Al-Razi memberi gambaran tentang sumber,
metodologi serta jenis pengetahuan, termasuk sistem nilai yang harus
diajarkan. Hakekat ilmu atau pengetahuan yang menjadi substansi pendidikan
ditentukan oleh pandangan epistemologi yang digunakan. Karena itu
pandangan ini terkait dengan filsafat moral yang menyajikan konsep
kebenaran berkenaan dengan tata nilai, sebab dalam tataran praktis ilmu tidak
dapat dilepaskan dari nilai.
Makalah ini ditulis untuk membahas dan memahami tentang biografi Al-
Razi, karya-karya Al-Razi, dan filsafat Al-Razi.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana biografi Ar-Razi?
2. Bagaimana latar belakang sosial Ar-Razi?
3. Apa saja karya-karya Ar-Razi?
4. Apa filsafat Ar-Razi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Ar-Razi
2. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang sosial Ar-Razi
3. Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ar-Razi
4. Untuk mengetahui apa filsafat Ar-Razi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ar-Razi
Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-
Razi (Dahlan, 2002:182). Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad
Ibn Zakaria Ibn Yahya Ar-Razi. Di Barat dikenal dengan Rhazes. Ia lahir di
Ray dekat Teheran pada 1 Sya‟ban 251 H (865 M).32 Al-Razi dikenal sebagai
dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (Dedi Supriadi, 2009:68).
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Razi, yakni
Abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmudin al-Razi. Oleh karena
itu untuk membedakan Al-Razi ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan
dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelar)
(Sirajuddin, 2007:116)
Al-Razi merupakan filosof besar yang berusaha membuka cakrawala
berfikir umat dengan menggunakan rasio sepenuhnya Pemikirannya yang
rasional dan mengandung filosofis ternyata telah banyak memengaruhi dan
menghasilkan karya yang sangat berharga bagi kaum ilmu pengetahuan.
Karya-karyanya sangat memengaruhi ilmuan pada masanya.
Dalam filsafat, sebagaimana telah disebutkan, Al-Razi adalah kampiun
Platonisme Islam. dari beberapa judul karyanya yang telah hilang, seperti
Metaphisics According to Plato‟s View, Metaphisics According to Socrates‟
View, Comentary on the Timaeus dan sebagainya tampak bahwa dia memang
mempunyai kecenderungan Platonis yang pekat (Majid Fakhri, 2001:36).
Pada masa mudanya ia menjadi tukang intan, penukar uang dan pemain
kecapi. Al-Razi meninggalkan musik untuk belajar alkimia dan pada usia tiga
puluh tahun atau (seperti yang dikatakan Safandi) setelah empat puluh tahun ia
meninggalkan alkimia, karena matanya terserang penyakit akibat eksperimen
yang dilakukakknya, yang menyebabkan ia mencari dokter dan obat-obatan.
Itulah sebabnya, ia mempelajari ilmu kedokteran. Karena kemauannya itulah

3
ia sangat rajin belajar dan bekerja siang dan malam hari, dan ia berguru pada
AliIbn Rabban Al-Thabari, ia adalah seorang dokter dan filosof yang lahir di
Merv pada tahun 192 H/808 M dan meninggal pada 240 H/855 M (Syarif
1983:31).
Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas
(250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil
Rhazes, dilahirkan di Rayy, dekat Teheran (pen: Iran) sekarang (Supriyadi,
2009:68). Al-Razi mempunyai hubungan darah dengan bangsa Parsi (Iran) dan
lahir di zaman kejayaan Abbasiyah (Amien, 1983:46)
Al-Razi belajar ilmu kedokteran kepada Ali ibn Rabban Ath-Thabari. Al-
Razi belajar filsafat kepada Al-Balkhi. Al-Balkhi adalah orang yang banyak
melakukan perjalanan, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Beberapa orang
mengatakan bahwa Al-Razi menghubungkan dengan dirinya sendiri buku-
buku filsafat Al-Balkhi (Syarif, 1993:34).
Di kota kelahirannya, Al-Razi terkenal sebagai dokter. Karena itu, ia
memimpin sebuah rumah sakit di Rayy, ketika Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad
ibn Azad menjadi Gubernur Rayy, dari tahun 290-296H/902-908M (Hadi,
2003:13) Al-Razi merupakan seorang dokter yang memiliki jiwa dan pikiran
yang didasarkan pada filsafat. Perpaduan filsafat dan kedokteran menjadikan
kualitas keilmuan Al-Razi memiliki nilai plus dibanding para pendahulunya
(Supriyadi, 2009:71)
B. Latar Belakang Sosial
Al-Razi belajar ilmu kedoketan kepada Ali Ibn Rabban Al- Thabari.
Guru ini pula yang menumbuhkan minat Al-Razi untuk menggeluti dunia
filsafat agama, karena Ayah dari Ali Ibn Rabban Al- Thabari adalah seorang
pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci. Ibn An-Nadim sebagaimana
dikutip Fuad Al-Ahwani Al-Razi belajar ilmu filsafat kepada Al-Baihaki. Al-
Baihaki adalah orang yang banyak melakukan perjalanan , menguasai filsafat
dan ilmu-ilmu kuno (Supriyadi, Dedi. 2009:69) .

