Anda di halaman 1dari 2

Mengkafirkan Seorang Muslim

Dalam posisi yang berbeda dari sisi keagamaan, betapa pun sangat dalam perbedaannya, kita
tidak boleh menghukumi kafir kepada mereka yang masih bersyahadat dan menjalankan shalat.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab Lum’atul I’tiqad menyatakan “la nukaffiru ahadan min ahlil
qiblati bi dzanbin wa la nukhrijuhu ‘anil Islam bi ‘amalin” (kami tidak mengkafirkan seorang pun
dari ahlul kiblat dengan sebab dosa yang dia lakukan, dan kami tidak mengeluarkannya dari Islam
dengan sebab perbuatannya).

Dalam kenyataannya, saat ini mudah sekali sebagian orang menghukumi “kafir” kepada mereka
yang berbeda penafsiran dan juga berbeda aliran keagamaan. Betapa mudahnya sebagian orang
mengkafirkan muslim lainnya seolah mereka tidak takut dengan ancaman dari Hadits Nabi
berikut: “Barang siapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang
bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” (HR Bukhari-
Muslim).

Atas kehati-hatian yang terkandung dalam Hadits tersebut, para ulama pada masa lalu sangat
hati-hati (ihtiyathiy) untuk memvonis “kafir” kepada muslim lainnya, meskipun dipandang telah
menyimpang sangat jauh. Qadli ‘Iyad kitab asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa mengutip
pandangan ulama bahwa “Wajib menahan diri dari mengkafirkan para ahli ta’wil karena sungguh
menghalalkan darah orang yang shalat dan bertauhid itu sebuah kekeliruan. Kesalahan dalam
membiarkan seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa
muslim.”

Pandangan senada juga dikemukakan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fil
I’tiqad: “Agar menjaga diri dari mengkafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan untuk itu.
Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta Muslim yang shalat menghadap qiblat, yang secara
jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, itu merupakan kekeliruan. Padahal kesalahan dalam
membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu
nyawa Muslim.”

Dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara yang merupakan dasar keimanan:
menahan diri dari orang yang mengucapkan La Ilaha illallah, tidak mengkafirkannya karena suatu
dosa, dan tidak mengeluarkannya dari keislaman karena sebuah amalan…” (HR Abu Dawud,
Nomor 2170).

Dalam kitab Shahih al-Bukhari, dari Tsabit bin adh-Dhahhak, Rasulullah SW bersabda: “… dan
melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh seorang Mukmin
dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya. (HR al-Bukhari No. 6105 dan Muslim No. 110
[146]). Dalam redaksi lain, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang berkata kepada saudaranya
“hai kafir”, maka ucapan itu akan mengenai salah seorang dari keduanya.” (HR Shahih al-Bukhari
No. 6104 dan Shahih Muslim No. 60).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi SAW bersabda: “Bila seseorang mengkafirkan saudaranya (yang
Muslim), maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan kekafiran itu. (HR Imam al-Bukhari
No. 6104, Imam Muslim No. 60 (110) dan Imam at-Tirmidzi No. 2637). Dalam riwayat lain: “Jika
seperti apa yang dikatakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri. (HR
Imam Muslim No. 60).

Dari Abu Dzarr ra, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memanggil seseorang dengan kafir atau
mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan
atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya.” [HR. Imam al-Bukhari No. 3508 dan Imam
Muslim No. 61(112)].

Menjadi masalah besar, di balik tuduhan mengkafirkan orang lain itu sesungguhnya terdapat
sikap yang dilarang oleh Islam, yakni takabbur, ‘ujub, dan merendahkan orang lain. Selain itu juga,
dia merasa bahwa dirinya paling benar, yang lain salah; paling baik, yang lain buruk; paling Islami,
yang lain tidak Islami; bahkan bisa jadi merasa paling suci dan paling benar sendiri, sehingga
surga hanya menjadi haknya.

Sikap takfir semacam ini pernah terjadi pada masa lalu dalam sejarah keislaman. Terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian memicu terjadinya perang shiffin antara pasukan Ali
bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, dan perang jamal antara Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina ‘Aisyah
ra, adalah akibat dari sikap mengkafirkan orang lain (takfir). Semuanya adalah sahabat dan
keluarga Nabi SAW yang kita hormati. Namun, akibat perbedaan politik yang dibungkus dengan
argumentasi agama sebagian pihak mengkafirkan pihak lain.

Penjelasan ini penting bagi PMI untuk bersikap terhadap perbedaan-perbedaan yang mungkin
terjadi dan dihadapi pada saat berada di negara tujuan bekerja. PMI tidak sepatutnya terlibat
dalam mengkafirkan dan juga dikafirkan karena perbedaan yang ada. Sikap toleransi (tasamuh)
atas perbedaan adalah sikap yang paling bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai