Anda di halaman 1dari 7

KARYA ILMIAH

Mediasi Pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama sebagai Alternative


Dispute Resolution

Dosen Penguji : Dr. Riadi Asra Rahmad SH.MH

Disusun oleh:
Renaldi Agus Saputra
191010380
Kelas R

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2021

KATA PENGANTAR

          Syukur Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua, terutama
kepada kami sehingga dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
         Adapun dalam penulisan karya ilmiah ini, disusun secara sistematis dan
berdasarkan metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami  sehingga
dapat menambah wawasan pemikiran para pembaca.
         Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari sepenuhnya adanya
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari
para pembaca agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kesempurnaan
karya ilmiah ini.
        Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, November 2021

 Penulis
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan pertanyaan melalui ADR adalah intervensi. Syafaat adalah
siklus di mana pertemuan penanya memilih orang luar yang tidak memihak untuk
membantu pihak yang bersengketa dalam mengatur penyelesaian dan berusaha
meyakinkan pertemuan untuk mengatur penyelesaian dan debat. Tujuan mendasar
dari intervensi adalah kompromi dalam menyelesaikan perdebatan. Intervensi adalah
siklus yang rahasia (tidak terungkap), pribadi dan menyenangkan dalam menangani
masalah. Karena peralihan sebagai orang luar yang tidak memihak membantu
perkumpulan penanya (orang atau organisasi) dalam menyelesaikan bentrokan dan
menyelesaikan atau mendekatkan kesenjangan mereka.
Terpisah adalah sesuatu yang dibenci Allah, namun itu wajar. Dalam Hadits Nabi
SAW yang mengandung makna: Dari Umar Beliau bersabda bahwa Rasulullah
bersabda “Sesuatu yang halal namun dibenci Allah adalah terpisah” [H.R Abu Daud
dan Hakim].
Harmoni atau syafaat (dalam Islam disebut tahkim) adalah sesuai hukum Islam
dan sangat dianjurkan. Karena dengan harmoni, ia akan berusaha untuk tidak
memecah perpecahan persahabatan (hubungan yang hangat), seperti halnya agresi di
antara pertemuan-pertemuan yang benar-benar ingin diakhiri. Premis sah yang
menegaskan kerukunan dapat ditemukan dalam Al-Qur'an Surah al-Hujurat ayat 10
yang artinya: "Sesungguhnya pemeluknya adalah saudara kandung, maka rujuklah
kedua saudaramu (yang sedang berkonflik) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
mendapat kelonggaran."
Seperti yang diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa semua instrumen
yang sah dapat bekerja dengan baik dengan kecurigaan bahwa ketiga bagian dari
instrumen yang sah itu saling mendukung, khususnya kekuatan hukum, aturan hukum,
dan budaya hukum. Keperluan yang sah dapat berjalan sebagaimana mestinya dengan
menerima aturan-aturan hukum yang besar dan jelas, serta wilayah yang mengikuti
hukum. Menerima tiga bagian tidak saling menopang, kekuatan hukum tidak akan
cukup. Tingkat pemisahan terus meningkat dari tahun ke tahun sejak diterbitkannya
Perma No. 1/2008. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pola mediasi belum sepenuhnya
siap untuk mencegah detasemen. Mahkamah Agung telah memberikan PERMA No. 1
Tahun 2016. Tentang Tata Cara di Pengadilan. PERMA ini kemudian menggantikan
PERMA yang lalu, yaitu PERMA No. I Tahun 2008. Dalam PERMA No. I Tahun
2016 terdapat perbedaan dengan PERMA sebelumnya, antara lain PERMA pertama
yang diidentikkan dengan batasan waktu intervensi yang lebih terbatas dari 40 hari
sampai 30 hari sejak tanggal permintaan untuk bersyafaat. Kedua, adanya komitmen
perkumpulan untuk menghadiri pertemuan intervensi secara langsung dengan atau
tanpa didampingi oleh agen yang sah. kecuali jika ada alasan substansial. Ketiga,
yang terbaru adalah adanya kepercayaan yang tulus dalam siklus syafaat dan hasil
musyawarah yang sah yang tidak bermaksud baik dalam interaksi intervensi. Pasal 7
PERMA No. 1 Tahun 2016 menyatakan: (1) Perkumpulan yang akan atau berpotensi
menjadi agen sahnya diperlukan untuk bersyafaat dengan itikad baik. (2) Salah satu
perkumpulan atau Para Pihak dan utusannya yang sah dapat dinyatakan tidak
memiliki apa-apa selain kepercayaan yang buruk oleh perantara untuk situasi yang
bersangkutan:
a. Tidak hadir setelah dibawa dengan benar selama 2 kali berturut-turut dalam
pertemuan syafaat tanpa alasan yang sah;
b. Pergi ke intervensi utama, namun tidak pernah pergi ke pertemuan syafaat
berikutnya meskipun telah dikumpulkan dengan benar dua kali berturut-turut tanpa
alasan yang substansial;
c. Mengulangi ketidakhadiran yang mencampuri rencana pertemuan survei syafaat
untuk intervensi tanpa penjelasan yang sah;
D. Pergi ke pertemuan syafaat, namun tidak menyerahkan atau berpotensi tidak
bereaksi terhadap resume kasus yang berbeda; sebaik
e. Tidak menyetujui rancangan harmoni yang telah disepakati tanpa penjelasan yang
substansial.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 juga ditegaskan kembali tugas perantara untuk
mengambil bagian yang lebih dinamis dalam penyelesaian kasus atauperdebatan,
terutama yang terpisah dari masalah di luar pengadilan, yang kemudian diselesaikan
dengan konsekuensi syafaat, dan dapat diajukan ke Pengadilan melalui sistem klaim.
Selain tanggung jawab intervensi dalam kasus-kasus yang terisolasi, hal itu
bertentangan dengan kenyataan mengingat banyaknya putusan kasus-kasus
pemekaran. Ada isu atau isu apakah pada tahap mediasi apa yang seharusnya
dihasilkan dari adanya tanggung jawab intervensi yang berbeda dari kasus tersebut
adalah keakraban antar pertemuan namun hasil yang diperoleh adalah keputusan
pembagian yang tinggi. Kehadiran ahli masalah ini harus mengetahui masalah pola
mediasi secara independen dari kasus tersebut.