4
Di kota kelahirannya, Al-Razi dikenal sebagai dokter, sehingga ia
dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Rayy oleh Mansur bin Ishaq Ibn
Ahmad Ibn Asad, ketika beliau menjadi gubernur. Al-Razi menulis suatu buku
yang berjudul Al Tibb Al Mansur. Buku itu dipersembahkan kepada gubernur
tersebut. Pada waktu pergi ke Baghdad, di masa kholifah Muhtafi, tahun 298
H, ia juga diserahi untuk memimpin sebuah rumah sakit. Ia menjabat
kepemimpinan ini selama enam tahun, sebab setelah Al-Muktafi meninggal
pada tahun 295 H, ia kembali ke Rayy.
Tidak ada keraguan lagi bahwa Al-Razi adalah dokter terbesar di dalam
Islam bahkan di abad pertengahan secara mutlak. Al-Razi menguasai semua
teori medis klasik dan ditambahnya unsur-insur baru yang ia capai melalui
banyak eksperimen yang dilakukannya. Sebagai seorang yang terkenal pada
dasarnya mempunyai banyak murid yang belajar kepadanya. Metde
penyampaian pemikirannya adalah bersistem pengembangan daya intelektual.
Apabila ada seorang murid bertanya maka pertanyaan itu tidak langsung
dijawabnya melinkan dilemparkan kembali pada murid- murid lainnya yang
terbagi ke dalam beberapa kelompok, apabila kelompok pertama tidak bisa
memecahkannya, maka pertnayaan itu dilemparkan kepada kelompok kedua,
begitupun seterusnya, sehingga apabila tidak ada yang sanggup, maka Al-Razi
sendiri yang menjawabnya. Diantara muridnya yang cerdas ialah Abu Bakar
Ibn Karim Al-Razi, yang kemudian menjadi seorang dokter. Jika tidak
bersama murid-muridnya atau pasiennya al-Razi selalu menggunakana
waktunya untuk menulis dan belajar. Kemungkinan itu menjadi salah satu
indikasi dari kebutaan matanya. Sebagai ilmuan dan dokter Al-Farabi adalah
seorang yang murah hati, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan, karena
itu memberikan pengobatan secara gratis kepada mereka yang tidak mampu.
Al-Razi meninggal dunia pada tanggal 5 Sya‟ban 313 H/7 Oktober 925 M.
Sampai meninggalnya Al-Razi belum dapat disembukan kebutaan matanya (A.
Mustofa.2000: 116).

5
Al-Razi merupakan seorang rasionalis murni. Ia hanya mempercayai
akal. Pemujaannya terhadap akal terlihat dalam bukunya, Al-Tibb al-Runahi,
sebagaimana dikutip oleh M.M. Syarif. Di sana Al- Razi menyatakan bahwa
akal yang telah diberikan Tuhan kepada kita dapat mengambil manfaat
sebanyak mungkin. Dengan akal manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan
tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal
sedemikian mulia dan penting, maka akal tidak boleh dilecehkan, juga tidak
boleh dikendalikan, dan ia harus mengendaliakn kita. Alhasil, akal harus
dijadikan rujukan.
Agaknya pandangan Al-Razi mengenai kedudukan akal yang begitu
tinggi membawanya menentang konsep kenabian, wahyu dan kecenderungan
irrasional, maskipun pandangan Al-Razi yang demikian masih menjadi
polemik. Muhammad Abduh, seorang pemikir Islam dengan tegas membantah
apabila Al-Razi dikatakan menentang wahyu dan menolak konsep kenabian.
Menurutnya tuduhan itu kemungkinan berasal dari musuh-musuh Al-Razi
sendiri, terutama Abu Hatim (Syahrin Harahap. 2011:60).
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia,
kedokteran dan filsafat. Ia lebih terkenal sebgai ahli dalam bidang kimia dan
ahli kedokteran dibanding seorang filosof. Ia sangat rajin menulis dan
membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-
angsur melemah dan akhirnya buta total. Aka tetapi, ia menolak untuk diobati
dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia
akan meninggal (Sirajuddin Zar. 2007:116)
Setelah belajar daras-dasar ilmu agama Islam dari ayahnya yang juga
seorang ulama, Al-Razi mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan dari
sejumlah ulama terkemuka pada masanya, diantaranya theologi dan filsafat
pada majduddin Al-Jili, serta fiqh dan ushul fiqh pada Al-Samani. Berkat
ketekunannya dalam mendekati ulama dan menelaah berbagai macam karya
ulama lainnya (seperti kitab Al-Syamil karya Al-Juaini, kitab Al-Mu‟tamad
karya Hasan Basri), ia menjadi ulama dan filosof yang sulit ditandingi.

6
C. Karya- Karya Ar-Razi
Al-Razi banyak menulis buku tentang materi, ruang, nutrisi, waktu,
gerak, optik, iklim, dan alkemi (Hadi, 2003:14) Buku-buku Al-Razi menurut
Ibn An-Nadim (dalam Syarif, 1993:36) adalah 118 buku, 19 surat,  4 buku, 6
surat, dan satu makalah, jumlah seluruhnya 148 buah. Ibn Abi Usaibi’ah
menyebutkan 236 karyanya, tetapi beberapa di antaranya tidak jelas
pengarangnya.
Buku-buku Al-Razi yang banyak jumlahnya dikolompokkan menjadi:
a.    ilmu  kedokteran,
b.    ilmu fisika,
c.    logika,
d.   matematika dan astronomi,
e.    komentar, ringkasan, dan ikhtisar,
f.     filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis,
g.    metafisika,
h.    teologi,
i.      alkimia,
j.      ateisme, dan
k.    campuran (Supriyadi, 2009:72)
Adapun karya-karya Ar-Razi yang masih dapat dinikmati sampai sekarang
meskipun buku-buku tersebut dihimpun dalam satu kitab yang dikarang oleh
orang lain adalah:
a.       Al-Tibb al-Ruhani,
b.      Al-Shirath al-Falasafiyah,
c.       Amarat Iqbal al Daulah,
d.      Kitab al-ladzdzah,
e.       Kitab al Ibnu al Ilahi,
f.       Makalah fi mabadd altalbiah,
g.      Al Syukur ’Ala Proclas (Mustofa, 2000:117)

7
Menurut Supriyadi (2009:72) di antara buku Al-Razi yang dapat disebutkan
sebagai berikut:

a.       Ath-Thib Ar-Ruhani,
b.      Ash-Shirat Al-Falsafiyyah,
c.       Amarat Iqbal Ad-Daulah,
d.      Kitab Al-Ladzdzah,
e.       Kitab Al-Ilm Al-Ilahi,
f.       Maqalah fi Ma’bad Ath-Thabi’ah,
g.      Al-Hawi fi Ath-Thibb,
h.      Manshiri,
i.        Kitab Sirr Al-Asrar,
j.        Muluki, dan
k.      Kitab Al-Jami Al-Kabir.
D. Filsafat Ar-Razi
Filsafat Al-Razi meliputi: filsafat lima kekal, filsafat rasionalis, filsafat
moral (Supriyadi, 2009:73-80)
1.      Filsafat Lima Kekal
Lima ajaran kekal Al-Razi menurut Nasution (2008:18) adalah: (1)
Materi, merupakan apa yang ditangkap dengan panca indera tentang benda,
(2) Ruang, karena materi mengambil tempat, (3) Waktu, karena materi
berubah-ubah keadaannya, (4) Di antara benda-benda ada yang hidup, karena
itu perlu ada ruh, (5) Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Tahu.
Menurut Ali (t-th: 37) ajaran lima kekal Al-Razi yaitu: (1) Al-Bari
Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna. (2) An-
Nafsul- Kulliyah, Jiwa Universal yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu
waktu menemukan kebebasan yang hakiki. (3) Al-Hayulal-Ula, materi
pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari
atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai

8
dengan kepadatannya. Atom tanah adalah yang paling padat, kemudian
menyusul air, hawa, dan api. (4) Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut,
abadi tanpa awal dan tanpa akhir. (5) Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut,
abadi tanpa awal dan tanpa akhir.

(1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta Yang Maha Tinggi dan Maha
Sempurna.
Tuhan bersifat sempurna. Tidak ada kebijakan setelah tidak sengaja,
karena itu ketidaksengajaan tidak bersifat kepada-Nya. Kehidupan
berasal dari-Nya sebagaimana sinar datang dari matahari Tuhan
mempunyai kepandaian yang sempurna dan murni. Kehidupan ini
adalah mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan sesuatu dan tidak ada
yang bisa menandingi dan tidak ada yang bisa menolak kehendak-Nya.
Tuhan Maha Mengetahui, segala sesuatu. Tetapi ruh-ruh hanya
mengetahui apa yang berasal dari eksperimen. Tuhan mengetahui bahwa
ruh cenderung pada materi dan membutuhkan kesenangan materi.
(2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa universal yang hidup dari jasad ke jasad
sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
Tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan apapun tetapi Tuhan
memutuskan penciptaan-Nya setelah pada mulanya tidak berkehendak
tidak menciptakannya, Tuhan menciptakan manusia guna menyadarkan
ruh dan menunjukkan kepadanya, bahwa dunia ini bukanlah dunia yang
sebenarnya dalam arti hakiki. Manusia tidak akan mencapai dunia
hakiki ini, kecuali dengan filsafat, mereka mempelajari filsafat,
mengetahui dunia hakiki, memperoleh pengetahuan akan selamat dari
keadaan buruknya. Ruh-ruh tetap berada dalam dunia ini sampai mereka
disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya. Melalui filsafat manusia
dapat memperoleh dunia yang sebenarnya, dunia sejati atau dunia
hakiki.

9
(3) Al-Hayulal-Ula, materi pertama yang dari padanya Tuhan menciptakan
dunia.
Menurut Ar-Razi kemutlakan, materi pertama terdiri dari atom-atom,
setiap atom mempunyai volum yang dapat dibentuk. Dan apabila dunia
ini dihancurkan, maka ia akan terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom.
Dengan demikian materi berasal dari kekekalan, karena tidak mungkin
menyatakan suatu yang berasal dari ketiadaan sesuatu.
(4) Al-Makanul-Mutlaq, ruang yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa
akhir.
Menurut Ar-Razi ruang adalah tempat keadaan materi, beliau
mengatakan bahwa materi adalah kekal dan karena materi itu
mempunyai ruang yang kekal. Bagi Ar-Razi ruang terbagi menjadi dua
yakni waktu universal (mutlak) dan waktu tertentu (relatif ), ruang
universal adalah tidak terbatas dan tidak tergantung pada dunia dan
segala sesuatu yang ada di dalamnya, sedangkan ruang yang relatif
adalah sebaliknya.
(5) Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut, abadi tanpa awal dan tanpa
akhir.
Waktu adalah subtansi yang mengalir, ia adalah kekal. Ar-Razi
membagi waktu dua macam yakni waktu mutlak dan waktu relatif
(terbatas). Waktu mutlak adalah keberlangsungan, ia kekal dan
bergerak. Sedang gerak relatif adalah gerak lingkungan-lingkungan,
matahari dan bintang gemintang.

Filsafat lima yang kekal Al-Razi tersebut mengisyaratkan bahwa di


balik dunia fana terdapat jiwa tak terbatas yaitu Tuhan sebagai Pencipta
kosmos, Jiwa Yang Mutlak yakni ruh  tersebut menjelma pada alam, di mana
ruh mempunyai inti yang disebut ide atau berpikir, berupa kekuatan akal yang
dipandang sebagai pancaran Jiwa Universal (an-Nafs al-Kulliyah) Ilahi.

10
Karena itu kekuatan akal memungkinkan manusia mencapai kebenaran
Ilahiyah.
Doktrin lima hal yang kekal (al-Qudama al-khamsah) yang menyajikan
beberapa kajian tentang waktu, ruang kehampaan, serta perpindahan jiwa
memiliki implikasi luas guna dikembangkan sebagai dasar pemahaman
masalah kosmologi. 
Pemahaman atas alam seisinya sebagai makrokosmos berarti
memandang semesta sebagai kesatuan kosmis, sementara manusia sebagai
individu yang terdiri dari jasmani dan rohani ditempatkan sebagai
mikrokosmos, fakta tunggal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
keseluruhan sistem semesta. Pemahaman keduanya mendasari pemahaman
mengenai asal-usul dan arah ke mana tujuan kehidupan akan menuju.
Pemahaman masalah ini selanjutnya mendasari penentuan sikap dalam
menyikpai kehidupan ini.
Filsafat Al-Razi membantu memahami konsep penciptaan berdasarkan
pemahaman atas hakekat Tuhan, alam semesta dan manusia. Ini menjadikan
pandangan-pandangannya mencerminkan sebuah pandangan teologis
tersendiri. Dalam pandangan Al-Razi ruang semesta membentang sangat luas
dan tak terbatas, di mana Tuhan merupakan sentralnya. Tuhan adalah Dzat
Yang Maha Mutlak yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Kekuasaan Tuhan
tidak terbatasi oleh ruang waktu.
Kehendak (iradah) Tuhan menyemarakkan kehampaan semesta dengan
menciptakan alam dari substansi sederhana menjadi substansi yang terbentuk,
kemudian dengan pancaran kehendak-Nya pula Tuhan membangkitkan gerak
dinamika alam. Kehendak Tuhan untuk mencipta telah memecah kegelapan
dan kesunyian semesta dengan dinamika gerak dan keteraturan hukum alam
(sunnatullah).
Manusia pada hakekatnya hanyalah kehidupan yang sangat terbatas
(mikrokosmos), sekedar bentukan dari materi dan ruh yang menempati ruang
terbatas di tengah ketidakterbatasan ruang dan waktu. Pada saatnya unsur

