Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH USHUL FIKIH

SUMBER HUKUM (MASHADIR AL-AHKAM)

Disusun oleh : Kelompok II


Jurusan : Akuntansi Syariah
Anggota kelompok :
Harif Febrian (2130403041)
Ikhsan Nursi (2130403042
Indah Ayu Albanand (2130403043)
Dosen Pengampu : DR.H. Zulkifli,MA.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam


Institut Agama Islan Negeri (IAIN) Batusangkar
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Sumber Hukum
(Mashadir Al-Ahkam)” ini sebagaimana untuk memenuhi tugas kelompok kami. Shalawat
serta salam kami curahkan kepada nabi Muhammad SAW pembawa rahmat seluruh alam.
Semoga makalah ini dapat menjadi sumber pemahaman mengenai Sumber
hukum (Mashadir Al-Ahkam). Makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya dorongan
dan bantuan dari berbagai pihak. Kami mengucapkan terimakasih atas segala pihak yang
membantu.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,
maka dari itu kami berharap adanya kritikan dan saran yang membangun demi
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Batusangkar, 12-09-2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………… i


Daftar Isi ………………………………………………………………………. Ii

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Sumber Dan Dalil Hukum Yang Disepakati
B. Sumber Dan Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh perintah Allah kepada manusia untuk melakukannya adalah mengandung


manfaat untuk dirinya, baik secara langsung maupun tidak, begitu pula sebaliknya semua
larangan Allah untuk dijauhi manusia terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia
dari kebinasaan atau kerusakan.
Pengertian hukum sendiri menurut ulama ushul fiqh ialah “apa yang dikehendaki oleh
Syâri (pembuat hukum). Syâri di sini adalah Allah, sementara kehendak Syâri itu dapat
ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Amir Syarifuddin sumber hukum Islam
pada dasarnya ada dua macam:
1. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis (disebut juga nash), yaitu sumber
yang berdasarkan teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
2. Sumber “non-tekstual” atau sumber tak tertulis (disebut juga ghair al-nash), seperti
istihsân, qiyâs, dan mashlahah mursalah. Meskipun sumber hukum kedua ini tidak langsung
mengambil dari teks al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pada hakekatnya digali dari (berdasar dan
menyandar kepada) al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur‟an, sebagai sumber utama, memberikan pedoman bagi agama Islam. Ayat-
ayatnya tidak hanya berbicara tentang masalah akidah serta akhlak, tetapi juga berisi tuntunan
bagi kehidupan yang bersifat amaliah. Memuat hukum-hukum yang bersifat ibadah dan
muamalah. Sunnah Nabi, di samping al-Qur‟an, juga merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. Bila ditinjau dari segi kehujahannya dalam pembentu kan hukum, maka hubungan
Sunnah Nabi dengan al-Qur‟an dipandang sebagai sumber kedua mengiringi al-Qur‟an. Sisi-
sisi hukum yang datang dari Sunnah Nabi adakalanya memiliki fungsi sebagai pengikut
hukum yang sudah ada dalam al-Quran, adakalanya berfungsi menjelaskan dan merinci hal-
hal yang mujmal yang disebutkan al-Qur‟an, dan ada pula kalanya as-Sunnah itu berfungsi
mendatangkan ketentuan-ketentuan hukum yang belum ada ketentuannya dalam al-Qur‟an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa aja sumber dan dalil hukum yang disepakati?
2. Apa saja sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati?

C. Tujuan
1. Mengetahui sumber dan dalil hukum yang disepakati
2. Mengetahui sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Sumber Dan Dalil Hukum Yang Disepakati


1. Al Quran
Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Al Quran juga
merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam
menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-
hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagian hidup di
dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan
ketidaksanggupan atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya
sebagai tandingan, walaupun manusia itu adalah orang pintar. Dalam surat Al Isra
ayat 88, Allah berfirman:
Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."

2. Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa
sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut
adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di
dalam Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman
Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah
bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."
Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat,
sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum
baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT,
dan adakalanya berasal dari ijtihad.

3.Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan
sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk
Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan
Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia
Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas segala
permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum
Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi dan teknologi
modern.
Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf,
merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat
Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu
hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.
Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma
sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun
perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi,
bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum
pun sulit dilakukan.
Bentuk ijma yang kedua adalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui
cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu
masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui
orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan
perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.

4. Qiyas
Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk
sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat
penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki
tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.

B. Sumber Dan Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati

1. Istihsan
Istihsan secara harfiah berarti menganggap sesuatu lebih disukai.
Dalam arti luas, Istihsan berarti melihat secara mandiri, tanpa
mempertimbangkan kasus-kasus serupa, apa yang paling dekat dengan
kebenaran dan keadilan, dan untuk memberikan pendapat seseorang sesuai
dengan kecenderungan dan kecerdasan seseorang menyetujui. Dalam
pengertian yuristiknya, istihsan adalah metode untuk menggunakan pendapat
pribadi untuk menghindari segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang
mungkin timbul dari penerapan hukum secara harafiah. Dengan kata lain, itu
adalah penyimpangan, pada masalah tertentu, dari aturan ulama terhadap
aturan lain untuk alasan hukum yang lebih relevan yang memerlukan
penyimpangan seperti itu.
2. Maslahah Mursalah
Maşlahah Mursalah (kepentingan umum) atau al-istişlāḥ Sumber
kontroversial lain dari hukum Islam adalah maşlahah yang didasarkan pada
keuntungan dan menghindari bahaya. Setelah sumber suara bulat, istişlaḥ
adalah dasar sah untuk legislasi. Ketika maşlahah diidentifikasi dan mujtahid
tidak menemukan aturan eksplisit dalam empat sumber utama, maka ahli
hukum dapat menggunakan langkah-langkah lebih lanjut untuk melindungi
manfaat sosial dan mencegah korupsi di bumi (Suhartini:2009). Namun,
maşlaḥah harus tidak bertentangan dengan Syari'ah dan tujuan umumnya.

3. Istishab
Secara harfiah, kata istishāb berasal dari akar (ş-hb), dari mana kata kerja
seperti untuk menemani, untuk tetap bersama dengan bertentangan dengan
memisahkan atau menyimpang dari, misalnya, tindakan mengambil buku atau
teman sepanjang sementara bepergian disebut istişhāb. Secara teknis, para
ahli hukum mendefinisikan istişhäb sebagai putusan yang menganggap bahwa
status masalah saat ini atau masa depan terus tetap sama seperti di masa lalu,
karena tidak tersedianya alasan (bukti) untuk menjamin pembentukan
perubahan apa pun dari status itu. Definisi yang sama menganggap istişhāb
sebagai percaya bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu atau masa kini
menjadikannya wajib untuk menganggap variabilitas keberadaan itu di masa
sekarang dan di masa depan. Definisi ketiga yang diberikan oleh para ahli
hukum adalah sebagai berikut: istişhāb berarti mematuhi hukum yang mapan
karena tidak tersedianya bukti untuk menjamin keraguan yang diajukan
sehubungan dengan masalah apa pun. Dalam keberadaan, hukum nya berubah.

4. Urf
Konsep ‘urf juga dianggap sebagai salah satu sumber kontroversial hukum
Islam di antara para ahli hukum. Definisi urf sebagai kata benda yang berasal
dari bahasa Arab ‘a-r-f (untuk mengetahui). Menurut Lisän al-Arab, 'urf,' irfân,
dan 'ärifah semuanya memiliki makna yang sama, yaitu segala sesuatu yangorang ketahui
sebagai khayr (kebalikan dari munkar), atau segala upaya yang
Anda lakukan dengan ucapan atau tindakan untuk membantu orang lain
Mengakui layanan seseorang atau bantuan yang ditawarkan kepada orang lain
untuk memungkinkan mereka mencapai ambisi juga tercakup oleh konsep ini.
Secara umum, kata itu sebagian besar digunakan untuk tingkat perasaan yang
lebih tinggi dan ekspresi yang baik dan bermartabat. Urf (adat) dan maʼrūf
turunannya muncul dalam Al-Qur'an dalam surah al-Ãʼrăf (7: 199) "Tetaplah
mengampuni, perintahkan urf (wa'mur bil 'urf) dan berpalinglah dari orang
bebal". Zamakhsharī (wafat 538/1144) dalam komentarnya tentang ayat ini
menyatakan bahwa: "Urf dikenal sebagai perbuatan yang indah (baik atau
baik)".
BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tentang


hokum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati Islam bercorak rasional dan
mendorong tumbuhnya etos kerja serta tanggung jawab manusia dalam perbuatannya. Dalam
hal ini Allah memang
memiliki tujuan atas pemberlakuan hukum berdasarkan keseluruhan dari dalil syariat dan
Allah pasti mempunyai tujuan yang baik dan
terbaik bagi manusia sehingga dia mengadakan syariat untuk manusia. Sumber
hukum Islam yang disepakati yaitu Al-quran, Hadist, Ijma dan Qiyas, sedangkan hukum yang
tidak disepakati ulama yaitu istihsan, istishab, maslahah
mursalah dan Urf , merupakan ciri khas dalam pengambilan sumber hukum yang
bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara pandang atau metode
yang berbeda-beda. Sesuai dengan pemahaman mazhab dan dalilnya masing
masing.

B. Saran

Semoga dari materi yang dijelaskan dapat dipahami oleh pembaca dan dapat
digunakan ketika memahami terkait makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik, saran ataupun komentar
yang membangun dari para pembaca. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Adinda Ayu, Pendekatan Teologis Dalam Memahami Maksud Syariat Dan Hukum Yang
Tidak Disepakati
Https://detiknews.com
http://repository.unissula.ac.id/15259/5/babI.pdf
http://digilib.uinsgd.ac.id/17337/4/4_BAB%20I.pdf
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008)

Anda mungkin juga menyukai