PEMBAHASAN
"Mediasi" berasal dari bahasa Inggris, "Mediation" yang mengandung arti
pelaksanaan suatu pertanyaan termasuk orang luar sebagai arbiter atau tujuan debat
intercede, yang mengintervensi dikenal sebagai individu yang mengintervensi.1
Syafaat dalam penulisan syariat Islam dapat diibaratkan dengan gagasan Tahkim
yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pihak luar pasti disebut
Hakam sebagai perantara perdebatan.
Alasan sah untuk syafaat di Indonesia adalah:2
1. Pancasila dan UUD 1945, mengemukakan dalam pemikirannya bahwa pedoman
tujuan pertanyaan adalah musyawarah untuk mufakat; 2. HIR Pasal 130 ( HIR = Pasal
154 RBg = Pasal 31 Rv ); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pasal 39,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU nomor 3 tahun 2006 jo. Undang-
undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan 82, PP Nomor
9 Tahun 1975 Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat (2), 143 ayat (1) dan (2), serta
144,29; 4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama untuk Melaksanakan Lembaga Damai
(Kel. Pasal 130 HIR/154 RBg); 5. Peraturan Pengadilan Tinggi (PERMA) Nomor 01
Tahun 2016 tentang Strategi Syafaat di Pengadilan; 6. Intervensi atau APS di luar
Pengadilan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Dalam pasal-pasal tersebut
dinyatakan bahwa pejabat yang ditunjuk wajib mengakomodir para terdakwa sebelum
pilihan diajukan. Upaya untuk mengakomodasi hal ini dapat dilakukan pada setiap
konferensi. Khusus untuk kasus-kasus yang terpisah, dengan tujuan untuk
mengakomodir pejabat yang ditunjuk juga wajib membawa keluarga atau orang-orang
terdekat dari kejaksaan untuk mendengar keterangan mereka dan meminta bantuan
mereka agar kedua terdakwa bisa akur dan mengubur kapak sekali lagi. . Dengan
anggapan bahwa upaya akomodasi ini tidak efektif, maka pada saat itu hakim akan

1
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi,
Arbitrase)¸ Gramedai Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 69
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2000, hlm. 640
memberikan pilihan pisah, yang terhadapnya dapat disebut daya pikat dan tambahan
kasasi.
Variabel-variabel yang mempengaruhi pencapaian media dalam Mediasi
Peradilan Agama atau tujuan debat elektif di Indonesia hanyalah cara hidup negara
Indonesia. Baik dalam masyarakat konvensional maupun sebagai premis Pancasila,
dikenal istilah musyawarah untuk mufakat. Semua kelompok etnis di Indonesia harus
mengetahui arti dari istilah tersebut, meskipun pengucapannya unik, namun memiliki
kepentingan yang sama. Dalam ketentuan kesepakatan atau kesepahaman, daerah
tujuan debat selalu dibubuhi kata-kata “dengan anggapan bahwa ada pertanyaan atau
perdebatan akan diselesaikan dengan musyawarah dan apabila tidak tercapai
kesepakatan akan diselesaikan dalam musyawarah”. 1
1. Standar Mediasi dalam Al-Qur'an: a. Produksi ekuitas;
3 b. Pemberdayaan Sosial; c.
Harga diri manusia; d. Ekuitas; e. Menjamin Kehidupan Manusia; f. Teladan
kerukunan; g. Informasi dan Kekuatan Logika; h. Imajinatif dan Inovatif; i. Maaf satu
sama lain; j. Tindakan Asli; k. Kontribusi Melalui Tanggung Jawab Individu; l.
Toleransi
2. Prinsip Umum dalam Proses Mediasi
Siklus syafaat memiliki atribut dan aturan yang tidak sama dengan standar
pendahuluan sebagai aturan, di mana perbedaannya meliputi: a. Siklus syafaat adalah
biasa; b. Waktu yang dibutuhkan agak singkat. ; c. Penyelesaian tergantung pada
pengaturan pertemuan. ; d. Biaya minimal dan biaya minimal; e. Interaksi ditutup; f.
Perjanjian non-agresi adalah untuk mengakhiri situasi; g. Siklus syafaat dapat
menggantikan pembuktian, perkumpulan tidak harus saling bertikai atas dasar
pembuktian, namun yang diupayakan adalah menyatukan pandangan bersama tentang
masalah tersebut; h. Interaksi syafaat menggunakan pendekatan korespondensi media
umum jarak jauh yang memungkinkan semua perkumpulan untuk melihat dan
memperhatikan satu sama lain secara langsung dan mengambil bagian dalam
perkumpulan dalam Pasal 5 ayat (3); i. Hasil intervensi adalah pengaturan manfaat
bersama, tidak ada yang berhasil kalah jangka waktu.2 4
3. Para Pihak dalam Proses Mediasi Kasus perceraian memasukkan kasus contentius
(kasus di mana dua pertemuan tanya jawab saling berhadapan, atau disebut klaim) dan
memasukkan atribut perdebatan batin.
Seperti yang perlu diperhatikan, ada 3 atribut debat, khususnya:3 5
1. Formal, adalah pertanyaan tentang keabsahan standar atau status keabsahan suatu
pasal tertentu yang menjadi perdebatan, untuk situasi ini tujuan definitifnya adalah
keyakinan hukum; 2. Materi/materi, keselarasan mengandung arti tercapainya
wawasan (pengaturan) yang khas dalam hal peredaran kebebasan atas barang,
penilaian nilai atau nilai, kepuasan komitmen antar pihak, atau tujuan lebih lanjut. 3.
Bergairah, maka, pada titik itu, harmoni berarti setuju untuk saling memaafkan, saling
menghormati, atau menghargai dan membantu satu sama lain untuk membuat
hubungan hidup yang tenteram, damai, tepat dan tenang, karena mereka akan berada
dalam harmoni lagi dalam kehidupan. keluarga. Untuk situasi ini, ini adalah kasus
perceraian;
b. Manfaat Mediasi
1. Agak lebih murah daripada pilihan lain yang berbeda; 2. Ada kecenderungan
13
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, mimeo, tt: tp, 2004, hlm. 15