11
materi pada manusia, berupa jasad (fisik) akan hancur, kembali pada materi
awal, sementara ruh yang menjadi esensi jati diri manusia akan kembali pada
keabadiannya semula.
Seluruh penciptaan ini ditujukan untuk kemaslahatan ruh yang telah
dibantu bersemayam di alam materi dalam wujud manusia. Bagi manusia,
perpindahan ruh dari kehampaan ruang tak terbatas ke dalam materi yang
tertentu merupakan suatu proses penyadaran (pendidikan) dari kebodohan
yang telah memalingkan dari jalan kebenaran dan kebahagiaan (as-sa’adah)
hakiki kepada kesenangan (al-ladzdzah) sesaat.
Keterjebakan jiwa pada materi merupakan akibat ketidaktahuannya atas
hakekat kebahagian sejati, yang karenanya Tuhan menganugerahkan jiwa
rasional yang terpancar dari jiwa universal-Nya, sehingga memungkinkan
manusia belajar mengetahui hakekat kehidupan, dirinya, kebahagiaan, serta
keharusan meningkatkan potensi diri. Keterjebakan tersebut di sisi lain juga
memberi kesempatan ruh untuk belajar melalui pengalaman. Karena itu dapat
dikatakan bahwa kehendak Tuhan untuk menciptakan kehidupan ini tidak sia-
sia (ma khalakta hadza bathila), tetapi sebagai kesempatan untuk belajar
hingga manusia dapat memperoleh kebahagiaan hakiki.
Hidup merupakan sebuah kesempatan untuk keluar dari kebodohan
menuju kebahagiaan sejati melalui proses belajar. Untuk sampai pada
kebahagiaan sejati perlu didahului dengan proses penyadaran atas hakekat diri
dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak didahului proses penyadaran
berarti kebahagiaan dalam ketidaktahuan atau kebodohan, yang berpotensi
menjerumuskan ke arah penyimpangan, seperti halnya jiwa yang bodoh
tertarik pada meteri.
Filsafat Al-Razi mengarahkan kehidupan untuk mencari kebahagiaan
hakiki, yang dapat diperoleh dengan cara membebaskan ruh dari jeratan
materi. Kebahagiaan yang ada dalam kehidupan dunia bukan kebahagiaan
yang sebenarnya, tetapi hanya kebahagiaan yang semu, bahkan diwarnai
dengan rasa sakit dan penderitaan. Namun demikian ar-Razi menilai hidup

12
bukan suatu kesia-siaan, melainkan sebuah kesempatan yang sangat berharga.
Kebahagiaan akhirat yakni keterbebasan jiwa dari pengaruh materi dapat
diperoleh dengan pengembangan akal secara optimal. Untuk itu diperlukan
dukungan rasa yang sehat, di mana seluruh pekerjaan tubuh memperoleh
porsi perhatian yang cukup, hingga masing-masing dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan perlakuan masing-masing
unsur jiwa  secara seimbang. Ini berarti ada keterkaitan dengan cara hidup
yang tepat. Al-Razi menjadikan sifat-sifat Tuhan sebagai acuan dalam
menjalani kehidupan. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pandai, Maha Adil dan
Maha Pengasih, yang sifat-sifat-Nya harus ditiru manusia. Manusia dituntut
belajar agar menjadi pandai, mampu bersikap adil dan bijaksana terhadap diri
sendiri maupun lingkungan sekitarnya, serta penuh kasih sayang  terhadap
sesama. Al-Razi mencela kehidupan kaum hedonis yang hanya
memperturutkan hawa nafsu, sekaligus mencela para rahib dan agamawan
yang memilih jalan penyerahan diri secara total dengan cara lebih banyak
menghabiskan waktu di tempat ibadah, serta mengabaikan tuntutan hidup
yang lain (Iqbal, 2003:79).
Kehidupan ideal didasarkan pada pertimbangan kesehatan jiwa dan raga
sebagai standar idealitas kehidupan. Untuk itu manusia berkewajiban
memelihara karunia Tuhan berupa fisik dan psikis dengan perlakuan
seimbang. Keseimbangan diri manusia itulah yang nantinya membentuk
pribadi paripurna, yang tercermin dalam perilaku kehidupannya sehari-hari.
Keberhasilan individu dalam melakukan kontrol pribadinya berarti berhasil
menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial kemasyarakatan dan
keagamaan. Dalam hal ini akal memainkan beberapa fungsi: pertama,
mencari dan menemukan kebenaran hingga mampu menentukan baik buruk
tata nilai yang ada, sekaligus berperan sebagai alat kontrol pribadi agar dapat
menyesuaikan diri dengan tata nilai atau kebenaran yang diyakini. Kedua,

13
akal berperan dalam mengembangkan ilmu dan menciptakan berbagai perabot
(teknologi) untuk memudahkan dalam memenuhi hajat kehidupannya.
Prinsip keseimbangan juga menjadi landasan dalam tata pergaulan
kemasyarakatan, di mana demi kebaikan bersama antar anggota masyarakat
perlu dijalin hubungan saling menguntungkan dengan cara saling membantu
dan bekerja sama. Karena itu kehidupan ideal menuntut keadilan dalam kerja
sama kemasyarakatan. Adalah tidak layak bila seseorang harus membayar
terlalu mahal untuk sebuah jasa, karena hal itu berarti kerugian di satu pihak,
dan sebaliknya pelayanan terlalu besar dibanding imbalan sama halnya
dengan perbudakan.
2.      Filsafat Rasionalis
Nasution (2008:25) mengatakan bahwa Al-Razi adalah seorang filsuf
yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya yang bertentangan dengan
paham yang dianut umat Islam, seperti tidak percaya wahyu; Al-Qur’an bukan
mukjizat; tidak percaya nabi-nabi; tidak percaya adanya hal-hal yang kekal
dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan.
Al-Razi adalah seorang rasionalis-religius, bukan rasionalis-liberal
karena Al-Razi masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama
dan kewahyuan (Supriyadi, 2009:77)
Rasionalis Al-Razi terhadap akal tampak dalam perkataannya:
”Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar
dengannya, kita memperoleh sebanyak-banyak manfaat; inilah karunia
terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat segala yang
berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal, kita
dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari
kita... dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang
Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh.... Jika akal
sedemikian mulia dan penting, kita tidak boleh melecehkannya; kita
tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau kita tidak
boleh mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau

14
memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah; tetapi kita harus merujuk
kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah
dengannya; kita harus sesuai dengan perintahnya” (Al-Razi dalam
Supriyadi, 2009: 76)

Pernyataan Al-Razi tersebut menunjukkan bahwa manusia lahir dengan


kemampuan yang sama untuk meraih pengetahuan, yaitu manusia dikarunia
akal. Manusia menjadi berbeda karena perbedaan dalam menggunakan
kemampuan akalnya, ada yang menggunakannya untuk belajar, ada yang
mengabaikannya, dan ada juga yang menggunakannya untuk kehidupan
praktisnya. Al-Razi merupakan rasionalis murni yang tidak menempatkan
wahyu atau intuisi mistis untuk memperoleh pengetahuan. Hanya dengan akal
logislah manusia dapat memperoleh pengetahuan dan perilaku terpuji.

Dari perkataan Al-Razi tersebut dapat diketahui bahwa Al-Razi adalah


seorang rasionalis murni yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak
percaya pada wahyu dan perlunya nabi-nabi. Al-Razi berkeyakinan bahwa
akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk
tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia
dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama
besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan suasana perkembangannya.
Para nabi menurut pendapatnya, membawa kehancuran bagi manusia,
dengan ajaran-ajaran mereka yang saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran
itu menimbulkan perasaan benci-membenci di antara umat manusia yang
terkadang meningkat menjadi peperangan agama. Walaupun demikian Al-
Razi juga mengakui kenabian sebagaimana Al-Razi (dalam Dahlan, 2002:185)
menyatakan: 
“Semoga Allah melimpahkan salawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik,
Nabi Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan
salawat kepada sayid kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari

15
kiamat, Muhammad, semoga Allah melimpahkan kepadanya salawat
dan salam yang banyak selamanya”.