M. Yahya Harahap OP.Cit,hlm 192


24

35
Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005, hlm. 50
pertemuan tanya jawab untuk mengakui dan rasa tanggung jawab untuk pilihan
intervensi; 3. Dapat menjadi alasan bagi para tanya jawab untuk mengatur sendiri
perdebatan yang mungkin muncul di kemudian hari; 4. Membuka kebebasan untuk
menganalisis isu-isu yang menjadi premis suatu pertanyaan; 5. Membuka kesempatan
kepercayaan bersama antara pertemuan-pertemuan interogasi sehingga antagonisme
dan balas dendam dapat dihindari;6 6. Dalam pelaksanaan mediasi, semua hal yang
terungkap dan gagasan kesempatan mediasi diklasifikasikan; 7. Penyelesaian melalui
mediasi mempersingkat waktu penyelesaian penuntutan, memudahkan beban
keuangan moneter, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengurangi beban mental
yang akan mempengaruhi cara pandang dan pelaksanaan yang berbeda dari para pihak
yang bersengketa; 8. untuk memandu sidang tanya jawab untuk menyelesaikan
perdebatan yang terjadi dengan kerukunan, kekuatan intervensi yang sah tidak jauh
berbeda dengan kekuatan akta kerukunan; 9. Dengan asumsi bahwa tuan rumah
kesepakatan telah dicapai melalui pertemuan-pertemuan, maka pada saat itu, hakim
hanya perlu menentukan pilihan yang dalam pilihannya ditentukan pada pilihan sesuai
dengan substansi pemahaman proklamasi (permintaan); 10. Bagi Mahkamah Agung,
apabila syafaat perkara di pengadilan dapat dilakukan dengan baik, maka akan
mengurangi tumpukan perkara yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung; 11.
Penguatan individu. Individu yang mengatur masalah sendiri sering merasa mereka
memiliki kekuatan lebih dari orang-orang yang melakukan advokasi melalui delegasi
seperti pengacara;
Berikut ini adalah unsur-unsur yang membantu pencapaian intervensi:
1. Kualitas mediator; 2. Unsur sosiologis dan mental; 3. Moral dan keduniawian
lainnya; 4. Keyakinan besar dari pertemuan
Faktor penghambat pencapaian intervensi, sebagai berikut:
1. Dorongan kuat untuk berpisah; 2. Terjadi perjuangan yang berlarut-larut; 3.
Variabel mental;

SIMPULAN
Pra-Mediasi, khususnya tahap sebelum siklus intervensi terjadi, termasuk klarifikasi
tentang komitmen pertemuan yang akan tersedia dan secara tulus pada Mediasi,
penentuan Mediator dan sejauh mungkin, dan permintaan pertemuan; dan Proses
Mediasi adalah interaksi terorganisir di mana Mediator memulai siklus syafaat dengan
perpanjangan yang tidak terbatas pada kasus dan petisi. Siklus Mediasi
menggabungkan Pertemuan Mediator dengan dua pemain, pertemuan Mediator
dengan salah satu pertemuan (dewan), akomodasi Resume Kasus, kontribusi spesialis
dan pionir area lokal untuk pengaturan Mediasi. Adapun variabel-variabel yang
mempengaruhi terlaksananya syafaat adalah sebagai berikut: Kemampuan Mediator,
Faktor Sosiologis dan Psikologis jamaah, Perilaku jamaah, dan Niat Baik jamaah.
Komponen penghambat dalam siklus syafaat yang diupayakan oleh Hakim
Pengadilan Agama Kuningan dalam mengatasi hambatan dalam interaksi intervensi
belum memiliki pilihan untuk melakukan intervensi yang berhasil, hal ini karena
unsur musyawarah yang sebenarnya tidak membutuhkan kerukunan.

SARAN
Berdasarkan penggambaran di atas, maka ide dari penulis adalah agar hakim
pengadilan yang berjalan sebagai perantara dapat memberikan mediasi sejauh yang
dapat diharapkan, sehingga masyarakat setempat dapat memperoleh pemerataan dan
merasakan keuntungan bersama (mutual benefit arrangement). dan untuk membuat
interaksi intervensi lebih layak, dipercaya bahwa kerangka kerja ini akan diperkuat
dan dijalankan dengan cara yang tepat. Juga diatur sedemikian rupa sehingga
pertemuan tanya jawab lebih pasti dan menerima bahwa membuat keselarasan lebih
baik dibandingkan dengan melanjutkan dengan proses pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi,
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase) ̧ Gramedai Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, mimeo, tt: tp, 2004.
Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Pututsan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Rosyadi Rahmat dan Ngatino, Arbitrase dalam Hukum Islam dan Hukum Positif, PT.
Citra Adiya Bakti, Bandung.
R. Tresna, Komentar HIR, Paradaya Paramita, Jakarta, 2005.
Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1985.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000.

Anda mungkin juga menyukai