Semua agama dikritiknya. Orang tunduk agama, menurut pendapatnya,


karena tradisi, kekuasaan yang ada pada pemuka-pemuka agama, dan karena
tertarik pada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang
sederhana dalam pemikiran. Al-Qur’an baik dalam bahasa dan gaya manapun
dalam isi tidak merupakan mukjizat. Al- Razi lebih mementingkan buku-buku
filsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Tetapi sungguhpun
Al-Razi menentang agama pada umumnya, Al-Razi bukan seorang ateis,
malahan seorang monoteis yang percaya pada keberadaan satu Tuhan,
sebagai penyusun dan pengatur alam ini (Amien, 1983:46).
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, Al-Razi
memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan
dengan meninggalkan alam materi. Untuk kembali ke Tuhan, ruh harus
terlebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan ruh ialah ilmu
pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi
dekat menyerupai zahid (‫ ْد‬MM‫ )زَ ا ِه‬dalam hidup kebendaan. Tetapi Al-Razi
menganjurkan jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi
kesenangannya yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau
bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai
tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk
memelihara diri.

Kepercayaan Al-Razi terhadap kemampuan akal menjadikan


pandangannya tentang agama juga didasarkan pada pendekatan rasional.
Ajaran-ajaran agama tidak dipahami sebagai dogma-dogma mati yang harus
diterima begitu saja. Keyakinan atas kebenaran dan urgensi agama didasarkan
pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat. Karena itu, Al-Razi banyak
menyoroti dogma-dogma agama yang dipandang bertentangan dengan akal

16
sehat maupun petunjuk Allah yang sebenarnya. Al-Razi mengajak manusia
untuk membebaskan diri dari hal-hal irasional, sebagaimana tujuan studi
filsafat semula, yakni menemukan kebenaran dan membebaskan manusia dari
mitologi supernaturalisme di bawah bendera rasionalisme.

3.       Filsafat Moral
Al-Razi memiliki andil yang sangat besar dalam ilmu akhlak. Al-Razi
melihat kenikmatan dan kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan
kehinaan. Kehormatan dapat dikatakan sebagai kehormatan karena
manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang ditimbulkannya. Atau dengan kata
lain, kenikmatan yang diperolehnya dapat mengalahkan kesengsaraan yang
ditimbulkannya. Kehormatan dan kehinaan tidak memiliki nilai tertentu
(Iqbal, 2003:79)
Kebahagiaan diartikan sebagai kembalinya sesuatu yang hilang karena
kemudlaratan yang akan diperoleh bilamana akal berhasil mengendalikan
berbagai kecenderungan jiwa secara berimbang. Keseimbangan tersebut
tercermin dalam cara hidup seseorang di lingkungan masyarakatnya yang
tidak hanya mengejar kesenangan dunia (hedonis), serta tidak menghabiskan
waktu untuk kepuasan spiritual.
Prinsip keseimbangan juga menjadi dasar tata hubungan
kemasyarakatan, mengingat manusia dipandang sebagai makhluk sosial, yang
tidak dapat hidup secara layak tanpa bantuan orang lain. Manusia hanya
mampu melakukan jenis pekerjaan tertentu, yang karenanya kehidupan antar
warga masyarakat hanya dapat disempurnakan dan diorganisasikan dengan
baik melalui kemauan untuk saling menolong, bekerja sama, serta saling setia

Adapun pikiran Ar-Razi tentang moral, sebagaimana tertuang dalam


bukunya Al-Thib al-Ruhani dan al-Sirah al-falsafiyyah, bahwa tingkah laku
pun mesti berdasarkan pada petunjuk rasio. Hawa nafsu haruslah berada pada
kendali akal dan agama. Ia memperingatkan bahaya minuman khamar yang
dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama, bahkan dapat

17
mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya akan
menghancurkan manusia (Hasyimsyah Nasution, 2005:20).
Nafsu dinyatakan sebagai kecenderungan alamiah dalam diri manusia,
berupa dorongan biologis maupun psikis untuk mencari kesenangan dan
kelezatan tanpa adanya pertimbangan tentang berbagai konsekuensi yang
mungkin timbul. Akal mampu memberi jalan keluar atas berbagai persoalan,
serta dapat mengangkat derajat manusia ke tingkat yang paling agung. Akal
yang bersumber pada jiwa rasional dan Ilahiyah memberikan pertimbangan
dari aspek material maupun spiritual, sehingga menjangkau berbagai
konsekuensi duniawi maupun ukhrawi.
Karena itu kebaikan untuk kelas manusia terletak pada pengendalian
nafsu hingga jiwa yang penuh nafsu terbiasa tunduk dan mengikuti jiwa
rasionalnya. Kebaikan yang hanya didasarkan pada pemuasan kesenangan
dan nafsu jasmani adalah kebaikan untuk kelas binatang (al-bahaim).
Binatang hanya memiliki kebutuhan untuk memenuhi nafsu secara bebas
tanpa tuntutan tanggung jawab atau konsekuwensi tertentu yang harus
ditanggung. Jiwa yang berkembang dalam diri binatang hanya jiwa nafsu
saja. Kelebihan fisik binatang kurang memberikan kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikirnya. Karena itu kebaikan tidak dapat
didasarkan atas pemenuhan kesenangan badaniah belaka. Bila kebaikan
diukur dengan pemenuhan kepuasan jasmaniyah, maka binatang lebih mulia
dari pada manusia, bahkan lebih mulia dari Tuhan yang tidak memiliki nafsu
jasmani.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua:
untuk kebaikan yang bersifat terpuji, dan untuk kejahatan yang bersifat
tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula dengan kekikiran,
nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kikiran tersebut disebabkan
rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka hal itu
tidaklah buruk. Karena itu, harus ada pembenaran apabila kikiran orang
tersebut mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan.

18
Tetapi bila yang terjadi justru sebaliknya maka hal yang demikian haruslah
diperangi. (Hasyimsyah Nasution, 2005:21).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Razi mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al-
Razi. Al-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas (250-
313 H/864-925 M atau 320 H/932 M), oleh orang Latin dipanggil Rhazes,
dilahirkan di Rayy, dekat Teheran sekarang. Al-Razi banyak menulis buku
tentang materi, ruang, nutrisi, waktu, gerak, optik, iklim, dan alkemi. 
Filsafat Al-Razi meliputi filsafat lima kekal, filsafat rasionalis, dan filsafat
moral. Filsafat lima kekal Al-Razi yaitu: (1) Al-Bari Ta’ala, Tuhan Pencipta
Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna. (2) An-Nafsul- Kulliyah, Jiwa
Universal. (3) Al-Hayulal-Ula, materi pertama. (4) Al-Makanul-Mutlaq, ruang
yang absolut. (5) Az-Zamanul- Mutlaq, masa yang absolut. Filsafat rasional Al-
Razi menunjukkan bahwa Al-Razi adalah seorang rasionalis religius yang hanya
percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan perlunya nabi-
nabi. Al-Razi berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang
baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup
manusia di dunia ini. Manusia dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai
daya berpikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan
suasana perkembangannya. Filsafat Al-Razi mengajarkan bahwa kenikmatan
dan kesengsaraan sebagai dasar kehormatan dan kehinaan. Kehormatan dapat
dikatakan sebagai kehormatan karena manfaatnya mengalahkan kejelekkan yang
ditimbulkannya. Atau dengan kata lain, kenikmatan yang diperolehnya dapat
mengalahkan kesengsaraan yang ditimbulkannya.

B. Saran

19
Terlepas dari pemikiran Ar-Razi yang problematis tentang kenabian dan
wahyu, sosok dokter seperti al-Razi yang brilliant, pemberani, peduli terhadap
sesama manusia, dan sadar penuh akan keberadaan Tuhannya merupakan sosok
yang dirindukan pada era kini. Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang
diharapkan dapat menjadikan pedoman bagi manusia untuk mencari sebuah
kebenaran yang hakiki, dengan demikian diharapkan manusia dapat lebih bisa
berpikir kritis yang positif serta dapat menjadi manusia yang bijaksana dalam
menghadapi segala permasalahan kehidupan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Yusril. t-th. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dalam Islam. Jakarta: Bumi


Aksara.

Amien, Miska Muhammad. 1983. Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat


Pengetahuan Islam. Jakarta: UI-Press.

Dahlan, Abdul Aziz. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar


Baru Van Hoeve.

Fahkry, Majid, Sejarah Filsafat Islam; sebuah peta kronologis, Terj, Zaimul Am,
Bandung: Mizan, 2001.Hadi, Saiful. 2003. 125 Ilmuwan Muslim Pengukir
Sejarah. Jakarta: Insan Cemerlang.

Harahap, Syahrin. 2011. Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam. Jakarta:


Prenada.Hoodbhoy, Pervez. 1996. Ikhtiar Menegakkan Rasionalisme,
antara Sains dan Ortodoksi Islam, Terjemahan Sari Meutia. Bandung:
Mizan.

Husain, Sayyid Sajjad, Sayyid Ali Ashraf. 1994. Menyongsong Keruntuhan


Pendidikan Islam. Terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Gema Risalah
Press.
Iqbal, Muhammad. 2003. 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah. Jakarta:
Intimedia & LadangPustaka.

Mustofa, A. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 2008. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan


Bintang.

Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Radar Jaya.

Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Syarif, M.M (editor).1993. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Rajawali Pers,
2007.

21

Anda mungkin juga menyukai